Bisikan Mereka ✔

By askhanzafiar

222K 18.2K 726

Revisi terbaru. "Dira ...." "Dira ...." "Pergi! Kau siapa?" Aku menutup telinga kuat-kuat sembari memekik dal... More

Siapa aku?
Membantu Mereka
Diganggu
Kejanggalan
Petak Umpet
Play With Tere
Televisi
Kepiluan dan kabar gembira
Ekskul
Sakit
Kejadian Berdarah
Penginapan
Kampung Maksiat
Tentang Author #1
Rumah Sakit
Rumah Sakit '2
Uji Nyali
Villa Delia
Villa Delia'2
Tentang Author #2
Gua Sunyaragi
Teman Pemakai Susuk
Teman Pemakai Susuk '2
Tertukar.
Bukan Penyakit Biasa
Bukan Penyakit Biasa'2
INFO PENTING PAKE BANGET.
Rumah Omah
Rumah Omah '2
Vc terakhir.
A Piano.
Siapa Dia?
Kak Kenan?
A Mystery
Siapa pelakunya?
Akhir dari segalanya?
Empat Tersangka.
Ending?
Terungkap!
Menuju Cahaya?
Sejatinya
Persiapan pelantikan
Keganjilan
Ternyata?
Tragedy's
Pergi?
HEI INI PENTING BANGET!
Tentang Mamah
Ending! 🔚
LANJUTAN BISIKAN MEREKA
Hororwk

Rekaman Berdarah

6K 494 52
By askhanzafiar

Mataku terbuka ketika sayup-sayup alarm menggema di telinga. Tanganku sontak bergerak mencari-cari keberadaan alarm dan langsung mematikannya dengan agak kasar. Badanku mengulat seakan-akan melepas rasa pegal selama tidur.

"Sudah bangun, Dira?"

"Astaghfirullah, kau ini!" Aku geram sendiri melihat Tere yang hampir membuat jantungku lompat dari tempatnya.

Tiba-tiba saja ia sudah berada di samping tempat tidurku. Sepertinya enak menjadi hantu. Karena bisa melesat ke mana pun dia mau.

"Hehe maafkan aku, Dira. Oh iya, aku akan mengantarkan kau ke sekolah baru mu. Bersiaplah!" Ucapannya langsung membuat senyumku mengembang bak roti dalam oven.

"Benarkah, Tere? Kau tidak berbohong?" Kali ini aku merasakan rasa senang yang sangat besar. Pasalnya ia tak pernah mengantarku sekolah dari dulu. Alasannya karena takut bila ada yang dapat melihatnya selain diriku.

"Benar," sahutnya singkat.

Aku pun langsung terlonjak dari tempat tidur ternyamanku, bergegas mandi, dan mempersiapkan diri dengan beberapa pakaian sekolah yang telah disiapkan sedari malam.

"Dira, kutunggu kau di bawah, ya!" tuturnya sayup-sayup terdengar dari luar kamar mandi.

Aku hanya mengangguk. Walau kutahu, ia takkan bisa melihatnya.

👀

"Habiskan susumu dulu, Dira!" saran Mamah sembari membereskan sisa piring nasi goreng di meja makan.

Aku yang baru saja berlari dua langkah, langsung berbalik dan menghabiskan susu coklat yang tinggal setengah.  "Mah, Dira berangkat," pamitku sembari ke luar rumah dan mendapati Tere tengah mengayun-ayunkan kakinya di atas kursi panjang depan teras.

"Selesai. Oh iya, kamu tidak sarapan?" tanyaku sembari menatap ke arahnya yang tengah memandang jalanan.

Ia menoleh ke arahku sembari tersenyum kecut. "Apakah aku masih bisa memakan makanan manusia? Kalau bisa, bolehkan aku mencobanya?" Ucapannya itu langsung membuatku tersadar.

Mataku langsung terkenal dengan menutup perlahan mulut yang setengah terbuka.

"Ma–maaf–"

"Enggak apa-apa," sahut Tere sambil terkekeh dan mengelus kepalaku.

"Pakai sepatunya!"

Aku mengangguk dengan mantap dan segera melaksanakan suruhannya. Setelah selesai aku pun bangkit sembari mengatakan, "Ayo, Tere!"

"Semangat sekali kau pagi ini, Dira," ucapnya sembari berjalan melayang di sampingku.

"Tentu saja! Karena hari ini aku diantar olehmu," tuturku sembari tersenyum hangat.

"Memang apa pengaruhnya untukmu?" tanyanya penasaran.

