CLAIR [Sudah Terbit]

By AryNilandari

181K 34K 9.6K

Seorang gadis clairtangent. Sesosok kenangan yang dihidupkan. Seorang pemuda yang luput dari kematian. Dan se... More

Dear All
Chapter 1
Chapter 2
Soundtrack CLAIR
Chapter 3
Chapter 4
Interlude: Struk Cozy Corner
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Interlude: Potongan Tali Sepatu
Chapter 8
Trivia CLAIR
Chapter 9
Chapter 10 (a)
Chapter 10 (b)
Interlude: Robekan Agenda 1 Januari
Chapter 11 (a)
Chapter 11 (b)
Chapter 12 (a)
Chapter 12 (b)
Chapter 13 (a)
Chapter 13 (b)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (a)
Interlude: Dua Helai Bulu Angsa (b)
Good News, Clairmates!
Chapter 14 (a)
Chapter 14 (b)
Tebak Plot CLAIR Berhadiah
Chapter 15 (a)
Chapter 15 (b)
Chapter 16 (a)
Chapter 16 (b)
Chapter 17 (a)
Chapter 17 (b)
Chapter 17 (c)
Chapter 18 (a)
Chapter 18 (b)
Chapter 18 (c)
Chapter 19 (a)
Chapter 19 (b)
Chapter 19 (c)
Chapter 20 (a)
Chapter 20 (b)
Chapter 21 (a)
Chapter 21 (b)
Chapter 22 (a)
Chapter 22 (b)
Chapter 23 (a)
Chapter 23 (b)
Pengumuman Pemenang Tebak Plot Clair
To Conclude with a Promise
Random Notes Jelang Terbit
TETRALOGI CLAIR
Mari Mengulang bersama Rhea
19.09.19

Prelude

10.1K 1K 444
By AryNilandari


Hati-hati dengan tangan kananku. Sentuhannya menghidupkan kenangan, menyadap rahasia terdalam ... termasuk milik mereka yang sudah tiada.

Kuletakkan tangan di pangkuan dengan rapi. Sarung tanganku baru, dusty pink dengan pita kecil. Aku tidak suka warnanya. Tapi bahannya lembut dan nyaman. Khusus dipesan Tante Fang dari butik. Tidak murah. Untungnya mampu meredam serbuan kenangan yang tidak diinginkan.

"Clair ...." Tante Fang memanggilku dari seberang meja panjang.

Aku mendongak. Bahasa tubuhku bilang, aku-sudah-siap-bahkan-sejak-kemarin.

Tante Fang menyeringai singkat, dan mulai bersikap resmi sebagai Inspektur Polisi Satu (Iptu) Marie Faradila. Ia menepuk map di meja, meminta perhatian tiga orang yang duduk di sebelah kanan dan kirinya. "Baiklah, surat kesepakatan sudah ditandatangani. Segala sesuatu yang dibicarakan dan terjadi di sini, tidak keluar dari sini. Kalian tahu konsekuensinya kalau membocorkan keberadaan Clair. Terutama Nona Sylvana, sebagai advokat, bertanggung jawab menjamin perjanjian ini dipatuhi oleh klien Anda. Sekarang kita mulai."

Tante Fang tidak pernah berhenti membuatku kagum. Wanita jelang usia 30 tahun yang cantik, sigap, tegas, dan selalu dapat mengendalikan situasi secara profesional. Tidak lupa memamerkan senyum khas dengan taring kanan atas yang lebih panjang dari normal. Dari situlah nama "Fang" dipopulerkan, menggantikan "Fara". Walau hanya mereka yang benar-benar dekat saja yang berani memanggilnya demikian.

"Enggak usah terlalu formal, Fara, kita kan teman lama." Lelaki bernama Alamsyah tertawa, gugup. Istrinya tersipu. Sementara Advokat Sylvana mengangguk-angguk dengan dagu terangkat. Luar biasa profesi pengacara itu, sepertinya harus mampu melakukan dua hal bertentangan secara serempak.

"Justru karena kita teman lama," sahut Tante Fang datar. "Aku tidak tahu kalian seperti apa sejak lulus SMA hingga minggu lalu kita bertemu lagi. Kalian hanya beruntung, Clair mau membantu setelah kujelaskan masalah itu kepadanya."

