Ten Million Dollars

By padfootblack09

50.5K 7.7K 2.5K

Min Yoongi itu kejam. Tapi keluarganya kaya raya. "Seungwan? Kamu punya uang?" Seungwan punya feeling. Ketika... More

Prolog
Chapter 1 Min's Planning
Chapter 2 After All this Time
Chapter 4 Two Years in Anger
Chapter 5 First Meeting
Chapter 6 the Wedding
Chapter 7 First Day
Chapter 8 New Staff
Chapter 9 Do Kyungsoo
Chapter 10 On Call
Chapter 11 Uninvited Guest
Chapter 12 Slapped too Hard
Chapter 13 Reality
Chapter 14 Jeju the Disaster Island
Chapter 15 Worst Night in Jeju
Chapter 16 Secretary Wendy
Chapter 17 Cruise Ship Vacation
Chapter 18 maeu pyeon-anhan
Chapter 19 Unreasonable Reasons
Chapter 20 Two Schedules
Chapter 21 Vacation in italic
Chapter 22 Worse Prediction
Chapter 23 Sick's Problem
Chapter 24 Yoongi's Reason
Chapter 25 Old but More Hurt

Chapter 3 That Son Seungwan

1.6K 319 34
By padfootblack09


Yoongi tahu ayahnya memang gila. Saat ia berumur dua belas tahun, ia bertengkar hebat dengan kakak laki-lakinya Min Seokjin. Ayahnya memberikan hukuman. Bukan memukul mereka, bukan tidak memberi uang mereka, bukan pula tidak memberi makan mereka. Mereka dihukum tidak boleh pergi ke sekolah selama satu bulan. Saat ia berusia delapan belas, ia pulang ke rumah dengan keadaan mabuk. Keesokan harinya ayahnya mengirimnya ke panti jompo dan mengurungnya disana selama dua minggu untuk membantu para perawat disana. Saat ia berusia dua puluh dua tahun, ia memberontak permintaan ayahnya untuk melanjutkan study di Inggris, ia kabur ke rumah temannya di Busan. Keesokan harinya, rumah temannya di Busan dikepung puluhan orang bersenjata dan berseragam hitam, hanya untuk menculik Yoongi ke bandara Incheon dan mengirimnya ke Inggris.

Diantara semua kegilaan itu, Yoongi pikir kali ini adalah hal yang paling gila. Maksud Yoongi—ayolah, ayahnya tak pernah ikut campur urusan kisah cintanya. Maka ketika pagi ini, kepala keluarga Min mengumumkan di meja makan bahwa Yoongi akan menikah dengan salah satu anak temannya, Yoongi hanya bisa menganga, bulgogi dalam sumpitnya tergantung di udara.

"Apa?" tanya Yoongi cepat. Ia tak mungkin salah dengar.

"Kau mendengarku, nak." Kata kepala keluarga Min dengan tenang. "Kau akan menikah dengan salah satu anak temanku."

Yoongi meneguk salivanya dengan susah payah.

"Aku tidak bisa—"

"Kau tidak bisa menolak." Potong Tuan Min dengan tenang.

Yoongi membuang nafasnya. Ditaruhnya sumpitnya yang mengapit daging bulgogi, ia memandang kearah ibunya dan berusaha untuk tidak menyeringai. Menyeringai karena ia tahu, seberapa besar ia menolak, perkataan ayahnya tak akan pernah bisa dibantah. Mata Yoongi beralih pada kakak satu-satunya, yang sedang tak bisa berkata-kata seperti Yoongi.

"Itu tidak seburuk itu, kau tahu." Seokjin berbisik pada Yoongi.

Yoongi akhirnya menyeringai, sudah merasa kalah telak.

"Ayahmu pasti gila." Kata Nyonya Min ketika Tuan Min sudah keluar dari ruang makan. Perempuan paruh baya itu mengerut keningnya pelan.

Yoongi tak menjawab ibunya. Yoongi tahu, perlawanan ibunya pada ide gila ayahnya tidak akan membuahkan hasil. Yoongi tidak mampu berkata-kata, bahkan tidak merasakan tepukan bahu yang diberikan Seokjin.

