Ten Rumors about the Mute Girl

By fibiway

264K 26.7K 2.3K

Orang-orang bilang ada gadis bisu di rumah itu. Dan akhirnya aku tahu bahwa itu benar setelah kejadian dimana... More

0.0 | copyright
epigraph
prologue
1 | people said, the house is haunted
2 | people said, she is from the other city
3 | people said, the carpenters have often moved house because 'she' is mute
4 | people said, they are anti-social family
5 | people said, Julia is a whiny girl
6 | the beginning
7 | the warming party
8 | why Mrs. Carpenter gets mad?
9 | the taro flavor
10 | Seth, the stalker
11 | Seth and the truth
12 | why Mrs. Carpenter gets mad? (pt.2)
13 | a middle-aged man asked us about the Carpenters' house
14 | what the hell?
15 | she; a gone girl
16 | ten rumors about the mute girl and her family
17 | Mom said that she will try
18 | but Mom never trying
19 | the Carpenters' truth
20 | a girl who was slapped
21 | what happen; why Penelope calling?
22 | Julian
24 | stupidity
23 | a big confusion
25 | a stranger
26 | he is the hero, again
28 | she said she really sorry for her father
29 | the day with them
30 | a ticket, to Iceland
31 | me, and the sun, and the girl-who-will-go to reach her dream
32 | the truth, but not the whole truth
33 | the truth happened later, i think it's the end
34 | too late to say goodbye
35 | everything's back to normal, like when the girl has not come yet
36 | new neighbor, isn't it?
37 | yeah, they are gone
38 | a diary
39 | page 1, 30 November
40 | page 2, 3 December
41 | page 3, 10 December
42 | page 4, 12 December
43 | page 5, 15 December
44 | page 6, 28 March
45 | page 7, 30 March
46 | page 8, 31 March
47 | page 9, 3 April
48 | page 10, 30 May
49 | "nothing ever goes away..."
50 | "...until it teaches us what we need to know."
epilogue
[ author's note ]

27 | Herbert Carpenter

3.4K 393 28
By fibiway

Selasa pagi, aku absen. Mom bilang memarku cukup-sangat-parah hingga ia bergidik ngeri saat melihat muka anaknya sendiri terlalu banyak bonyok di sana-sini. Mom melarangku berangkat sekolah ketika aku baru saja selesai mandi sebelum akhirnya berujung di meja makan, dengan mulut penuh sayuran. Seth juga tidak perlu repot-repot membawakan surat izin ke kelasku sebab Mom dengan percaya dirinya telah menelepon Mr. Frost setengah jam yang lalu dan bicara pada Mr. Frost—lelaki di seberang telepon—bahwa aku sedang demam tinggi.

Seth dan Dad sudah berangkat sekitar satu jam lalu sementara sekarang sudah pukul delapan, sehingga hanya ada Mom dan aku di ruang makan saat ini. Kusadari Mom yang begitu berambisi mengambilkan sesendok penuh salad ke piringku padahal aku yakin benar ia tadi juga sudah melihatku mengambil lima sendok yang mana telah kuhabiskan sepenuhnya.

Kubilang, "aku sudah kenyang," tapi Mom justru menyendok dua sendok lagi lalu menaruhnya di piringku.

Mom berkata, "Kau harus makan, setidaknya cukup sampai nanti siang karena kau harus diinterogasi—"

"A-Apa?!" Interogasi apa?

Bukannya langsung menjawab, Mom bergumam seolah kebingungan melihatku ternganga karena ia memberiku tatapan hei, bukan itu maksudku. Mom bilang, katanya, hari ini aku akan dimintai sedikit keterangan mengenai kejadian kemarin. Ah, sial. Apakah yang dimaksud adalah lelaki misterius di Jalan Kirkwood Avenue yang menonjokku secara tiba-tiba kemarin?

Aku pikir, kemarin bukanlah masalah besar karena justru aku—dimana posisiku adalah sebagai korban—malah sudah mau berniat melupakan kejadian itu. Jadi, siapa peduli? Mom hanyalah sangat naif karena mau repot-repot mengurusi masalah itu.

"Aku pikir aku harus istirahat saja di rumah Mom," pintaku, dan ini terdengar seperti anak kecil yang merengek minta pulang pada ibunya. "dan juga, aku sudah memaafkan lelaki itu meskipun maaf secara tidak langsung dan hanya lewat diriku sendiri terhadap diriku. Mungkin pria itu mengidap—sesuatu semacam—penyakit kejiwaan atau sejenisnya."