Clair itu kode namaku, dan situasi seperti ini bukan yang pertama. Tugasku adalah mencari petunjuk, jejak, dan bukti yang tak kasatmata dalam kasus-kasus buntu. Aku bekerja secara rahasia karena bakatku sulit diterima nalar biasa. Masuk ke ranah paranormal, atau fiksi ilmiah, bagi sebagian orang. Aku seorang clairtangent, mampu menangkap peristiwa di masa lalu lewat sentuhan telapak tangan pada objek yang terlibat di dalamnya.

Prosesnya begini: Setiap objek, hidup atau mati, menyimpan "memori" tentang kejadian yang "dialaminya". Getaran memori itu bisa sangat kuat kalau keterlibatannya juga kuat. Telapak tanganku mampu menangkap getaran itu, lalu mengirimnya ke otak. Mata batinku pun terbuka dan melihat penampakan kejadian yang terekam si objek.

Freaky? Begitulah. Indigo dengan indra keenam? Bisa dibilang begitu. Tapi tidak ada kaitan sama sekali dengan dunia mistis dan makhluk-makhluk gaib.

"Clair, silakan." Tante Fang memanggilku dengan begitu wajar, seolah Clair benar-benar namaku. Sembunyikan identitas asli, bicara seperlunya, tutupi mukamu, duduklah di ujung meja untuk jaga jarak. Itu prosedur pengamanan dari Tante Fang setiap kali aku menangani kasus dan berhadapan dengan orang asing.

Aku menyentuh masker di muka, masih rapi. Bersama tudung hoodie yang menutup kepala, aku terlindung sempurna. Tidak ada kontak mata yang tidak perlu dengan tiga orang di seberang meja. Sekilas pandang saja cukup untuk tahu, mereka cemas tapi berusaha keras bersikap tenang. Fokusku sekarang adalah objek tepat di depanku. Ada telepon cerdas, surat di dalam amplop tertutup, cincin emas perempuan, dan sapu tangan dengan cap bibir.

Ponsel itu milik Pak Alamsyah. Pernah mengirimkan beberapa pesan cinta untuk seseorang tanpa nama. Terbaca oleh sang istri yang kemudian menuduhnya selingkuh. Pak Alam membantah. Katanya, ponsel itu pernah tertinggal di ruang rapat, mungkin telah digunakan orang yang tidak bertanggung jawab. Nomor si anonim tidak bisa dihubungi.

Benda kedua adalah surat yang ditulis oleh kakak Bu Alam. Isinya kesaksian tentang perselingkuhan Pak Alam. Baru ditemukan Bu Alam belum lama ini. Sayangnya, tidak mungkin dikonfirmasi karena kakak Bu Alam telah meninggal dunia sebulan lalu.

Sementara cincin dan sapu tangan itu ditemukan di tas kerja Pak Alam. Lelaki itu mengaku tidak tahu bagaimana benda-benda itu bisa ada di dalamnya.

Benarkah ini kasus perselingkuhan atau hanya fitnah keji untuk menghancurkan rumah tangga mereka? Apa pun itu, kedengaran kayak sinetron banget. Aku sempat tertawa waktu Tante Fang menceritakan kasus teman-teman SMA-nya ini. Tapi aku mau membantu mereka mencari kejelasan. Bersama anugerah kekuatan dan bakat, ada kewajiban dan tanggung jawab.

Aku melepaskan sarung tangan kanan, memaparkan kulitku yang pucat. AC sengaja disetel rendah karena saat berkonsentrasi, aku sering kepanasan dalam balutan hoodie dan masker.

"Sepertinya Clair masih sangat muda," kata Advokat Sylvana mengejutkan. Suaranya terlalu keras untuk jarak tiga meter kami. Tanganku yang sudah terulur berhenti di atas ponsel. "Berapa usiamu anak manis? Tujuh belas?"

Aku melirik Tante Fang, yang kemudian memberi pengacara itu teguran tajam.

"Aku hanya kasihan kalau gadis semuda Clair harus terpapar cerita-cerita seperti ini. Jiwanya bisa terguncang. Apakah Anda memikirkan perkembangan psikologisnya, Iptu Fara?"

Tante Fang hanya mendengkus. Tidak terprovokasi. "Lanjutkan, Clair," katanya.

Aku menyapukan telapak tangan sekitar lima sentimeter di atas ponsel, sekadar mengukur getaran yang dipancarkan benda itu. Harus hati-hati, jangan asal sentuh atau pegang. Dalam beberapa kasus, sebuah benda bisa sangat kuat menghantamku dengan informasi. Contohnya, alat-alat yang digunakan untuk melukai dan membunuh. Advokat Sylvana benar, penampakan kekerasan seperti itu dapat membahayakan aku. Tidak hanya terasa nyata di depan mata, tapi juga dapat mengguncang isi kepalaku. Hati-hati aku membaca ponsel Pak Alam.

