Down There Is What You Called...

By Atikribo

91.9K 10K 2.6K

Kepergian sahabatnya meninggalkan sebuah tanda tanya besar dalam diri Raka. Ketika semua orang mengatakan pen... More

Sebelum Menjelajah
Chara Profile
Surface - 1
Surface - 2
Surface - 3
Surface - 4
14 Years Ago, Capital City
Somewhere - 1
Somewhere - 2
Surface - 5
Surface - 6
1st Floor
2nd Floor
3rd Floor
4th Floor
5th Floor
At The Corner Of His Memories
6th Floor
10K READS: GIVE-FRICKIN-AWAY!! (Closed)
7th Floor
GIVEAWAY CLOSED
GIVE-FRICKIN-AWAY WINNER
8th Floor
9th Floor
10th Floor
11th Floor
12th Floor
13th Floor
14th Floor
15th Floor
Somewhere - 3
16th Floor
17th Floor
18th Floor
19th Floor
20th Floor
Antarkasma - 4
Antarkasma - 5
21st Floor
Antarkasma - 6
Antarkasma - 7
23rd Floor
Orenda, 14 Years Before
Orenda - 7 Years Before
24th Floor
Antarkasma - 8
25th Floor
26th Floor
27th Floor
28th Floor
Antarkasma - 9
29th Floor
30th Floor
31st Floor
Epilog
Afterwords & Surat Cinta
Bincang Ubin Vol.1
FLOOR NEW YEAR SPECIAL: College AU
Bincang Ubin Vol. 2
Maps & Glossarium

22nd Floor

417 77 12
By Atikribo

SEBESAR APAPUN usahanya untuk terlelap, Nova hanya bisa memejamkan mata. Entah kenapa, saking lelahnya, ia tak bisa tidur. Gadis itu selalu merasa terganggu ketika ada getaran suara yang masuk ke dalam telinganya. Dimulai dari Luke yang terus bergerak mencari posisi nyaman untuk tidur hingga Kres yang sudah terbangun dan berkemas untuk pergi ke Disposal Floor.

Saat pemuda itu hendak menyentuh pundak Nova untuk membangunkannya, gadis itu berkata, "Aku sudah bangun. Aku akan ikut denganmu."

"Bagus. Dalam satu jam kita akan berangkat," jawab Kres, "berkemaslah."

Luke dan dirinya tidak membawa banyak barang, jadi persiapannya untuk pergi pun tidak akan repot. Melihat lantai, Nova mendapati teman pamannya mendengkur dengan mulut terbuka. Nova ragu. Terkadang membangunkan seseorang yang sedang terlelap lebih membahayakan dibandingkan anjing liar sekalipun.

Menarik napas, gadis itu memanggil Luke. Sekali, dua kali, hingga akhirnya ia menepuk lengan pria itu. Mata Luke otomatis terbelalak. Suaranya parau kalamendesis kesal untuk tidak pernah membangunkannya saat tertidur. Separuh nyawanya pasti masih tertinggal di alam mimpi.

"Maaf... Luke," ucap Nova, "tapi kita harus pergi satu jam lagi. Kamu mungkin mau bersiap."

Luke mengerang, menggulingkan tubuhnya ke samping dan berkata, "Kita enggak banyak bawa barang. Bangunkan aku sepuluh menit sebelum kita pergi saja."

Mengiyakan, Nova berusaha untuk berdiri tanpa harus menginjak pria botak itu. Kresna di kamar mandi tengah mencuci mukanya sementara Nova melihat kembali poster-poster dengan ragam artikel yang tertempel di belakangnya. Mungkin ini saatnya ia mencari tahu tentang keluarganya yang menyembunyikan banyak hal. Menghela napas, gadis itu mengumpat dalam hati.

Saat Kres keluar dari kamar mandi, ia meminta tolong Nova untuk membantunya membawa barang-barang untuk kedua dokter itu. Kardus demi kardus berisi bahan pokok serta peralatan medis memenuhi pelana sang pagna. Hanya sedikit orang yang terbangun dan menyapa mereka. Mungkin pengendara itu sendiri baru saja pulang dari gilirannya bertugas. Kantung mata hitam dan mulut mereka terbuka lebar saat menguap. Nova tidak mengindahkan mereka.

Kembali lagi ke flatnya untuk memastikan tidak ada barang yang tertinggal, Nova pun membangunkan Luke. Pria itu hanya mengerang, menyipitkan mata, dan menarik napas panjang. "Oke, oke, aku bangun," katanya.