Mom yang sedari tadi duduk berseberangan denganku kini mendekat. Seraya mengucir rambut cokelat bergelombangnya, dia bilang, "Tidak. Julian bilang, pria itu cukup waras dan tidak mabuk."

Astaga, Julian lagi-lagi sok-sokan mengurusi hidupku padahal aku saja masa bodoh dengan pria misterius di Jalan Kirkwood Avenue kemarin. Dan aku mendengar Mom mengatakan cukup waras yang terdengar menjijikkan, seakan-akan pria yang menonjokku kemarin adalah benar-benar sinting.

Karena aku sudah bosan bicara dengan Mom—dimana pasti tidak akan pernah berhasil membujuknya karena, apa yang Mom mau adalah apa yang terjadi kemudianaku pun beranjak dari kursi. Kubilang, "Terserah kau saja, Mom. Yang penting aku mau tidur sekarang," lalu naik ke kamarku di lantai atas.

---

Pria bertubuh jangkung itu memasuki ruangan. Kudapati rupanya ia benar-benar tinggi hingga kepalanya nyaris menyentuh kerangka pintu bagian atas. Perlahan tapi pasti, ia berjalan ke arahku, ke arah meja yang diposisikan tepat di tengah ruangan berukuran kira-kira 3 kali 3 meter.

Lima menit lalu, staf kepolisian yang duduk di meja resepsionis di lobi depan menyarankanku agar menunggu di ruangan yang tidak-terlalu-gelap namun cukup-sempit ini. Staf itu juga bilang, aku akan ditanyai sedikit mengenai penjahat misterius kemarin. Sementara aku diinterogasi, Mom menunggu di lobi luar.

Oh, persetan dengan semua ini. Orang-orang hanya akan terus-menerus membesar-besarkan setiap masalah kecil sementara sesuatu lain yang bahkan lebih serius malah terabaikan.

Pria yang kukenali sebagai Sheriff Marley itu duduk di hadapanku. Sialnya, dia sempat mendapati diriku setengah ketakutan di kursiku. Ah, ya. Ini baru pertama kalinya aku masuk kantor polisi sepanjang hidupku. Sebenarnya aku ingin mengumpati Mom—terlepas dari kenyataan bahwa ia adalah ibuku—karena telah membawaku ke sini.

Sheriff Marley berdeham (seperti yang kebanyakan orang dewasa lakukan) lalu pria itu membenarkan posisi duduknya dengan maju beberapa senti dari kedudukan awal. Aku tidak yakin benar apakah ia tersenyum kecut ataukah tulus kepadaku karena kulit cokelatnya—maksudku, itu benar-benar pekat warnanya dan malangnya aku jarang berinteraksi dengan orang kulit hitam.

Pria itu memperkenalkan diri kemudian memulai percakapan dengan serentetan basa-basi tidak penting di hadapanku. Bahkan, sampai menyinggung sekolahku juga meskipun itu hanya sekilas. Aku mulai bosan dengan percakapannya dan kuberi ia tatapan oh tidak penting, baiklah, ya ya ya.

Sebelum memulai ke topik utama, Sheriff Marley sempat bilang bahwa aku jangan sampai mengada-ada atau mengarang cerita sendiri. Kujawab ya, lantas pria itu bilang, "Baiklah langsung saja ke topik, MacMillan," tiba-tiba pria itu berkata demikian yang membuatku membenarkan posisi duduk agar tidak melorot lagi. Tanyanya, "Kau ingat bagaimana wajah orang yang menyerangmu kemarin?"

Aku berpikir sejenak, lalu kubilang, "Kurasa aku lupa—maksudku, wajahnya tidak jelas."

"Apakah kau memberikan perlawanan?"

Aku mengangguk, "Ya."

"Di mana adikmu ketika kau diserang?"

"Dia ... kupikir dia menjauh ke dekat pagar saat aku tersungkur."

"Apakah adikmu mencoba melawan pria itu?"

"Tidak. Kusuruh dia kabur dan dia melakukannya."

"Julian menolongmu ketika adikmu telah kabur. Dan, apakah kau ingat—"

"Tunggu, Julian?"

"Ya. Apakah kau ingat bagaimana situasi Julian saat dia dan pria itu berkelahi?"

"Entahlah. Aku merasa sangat pusing kala itu. Kepalaku berdenyut hebat. Aku tidak memperhatikan mereka berkelahi."

