Assassin

By Irie77

116K 15.2K 5.1K

Valen Trish tidak pernah menyangka kehidupannya akan berubah. Mimpinya menjadi seorang ksatria pelindung hanc... More

Chapter 1
Chapter 2
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19
Chapter 20
Chapter 21
Chapter 22
Chapter 23
Chapter 24
Chapter 25
Chapter 26
Chapter 27
Chapter 28
Chapter 29
Chapter 30
Chapter 31
Chapter 32
Chapter 33
Chapter 34
Chapter 35
Epilog Part 1
Epilog Part 2
Chapter Bonus

Chapter 3

3.8K 451 69
By Irie77

Diatas pic. Aleea kawan.. ^^

Velian menyerahkan pakaiannya padaku, meskipun basah, setidaknya aku memiliki sesuatu untuk menutupi tubuhku. Kini ia hanya memakai celana pendek dengan bertelanjang dada. Rambut panjangnya juga turut basah dan berantakan. Sepanjang perjalanan menuju goa, aku memalingkan wajahku sambil menahan tawa. Aku hanya bisa terbahak-bahak dalam hati atas keberhasilanku memberi pelajaran pada dua iblis ini. Pertama, aku berhasil melukai Zealda dan sekarang aku berhasil membuat Velian melucuti pakaiannya.

"Hahaha rasakan!" sorak ku dalam hati.

Tak butuh waktu lama kami sampai di depan goa dan disana sudah ada Aleea dan Zealda. Sesuai dugaan ku, mereka berdua tertawa terbahak-bahak begitu melihat Velian. Aku membekap mulutku agar tidak ikut terbahak-bahak meskipun bahuku sedikit terguncang karena tawa. Aku benar-benar puas mendengar tawa mereka yang terkesan mempermalukan Velian.

"Velian, kau benar-benar tidak tahu malu," ujar Zealda dan kembali tertawa.

"Kalian pikir ini lucu?!" teriaknya menggelegar.

Kami bertiga terkaput bisu seketika dari tawa. Ternyata Velian dalam keadaan marah lebih mengerikan dari yang kubayangkan. Aku menatapnya tegang ketika ia menatapku.

"Ini semua karena mu, jadi kau tidak berhak tertawa," ujarnya tajam.

"Kau sendiri yang membuang pakaianku, jadi kau tidak berhak menyalahkan ku," balasku.

"Kau bahkan berani membalikkan ucapan ku."

"Kau pikir hanya kau saja yang bisa berbicara seperti itu?" sahutku dingin.

Velian menatapku tajam namun sedetik kemudian ia tersenyum miring dan aku mendapat firasat buruk seketika.

"Kau boleh memakai pakaianku itu kalau kau mau," ujarnya kemudian melengos pergi.

Keningku berkerut heran namun aku tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik seringainya. Dan benar saja ia keluar goa sudah bergantian pakaian sementara aku masih menggunakan pakaiannya yang basah. Sial!

Semakin lama aku mulai menggigil dan aku terpaksa duduk d iperapian sekaligus mengeringkan pakaian yang kukenakan. Aku sengaja menghindar dari mereka untuk menenangkan diri. Lukaku kembali terasa nyeri karena lembab oleh kain basah. Aku meraih obat herbal di dekatku dan mengoleskannya. Aku mengernyit kesakitan karena pedih dan membiarkan lukaku terbuka.

"Valen."

Aku menoleh dan kulihat Aleea sudah berdiri di pintu goa. Ia mendekatiku dan langsung mengecek lukaku. Ia kembali berdiri dan membuka sebuah buntalan kain besar dan mengambil beberapa kain dan memilahnya.

"Kau bisa memakai pakaianku." Aleea menyodorkan sepasang pakaiannya. "Diantara kami tubuhku yang paling kecil karena aku yang paling muda. Setidaknya ukuran pakaianku lebih baik di tubuhmu, meskipun sedikit besar tapi tidak terlalu longgar untuk kau pakai."

Aku menerima pakaian itu dengan senang hati. "Aku tidak mengerti kenapa orang baik sepertimu bisa bergabung dengan mereka?"

"Karena mereka juga orang baik, tapi mereka tidak pandai mengekspresikannya."