"Kau ini sekarang menjelma menjadi hantu kepo, ya?" tuduhku dengan tawa yang sedikit lepas.

Ia ikut tertawa. "Aku ini tidak kepo! Hanya ingin tau saja, Dira," sanggahnya dengan muka yang sangat polos.

"Sama saja, Tere!" seruku tak mau mengalah.

"Beda, Dira!" elaknya seakan tak ingin kalah juga.

Kemudian kami memandangi satu sama lain. "Wahahahahaha." Gelak tawa berhasil menghiasi kebersamaan kami. Entah mengapa walaupun ada marah yang tercipta, tertawa tetaplah solusinya. Itu menurut persahabatan kami, ya.

"Dira sudah sampai," ujarnya sembari menunjuk ke arah pintu gerbang sekolah.

Aku melirik sekolah itu. Besar, luas dan mewah. Ah, sebelumnya aku tak pernah ke sini. Karena waktu pendaftaran hanya mamah lah yang datang ke sekolah.

"Kau beruntung masih bisa sekolah, sedangkan aku menghitung aritmetika saja tidak bisa," keluhnya dengan lirih.

Pandanganku beralih ke matanya. "Jangan bersedih, Tere! Nanti aku ajarkan di rumah," seruku sembari tertawa.

"Kau ini ada-ada saja, Dira!" Ia terlihat kembali tertawa.

Tere merogoh sisi kantongnya. Hal itu membuatku sedikit penasaran. "Ambilah!" perintahnya seraya memberikan kalung liontin berwarna ungu berlian.

Mataku sedikit terbelalak dengan senyuman yang mulai terpatri di wajah. "Tere, ini sangat lucu dan mengagumkan!" pujiku sembari mengelus kalung liontin yang tak seperti kebanyakan kalung lainnya.

"Itu bisa sebagai alat terapi kesehatan dan juga ... tanda perpisahan. Aku sedikit mengernyitkan dahi ketika mendengar ucapannya itu. 

Kulihat kini ia tengah mematri sebuah senyuman yang terlihat sangat terpaksa. "Ma–maksudmu apa, Tere?" gagapku sembari mengedipkan mata tak percaya.

Seketika atmosfer di sekitarku berubah menjadi kelabu. Ia menatapku dengan cukup intens. "Kau ingat, bukan? Ada batas waktu bagiku untuk menemanimu di dunia ini. Ini lah saatnya berpisah," terangnya dengan nada sedih.

"Kau pasti bercanda, 'kan? Aku tak suka gaya bercandamu, tau!" hardikku sembari menangis.

"Hus! Jangan menangis, Dira. Aku tak menyukaimu jika menangis. Aku harus pergi. Jika Tuhan mengizinkan, pasti aku akan kembali. Ada manusia yang nantinya akan menjagamu. Percayalah selalu jika aku menyayangimu seperti kau menyayangiku," tuturnya sembari memelukku. Aku masih sesenggukan dibuatnya.

"Sudahlah cepat masuk! Kau tidak boleh telat di hari pertamamu ini." Ia  membenarkan letak rambutku dengan penuh kasih.

"Kau ini jahat, Tere!" teriakku sembari memukulnya dan berlari meninggalkannya.

"Dira! Aku menyayangimu sungguh!" Ucapannya berhasil membuat dadaku sesak hampir tak bisa bernapas. Seperti halnya sakit tapi tidak tertusuk. Perih tapi tak dapat dilihat wujud lukanya.

Aku membalikkan badan untuk melihatnya lagi. Ia melambaikan tangannya seraya perlahan namun pasti, kini tak menampakkan arwahnya kembali.

👀

Kelas X IPA 2, kelas yang kini kutempati. Lebih baik aku memutuskan untuk duduk di kursi kedua sebelah kanan, tempat yang lumayan strategis untuk mendengarkan segala penjelasan guru.

"Boleh gua duduk di sebelah lo?" Entah harus bagaimana menanggapinya, tiba-tiba saja ada seorang cowo dengan muka yang tak berekspresi datang menghampiriku.

Ia tersentak ketika melihatku. Dengan sedikit aneh, pandangan mataku tak mengizinkan untuk berhenti menatapnya. Namun, karena ia merasa jengah ketika tak mendapatkan respon dariku, tas yang dibawanya langsung dilempar begitu saja ke kursi di sampingku. Tak lama setelah itu, kepalanya ditidurkan di atas meja.

Baiklah. Mungkin memang jelmaan lelaki aneh. Aku tak ingin ambil pusing.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," salam seorang guru yang baru saja masuk.