"Mengorbankan sesuatu yang suci seperti pernikahan hanya karena uang sepuluh juta dollar."

Yoongi mendongak melihat ibunya, "Uang?"

"Teman lama ayahmu meminjam uang sepuluh juta dollar dan ayahmu meminta jaminan anak perempuannya atas uang itu."

Yoongi pikir ide ini tidak akan bisa lebih gila lagi.

Benarlah sangat watak ayahnya yang tak mau berkompromi dengan apapun. Bahkan pada teman lamanya sendiri. Ayah Yoongi hanya ingin sebuah perjanjian yang sah. Dengan adanya pernikahan paksaan, maka ayah Yoongi akan merasa perjanjian itu sah. Uang sepuluh juta dollar bukan uang yang banyak bagi kepala keluarga Min, tentu saja.

"Tentu saja aku tidak akan membiarkan pernikahan itu begitu saja Yoongi." Suara kepala keluarga Min kembali terdengar. Membuat ketiga bermarga Min yang lain tersentak di tempatnya, mereka memutar kepala ke sumber suara. Kepala keluarga Min sedang berjalan masuk kembali ke ruang makan, ia duduk di tempatnya tadi.

"Aku akan memberikanmu kesempatan enam bulan untuk mengenalnya. Kemudian kau bisa menceraikannya jika kau mau. Hanya jika kau mau."

.

Hari ini akhirnya tiba. Hari dimana ia akan bertemu dengan calon istrinya. Untuk pertama kalinya. Dari awal, Yoongi tidak mengharapkan apa-apa dari calon istrinya. Ia berencana hanya akan berteman dengan calon istrinya. Calon istrinya yang juga merasa terpaksa menikah dengannya pasti tak akan keberatan. Lagi pula, enam bukan waktu yang tidak singkat. Yoongi akan benar-benar menceraikannya nanti jika mereka sepakat.

Yoongi tak mudah jatuh cinta. Ia tahu betul. Ia bahkan baru pernah mencintai satu wanita seumur hidupnya. Ia sudah bisa memprediksi kalau dalam waktu enam bulan nanti, hatinya tak akan berubah, dan akan tetap mencintai—seseorang yang seharusnya tidak ia cintai lagi.

"Namanya Son Seungwan kalau kau mau tahu." Seokjin berbisik di sampingnya. Ia dan Seokjin telah datang terlebih dahulu ke salah satu restaurant milik keluarganya, sementara ayah ibu dan keluarga calon istrinya belum juga datang.

Yoongi hanya mengangguk.

"Kau tahu, kalau aku belum menikah, mungkin ayah akan memaksaku menikah dengannya."

Yoongi mengangguk lagi.

Seokjin mendesah di tempatnya. Ia merasa ponsel di sakunya bergetar, muncul notifikasi dari chat room ayahnya.

"Mereka akan datang terlambat." Seokjin berkata lima belas detik kemudian.

"Siapa?" tanya Yoongi.

"Calon istrimu dan juga ayah dan ibu." Katanya. Seokjin mengambil daftar menu makanan dan berniat memesan terlebih dahulu. Perutnya sudah merasakan lapar sejak tadi.

"Jisoo akan datang 'kan?" Yoongi bertanya mengenai kakak iparnya.

"Tidak." Kata Seokjin, mengangkat tangannya untuk memanggil salah satu pramusaji di dekat meja mereka. "Sedang berlibur bersama Rose."

Si pramusaji mencatat pesanan makanan Seokjin dan Yoongi, lalu meninggalkan mereka berdua.

"Rose banyak mengeluh tentangmu, tau." Kata Seokjin.

Yoongi mengangkat alisnya heran. Ia sudah merasa berusaha bertingkah sabar pada sekertaris pribadinya itu. Bahkan Rose memegang rekor terlama sebagai sekertaris seorang Min Yoongi, yaitu selama delapan bulan penuh.