Aku mengerutkan kening sejenak sambil berpikir. "Mereka memang baik tapi—sikap menyebalkan mereka membuat kebaikannya tidak terlihat. Ditambah mereka suka main tangan seenaknya," gumam ku membatin.

"Aku cukup mengerti dengan keadaanmu," ujarnya lagi membuyarkan lamunanku. "Sebenarnya mereka sendiri melakukan itu juga karena heran padamu. Terutama Velian, ia tidak menyangka kalau gadis yang ditolongnya bukan gadis feminim."

"Kalau aku bukan gadis feminim lalu kenapa tidak membiarkanku pergi saja?" gerutu ku.

Aleea mendengus tertawa. "Tentu saja kami tidak akan melepaskan mu."

"Alasannya?"

"Tanyakan saja pada mereka. Aku hanya mengikuti kemauan mereka."

Aku menarik nafas panjang. "Aku tidak yakin mendapat jawaban yang benar dari mereka."

"Tidak perlu dipikirkan, sekarang kau ganti pakaianmu. Aku akan keluar."

Aku mengangguk dan Aleea melangkah pergi. Aku melongok kearah pintu goa dan segera mengganti pakaianku setelah kupastikan bahwa mereka tidak akan masuk. Ternyata memang benar, pakaian Aleea lebih baik ukurannya di tubuhku dari pada Velian. Aku merasa lega karena ada Aleea yang selalu membantuku di saat kesulitan.

Aku menjemur pakaian Velian didekat perapian supaya kering kemudian kembali duduk. Lambungku berderu karena kosong, aku benar-benar lapar. Aku menarik nafas kemudian mengambil pisau ku lagi.

Mereka menatapku ketika aku melangkahkan kaki keluar goa, sejenak kemudian Velian dan Zealda menatap Aleea dengan tatapan tajam sementara yang ditatap hanya meringis. Mereka sama sekali tak berkomentar dengan penampilanku.

"Mau kemana kau?" tanya Zealda.

"Tentu saja berburu," sahutku acuh.

"Jangan bilang kau ingin berburu buaya lagi." Kali ini Velian yang bersuara dengan nada menyindir.

Aku mendengus tertawa. "Kau pikir aku sebodoh itu sampai-sampai tidak tahu bahwa sungai itu tidak ada buayanya. Ingat bung, jangan menyusahkan dirimu untuk memburu sesuatu yang tidak ada." Aku tersenyum menang kemudian melengos pergi.

Aku kembali mematahkan ranting dan meruncingkan ujungnya untuk dijadikan tombak. Kali ini aku masuk ke hutan lebih dalam lagi dan beberapa saat kemudian aku melihat seekor kelinci hutan nan gemuk.

Aku mengendap-endap sambil menggenggam tombak ku erat. Aku mengambil posisi siap untuk menembak kemudian melemparkan tombak ku sekuat tenaga. Aku tersenyum puas karena lemparan ku berhasil mengenai kakinya.

Aku mencabut tombak ku dan menangkap kelinci itu dengan sigap. Ku tatap kelinci itu sekali lagi dan aku merasa hatiku sedikit teriris. Dia—sangat imut sampai-sampai aku tidak tega untuk membunuhnya.

Aku memekakkan telinga ketika mendengar suara geraman dari semak-semak. Kuletakan kelinci terluka itu di bawah pohon kemudian meraih pisau ku dan memasang posisi siaga.

Aku menatap semak-semak itu dan mataku melihat sekumpulan rumput liar disana bergerak. Untuk beberapa menit aku masih terdiam sambil memicingkan mata.

Tubuhku mengerjap kaget ketika sosok binatang buas melompat kearah ku. Butuh waktu untuk menyadari bahwa binatang itu adalah Harimau kelaparan. Ia menggigit bahuku dan mengoyaknya. Aku menggenggam pisau ku dan menyerang matanya.

Ia meringkik kesakitan kemudian melompat pergi, namun ia mengaum keras dari kejauhan. Tanpa pikir panjang, aku langsung membawa Kelinci itu dan lari.

Aku menarik nafas lega karena aku sudah keluar dari batas wilayahnya. Aku terduduk di bawah pohon sambil meringis kesakitan. Luka di pinggangku kembali terasa nyeri di tambah bahuku juga terluka.

