Kucengkeram segelas susu kocok yang warnanya ungu di tanganku. Aku cukup yakin bila aku memegang dengan jemariku secara lebih kuat lagi, sedetik kemudian pasti milkshake taro yang baru saja kubeli itu memuncrat ke arah wajah gugupku sendiri. Astaga, sudah berapa jam aku berdiri di depan pintu kamar pasien bernomor 23 seperti ini?
Ini hari Minggu, dan kurasa hari ini aku cukup merasa tolol karena: pertama, pagi tadi, Seth mengejekku karena aku mau-maunya mengunjungi keluarga Carpenter. Dia bilang juga, katanya, jangan sampai aku besar nanti jadi imigran gelap seperti mereka. Kedua, sudah sejak lima belas menit lalu, entah kenapa aku betah berdiri di sini, menunggu keberanianku penuh.
Kusadari seorang wanita tua tengah mengamatiku cekikikan di salah satu kursi tunggu di lorong yang tak jauh dari tempatku berdiri. Sialan, apa ada yang lucu dariku? Aku mengernyit ketika melihatnya, kuyakin sekali jika kalau bukan ada yang salah dengan cara berpakaianku, pasti wanita itu gila.
Cekleek, suara pintu dibuka. Pintu kamar Julia. Astaga, Nyonya Carpenter pasti menyadari wajah kagetku melihatnya tiba-tiba berada tepat di depanku karena akhirnya wanita itu berkata, "Jason?!" dengan wajah super keheranannya.
Senyum pahitku mengembang, dan rupanya lagi, Nyonya Carpenter mengetahuinya karena melihatku memuncratkan susu kocok dengan tanganku. Buru-buru aku menutup tutupnya yang agak goyah kembali. Sial, dia tahu kondisiku yang tertekan.
"Ada apa kau ke sini, MacMillan?"
Konyol. Bayangan tubuhku yang bersembunyi di kolong ranjang pasien milik Julia kemarin tiba-tiba beterbangan di kepala. "S-saya ... saya hanya ingin menjenguk Julia, Nyonya."
Kulihat melalui sudut mataku, Nyonya Carpenter menaikkan kedua alisnya sangat tinggi. Bola matanya yang kebiruan terlihat bulat sepenuhnya. Ia menatapku seolah aku ini seorang kurir yang membawa hadiah natal untuknya. Katanya, "I see, kau pasti membawakan milkshake ini untuk Julia, kan?" Kemudian, bibirnya membentuk senyuman. Namun kutahu, itu palsu. Aku yakin sekali dia tidak pernah tersenyum tulus seperti itu padaku sebelumnya kecuali jika ada maksud di baliknya.
Daguku mengangguk cepat. Sejurus kemudian, jemari Nyonya Carpenter tahu-tahu merebut paksa segelas milkshake dari tanganku. Oh God...
"A-apa yang—"
"Kau tidak perlu menunggunya bangun. Biar aku saja yang memberikan ini. Kupikir kau pulang saja, MacMillan," jelasnya, dan kulihat senyum merekah di bibirnya selama sepersekian detik. Kuyakin itu adalah kode supaya aku segera angkat kaki dari hadapannya. Sialan.
Ya, apa yang bisa kulakukan selanjutnya adalah pulang dengan sepeda. Nyonya sialan. Aku yakin seratus persen bahwa dia berbohong tentang Julia yang sedang tidur. Memangnya, tidur di pagi hari itu masuk akal? Tidak!
Aku melangkah melewati wanita tua (gila) yang duduk di kursi lorong. Astaga-naga, deret giginya kelihatan menyeramkan sekaligus membuatku ingin muntah sewaktu dia cengengesan menatapku.
---
Seth dan aku baru saja keluar dari toko roti yang berlokasi di persimpangan antara Jalan College Avenue bagian utara dan Seventeen Street bagian barat. Mom menyuruh kami karena katanya, teman SMA Mom akan berkunjung ke rumah malam nanti. Aku tidak tahu apakah teman Mom itu perempuan atau laki-laki, namun menurut asumsiku, Mom tidak akan berani menyelundupkan teman laki-laki ke rumah (apalagi Dad pasti akan langsug tahu karena entah mengapa kurasa ayahku itu punya semacam kamera pengintai di balik kepala).
Ban sepeda Seth bocor, jadi, kami terpaksa jalan kaki dari rumah, lalu balik lagi ke rumah. Penat rasanya sewaktu kami sampai di toko roti ini tadi. Dan sekarang, rasanya kakiku sudah mau putus saja meskipun ini baru separuh jalan menuju rumah.
Aku dan Seth tidak banyak bicara selama kami berdampingan melewati trotoar. Bukannya takut orang-orang akan menganggap kami gay—yang berkencan di sore hari—atau apa, aku justru khawatir dengan Seth yang sepertinya marah padaku atau malah ada sesuatu yang lainnya karena pasalnya, semenjak keberangkatan kami dari rumah ke toko roti, Seth hanya terdiam, tidak mengajak kakak laki-lakinya ini bicara.