Tapi bahkan saat kugenggam, benda itu tidak menampilkan jejak-jejak perselingkuhan. Murni digunakan Pak Alam untuk komunikasi bisnis dan keluarga. Hanya di suatu waktu, ada lelaki lain yang kuduga office boy, diam-diam menggunakannya untuk mengirim pesan kepada sang kekasih.

"Apa kubilang?" kata Pak Alam kepada istrinya saat kuberitahu penampakan yang kudapatkan.

"Tapi Kakak yakin benar melihatmu menggandeng wanita lain," sahut istrinya, dengan mata berkaca-kaca.

"Kak Ina sudah lama sakit. Kata dokternya, kanker bisa mengganggu ingatan. Buktinya, ia lupa mengirimkan suratnya kepadamu. Kalau kamu enggak bongkar-bongkar barang peninggalan Kak Ina, enggak akan ada masalah ini." Pak Alam berbicara dengan halus, sambil mengelus bahu istrinya.

Entah kenapa, aku jadi muak. Sebetulnya, mudah saja buatku mencari bukti. Pegang tangan orang itu, seketika akan jadi jelas. Tapi itu melanggar etika privasi yang kucanangkan sendiri. Lagipula, aku tidak mau membaca riwayat hidup orang tanpa alasan kuat.

Kulanjutkan tugas dengan meraba cincin dan sapu tangan bernoda lipstik terlebih dulu. Aku menduga, dua benda ini sengaja dimasukkan orang ke dalam tas kerja Pak Alam. Tindakan terencana untuk menguatkan fitnah. Ya, benar, pelakunya seorang wanita. Kugenggam benda-benda itu, kupejamkan mata agar penampakannya lebih luas, lebih jelas. Terjadi di sebuah restoran. Hotel. Wanita itu berseragam, nama di dadanya tidak jelas karena tertutup ujung scarf. Rambut digelung rapi. Wajahnya manis. Resepsionis? Sekretaris? Entahlah. Setelah memasukkan benda-benda itu ke dalam tas Pak Alam, wanita itu membereskan roknya. Memegangi saku sebelah kanan yang menggembung oleh amplop tebal. Kuduga, berisi uang. Bibir merahnya tersenyum bangga karena tugas sudah dilaksanakan dengan baik. Tidak ada orang lain di sekitarnya.

Kusimpan dulu fakta itu, tanganku beralih pada surat. Kuabaikan tiga orang klien yang memandangku dengan berbagai ekspresi. Lalu aku membuat kesalahan dengan memegang langsung amplop itu. Segala rasa sakit, duka, dan putus asa penderita kanker menjalar dari tangan ke kepalaku. Aku terperenyak di kursi. Napasku memburu. Mataku basah tanpa bisa kucegah. Aku dikuasai emosi si pemilik surat yang tahu ajalnya segera datang.

Tante Fang meninggalkan kursinya untuk mendekatiku. "Perlu break?"

Aku menggeleng. Dengan tangan kiri kujauhkan surat tanpa kubuka. "Bu Alam, nama kakak Anda, Inayah Adelia. Waktu kecil, Anda memanggilnya Dei, nama yang tidak disukainya. Beda usia tujuh tahun. Merawat Anda sejak kecil dengan kasih sayang melebihi ibu kalian. Bu Inayah tidak pernah menikah, mempunyai bisnis katering yang sukses dan akan diwariskan kepada Anda dengan syarat---"

"Enggak ada yang tahu panggilan itu selain aku!" Bu Alam menukas, penuh selidik menatapku. Lalu menangis sesenggukan. "Kak Ina tidak pernah memberitahu aku soal sakitnya sampai semuanya terlambat."

Pak Alam hendak merangkulnya tapi wanita itu berdiri, mengedarkan mata ke sekeliling. Suaranya bergetar. "Apakah dia ada di sini? Bisakah aku bicara dengannya?"

Aku mendengkus pelan. Pertanyaan yang terlalu sering kudengar. "Tidak. Aku bukan cenayang atau medium arwah. Aku membaca rekaman kenangan pada benda yang dipegangnya. Surat itu. Ditulisnya di pinggir pantai, tempat ia tetirah."

"Itu pasti vila yang dibelinya dadakan dan enggak bilang-bilang. Apa lagi? Clair, katakan semua yang bisa kamu lihat!" Bu Alam sudah bergerak meninggalkan kursinya. Tante Fang dengan sigap mengadang.