Aku berjalan dengan langkah gontai menuju goa sambil membawa si kelinci. Rasa bersalah mulai menyelimuti ku ketika menyadari bahwa pakaian Aleea koyak dan ternoda oleh darahku. Sesuai dugaan ku, mereka terpana melihatku.

"Valen kau terluka?" Aleea langsung bangun dari duduknya dan menatap bahuku dengan nanar.

Aku melangkah mundur ketika ia hendak menyentuh bahuku. Pasalnya, aku sudah membayangkan sakitnya ketika bahuku disentuh.

Velian menatap kelinci dalam gendonganku dan bahuku bergantian. "Apa kau rebutan Kelinci dengan Harimau?"

Tebakannya menyadarkan ku akan satu hal. Mungkin Harimau itu memang sedang mengincar kelinci ini ketika aku memburunya.

"Menurutmu?"

"Sepertinya dugaan ku benar."

Aku melengos pergi dan masuk ke dalam goa. Aku tidak ingin mereka menatapku seperti itu. Pedih dan pegal begitu terasa di bahuku. Aku menurunkan kelinci itu dan kulihat ia masih menggeliat mencoba untuk melarikan diri. Aku membiarkannya dan menciduk sedikit air untuk membasuh lukaku kemudian mengoleskan obat herbal ke bahuku.

Aku menatap kelinci itu lagi dan aku menghela nafas dalam. Aku benar-benar tidak tega membunuhnya, dia imut sekali. Aku mengelus bulunya dan ia jinak seketika. Hatiku luluh dalam sekejap dan berniat untuk melepaskannya.

Lambungku kembali bergetar namun kali ini lebih terasa perih. Haruskah aku berburu lagi? Aku duduk dan bersandar sambil menahan lapar. Mungkin jika kubawa tidur laparku jadi hilang.

* * *

Aku membuka mata dan kulihat mereka bertiga sudah duduk mengelilingi perapian di dalam goa. Aku menatap pintu goa dan ternyata hari sudah menjelang malam. Aku mengedarkan pandangan dan aku tidak melihat kelinciku.

"Lelap sekali tidurmu." Zealda menggelengkan kepala dengan heran.

"Kalian lihat kelinci di sini?"

"Maksudmu—ini?" Velian mengangkat sepotong paha yang sudah di panggang.

Mataku melebar dan emosiku memuncak dalam sekejap ketika wajah imut itu terbayang dimataku. Aku meraih pisau dan melompat kearahnya. Aku menjepit lehernya dari belakang dengan lenganku sambil menempelkan pisau di pipinya.

"Siapa yang menyuruhmu untuk membunuhnya?" desisku.

Aleea dan Zealda terkesiap melihat aksiku.

"Sebenarnya kau memburu kelinci itu untuk dimakan atau dipelihara?"

"Bukan urusanmu!"

Velian mencengkeram bahuku yang terluka agar aku melepaskan lehernya. Sial, dia selalu menyerang titik kelemahanku.

"Rupanya kau ingin bertarung lagi denganku." Velian bangkit dengan kesal kemudian menyerangku.

Aku mundur dan menghindari serangannya.

"Velian hentikan!" Aleea ikut berdiri dan hendak melerai kami namun Zealda sudah mencegahnya.

Aku menatap Aleea yang juga ribut dengan Zealda. Sebenarnya perkumpulan macam apa ini?

"Kau bahkan berani mengalihkan pandanganmu ketika melawanku?"

Tubuhku mengerjap dan Velian sudah melancarkan serangannya. Aku terpelanting karena lengah. Velian kembali melesat kearahku tanpa memberiku waktu untuk melawan. Ia membekap mulutku kemudian memutar tubuhku dengan tali. Butuh waktu untuk menyadari bahwa tubuhku sudah terikat. Bahuku kembali terasa nyeri dan tenagaku seperti terkuras.

Zealda membawa Aleea keluar dan meninggalkanku berdua bersama Velian. Ia menatapku tajam sambil mengambil sepiring daging panggang. Ia hanya melepas ikatan di tanganku dan meletakan piring itu dengan kasar.

"Makan!"