Sepersekian detik, Sheriff Marley bergeming, lalu menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Bergeming lagi selama hampir lima detik sebelum akhirnya mengangkat punggungnya ke depan, memajukan sorot pandangannya tepat ke arah mataku. Tajam dan sangat berarti. Katanya, "Kutanya sekali lagi, bagaimana ciri-ciri pria itu?"

Aku terdiam. Jika ditanya bagaimana ciri pria itu, yang bisa kuingat adalah saat dimana kemarin aku menoleh ke belakang, mendapati pria bertopi dan berkacamata hitam berada tidak kurang satu meter dari tempatku dan Seth. Kukatakan pada Sheriff  Marley, sungguh aku hanya bisa tahu bahwa pria kemarin bertubuh gempal, berkacamata, dan bertopi. Selebihnya, aku tidak tahu—maksudku, tidak ingat. Pakaiannya saja cukup aneh—semuanya serba hitam sampai-sampai semua kulitnya tidak kelihatan.

Tahu-tahu, Sheriff Marley bertanya padaku, melenceng jauh dari topik, dan itu soal seseorang yang tinggal di samping rumahku, "Herbert Carpenter. Kau mengenalnya, bukan?" Ada jeda beberapa detik berselang sebelum akhirnya Sheriff berkata lagi, "bagaimana dia? Bagaimana ciri-ciri pria itu?"

Rasanya aku ingin mengumpati kepala kepolisian ini karena nada bicaranya mencurigakan ketika ia tiba-tiba menyebutkan nama Herbert Carpenter yang bahkan tidak ada hubungannya sama sekali dengan masalah ini. Ya, Herbert Carpenter adalah ayah Julia—yang selama ini kukenal dan kutemui hanya saat aku berteman dengan Julia.

Kubilang pada Sheriff bahwa aku tidak begitu mengenal Herbert Carpenter secara langsung dan intens. Kujelaskan bahwa ciri fisik Herbert Carpenter yaitu bertubuh agak besar tinggi dan berambut cokelat tua. Kulitnya putih—ras kaukasoid. Kubilang aku hanya bertemu padanya ketika berkunjung ke rumahnya dan menjenguk Julia di rumah sakit, serta hanya pada saat-saat tertentu. Kukatakan juga bahwa mungkin pria itu sibuk karena jarang kulihat dia berkeliaran di sekitar perumahan meski hanya di depan rumah.

"Anda tidak sedang berusaha mencari kemungkinan bahwa tetangga yang rumahnya paling dekat denganku itu adalah pria yang menonjokku kemarin, bukan?"

Sheriff Marley terkekeh. Aku jadi dongkol dengannya karena dia seperti meremehkanku. Namun, tak kusangka, pria itu berkata, "Sayangnya Herbert Carpenter memanglah pelakunya. Julian yang melihat sendiri. Ia hanya akan diinterogasi. Setidaknya ia tidak akan dipenjara karena perbuatannya bukan pelanggaran yang berat terhadap anak kecil serta kenyataan bahwa kau juga sudah tidak dikategorikan ke dalam anak kecil lagi. Kau sudah tujuh belas, bukan?"

"A-apa-apaan?!" aku ternganga mendengar penjelasan panjang Sheriff Marley. "Lalu jika sudah diketahui pelakunya, apa tujuan Anda meminta keterangan padaku?"

Sheriff Marley tersenyum mencurigakan. "Hanya memastikan saja. Dan oh, ibumu sampai memberiku uang untuk mencari siapa pelakunya," ujarnya lalu terkekeh.

Emosiku memuncak karena mendengar tawanya yang licik karena seolah-olah, di sini Sheriff Marley-lah yang jahat, bukan Tuan Carpenter. Aku buru-buru mengucapkan permisi sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan ruangan, meninggalkan Sheriff Marley bersama tawanya.

Baru saja kututup pintu ruang interogasi ketika aku keluar dari situ dan kudapati suara ribut-ribut dari arah lorong lobi. Astaga, kurasa itu adalah suara Mom di salah satunya.

Cepat-cepat aku menuju lobi, dan benar, Mom tengah melontarkan kata-kata umpatan pada seorang pria di hadapannya. Kukenali pria itu adalah ... astaga, Herbert Carpenter!