"Ada satu hal yang harus aku sampaikan kepada kalian. Perjalanan ini akan cukup panjang dan takkan menyenangkan kalau kau tidak menutup hidungmu," ucap Kres sembari memberikan masker untuk Nova dan juga Luke, "Mayat, gorong-gorong, dan kotoran pagna. Satu dari itu saja sudah membuat kalian muntah apalagi tiga-tiganya. Jadi, selalu pakai masker kalian. Kau beruntung kalau sudah tidur sebelumnya."

Nova mengerjapkan mata dan menghela napas panjang.

Waktu yang terbuang untuk mencapai Disposal Floor memang tak lebih dari dua jam. Akan tetapi, perjalanan tidak akan menyenangkan untuk diingat. Cepatnya pagna bergeral serta cara Kres mengemudikan makhluk itu membuat bokongnya seperti berada di atas banteng liar. Setiap Luke mencoba memprotes, Kres sudah terlalu sibuk dengan pikirannya hingga mengabaikan pria botak itu. Muka Luke pun masam. Entah sudah berapa batang rokok yang habis kala ia harus menahan amarahnya.

Awalnya, Kres mengambil jalur Huva Atma yang sama dengan jalur kemari. Semakin lama jalur yang ia ambil semakin sepi dari penduduk kota. Jajaran bata yang membentuk jalur-jalur umum semakin berkurang. Jalanan yang masih beradab tergantikan oleh semen yang membentuk gorong-gorong, dan tak lama beralih menjadi tanah yang lembab. Tanpa disadari, Nova dapat melihat gemerlap azuline di sekitarnya semakin banyak.

Kres tidak banyak bicara. Nova pun tidak banyak bertanya. Sementara itu Luke hanya bersandar; sesekali memakai maskernya juga melepasnya. Nova menyadari, semakin banyak jumlah azuline yang beterbangan, semakin tercium bau menyengat yang mengocok perutnya. Mata Nova terbelalak. Di bawah temaram kebiruan makhluk itu, ia bisa melihat tumpukan manusia; membiru, tak berbentuk, dan banyak di antaranya sudah menjadi tulang belulang..

Luke mengumpat, terlalu sering hingga seperti rapalan doa. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya; hanya tatapan penuh rasa tidak percaya.

Nova mengatur napasnya sedemikian rupa, "Apa itu...manusia?"

Kresna mengambil jalur berbelok, memberikan pemandangan yang lebih jelas pada Nova dan juga Luke. Ia berkata, "Ada alasan kenapa tempat ini dinamai Disposal Floor."

Luke terbatuk, "Bagaimana bisa pemandangan seperti ini enggak mengusik orang-orang, eh?"

"Orenda menutup semuanya," Kres menjelaskan, "Pagna ada untuk menghilangkan bukti-bukti itu, atas bantuan Rider, tentu saja."

"Apa kau membantu Orenda juga?" tanya Nova.

"Aku? Tidak. Kalau aku tidak beruntung, mungkin aku akan menjadi salah satu tengkorak yang di sana" jawab Kres, pandangannya tetap ke jalan, "Jalur ini sudah lama tidak dipakai, jadi kalau kalian mencemaskan apakah kalian akan tertangkap atau tidak, ini jalur yang aman."

Meskipun begitu, Nova tidak tenang. Gadis itu berusaha menyangkutpautkan apa yang ayah dan ibunya lakukan. Nova tahu bahwa Orenda melakukan hal-hal yang tidak manusiawi, tapi ia tidak tahu bahwa mereka akan tidak manusiawi ini.

"Kita hampir sampai," ucap Kres, "Pakai masker kalian sampai kita tiba di kediaman kedua dokter sinting itu."

Cahaya kebiruan azuline mulai sedikit. Kres membawa pagnanya ke ujung jalan. Langit-langitnya merupakan sebuah pintu kayu yang tembus entah ke mana. Menyalakan senter, pemuda itu membenahi dulu barang-barang yang hendak ia bawa. Meminta tolong Luke mengambilkan tambang tak jauh dari tempatnya duduk, mengikat beberapa kotak kiriman menjadi satu. Sebuah tas ransel berukuran besar yang berisikan barang-barang ia sampirkan di punggung. Dengan sebuah tongkat kayu, Kres mengetuk pintu itu hingga terbuka, cahaya yang tak seberapa masuk dari lubang itu.