"Aku tidak banyak bertingkah. Kau sendiri yang bilang sekarang aku sudah berubah." Kata Yoongi.

Seokjin merotasikan bola matanya. "Tidak banyak tingkah katamu. Melempar hasil presentasinya di depan wajahnya? Mengusirnya pulang hanya karena terlambat dua menit dan bahkan dia punya alasan atas keterlambatannya? Memarahinya di tengah rapat karena salah membukakan file presentasimu? Mengumpatnya hanya karena—"

Yoongi menyumpal mulut kakak kandung yang lebih tua satu tahun darinya dengan daging steak yang baru saja datang di hadapannya.

Seokjin mendengus. Ia mengunyah dagingnya, lalu berkata, "Aku harus memberi trophy pada Rose karena bisa bertahan selama itu menjadi sekertaris pribadimu."

Yoongi mengabaikan kakaknya, sibuk melahap steak favoritnya.

"Bersikaplah lebih baik lagi—" kata Seokjin, berhenti sebentar karena Yoongi mendelik kearahnya. "—aku tidak akan menarik kata-kataku waktu itu. Waktu aku mengatakan kau sudah lebih baik. Tapi ada bagusnya kalau kau terus memperbaiki sikapmu. Setidaknya pada sekertarismu. Kau akan kewalahan tanpa sekertaris, Min Yoongi. Aku tidak mau lagi mencarikan orang untuk menjadi sekertarismu. Dengan imbalan besarpun, orang-orang langsung menghindar begitu aku mengucapkan namamu sebagai bossnya."

Seokjin tak berbohong tentang Yoongi yang sudah berubah. Yoongi memang berubah tabiatnya. Menjadi lebih normal. Lebih normal sedikit. Walaupun bagi orang-orang, perubahan Yoongi ke arah yang lebih normal ini tidak ada bedanya. Masih lebih kejam, lebih dingin dan lebih kaku dari pada orang normal lainnya. Setidaknya Yoongi tidak meninju bawahannya di depan karyawan lain karena melakukan kesalahan sepele, atau melemparkan cangkir kopi di hadapan sekertarisnya yang dulu karena takaran gula yang tidak sesuai dengan seleranya, atau menghajar klien di tengah rapat karena melecehkan track record karirnya, atau memecat karyawan magang yang tak sengaja menumpahkan kopi ke kemejanya, dan atau atau yang lain.

Intinya Yoongi sudah jauh lebih baik. Dibanding dulu. Tapi tetap saja. Min Yoongi tetaplah Min Yoongi.

"Kuharap kau bisa berkompromi dengan calon istrimu nanti." Kata Seokjin sambil melahap steaknya sendiri.

Yoongi mengedikkan bahunya. "Itu beda cerita. Selama ia tidak menggangguku."

"Jangan anggap membuatkan kopi yang rasanya tidak sesuai seleramu sebagai gangguan bagimu." Peringat Seokjin. "Dia bukan sekertarismu. Dia bukan bawahanmu. Dia bukan sembarang orang yang bisa kau perlakukan seenaknya. Dia tetaplah istrimu."

Bola mata Yoongi berotasi. "Dia istriku hanya secara teknis. Kami hanya akan tinggal di satu atap yang sama. Sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. Tidak perlu makan bersama, dia tidak perlu memasak. Tidak perlu ada sesi mengobrol antar suami dan istri. Tidak perlu mengetahui kehidupan pribadi kami masing-masing. Kami akan tidur terpisah. Hanya akan saling bertegur sapa jika perlu."

Seokjin melihat adiknya dengan jengah. "Enam bulan bukan waktu yang singkat."

"Aku tahu. Apa lagi dengan tinggal dengan orang asing di satu rumah yang sama." Yoongi meletakkan garpunya, berpikir sejenak sebelum bicara, ide aneh yang sempat terlintas di kepalanya setengah jam yang lalu. Menjadikan istrinya sebagai seorang teman. Catat bahwa Yoongi tidak mudah menganggap seseorang sebagai temannya. "Aku bisa menganggapnya teman jika ia tidak menggangguku."