Aku langsung membuang tatapan dari dirinya dan langsung menoleh ke arah guru tersebut. "Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab semua anak murid yang belum kukenal barang seorang pun.

"Anak-anakku semua, selamat datang di SMAN 1 Utama. Semoga di kelas sepuluh IPA dua ini kalian bisa beradaptasi dan mendapatkan teman yang baik. Sebelumnya Ibu ingin mengabsen. Ibu ingin tahu coba yang namanya, hm ... Nadira? Ada nadira?" Panggilan tiba-tiba dari guru tersebut membuatku sedikit terperanjat.

Aku mengangkat tanganku tinggi-tinggi. "Saya, Bu! Nama saya Nadira Roro Lespati," tuturku dengan senyum ramah.

"Baiklah, Dira. Kemudian Ibu akan panggilkan  ... Ratna? Ada Ratna?" Suaranya yang menggelegar hingga ke seluruh penjuru ruangan itu membuat salah seorang anak mengangkat tangan.

"Elsa?"

Aku agak sedikit terkejut. Mungkinkah Elsa yang dimaksud adalah Elsa temanku saat duduk di bangku sekolah dasar?

"Saya, Bu!" Ucapan lantang dari seseorang yang sangat tak asing itu membuatku langsung tersenyum tak percaya.

"Elsa!" Aku memanggilnya dengan sangat kencang.

Ia menoleh dan tersenyum lebar. Tangannya melambai-lambai dengan sangat girang ke arahku.

"Selanjutnya Muhzeo, apakah ada?"

Kelas hening sejenak. Semua mulai menoleh satu sama lain.

"Muhzeo tidak ada?"

"Eh, a–anu saya, Bu!" Refleks suara bass dari lelaki di sebelah membuatku sedikit hampir jatuh dari tempat duduk.

Kuampret! Dia sebenarnya kenapa, sih?

"Baik. Kita lanjutkan."

"Lo tidur?" Karena merasa hal tersebut tak sesuai dengan kedisplinanku, aku memutuskan untuk sedikit menegurnya.

Ia melirik sebentar. Kemudian mengangguk dan kembali menidurkan kepalanya. Mulutku sedikit menganga tak percaya. Ada ya anak sekolah yang baru masuk langsung berani tidur di kelas seperti dia?

Aku sedikit menerbitkan senyum miring. Dasar lelaki menyebalkan!

"Perkenalkan nama saya Bu Tini. Selamat belajar, ya! Semoga kalian semua betah di kelas ini dan dapat menjalin hubungan baik satu sama. Ibu ke kantor dulu," pamit guru yang usianya sekitar tiga puluh tahun itu seraya berjalan ke arah kantor tanpa membantu membuat struktur organisasi apapun di kelas.

"Hey, Dira!" Elsa menghampiriku dengan wajah berbinarnya. "Aku tak menyangka dirimu bisa berada di sekolah yang sama denganku," timpalnya sambil merangkulku.

Aku tersenyum manis. "Ku pikir kau putus sekolah, Elsa," gurauku sembari tertawa.

Elsa ikut tertawa. Ia bukan tipikal orang yang baperan. You know?

"Kau pikir aku anak bodoh? Hahahah," tawanya mulai meledak dengan tangan yang refleks memukul pundakku.

"Baiklah! Aku kembali ke tempat dudukku dulu, ya," pamitnya sembari mengedipkan sebelah mata.

Aku mengangguk saja dan fokus ke arah sebuah buku besar di hadapanku.

"Hey!" panggilan dari seseorang membuatku refleks menoleh. Netraku mendapati lelaki yang berada di sampingku. Ia terlihat menatap mataku dengan intens.

"Ada apa?" tanyaku dengan sedikit canggung.

"Hey tayo! hey tayo! Dia bis kecil ramah. Melaju, melambat, tayo selalu senang." Tawanya meledak saat itu juga.

Aku tertipu teman-teman.

Keningku berkerut. Aku tersenyum mirip setelah menyadari guyonan receh darinya. Segera saja kupalingkan wajah ke arah lain.

"Ka," panggilku ke arahnya.

Ia menoleh. "Ngapain lo manggil gua Ka--"

"Kalau ada makanan di meja, tak pernah engkau makan, teroret ... teroret." Aku tertawa sembari menjulurkan lidah untuk meledeknya.

"Sialan lo!" ketusnya dengan raut wajah yang sangay kesal.