Kres keluar terlebih dahulu, ia meletakkan tas ranselnya, mengulurkan tangan untuk membantu Nova dan Luke naik ke daratan. Lalu pemuda itu menarik seluruh kotaknya sekaligus. Nova tahu bahwa kotak-kotak yang ia bawa cukup berat namun Kresna dapat mengambilnya sekali tarik. Ia melempar tambangnya ke bawah, menutup pintunya, kemudian mengedikkan dagu mengisyaratkan untuk mulai bergerak.

"Bagaimana kau membawa kotak-kotak itu sekaligus?" tanya Nova kebingungan. Tidak mungkin pemuda itu membawanya sekaligus, "Mau aku bantu?"

"Tidak usah. Lihat sekelilingmu," Kres menjawab singkat.

Meskipun banyak pohon yang mengelilingi tempat itu, ada jalan setapak yang sama sekali tidak berbatu. Tak jauh dari tempat mereka berdiri ada sebuah bilik berukuran tak lebih dari dua meter dan tanpa disadari Luke sudah berada di sana, membukanya.

Pria itu mengeluarkan sebuah troli dan berkata, "Kau bakal pakai ini 'kan?"

"Ya, terima kasih," ucap Kres sembari meletakkan kotak-kotak itu ke atas sana. Melihat Nova yang tampak kebingungan, pria itu berkata, "Kalau mereka tidak menyediakan ini, aku pasti tidak mau lagi mengantarkan barang padanya. Terkadang pesanan mereka terlalu banyak dan aku tidak bisa mengangkatnya sendirian. Bilik itu sering menjadi tempat penyimpanan dadakan."

Nova merapatkan jaketnya, matahari masih belum terbit, dan dinginnya terasa menusuk tulang. Entah semenyengat apa bau di luar sana, karena Nova sama sekali tidak bisa mencium apa-apa. Mereka berjalan menelusuri jalan setapak ke arah utara. Sunyi menyelimuti.

"Kau gugup?" tanya Luke, cukup yakin suaranya tidak bisa didengar oleh Kres yang berjalan di depan mereka, "Orang-orang ini pernah bekerja dengan ayahmu 'kan? Apa yang bakal kau tanyakan ke mereka?"

Nova menggenggam kalungnya, "Entahlah," jawab Nova, "Aku...takut."

"Takut?"

"Aku takut... jawabannya tidak sesuai ekspektasi."

Luke mendengus, "Jangan berekspektasi apa-apa kalau kau enggak mau kecewa. Pasti banyak hal yang akan membuatmu jauh lebih kecewa. Lalu kau bisa apa? Enggak ada. Kau cuma bisa bekerja lebih keras lagi untuk mengatasinya. Kesempatanmu ya cuma sekarang, Non."

Nova menghela napas. Ucapan Luke tidak salah namun tetap saja fakta yang ia ketahui tentang kedua orang tuanya tidaklah seberapa. Ibunya yang ingin menolong para patcher, entah agenda apa yang Nova tidak ketahui. Ayahnya pergi meninggalkannya selama beberapa tahun...untuk apa? Ia minta dicari dengan meninggalkan teka-teki di punggungnya, betapa merepotkan. Apa lagi kejutan yang menantinya saat Nova menanyakan pekerjaan ayahnya ke kedua dokter itu? Nova bukanlah anak kandung mereka? Kurang gila apa.

Sepuluh menit berjalan dengan kabut yang perlahan menipis dan udara yang tak kunjung menghangat, tampak siluet sebuah bangunan dengan struktur yang aneh di depannya. Seolah-olah banyak material yang ditempel seenaknya, tanpa memikirkan elemen estetis maupun fungsi. Ragam bentuk jendela yang dipasang di dinding memberi kesan bangunan itu terbuat dari rongsokan.

Meskipun mereka berhenti di pintu depan, Kres mengambil jalan memutar untuk mengintip jendela. Ia mengetuk-ngetuknya dengan batu.Semenit, dua menit berlalu, dan Kres mengetuk lagi jendelanya.

Kres mengetuknya lagi, kali ini cukup keras dan berkata "Dok, kalian mau stok barang buat seminggu ini kubuang atau gimana?"