Seokjin mengangkat satu alisnya, menyukai ide adiknya. Seokjin tersenyum, mendengar penuturan Yoongi tadi Seokjin bisa menyimpulkan kalau calon istri adiknya akan baik-baik saja.

"Bagaimana dengan kontrak enam bulannya?" tanya Seokjin tiba-tiba teringat.

Yoongi mengedikkan bahunya. "Aku yakin sekali aku tetap akan menceraikannya."

"Aku juga tidak berharap kau melanjutkan pernikahanmu." Balas Seokjin. "Aku sudah cukup bersyukur kalau kau bisa tidak menyakitinya."

"Tetap saja, aku tidak akan mengurus surat itu sekarang." Kata Yoongi. "Aku tidak mengharapkan apa-apa, tapi, sesuatu bisa saja terjadi."

"Maksudmu, kau jatuh cinta padanya?" Seokjin hampir terbahak.

"Tidak. Itu hampir mustahil." Kata Yoongi mengerenyit. "Mungkin saja aku sudah terbiasa dengan keberadaannya 'kan."

"Maksudmu kau akan mencoba menjalaninya lagi dengannya sebagai suami dan istri?"

Yoongi mengangguk. "Hanya jika aku sudah merasa terbiasa dan mungkin—merasa nyaman dan tidak terganggu dengannya. Hanya dan hanya jika. Walaupun hampir tidak mungkin."

Seokjin menyeringai. Dalam hati memuji tekad Yoongi untuk melupakan cinta pertamanya. Seokjin tidak pernah bisa membayangkan seorang Yoongi bisa menikah, pernikahan normal, bukan perjodohan aneh seperti ini. Tapi, berkat cinta pertama Yoongi, pikiran itu hilang begitu saja. Yoongi hampir menikahi cinta pertamanya itu, seandainya sesuatu tidak terjadi diantara mereka berdua. Bahkan sekarang Seokjin berpikir Yoongi masih ingin menikah. Memiliki keluarga sendiri, ada tempat untuk berpulang dan teman berkeluh kesah ketika matahari sudah terbenam.

Seokjin melihat Yoongi yang sedang melahap porsi kedua steaknya, dengan sorot mata seorang kakak yang sangat bangga pada adiknya. Ia menepuk bahu Yoongi, "Kau makan dengan lahap."

"Kau tau sendiri, aku tidak makan makanan sembarangan." Katanya.

Seokjin menangguk, ia melihat berkeliling dan matanya menangkap tiga sosok—sepasang suami istri paruh baya dengan satu anak perempuan mereka yang sudah dewasa, sedang kebingungan mencari meja. Seokjin otomatis berdiri, ia mendekati keluarga itu, lalu mengangguk hormat pada sang kepala keluarga.

"Tuan Son?" sapa Seokjin sopan.

Tuan Son mengangguk sambil tersenyum. "Dan kau pasti putra sulung si Min."

Seokjin terkekeh mendengar bagaimana Tuan Son memanggil ayahnya. Ia membimbing ketiga orang itu untuk duduk di mejanya dan Yoongi.

"Maaf terlambat." Kata Nyonya Son ketika mereka semua duduk.

"Tidak apa-apa." Kata Seokjin, matanya mengikuti pergerakan putri bungsu keluarga Son—calon adik iparnya, yang memilih duduk di tempat terjauh dari tempat Yoongi—persis di sebelahnya.

Yoongi yang telah menghabiskan porsi kedua steaknya, menjabat tangan suami istri Son sesopan ia bisa. Menjawab pertanyaan basa-basi dari Tuan Son, lalu matanya melihat kearah calon istrinya yang sekarang ini sedang menunduk menyembunyikan wajahnya.

Seokjin, sementara itu, tertarik dengan calon adik iparnya, tak bisa mengabaikan rasa tidak nyaman yang terpancar dari gerak-gerik tubuhnya. Seokjin yang kebetulan duduk di sampingnya, berusaha mengajaknya bicara.