Aku langsung tertawa terbahak-bahak. Tawaku berhenti saat ia menatapku kembali. "Enggak usah bercanda kayak gitu lagi. Enggak seru!" ucapku seraya melihat ke arah lain.

Ia sedikit menggeser kursinya untuk lebih mendekat ke arahku. "Oh, enggak! Gua mau nanya aja sama lo."

Ucapannya itu berhasil membuatku menatap ke arahnya lagi. Dia menarik napas dan mulai kembali berbicara. "Lo .... " Omongannya ia gantungkan.

Aku menaikkan alis. "Kenapa?"

"Lo indigo, ya?" bisiknya tepat di telingaku.

Aku menegang di tempat. Bagaimana ia bisa mengetahuinya? "L–lo tau dari mana?" Mulutku sudah terlalu gugup untuk melanjutkan pembicaraan.

Dia mendekat kembali. "Tenang aja! Gua indigo juga, kok," tuturnya sembari tersenyum.

Aku mematung. Mengapa diriku ini banyak didekati oleh orang indigo?

"Lo mau enggak jadi temen gua?" Lelaki itu menatapku dengan tatapan datarnya. Namun, kali ini sebuah senyum tipis mengembang di wajahnya.

Aku mengangguk perlahan. Mungkin saja ia dapat membantuku jika sewaktu-waktu ada suatu hal yang tak diinginkan.

Ia tersenyum. "Oh iya, ada yang mau gua tanyain sama lo."

Ucapannya kali ini membuatku sedikit mendongakkan kepala. "Kenapa?"

Ia mulai mendekatiku kembali. "Lo tadi bicara dengan anak kecil, eum ... asli keturunan Belanda sepertinya. Itu siapa?" Wajahnya nampak memperlihatkan raut penasaran.

"Oh, dia sahabat gua, Tere. Dia makhluk tak kasat mata," terangku.

Muhzeo terlihat agak membulatkan mata. "Benarkah? Wow!" Ekspresi wajahnya nampak sedikit absurd dengan perpaduan antara tercengang dan ingin tertawa.

"Pantas saja dia bisa melayang-layang."

"Hey, Dir!" Panggilan Elsa berhasil membuatku melemparkan tatapan darinya.

"Eh, Muhzeo, ini kenalin temen gua, Elsa," ujarku sembari tersenyum.

Muhzeo hanya bersalaman dengannya dan tak berniat menunjukkan senyuman. Ih, aneh.

"Paul!" Panggilan Muhzeo berhasil membuatku menengok ke arah orang yang dipanggilnya.

"Eh, kenapa?" Seorang lelaki kurus menghampirinya. Wajahnya mirip persis seperti seorang komika.

"Perkenalkan ini Dira dan ini Elsa." Muhzeo sedikit menyenggol bahunya.

Paul tersenyum. "Hai, nama gua Paul! Senang bertemu kalian," sahutnya dengan badan yang sedikit agak condong ke depan.

Aku mengangguk. Elsa terlihat tersenyum menanggapi.

"Woy, ngumpul enggak ngajak!" sindir salah seorang lelaki sembari menepuk pundak Muhzeo dan Paul.

"Hai, nama gua Hilmi! Senang bertemu gadis cantik seperti kalian," godanya sembari terkekeh.

Aku dan Elsa hanya menanggapi dengan senyuman saja. "Oh iya, gua ke kantin dulu ya, Ze. Yang lain juga. Gua duluan ya," pamitku sembari menarik Elsa ke luar kelas.

Para lelaki itu hanya bisa melambaikan tangan.

"Dira," panggil Elsa sesaat setelah kami berada di kantin sekolah.

Aku menoleh tanpa berhenti berjalan.

Elsa terlihat terkekeh sembari membenarkan anak rambutnya. "Muhzeo lumayan manis dan putih. Kau tidak tertarik?" Pertanyaan random darinya membuatku sedikit mengernyitkan pandangan.

Aku memesan sepiring nasi goreng dan telur dadar yang dibaluri dengan sambal pedas.

"Tertarik?" Aku mengulang pertanyaannya yang tak sama sekali kumengerti.

Hembusan napas kasar tedengar dari mulutnya. "Kau kan tidak pernah pacaran. Menyukai lelaki pun belum pernah, 'kan?" Ia duduk di sebelahku sembari memainkan tusuk gigi.

Aku mengangguk tak berniat menjawab pertanyaannya. "Muhzeo–"

Dubrak ....

"Duh, merasa tergibahi. Paul! Kipasin kuping gua dong. Panas nih." Muhzeo terlihat tertawa. Gaya bicaranya tetap santai dan tak marah walau tau jika sedang jadi bahan pembicaraan.