Aku terdiam sambil menatapnya tak suka. "Aku tidak mau."

"Jangan sampai aku memaksamu."

"Kau tidak berhak memaksaku."

Velian terdiam sejenak namun rahangnya mengencang. "Baiklah jika kau tidak mau makan. Jangan salahkan aku jika aku melakukan hal ini padamu."

Velian mengigit sepotong daging di piring dan merobeknya kemudian menjepitkanya di bibir. Ia menatapku lagi namun kali ini dengan mata redup. Ia mendekatkan wajahnya perlahan dan tangannya menahan kepalaku. Pikiranku kosong seketika saat ia menekan bibirku lembut dan mendorong daging kelinci yang terjepit di bibirnya agar masuk ke mulutku.

"Aku tidak mengerti kenapa kau begitu membenciku," bisiknya lembut. "Meskipun begitu, makanlah sesuatu agar kau bisa hidup."

Aku masih terdiam sambil mengunyah daging itu perlahan. Butuh waktu untuk menata pikiranku kembali. Apa-apaan yang tadi itu?

"Aku memanggangnya untukmu. Setidaknya rasanya lebih baik dari masakanmu." Velian mengigit daging itu lagi dan menjepitnya di bibir.

Ia mendekatkan wajahnya lagi namun kali ini aku menahan tubuhnya.

"Baiklah, aku akan makan," sergahku. Aku bisa merasakan jantungku berdegup lebih kencang tanpa kutahu sebabnya.

Velian terdiam sejenak, kemudian ia menarik diri dan mengambil pisau di sebelahnya. Ia melepas ikatan di tubuhku dan meletakan sepiring daging itu di hadapanku sementara ia duduk di sampingku. Aku meraih sepotong paha lalu memakannya, dan sialnya rasanya memang lezat. Aku makan dengan lahap, pipiku bersemu saking enaknya dan suasana hatiku kembali membaik.

"Bagaimana kau bisa membuat makanan seenak ini? Sama seperti masakan ibuku," gumamku.

"Apa ibumu tidak pernah mengajarimu memasak?"

Aku menelan makanan dimulutku sebelum menjawab. "Ayah yang melarangku. Dia akan menghukumku jika aku ketahuan belajar memasak, bukan hanya itu semua yang berbau feminim selalu di jauhkan dariku."

Velian mengerutkan kening. "Apa ayahmu memiliki alasan kenapa melakukan hal itu?"

Aku mengendikan bahu sambil mengigit daging di tanganku. "Entahlah. Setiap hari ia selalu memaksaku untuk bermain pedang. Setahuku ia melakukan hal itu karena ia mendambakan anak anak laki-laki tapi ternyata aku terlahir perempuan. Aku berpikir bahwa ayah membenciku, karena itu aku melakukan apapun yang dia inginkan meskipun sebenarnya aku tidak mau termasuk—berlatih pedang."

Velian termanggut-manggut. "Kau bilang keluargamu dibantai waktu itu dan kau berhasil lolos," gumamnya sambil berpikir. "Apa ayahmu merahasiakan sesuatu?"

Aku terdiam sejenak. Ini adalah untuk pertama kalinya aku berbicara dengan Velian secara baik-baik tanpa pisau ataupun pertarungan. Dan yang membuatku heran, ia terlihat seperti sedang menyelidiki sesuatu, aku bisa membaca keseriusannya ketika menanyakan kematian keluargaku.

"Entahlah. Jangankan memberitahuku rahasia, bahkan berbicara padaku pun hanya sesuatu yang perlu saja."

Velian menarik nafas. "Kasihan sekali. Tapi—sepertinya kau harus menyelidiki lagi keluargamu. Aku merasa sepertinya ada sesuatu yang tersembunyi di sana."

Aku berhenti mengunyah sejenak. "Maksudmu?"

"Besok pagi kita harus kerumahmu."

Aku termanggut-manggut setuju. "Baiklah."

"Namaku Velian Grey," ujarnya. "Dari awal bertemu kita belum berkenalan secara resmi."

"Aku sudah tahu," sahutku. "Dan kupikir kau juga sudah tahu namaku."

"Valen Trish." Velian tersenyum miring. "Dan sekarang aku perlu tahu kenapa kau membenciku."