Jendela terbuka, kepala pria dengan rambut perak muncul dari sana. Matanya disipitkan, rambutnya berantakan, ia terlihat menggigil ketika angin berembus masuk ke kamarnya. "Bahkan matahari saja belum terbit, Kres!" keluh dokter itu. Ia menyipitkan mata ketika melihat Nova namun tak ada kata yang keluar dari bibirnya.

Pintu depan terbuka. Pria yang mengenalkan dirinya sebagai Kei berdiri di depan pintu, kini dengan jaket yang cukup tebal. Setelah sedikit mengomeli Kres karena datang terlalu pagi, pria itu memandangi Nova cukup lama. Mata sayunya menatap dalam-dalam kemudian seringai kecil membigkai wajahnya.

"Kau membawa tamu yang menarik, eh, Kres."

Kresna menaikkan alisnya dan menyimpan pasokan barang mereka. Sementara itu, Nova di ambang pintu, berusaha sedemikian rupa agar tidak menggambarkan ketakutan di raut wajahnya. Ia mengatupkan geliginya, menatap mata Kei waspada.

"Aku enggak nyangka orang sepopuler dirimu akan datang sendiri ke sini. Benar-benar kejutan yang tak terduga. Kalau kau bukan putrinya Flint, aku pasti akan mengikatmu di kasur dan membuka isi kepalamu," Kei tersenyum. Pria itu terdengar tidak beres.

"Jadi kamu benar-benar kenal dengan ayahku?" Nova terdengar ragu, "Kamu tidak akan menyerahkanku ke Orenda 'kan?"

"Aku? Orenda? Bah! Itu sih masa lalu. Aku juga seorang buron, asal kau tahu saja. Siapa yang kira kalau aku akan tinggal bersama tumpukan sampah enggak jauh dari tempat mereka? Ya mereka; perusahaan sialan itu. Motor berpikir mereka lenyap kalau tidak ada aku, Dee atau ayahmu," pria itu mendengus ketika Nova tidak menanggapinya. Kei menyuruhnya masuk, "Kami punya banyak hal yang harus kau ketahui."

"Dan aku punya banyak pertanyaan yang harus dijawab," gumam Nova.

Kei mengerutkan alis ketika Luke mengikuti Nova ke dalam, "Dan siapa orang ini? Kau tahu, ketika seseorang enggak punya rambut, membedah kepala menjadi lebih mudah."

"Hentikan itu, dasar aneh," Luke menepis tangan Kei yang berusaha mengelus kepalanya, "Aku ini pengawalnya."

"Pengawal, tentu saja," Kei mendengus, memasukkan tangannya ke kantung jaket dan menyeringai, "seperti seorang putri. Dengar ya, Nova, ini masih terlalu pagi untuk membicarakan hal-hal serius. Dee masih tidur, Indhira juga belum bangun. Informasi yang kuberikan takkan lengkap kalau mereka berdua belum terjaga. Sementara menunggu, kalian bisa bersantai saja dulu. Kres akan membawa kalian keliling klinik ini setelah dia selesai dengan barang-barang kirimannya."

"Sialan kau, Dok," cibir Kresna sembari meletakkan pesanan mereka di dekat tangga putar itu.

"Yep. Aku balik tidur dulu," dokter berambut perak itu pergi meninggalkan ruangan, melambaikan tangan.

Menggeleng kesal, Kres tetap membereskan barang dan kerap menolak uluran tangan Nova. Bau yang cukup menyengat mengusik hidungnya ketika Luke membuka pintu dan menghabiskan waktunya untuk merokok. Kresna mengerutkan alis, meminta pria botak itu untuk menutup pintu.

Tak lama pemuda itu mengajak Luke dan Nova mengikutinya ke ruangan atas. Kres terbiasa melakukan segalanya sendirian seolah-olah ini adalah rumahnya sendiri. Ia menyalakan kompor untuk memanaskan teko, membuat kopi, dan juga menghabiskan waktu untuk menunggu kedua dokter itu terbangun.

"Kenapa kamu memilih untuk pergi ke sini sebelum fajar?" tanya Nova sembari melihat koleksi buku di lemari.

"Menurutmu apa? Keamanan Orenda lengah di jam-jam itu. Memang seorang rider bisa pergi ke mana saja semau mereka, tapi toh sebenarnya tidak semudah itu. Banyak jalur tertutup dan tidak semua orang mempunyai akses untuk ke sana," Kresna menyesap kopi, "Meskipun ini klinik teraneh yang pernah kukunjungi, mereka mempunyai tempat tidur yang lebih nyaman daripada tempat tidur di flatku. Setidaknya sofa ini sih begitu."