Belum sempat aku membuka mulut untuk bersuara, ia telah lebih dulu memotongnya, "Boleh gabung?" tanyanya dengan nada yang sangat friendly.

"Gabung aja." Elsa menampakkan senyum kecilnya.

"Oh iya, lo–"

Allahu akbar ... Allahu akbar ....

Azan zuhur berkumandang. Aku segera bangkit dan meminum airku.

"Gua duluan ya, Ze. Lo enggak sholat?" tanyaku sembari menatap ke arahnya.

Dia agak menggaruk tengkuknya yang terlihat tak gatal.  "Eum, duluan aja. A–anu ... nanti nyusul." Ia cengengesan sembari menggaruk kepala.

Aku mengangguk dan segera menyeret Elsa ke arah masjid sekolah setelah memberi pesan kepada tukang nasi goreng untuk menitipnya terlebih dahulu.

"Kau aneh."

Aku menoleh setelah mendengar pernyataan acak darinya. "Hah? Aneh?"

"Iya aneh! Kenapa kau terlihat agak menjauh dari Muhzeo?" tanyanya sembari bersiap mengambil air wudhu.

Setelah selesai mengambil air wudhu, aku pun menatapnya. "Kau lihat sendiri, 'kan, Elsa? Dengan Tuhannya saja dia jauh. Bagaimana nanti dengan calon kekasihnya, maybe?" tanyaku sembari tersenyum.

"Ayolah, Elsa. Stop talking about it. Bercanda ini sungguh tidak lucu," ucapku sembari bersiap mengambil mukena.

"Hm, oke."

Kami menyegerakan sholat zuhur bersama sembari mengikuti imam.

Setelah selesai, kami bergegas kembali ke kelas dengan hati yang lumayan damai dan tenteram.

Dubrak ....

Suara meja terobrak-abrik berhasil membuatku menatap ke sumber suara.

Ada salah seorang temanku yang menatap temannya dengan tajam. Ia memajukan badan dan menjulurkan tangannya yang hendak mencekik leher temannya itu.

"Kau jahat padaku! Argh!" Suara serak seperti bukan manusia berhasil menusuk telingaku. Aku merasa ada yang tidak beres di sini.

"Hei, jangan tinggal diam, Dira!" perintah Elsa yang berhasil membuyarkan lamunanku.

Aku mulai berpikir sejenak. Bingung antara menolong atau tidak. Posisinya aku belum bisa memastikan maksud dari perkataan perempuan itu.

"Panggil anak rohis!" saranku pada salah satu anak.

Beruntunglah ia gerak cepat dan segera berlari ke luar kelas. Aku dan teman lainnya membantu melepaskan cengkraman erat yang telah dilakukan oleh temanku yang sepertinya memang tengah kesurupan. Tenaganya benar-benar seperti tenaga badak. Sangat kuat sekali.

"Lepaskan! Dia ... dia harus mati sama sepertiku!" teriaknya sembari memelototi si korban.

Si korban hanya menangis histeris dan berusaha menjauhi orang yang kesurupan itu.

"Ada apa ini?" Beberapa anak rohis berdatangan ke dalam kelas. Mereka langsung bertindak cepat dan membawa perempuan yang kesurupan itu ke tempat agak jauh dari si korban.

"Siapa kau?" Pertanyaan pembuka dari anak rohis berhasil membuat perempuan kesurupan itu menunduk.

"Dia jahat, hiks. Dia telah membunuhku dan merebut semua kebahagiaanku. Dia bersekongkol dengan ibunya untuk membunuhku dan juga Ibuku. Dia jahat, Hrgh." Orang itu terus menjerit dan menangis sejadi-jadinya.

Aku tampak memperhatikan semua percakapan itu.

"Bisa kau tunjukkan beberapa bukti? InsyaaAllah, kami bersedia untuk membantumu," ujar Ikhyar–ketua Rohis–sembari mengelus-elus pundak orang yang kesurupan itu.

Tiba-tiba ia telah mengeluarkan sebuah rekaman. Ia menyerahkannya kepada Ikhyar. Benar-benar hantu yang sangat handal. Semua rencananya seperti telah disusun rapi sedemikian rupa. Benar-benar sangat matang.

"Tolong bantu aku. Kumohon," pintanya sembari berlutut di depan Ikhyar.

"Bersediakah kau keluar dari badan orang ini? Ia tidak bersalah. Keluarlah! Dengan seizin Allah, aku akan mencoba membantumu," bujuk Ikhyar dengan perlahan.