Kudengar Herbert Carpenter sempat meminta maaf, "Maafkan saya, saya sungguh mint—"

"Tidak ada gunanya meminta maaf! Lihat putraku!" Rupanya Mom telah menyadari kehadiranku berdiri mematung karena rupanya, Mom menunjuk-nunjuk ke arahku. "Lihat putraku! Dia jadi begitu gara-gara kau! Sialan sekali keluargamu. Pantas saja kalian tidak pernah diterima di perumahan mana pun karena perbuatanmu saja begini terhadap tetanggamu sendiri," ujar Mom, penuh kekuatan di setiap kalimat-kalimatnya. Sungguh aku ingin menangis melihat Mom-ku bicara kasar seperti itu kepada orang lain yang sudah berusaha meminta maaf. Rasa-rasanya, Mom-lah yang kini bersalah.

"Saya bersumpah, saya sedang mabuk waktu itu."

"Ah, omong kosong! Pasti kau sengaja, kan?" Dan Mom mengatakannya tepat di depan wajah Herbert Carpenter.

Kulihat sekelilingku. Orang-orang di seluruh penjuru ruangan repot-repot mematung di tempat untuk menyaksikan drama terpanas saat ini yang dilakukan Mom. Sial, ini memalukan sekali. Bisa-bisanya Mom bertindak gegabah mempermalukan dirinya begini?

Sejurus kemudian, aku melihat bahu Mom didorong oleh pria itu. Herbert Carpenter... berbuat kasar pada Mom... dan oh, aku muak.

Plakkk!!!

Sialan. Mom menamparnya. Keras dan menyakitkan. Kubayangkan itu benar-benar perih karena kulihat Tuan Carpenter menampakkan wajah nyeri kesakitan.

Buru-buru kudekati mereka sebelum hal-hal lain terjadi sementara itu juga orang-orang dewasa di sekeliling kami tidak berkutik sedikit pun. Aku jadi takut terhadap segala kemungkinan sebagai akibat dari perbuatan Mom. Aku takut keluargaku dan keluarga Carpenter tidak akan pernah bisa berdamai. Lalu, aku... tidak bisa lagi melihat Julia...

"Mom, cukup!!!" Aku menarik Mom mundur dengan paksa. Dengan posisi Mom masih berada cukup renggang dari Herbert Carpenter, aku langsung bilang minta maaf pada pria itu, "Demi apa pun, saya minta maaf atas perbuatan Mom saya," kataku, lalu berpaling pada Mom setelah sebelumnya kudapati pria di depanku mengangguk kecil.

Aku mendekati Mom, lalu kusuruh Mom buru-buru pergi sebelum Mom sempat menyerang pria itu lagi. Tidak kupedulikan omongan para orang dewasa di ruangan itu tentang Mom. Persetan dengan gosip-gosip. Yang terpenting, keadaan harus lebih baik jika kubawa Mom pulang. Tepat ketika kudorong Mom keluar melalui pintu kantor polisi, kudengar Herbert Carpenter memanggil namaku dari kejauhan.

Begitu menoleh, kudapati pria gempal itu telah berdiri beberapa jengkal dari posisiku dan Mom. Tahu-tahu saja, entah dari mana, bayangan hitam pria bertopi flatcap membayang-bayangiku seolah Tuan Carpenter yang kini berdiri di sana adalah benar-benar pria yang sama dengan pria kemarin.

Buru-buru kusadarkan penglihatanku. Masih ada Herbert Carpenter di sana, tidak dengan kacamata dan flatcap hitam. Hanya Tuan Carpenter yang bertubuh tinggi agak besar yang malah berkata pelan, "Aku benar-benar minta maaf. Sungguh," katanya.

Aku hanya bisa mengamatinya dari kejauhan karena Mom telanjur menarikku keluar sebelum sempat aku mematung untuk bertukar pandang dengan pria itu lebih lama lagi. []

Continue Reading

You'll Also Like

5.1M 215K 52
On Going ā— Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
336K 11.2K 16
Saat Aderaldo Cetta Early menginginkan sesuatu atau seseorang, tidak boleh ada yang menghalanginya. Baginya Naara Kiva memenuhi semua syarat yang ia...
2.3M 72.3K 74
NOVEL BISA Di BELI DI SHOPEE FIRAZ MEDIA "Bisa nangis juga? Gue kira cuma bisa buat orang nangis!" Nolan Althaf. "Gue lagi malas debat, pergi lo!" Al...
103K 13K 51
Ayasa yang tomboy bersahabat dengan Adriel yang menjadi idola cewek-cewek di kampus. Bosan diteror terus-menerus karena kedekatannya dengan Adriel, A...