Drama. Terlalu banyak drama. Aku tidak suka. Harus segera diakhiri. Kupegang lagi surat itu sambil menahan emosi yang kembali menghantam. "Bu Ina menulis tiga lembar. Dua lembar pertama menceritakan kesaksiannya. Benar, ia melihat Pak Alam berlibur di pantai. Bersama---" Aku tertegun dan menoleh cepat kepada Advokat Sylvana. Wajahnya mirip dengan wanita dalam penampakan. Reaksiku bermakna besar bagi ketiga orang itu.

"Ternyata kalian---" Bu Alam menutup muka dan menangis lagi.

Advokat Sylvana berdiri, membuka dan menutup mulut tanpa sepatah kata pun keluar. Pak Alam menatapku marah. "Anak ini mengarang-ngarang! Apa buktinya? Kita buang-buang waktu saja. Ayo, pergi!"

"Tunggu!" kataku. "Lembar terakhir surat Bu Ina enggak ada di dalam amplop. Isinya nasihat untuk Bu Alam. Bu Ina tahu benar apa yang dilakukan adiknya bersama manajer katering. Ia sangat kecewa dan hendak menghapus nama kalian berdua dari daftar ahli waris. Sesuai kesepakatan semula, siapa pun yang berselingkuh, enggak layak menerima kekayaannya. Kakak Anda sudah menghubungi pengacara untuk mengubah surat wasiat ...."

Raungan terluka dan Teriakan marah entah dari siapa memicu reaksi berantai. Tante Fang berdiri di depanku, siap melindungi. Dua polisi anak buahnya menerobos masuk, memaksa ketiga orang itu keluar ruangan. Tante kemudian berbalik, tidak menyentuhku. Pandangannya saja yang menyalurkan rasa aman.

"Kamu oke, Rhea?"

"Tentu. Enggak seberapa dibandingkan yang dulu-dulu."

Tante mendecak. "Tetap saja ...." Telepon di ruangan berdering. Panggilan untuk Tante dari atasannya. Ia masih sempat memastikan lagi aku baik-baik saja, lalu meninggalkan aku sendirian.

Aku masuk ke restroom, melepaskan masker dan hoodie. Keringat bercucuran. Kutatap pantulan wajahku pada cermin. Muka tirus, kulit pucat, mata berkantong, dibingkai rambut ikal kusut. Aku mendesah. Satu kasus selesai. Ini termasuk yang mudah, karena benda terkait masih menyimpan koneksi kuat dengan masa lalu. Dalam kasus lain, aku tidak seberuntung ini, saat memori objek sudah memudar.

Nama asliku Rhea Rafanda, kelas 12 di Darmawangsa Internasional High School. Sudah lima tahun menjalani tugas seperti ini. Macam-macam yang pernah kulihat dan kudengar, hal-hal yang tidak dapat diketahui hanya dengan indra biasa. Setiap kalinya selalu membuatku ingin membersihkan diri, minimal membasuh tangan dan muka dengan air mengalir. Aku suka melakukannya berlama-lama.

"Ini." Tante Fang sudah kembali, membawakan ranselku. Ada handuk bersih di dalamnya. "Aku tetap enggak ngerti, gimana air bisa menghapus kenangan yang kamu lihat melalui sentuhan. Kalau memang bisa, orang-orang yang patah hati tinggal mandi, langsung lupa."

Nadanya membuatku tertawa. "Memang enggak seperti itu, Tan. Memori enggak seperti kotoran di tangan yang bisa dihilangkan. Tapi air membantu otakku agar lebih mengingat kesegaran dan kebersihan. Apa yang tadi kulihat jadi lebih mudah kulupakan." Aku kembali memakai hoodie dan sarung tangan. Memasukkan masker ke dalam saku. "Tante sih, setiap kali aku kasih penjelasan ilmiah tentang otak dan clairtangency, pasti tidur."

Tante Fang meringis. Mengetuk kepalanya sendiri. "Sudah terlalu sesak dengan segala macam kasus." Lalu pandangannya berubah penuh sesal.

"Pasti mau batalin rencana kita nonton sore ini," kataku santai. Sudah biasa.

"Maaf, Rhe. AKPRI memintaku bicara dengan pendemo sebentar lagi. Mereka sudah nyaris kemping di depan kantor seminggu ini. Enggak bisa dicuekin rupanya. Dua orang saja sudah bikin pusing. AKPRI khawatir, kalau enggak segera diatasi, mereka akan menarik massa dan lebih sulit diajak diskusi."