Hantu tersebut mengangguk. Lama-kelamaan tubuh itu menegang dan mulai melemas. Ia berhasil ke luar. Ikhyar meminta tolong yang lain untuk menitipkan orang yang kesurupan tadi.

Ia melirik diriku sebentar, kemudian menunduk. Melirik lagi, kemudian menunduk kembali. Begitu terus.

"Ada apa?" tanyaku yang mulai merasa jengah.

"Afwan, bisakah kau menemaniku untuk mengecek rekaman ini? E–eh, ti–tidak hanya berdua maksudku. Hm, nanti akan ditemani yang lain," ujarnya dengan sangat canggung.

Aku menautkan alisku. "Kenapa harus diriku?"

"Aku percaya kau bisa menyelesaikan masalah ini, ukhti," ujarnya perlahan.

Aku mengembuskan napas panjang dan melirik ke arah Elsa sebentar. Terlihat Elsa menyuruhku untuk menyanggupi ucapannya.
"Baiklah. Kau jalan terlebih dahulu," ujarku.

Kami langsung bergegas menuju ke tempat Pak Rojak, penjaga sekolahku. Ya walaupun aku tak begitu mengenalinya.

"Pak, boleh pinjam ruang cctv?" tanyaku sesampainya di sana

Pak Rojak yang tengah duduk santai pun menyingkirkan topi yang menutup wajahnya. "Buat apa ya, Neng?"

"Urusan ribet, Pak! Tolong, ya," pintaku dengan wajah yang sedikit memelas

Pak Rojak menatapku, Ikhyar, satu teman lelakinya, serta kedua teman perempuannya. Beliau mulai merogoh kantong saku celananya. "Ambilah! Semoga bermanfaat. Tolong kembalikan setelah itu!" Ia tersenyum hangat sembari menyodorkan sebuah kunci.

Aku mengangguk dan mengulum senyum ramah. "Terimakasih banyak, Pak." Kami semua langsung lari ke luar pos penjaga.

Cetak ... cetek ....

Kunci yang berusaha kubuka nampaknya agak keras. "Argh!" Aku mengeluh dengan cukup kencang.

"Biarkan saya membukanya," ujar Ikhyar sembari menyuruhku untuk meletakkan kunci itu di atas lantai agar ia mudah menggapainya. Ia berusaha mengutak-atik bolongan kecil pada pembuka pintu.

"Alhamdulillah." Pintu pun berhasil terbuka dan kami masuk secara perlahan.

"Kau mengerti soal pemasangan rekaman ini?" tanyaku padanya.

"Temanku ini lumayan handal soal itu. Coba tolong setelkan rekaman ini, Do!" pinta Ikhyar kepada temannya.

Dengan sigap, temannya langsung mengambil alih dan mulai membuka satu-persatu dokumen itu.

"Sudah ingin mulai. Bersiaplah!" ujarnya.

Aku memperhatikan cctv hitam putih itu dengan saksama.

Terlihat seorang perempuan tengah asik mengerjakan tugas sekolahnya. Ia didatangi ibunya yang tengah memegang segelas susu. Sampai akhirnya, sang ibu keluar dan membiarkan anak tersebut menyelesaikan pekerjaannya.

Tak lama kemudian, ada seseorang dengan pakaian serba hitam mengendap-endap memasuki ruangan si anak berbaju putih tersebut. Si anak menengok dan mendapati orang itu hendak.

Crut ....

Terjadilah aksi main pisau oleh si baju hitam. Ia mengeluarkan benda yang lebih besar, lebih tepatnya sebuah kapak.

Crat ... Dess ....

Kepala anak itu dipenggal hidup-hidup.

"Allahu Akbar." Kedua wanita di sebelahku menangis ketakutan.

Ikhyar mencoba menenangkan. Aku masih memasang mimik muka yang mulai mual. Bagaimana tidak? Kepala anak itu putus dari tempatnya. Seseorang membuka pintu kembali. Ternyata ia adalah ibunya. Perempuan tua yang melihat keadaan sang anak pun langsung menangis dan menjerit. Sang ibu menarik-narik jaket si pembunuh serba hitam itu dan akhirnya.

Depak ....

Kepala sang ibu dipukul habis-habisan oleh seseorang yang baru saja datang. Naasnya perempuan yang baru datang itu malah menyeret sang ibu kepojokan dan melakukan aksi psychopath-nya. Ia mencongkel mata sang ibu sembari tertawa-tawa. Ia menguliti dan menghancurkan kepala itu dengan batu besar yang dibawanya. Otaknya keluar dari tempat keberadaannya.