Sementara Luke mengajak Kres untuk berbicara banyak hal, Nova mengambil satu buah buku untuk dibaca. Menyelami untaian kata yang ia baca, tak lama gadis itu pun terlelap. Kepalanya terantuk-antuk karena tertidur sembari duduk dan terjaga ketika mendengar seseorang menaiki tangga.

Nova mengucek matanya, melihat arah datangnya suara. Seorang perempuan berambut pendek dengan pandangan mengawangsedikit terkejut ketika melihat Nova.

"Kukira tidak ada orang," ucap perempuan itu lalu memperkenalkan dirinya sebagai Indhira. "Kamu bukan pasien 'kan? Aku belum pernah melihatmu di Haven. Kejadian di Haven beberapa hari yang lalu cukup menyesakkan. Walaupun kamu adalah patcher, kamu tampak terlalu sehat untuk seseorang yang baru dibuang oleh Orenda."

Nova mengerjapkan mata, "Aku tidak dari Orenda. Aku datang bersama rider bernama Kres."

"Oh. Di mana dia?" tanya Indhira, "Kau tahu, aku akan membenahi pasokan-pasokan barang yang dia bawa baru nanti kita bicara. Kamu boleh membuat teh atau kopi kalau mau, oprek saja dapurnya."

"Terima kasih," jawab Nova meskipun ia tidak ada keinginan untuk meminum apapun.

Indhira menyeduh teh lalu membawa mugnya ke teras, memanggil Kresna dan berbicara dengan pria itu. Adegan di depan mereka terlihat ganjil ketika Luke datang menghampiri Indhi, berkenalan dengan seringai berintensi menggoda. Novamenggelengkan kepalanya melihat kelakuan pria berumur yang tetap suka main perempuan itu.

Nova mengalihkan perhatian pada buku yang ia ambil di lemari. Meskipun kebanyakannya adalah fiksi, ayahnya pernah mendongengkan isi buku itu sebelum ia tidur saat gadis itu masih kecil. Nova ingat bagaimana ia menarik celana ayahnya agar bisa dibacakan cerita sebelum ia pergi. Rasanya lama sekali sejak Flint menghilang dari hidupnya, meninggalkan Kirana yang juga menghilang melakukan hal entah apa. Keluarganya pernah normal. Dulu sekali.

"Dia enggak mau membuang buku itu, kau tahu," seorang pria berambut ikal dan berantakan membenarkan kacamata yang melorot —Dee. Kehadirannya disusul oleh Kei, "Dia bilang buku ini disimpan di sini saja hingga putrinya datang. Putrinya itu kamu kan?"

"Dia tahu aku akan datang ke sini?" Nova mengerutkan alis, "Apa dia di sini?"

"Tidak, tidak," ucapnya, "Dia tidak di sini. Dia berada di suatu tempat, cukup jauh. Bersembunyi dan menunggu."

"Menunggu apa?"

"Menunggu siapa, lebih tepatnya," pria berkacamata itu menuding Nova, "Kau."

Nova memicingkan matanya, "Aku? Dia pergi —menghilang bahkan— beberapa tahun yang lalu dan berharap aku mencarinya? Bercanda ya?"

"Tidak. Gambar di punggungmu yang akan menuntunmu," pria itu menyilangkan tangannya.

Nova menggeleng, "Aku membakarnya."

"Ya, tapi kamu membawa sketsanya kan?" perkataan Dee membuat Nova semakin heran. Bagaimana pria itu bisa tahu? Nova sama sekali belum menceritakan hal itu padanya. Melihat raut wajah Nova, pria itu berkata, "Flint merencanakan segalanya dan seringkali berjalan dengan sempurna. Dia tahu apa yang akan kau lakukan."

"Sudahlah Dee, kita bisa membicarakan itu semua setelah sarapan. Lagipula, Kres perlu diberitahu mengenai keadaan Haven."

Mendengar Kei mengucapkan Haven, Kres menyahut dari balkon. Pria berambut perak itu mengisyaratkan bahwa ia akan membicarakannya setelah sarapan. Suasana pagi itu dengan ganjal terasa sangat normal. Bagaikan sebuah keluarga kecil, Dee membuat sarapan, Kei membantu sekaligus merecoki dapur. Sementara itu, Indhira menyiapkan meja dan juga mengobrol bersama kedua orang pria di balkon. Nova, sibuk dengan isi kepalanya; membolak-balikkan buku itu. Siapa tahu ada lagi petunjuk yang bisa ia temukan di dalam sana.