Kami berbelok ke jalan Kirkwood Avenue. Jalanan ini bisa dibilang sebuah gang, dan wajar saja sore ini sepi sekali. Hanya ada hitungan orang yang saat ini melakukan hal yang sama denganku dan Seth—berjalan sore hari. Aku hanya terus melangkah dan melangkah sambil sesekali menoleh ke arah wajah Seth sementara adikku itu cuma terus-terusan menatap kosong ke arah langkah kakinya (mungkin ia takut kalau-kalau kakinya itu menyandung kotoran burung).
"S-Seth," panggilku sepersekian detik kemudian. Adikku tidak menoleh.
"Seth!" bentakku sekali lagi. Kali ini dagunya berubah posisi, memutar ke arahku meskipun itu hanya beberapa derajat saja dari posisi awal. Kulihat wajahnya layu. Ia tidak repot-repot merespon panggilanku, malah membisu menatapku yang juga mengamatinya balik namun dengan sorotanku yang dongkol. "Hei, ada apa, dude? Jangan bersikap seolah ini hari terakhir dalam hidupmu."
Seth berkata, "Tidak ada. Aku hanya memikirkan Mom. Apakah dia berselingkuh?"
Aku terkekeh lantang, tidak percaya dengan yang diucapkan Seth. Konyol sekali pertanyaannya. Mom berselingkuh? Perlu diketahui, itu hal paling konyol yang pernah kudengar dari mulut Seth.
"Kemarin aku sempat melihatnya bicara dengan Sheriff Marley di depan rumah. Kurasa mereka amat serius. Dan, mengapa pula Mom mengajak teman SMA-nya ke rumah kita?" lanjut Seth dengan serentetan pertanyaannya, seolah itu adalah sesuatu-yang-begitu mengganjal-di -pikirannya sejak tadi yang harus segera-dikeluarkan kalau tidak ia akan meledak.
Kujawab ia dengan senyuman tipis meski kutahu Seth tidak akan pernah puas. Lalu kataku, "Aku ingat dulu Mom pernah mengaku, Mom tidak pernah suka dengan polisi. Itu sebabnya ia malah menikah dengan pria yang profesinya petugas bank."
"Lalu, mengapa Mom ngobrol dengan Sheriff Marley kemarin?"
"Entahlah," jawabanku singkat karena aku sedang tidak bisa berpikir meluas ke arah kemungkinan-kemungkinan yang terjadi mengapa seorang perugas kepolisian mendatangi Mom yang pekerjaannya hanya penjaga perpustakaan kota dan bukannya seorang jurnalis yang bekerja di penerbitan koran.
Seth menatapku ganjil, seolah sejak tadi aku ini dianggapnya berbohong dan tidak serius. "Kenapa lagi?" tanyaku.
Adikku mendesis, telunjuknya ia tempelkan tepat di depan bibir, dia berbisik, "Aku merasa tidak enak," bicaranya seolah mengisyaratkan ada seseorang yang sedang mengawasi kami. "Jason, aku takut ... Mengapa kita lewat di jalan yang sepi?" tanyanya, seketika aku tersadar, rupanya hanya ada kami yang lewat di Jalan Kirkwood Avenue saat ini. Tidak ada orang di depan sana, serta sewaktu kutolehkan wajah ke belakang kami ... tidak ada orang di ... oh, rupanya masih ada.
Seorang pria agak gempal badannya bertopi flatcap warna hitam berjalan bersamaan dengan langkah kami. Jarak kami dan pria itu kemungkinan satu meter. Cara berjalan pria itu menunduk, sehingga aku hampir tidak yakin apakah benar ia memakai kacamata hitam atau tidak karena ia benar-benar tidak kelihatan—maksudku, penampilannya aneh. Maksudku, ah lupakan saja.
Ketika kupalingkan muka kembali ke depan, Seth tiba-tiba berteriak, "Jason, awas!!!"
Aku bingung apa maksud adikku itu. Kulihat tubuh kecilnya menjauh ke samping. Aku baru saja mau melihat ke belakang di mana pria aneh berkacamata hitam tadi berada, namun, kepalan tinju pria aneh itu melayang ke arah hidungku.
Buugghh!!! Hidungku patah. Lamat-lamat, tiba-tiba pandanganku berputar, seolah aku baru saja ditabrak banteng Afrika. Aku bisa merasakan darah segar mengalir dari salah satu lubangnya.
Aku mengumpat pada pria yang kini berdiri tepat di hadapanku, "What the f—"
Namun, sebuah tonjokan menghantam hidungku lagi. Aku sempat mengaduh sebelum akhirnya tubuhku tersungkur. Masih ada cukup kesadaran untuk bangkit kembali, dan ya, kucoba berdiri, kukepal jemariku sekuat mungkin, dan kulayangkan ke arah pria-sialan-gila-sinting-yang menyerangku tiba-tiba itu, dan ...
Buugghh!!!
Buugghh!!!
Menukik dan amat keras, pria itu membalas pukulanku. Begitu lemahnya tubuhku karena tahu-tahu, aku tumbang di trotoar Jalanan Kirkwood Avenue. Mataku perlahan mengabur, menyisakan bayangan hitam pria misterius itu di depanku.
Bisa kudengar lamat-lamat, tatkala pria sinting itu menendang kepalaku sejurus kemudian, Seth menjerit keras penuh ketakutan dari kejauhan.
"Setthh ... carilah bantuan...," bisikku sebelum sesudahnya, pria itu menendang kepalaku sekali lagi. []