Aku hampir muntah dibuatnya. Bulu kudukku meremang. Menyaksikan betapa teganya manusia itu. Mereka berdua terlihat sama-sama tertawa penuh kepuasan. Aku dapat menyaksikan jelas dari ujung layar.

Mereka membuka topengnya dan benar saja, perempuan yang sempat dicekik di kelas itulah yang membunuh arwah penasaran tadi.

"Cepat panggilkan polisi! Bukti sudah sangat benar-benar akurat." Aku berusaha menahan sesak di dada.

Ikhyar mengangguk. Kami keluar secara bersamaan. Ia segera menelepon polisi dan memberikan rekaman yang membuatku hampir pingsan. Benar-benar tak punya hati.

Anak itu dibawa ke kantor polisi. Ia memandangiku dan Ikhyar dengan tatapan sinis dan berusaha menahan air matanya.

Astagfirullah, tragedi macam apa itu?

"Terima kasih atas bantuannya Adik-adik. Semoga kebaikan kalian dibalas oleh Tuhan yang Maha Kuasa," ujar seorang polisi sembari tersenyum ramah dan menyodorkan tangannya.

"Sama-sama, Pak. Semoga kasusnya cepat selesai ya," ujar Ikhyar sembari menyambut tangan Pak Polisi itu dengan tegas.

"Kami permisi dulu. Sekali lagi, terima kasih," ujar Pak Polisi itu dan langsung melajukan mobilnya.

"Alhamdulillah," ucapku dan anak rohis bersamaan.

Aku memperhatikan jalanan depanku. Anak yang tadi meminta bantuan padaku kini telah tersenyum lega di ujung jalan sana. Ia berbisik terima kasih sembari menghilangkan arwahnya dari pandanganku.

"Jangan melamun! Terima kasih atas bantuanmu," ujar Ikhyar sembari mengembangkan senyumannya.

Aku mengangguk tak berniat membalas senyumnya itu. "Aku ingin cepat pulang. Aku pamit, ya."

"Kau pulang dengan siap–"

"Dira, lo pulang sama siapa?" Muhzeo tiba-tiba saja sudah berada di sampingku dengan wajah datarnya.

Aku berpikir sejenak sembari menoleh ke arah Ikhyar.

"Bareng gua aja," ucapnya sembari mematikan mesin motornya.

"Oke. Ikhyar dan yang lainnya, saya pulang duluan, ya! Assalamualaikum," salamku sembari menaiki motor matic kepunyaan Muhzeo.

"Waalaikumussalam," jawab mereka.

Aku tak mengetahui maksud dibalik pertanyaan dari Ikhyar itu. Namun, tentu saja aku harus menghargainya sebagai Ikhwan yang taat beragama.

"Ze, nanti berhenti dulu di masjid. Gua belum sholat ashar," teriakku karena angin yang tengah berhembus kencang menjadikan suaraku sangat kecil.

"Oke," sahutnya dengan singkat.

Di perempatan jalan, ia mematikan motornya dan diparkirkan di depan parkiran masjid.

Aku membuka helm dan menatap ke arah matanya yang tengah melihat-lihat ke sekeliling masjid. "Lo enggak ikut sholat?"

Matanya bertemu dengan mataku. Ia menggeleng dengan tegas. "Nanti saja di rumah," tuturnya.

Aku mengangguk. Bingung harus berbicara apalagi. "Lo tunggu di sini. Gua sholat dulu." 

Selesai sholat, kusempatkan berdzikir terlebih dahulu guna memohon ampun sebanyak-banyaknya agar terhindar dari segala macam marabahaya yang tak ku inginkan. Setelah semua dirasa selesai, aku pun beranjak ke luar dari masjid.

"Muhzeo," panggilku yang membuatnya langsung melepaskan earphone yang dipakai.

"Sudah?" tanyanya dengan nada lembut.

"Sudah. Oh iya, boleh gua minta waktu sebentar buat ngomong sama lo?" Tanganku masih bergerak lihai saat memasang sepatu.

Dia mengangguk sembari tersenyum. "Ngomong aja kali. Jangan formal-formal banget."

Sebelumnya aku diam untuk beberapa saat guna memikirkan pertanyaanku ini. Kira-kira akan menyinggung perasaannya tidak, ya? "Kenapa setiap gua ajak lo sholat, lo selalu nolak? Oh, sorry ... bukan maksud gua buat ikut campur sama urusan lo, tapi gua sebagai sahabat mempunyai tanggung jawab untuk memberikan nasihat, 'kan? Gua enggak mau kalau lo sampai salah jalan," tuturku sembari membiarkan dia untuk terdiam sesaat.