Dua puluh menit menunggu, pria berambut perak itu menyuruh mereka untuk duduk bersama di meja makan. Tumpukan roti, daging ham, dan juga telur orak-arik diletakkan di atas meja. Anehnya, menu yang sederhana itu bukan sebuah sarapan yang paling enak yang pernah Nova rasakan namun setidaknya cukup untuk mengganjal perutnya untuk beberapa jam ke depan.

Meja makan hening, Kei tidak berkata apapun. Mereka mencoba menelan makanan tanpa adanya kerutan di dahi dan menghela napas setelah menyuap makanannya ke dalam mulut. Luke memecah keheningan, "Ini seharusnya menu sederhana, tapi kenapa gua seperti makan batu?"

"Ya, aku juga penasaran Dee. Kenapa ya?" Kei memicingkan matanya, "Kita selalu punya Dhira untuk memasak, tapi kau enggak pernah mau membiarkannya menyentuh dapur."

"Tapi masih bisa dimakan kok," Nova menusuk dagingnya dengan garpu, mendapatkan tatapan seolah-olah lidahnya telah rusak, "Terima kasih, Dok."

"Tidak masalah," ucap Dee mengabaikan protes rekannya.

Mengerling, Kei meletakkan peranti makan di atas meja; wajahnya tampak serius, "Jadi, Kres, tentang Haven," ucapnya.

"Ya? Tampak serius, tapi kenapa kalian tidak membicarakan itu terlebih dahulu?" tanya Kres, masih berusaha untuk memakan menu sarapan di depannya.

"Semakin banyak orang yang bisa memakan masakan Dee, akan lebih baik," Indhira berbisik pada Nova dengan suara yang masih bisa terdengar di telinga pembuatnya, "Kita tidak mau menghabiskan arang itu sendirian."

Dee menggelengkan kepala. "Haven runtuh."

"Apa? Aku tahu memang keadaannya sudah genting. Tapi, runtuh?"

"Kami tidak mau kau pergi ke sana," ucap Dee, "Aku tahu kau pasti akan pergi ke sana, tapi keadaannya jauh dari kata baik. Aku dan Dhira yang seharusnya datang untuk mengobati bahkan baru bisa keluar kemarin."

"Orang Orenda datang bersama King, menghancurkan segalanya," Indhira menambahkan, "Mereka bermasker gas. Tidak asing kan? Aku bahkan tidak tahu bahwa orang-orang Orenda memperdulikan para patcher maupun penduduk Haven. Rasanya ganjil."

Nova mengerjapkan mata. Ada pula orang-orang bermasker gas yang mengejarnya di museum malam itu. Nova tahu mereka menginginkan tatonya. Satu hal yang pasti, mereka pasti bekerja untuk Orenda. Luke di satu sisi hanya mendengarkan, memainkan sebatang rokok di jemarinya.

"Bagaimana dengan Raktah Sol?" tanya Kres, "Apa mereka tidak perlu dokter di sana? Dan juga aku harus menyusulnya. Tiketku untuk kembali ada pada mereka"

"Beberapa dari mereka berhasil mengevakuasi diri," ujar Kei sembari berdiri dari tempat duduknya, menyeduh segelas kopi, "Dee dan Dhira mungkin tahu lebih detil. Aku di sini menjaga klinik."

"Sayangnya, sebagian dari mereka tidak selamat," Dee menarik napas panjang, "King menghancurkan tanah, terowongannya terlalu dekat ke permukaan hingga merusak semua yang ada di atasnya. Mobil kami tidak bisa lewat dan jaraknya terlalu lebar untuk dilompati. Tapi Kirana, Shen, Hertz, berhasil mengevakuasi diri."

Kirana! Ibunya masih hidup, pikir Nova. Gadis itu melirik Luke ketika nama ibunya disebut. Meskipun tatapan mereka bertemu, pria itu tidak menunjukkan ekspresi apapun. Tangan kirinya ia pakai untuk menopang dagu, jemarinya masih terus memainkan batang rokok.

"Bagaimana dengan Abu?" tanya Kres.

Indhira menggeleng, tidak sanggup menatap mata pemuda itu.

"Sial. Seburuk itu, ya," Kres berkata lirih, "Aku akan pegi."