"Son Seungwan?" tanya Seokjin. Seungwan yang duduk di samping Seokjin agak berjengit, ia mengangkat sedikit kepalanya, lalu tersenyum kecil. Seokjin balas tersenyum, merasa pernah melihat Seungwan di suatu tempat, tapi tidak yakin karena Seokjin tidak melihat seluruh wajah Seungwan. Perempuan itu berusaha menutupi wajahnya dengan menunduk dan membentuk tirai dengan rambut cokelat tuanya.

"Senang berkenalan denganmu, aku Min Seokjin. Kakak Min Yoongi." Kata Seokjin masih berusaha berbicara dengan Seungwan.

Seungwan mengangguk hanya untuk menyembunyikan wajahnya lagi.

Seokjin langsung berpikir Seungwan mungkin malu. Atau mungkin masih belum bisa menerima pernikahan konyol ini. Lalu Seokjin merasa maklum. Dia sendiri tak tahu mau bagaimana jika ia ada di posisi Yoongi ataupun Seungwan.

"Kau pasti gugup 'kan." Kata Seokjin. "Air dingin bisa membuatmu lebih rileks." Seokjin menyodorkan sebotol air mineral dingin yang belum tersentuh sama sekali.

Seungwan menerimanya sebelum melirihkan ucapan terimakasih, ia kesulitan membuka tutup botol tersegel itu. Sebelum terbuka, sebuah tangan terulur melewati Seokjin mengambil botol itu, tangan putih pucat itu membuka tutup botol itu dengan sangat mudah.

Tangan putih pucat—Min Yoongi mengembalikan botol yang sudah terbuka itu ke Seungwan. Ia membungkuk untuk menyerahkan botol itu, baru benar-benar melihat wajah calon istrinya yang bernama Seungwan, yang ternyata—wajahnya sangat familiar.

Yoongi teringat sesuatu mengenai masa kuliahnya delapan tahun yang lalu. Kemudian wajah Seungwan memenuhi kepalanya.

"Seungwan. . . ." bisik Yoongi hampir terbata.

Wajah Yoongi tampak seperti habis dipukul sesuatu. Rahangnya jatuh ke bawah, dan matanya membulat sempurna. Botol itu terjatuh ke lantai dengan debam keras sebelum Seungwan sempat menerimanya.

Seungwan meringis, ia menggigit bawah bibirnya kuat-kuat, hampir menangis.

Sementara itu Seokjin belum paham dengan apa yang terjadi diantara adiknya dan Seungwan. Ia melihat wajah Yoongi yang tampak ingin menghajar sesuatu, umpatan sangat kasar pasti sudah berada di ujung bibirnya. Seokjin dapat merasakan Yoongi menekan dua keinginan itu kuat-kuat, rahangnya mengeras dan wajahnya memerah, memendam kemarahan yang bisa meledak kapan saja.

Yoongi akhirnya hanya menyeringai. "Kau ternyata."

Seokjin yakin lebih baik ia melihat Yoongi menghajar sesuatu atau mengumpat siapa saja dari pada harus melihat seringai mematikan adiknya. Sesuatu telah terjadi dan Seokjin yakin itu adalah sesuatu yang buruk.

.

.

.

It's been 2 months and. . . . T.T I m so busy T.T

by the way, happy reading :)


Thanks for coming, thanks for commenting, thanks for voting :) Loveyaaa.

Continue Reading

You'll Also Like

56.6K 4.1K 27
Love and Enemy hah? cinta dan musuh? Dua insan yang dipertemukan oleh alur SEMESTA.
75.6K 3.3K 49
Almeera Azzahra Alfatunnisa Ghozali seorang dokter muda yang tiba-tiba bertemu jodohnya untuk pertama kali di klinik tempatnya bekerja. Latar belakan...
477K 5K 86
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
38.2K 4.9K 43
[DISCLAIMER!! FULL FIKSI DAN BERISI TENTANG IMAJINASI AUTHOR. SEBAGIAN SCENE DIAMBIL DARI STREAM ANGGOTA TNF] "apapun yang kita hadapi, ayo terus ber...