Dia menatapku. Aku tersenyum sembari menatap ujung sepatu. "Lo pernah diganggu sama makhluk halus? Apa lo tenang-tenang aja tanpa mendekatkan diri kepada Tuhan?"

Dia nampak menaruh earphone-nya ke dalam tas. "Gua terlahir dalam keadaan muslim. Keluarga gua yang membuat diri gua enggak percaya kalau Islam itu agama yang benar," ucapnya yang sontak membuatku benar-benar dilanda amarah yang membuncah.

Namun, perlahan kucoba untuk menetralisirkan napas agar lebih tenang. "Kenapa bisa lo berpendapat seperti itu?"

"Gua sering dijahili oleh makhluk tak kasat mata, tapi keluarga gua enggak pernah bisa menanganinya. Mereka selalu minta tolong dukun dan mau ngelakuin apa aja asalkan gua enggak digangguin makhluk itu. Sungguh musyrik, bukan?" terangnya sembari menatap ke arahku.

"Pernah sekali gua lihat mereka menyembah dukun itu. Jelas saja gua kaget. Masa agama paling mulia mengajarkan hal semacam itu?" timpalnya.

Aku tersenyum sesaat. "Hei, Islam enggak pernah mengajarkan umatnya untuk musyrik. Kami menyembah Allah yang Maha Esa, yang Maha Satu. Yang keluarga lo lakuin itu bertentangan dengan agama Islam, Ze. Alhamdulillah, gua dan keluarga enggak pernah menyekutukan Allah. Na'udzubillahimindzalik," jelasku sembari menepuk pundaknya perlahan. "Jadi, apa agama lo sekarang?"

Ia mengembuskan napas. "Gua tetap muslim, tapi gua belum percaya dengan adanya Tuhan," cetusnya yang membuatku sedikit agak terkejut. Dengan memaknai kata musyrik seharusnya dia percaya akan tuhan, bukan?

"Dengan lo enggak percaya adanya Tuhan, apa lo merasa hidup lo tenang? Apa setiap lo melihat makhluk halus lo bisa mengatasinya dengan mudah?" Pertanyaanku langsung mendapat respon gelengan kepala darinya. Wajahnya sudah menunduk dalam-dalam. "Allah selalu bersama hamba-Nya. Semoga hidayah datang dan membuka mata hati lo, Ze. Gua cuma berusaha menyadarkan lo. Kalau lo butuh apa-apa, gua siap bantu, Ze," ujarku sembari tersenyum.

Ia terlihat mengangguk-angguk sembari mengembangkan senyumnya kembali. Semoga saja apa yang kuucapkan dapat dimengerti dengan baik olehnya. "Pulang, yuk! Udah mendung gini." Barisan awan di langit terlihat mulai gelap. Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.

Ia mengangguk dan mulai memakai helmnya.

Semoga saja suatu hari kau tersadar, ya. Dan semoga suatu hari nanti kau bisa bersujud dan memohon ampun.

To be continued ✨
Untuk para readers setia BM, maaf karena untuk dua minggu ke depan, Fiar belum bisa update cerita ini. Minggu depan PAS, ditambah bulan depan simulasi, januari praktek dan TO. Yang Seninnya sudah mulai ulangan, angkat tangannya🖐🏻 . Semoga Kita dipermudah Dalam mengerjakannya, Aamiin Allahumma Aamiin❤.

Continue Reading

You'll Also Like

15.6K 1.7K 49
[ PROSES REVISI ] Kita hidup berdampingan dengan dunia yang tak terlihat, di mana dunia yang kita lihat tak sesimpel yang ada dipikiran orang-orang...
195K 14.2K 11
"Kenapa kita harus tidur dengan posisi kaki diikat?" Tentang Penari Ballerina dimana akan mengikuti kompetisi Internasional Dance yang akan diadakan...
10.2K 1.4K 30
[COMPLETED] Seri Cerita SETAN Bagian 1 Perasaan Samsul dan Nadin sangat tidak enak, ketika mendengar kabar bahwa seorang pemuda dari kelas 10 di seko...
72.4K 9.7K 55
Tak ada yang paling mengerikan selain suara jeritan permintaan tolong di saat mereka sudah hampir di ambang Kematian. Bisikan-bisikan itu membuatku t...