"Kami tidak tahu di mana lokasi mereka sekarang," ucap Dee.

"Aku akan menemukan jalannya," ucap Kres, beranjak dari duduknya, "Aku perlu uang jasa antarnya. Setelah itu aku akan berkemas."

"Apa aku bisa ikut?" pinta Nova.

Kres memandang Nova dan Luke bergantian kemudian memberikan anggukan. Hanya saja Luke langsung memanggil gadis itu, memintanya untuk berbicara secara empat mata di balkon.

"Kau tuh ngapain sih?" tanya Luke, menyalakan rokoknya.

"Lho kenapa?" merasa dipojokkan Nova berkata, "Ibuku ada di tempat di mana Kres akan pergi! Ini sebuah kesempatan!"

"Kesempatan untuk bertindak bodoh. Kalau itu, iya," Luke berkata dingin, "Kau paham enggak sih? Dee bilang mereka tidak tahu di mana lokasinya. Kau mau menghabiskan waktu berapa lama dengan pergi tanpa arah begitu? Apa kau lupa tujuanmu ke sini untuk apa?"

Nova mengerjapkan mata, mengulum bibirnya.

Menghela napas, Luke menjawab pertanyaannya sendiri dengan sedikit mengerang, "Tatomu, Non. Tatomu! Mereka pernah bekerja dengan ayahmu, seharusnya mereka tahu satu dua hal yang bisa dijelaskan."

"Tapi bagaimana jika tidak dan akhirnya tidak membawa hasil ke mana-mana?"

Luke menghembuskan asap rokoknya, terlihat gemas akan perkataan keponakan Ravi itu. Pria itu menepuk —menekan— kepala Nova hingga gadis itu mengaduh. Jarak wajahnya terlalu dekat. "Kau bahkan belum bertanya. Apa aku harus bilang kalau kau itu bodoh?"

Nova mengalihkan pandangannya dan menggeleng singkat.

"Ravi memintaku untuk menjagamu, Non. Jangan melakukan hal bodoh selama aku masih ada di sekitarmu," ujarnya, "Cobalah sedikit bergantung kepada orang yang lebih tua. Kau itu enggak sendiri. Enggak semua hal harus dilakukan sekarang. Kau punya kesempatan untuk mendapatkan sebuah jawaban. Memuaskan atau tidak, itu perihal belakangan. Mengerti?"

Dengan berat hati gadis itu mengiyakan. Saat kembali lagi ke ruangan, Kres sudah berkemas dengan tas ransel yang disampirkan di punggung. Ia menatap Nova, bertanya, "Jadi ikut atau tidak? Aku harus pergi sekarang."

Nova melirik Luke yang berada di balkon, menghabiskan sebatang rokok. Meskipun ia tidak berbicara apapun, tatapannya dalam bisu seolah-olah mengatakan untuk mempertimbangkan omongan mereka sebelumnya. Menyinggungkan senyum, gadis itu berkata, "Mungkin di lain waktu," gadis itu melirik kedua dokter beserta asistennya yang tengah membereskan meja. Pria berambut perak itu memerhatikan mereka.

"Ada hal yang harus kupastikan terlebih dahulu," jawab Nova.

*



//HALO! Iya saya berhasil update lagi yuhuuuu~~~ untuk beberapa chapter ke depan akan lebih fokus ke Nova baru kemudian pindah lagi ke Raka, jadi bersabar yah. We're almost there. Di akhir pekan ini, enggak akan bosan bilang makasih untuk yang sudah membaca dan setia menanti. Aku tanpamu hanyalah kata-kata yang bersemayam di dalam kepala. Oke deh, see you when I see you!//

Continue Reading

You'll Also Like

3.8K 1.1K 29
Apa yang akan terjadi jika Metaverse atau alam semesta fiktif mulai mengambil alih realita sebenarnya? Alvin, seorang mahasiswa di Universitas Clariu...
1.1M 105K 32
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
49.2K 4.8K 13
Salah satu pemenang the wattys 2016 dalam kategori: cerita sosial. (Underground Bullet Case:05) Wilayah Jakarta pusat gempar karena penemuan sesosok...
HISTRIONICS By Aesyzen-x

Mystery / Thriller

3.7K 932 16
[Thriller - Misteri - Action] Ersa dihadapkan dengan dendam masa lalu kakaknya, sosok yang Ersa kira menghilang tanpa jejak pada 2015 kembali muncul...