"Sama sekali enggak masalah kok, Inspektur." Aku menghormat resmi. "Tenang saja. Aku bisa baca buku saja di rumah."

Tante Fang geleng-geleng. "Hari libur, kamu harusnya hang out sama teman-temanmu."

Aku hanya angkat bahu. Topik berbahaya, harus segera dialihkan. "Atau aku temani saja Tante ketemu mereka? Cuma dua orang kan? Siapa tahu aku bisa bantu? AKPRI tahu kok aku ada di sini. Malah sempat bilang tadi, selalu senang lihat aku." Faktanya, aku juga senang berada di sini, asalkan tidak menyentuh apa pun. Ajun Komisaris Polisi Riyadhi, atau biasa dipanggil dengan singkatan AKPRI, adalah atasan Tante yang punya dua wajah berbeda. Tegas berwibawa bagi anak buahnya, tapi diam-diam ramah dan kocak di depanku. "Aku membuat kantor polisi ini serasa rumah yang ramah anak, katanya."

"Astaga!" Tante Fang tertawa. Lalu menengok arlojinya. "Sudah Ashar. Shalatlah dulu! Oh ya, aku bakal pakai ruang interogasi. Nanti kamu duduk saja di ruang pengamatan. Aku panggil kamu kalau perlu."

"Siap!"

Tante Fang meninggalkanku. Lima belas menit kemudian, aku menyusulnya ke ruangan di ujung lorong. Tante masih sendirian, duduk di satu-satunya meja di tengah ruangan. Sedang mempelajari berkas-berkas. Ada cermin dua arah di dinding, dan ruangan gelap di sebaliknya. Di sanalah Tante menyuruhku menunggu. Tidak boleh menyalakan lampu.

"Apa yang mereka tuntut, Tan?" tanyaku. "Cuma penasaran. Dua orang gitu loh. Pede amat."

"Polisi diminta membuka lagi kasus kematian teman mereka."

Saat itu terdengar langkah-langkah mendekat dan orang-orang berbicara.

"Kamu tidak harus menunggu, Rhe. Kalau bosan, pulang saja," kata Tante Fang.

Aku mengangguk. Buru-buru beranjak ke ruang pengamatan. Menutup pintu rapat-rapat. Dari kaca, aku bisa melihat dua pendemo itu datang diantarkan polisi.

Ada yang familier pada kedua mahasiswa itu. Aku mendekat ke kaca, mengamati punggung mereka. Laki-laki dan perempuan. Berharap mereka menoleh. Tante Fang mempersilakan mereka duduk. Tapi yang perempuan tiba-tiba berbalik dan berjalan ke arah cermin. Suaranya jelas terdengar dari sisiku.

"Ini dua arah, kan? Kayak di film-film? Sisi sini jadi cermin. Sementara di sebaliknya, kaca tembus pandang, mereka bisa lihat dan mendengar kita."

"Memangnya ada pengamat di sana?" Yang laki-laki juga maju, mendekatkan muka, mencoba mengintip.

Aku mundur dua langkah. Terkejut, bukan karena khawatir terlihat, tapi karena dugaanku benar, wajah mereka kukenali.

Riviera Ricci dan Chandrawinata Keiran. Alumni Darmawangsa International High School. Kakak-kakak kelasku. Sahabat-sahabat Aidan Narayana.

"A-a-aidan ...." Bibirku mengejakan nama itu terpatah-patah. Nama yang memelintir jantungku setiap kali mengingatnya. Nama yang memberi corak dan warna pada mimpiku sejak aku masuk SMA. Nama yang masih menyisakan kerinduan hingga sekarang.

Nama yang menggerakkan dua sahabatnya itu untuk mendemo polisi.

... setelah tiga bulan kepergiannya.







Continue Reading

You'll Also Like

22.9K 2.1K 10
# ONGOING Jake Shim adalah siswa yang baru saja pindah ke Future Perfect High School. Ia menyadari bahwa kelas yang ia tempati sekarang terlihat begi...
91.9K 10K 61
Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan penyebab tewasnya Jun karena overdosis, bah...
35.8K 2.7K 30
~Bayangan Mafia di Balik Kerudung~ Semua bermula ketika seorang pria tampan yang terluka di sekujur tubuhnya, di temukan tidak berdaya di belakang...
271K 52.2K 54
(Completed) (BOOK 1 & 2) Diawali penjarahan dan pembunuhan berantai di Jakarta. Kalea, mantan kadet pembunuh terlatih, bergabung dengan organisasi...