"Karena kau pria yang kejam, dingin dan menyebalkan. Selain itu, kau membuat lukaku tak kunjung sembuh," jawabku jujur.

Velian mendengus tertawa. "Ada hal lain?"

"Matikan semua perapian!"

Zealda melompat masuk bersama Aleea. Aku dan Velian terkesima dan segera bangkit.

"Ada apa?" tanyaku sedikit khawatir.

"Kau akan tahu nanti."

Aku mengambil air untuk cuci tangan dan sisanya kusiramkan di perapian. Aku ikut merapatkan diri ke dinding goa yang gelap. Tak lama aku mendengar deru kaki mendekat dan memasuki tempat ini. Aku melihat ada lima orang menggeledah tempat ini. Velian menyelipkan dagger di tanganku dan aku menggenggamnya erat. Aku mengamati pergerakan mereka dan memicingkan mata ketika aku merasa seperti tidak asing dengan orang itu.

Dia—yang waktu itu bertarung denganku malam itu. Rasa kesal kembali melandaku, jika saja aku tidak tertembak panah, mungkin dia sudah mati di tanganku. Aku menarik dagger ku dan bersiap menyerangnya.

"Hey apa yang kau lakukan?" bisik Zealda.

"Aku akan membereskannya dengan cepat."

Prinsip Assassin adalah menyerang titik kelemahan lawan agar bisa membunuh dengan cepat. Aku melompat dan langsung menyayat leher mereka satu persatu. Satu berusaha kabur namun aku segera melempar pisauku dan mengenai kepalanya. Aku bergerak memutar untuk menghindari serangan yang lain dan aku kembali melompat untuk meraih pedang kesayanganku yang tak jauh dari jerami tempat tidurku.

Untung saja aku pernah berlatih di tempat gelap jadi aku bisa bertarung tanpa harus ada cahaya. Aku terdiam ketika sebuah serangan mendekat kearahku dan aku membalikkan tubuh seketika sambil mengacungkan pedangku kearah depan. Pedangku menancap tepat di jantungnya.

Tinggal satu lagi, dia pria yang waktu itu bertarung denganku. Aku mengejarnya ketika ia berlari keluar goa. Aku meraih tombakku yang kugunakan untuk berburu, kemudian melemparkannya dan tepat mengenai tumitnya. Ia tersungkur ke tanah dan aku segera melompat kearahnya.

"Katakan padaku siapa yang mengirimmu untuk membunuh keluargaku?" desisku sambil menempelkan dagger di lehernya.

"Baiklah baiklah." Tubuhnya bergetar ketakutan. "Aku hanya diutus untuk membunuh ayahmu dan juga keluargamu termasuk dirimu."

"Siapa yang mengutusmu dan apa alasannya?"

"Pa-panglima dari kerajaan yang menyuruhku. Dia bilang aku harus membunuhnya dan semua anggota keluarganya termasuk dirimu, karena setelah putri mereka berusia delapan belas tahun yang mulia raja akan mengalami bahaya besar."

"Aku tidak mengerti kenapa yang mulia raja berpikir bahwa keluargaku akan membahayakan nyawanya. Kau tahu kami hanyalah rakyat biasa!"

"Ka-kami hanya menjalankan perintah. Dan—kudengar itu berkaitan dengan ritual kerajaan dua puluh tahun yang lalu."

"Ritual?" Keningku berkerut. "Ritual apa yang mereka lakukan? Dan apa hubungannya dengan keluargaku?"

"A-aku tidak tahu, ta-tapi kudengar kau memiliki tanda lahir yang sama dengan putra ke 4 raja terdahulu, yaitu pangeran Vel—aggrhh!"

Pria di hadapanku ambruk dan kulihat seonggok anak panah sudah menancap di lehernya. Aku menatap kearah datangnya panah itu dan kulihat semak belukar disana bergerak yang berarti dia sudah kabur.

"Sial!" Aku meninju pohon di sebelahku.

Ada banyak sekali pertanyaan dalam benakku. Aku yakin sekali kalau aku terlahir dari keluargaku yang rakyat biasa, tapi bagaimana bisa aku memiliki tanda lahir yang sama dengan putra ke 4 raja terdahulu? Siapa tadi namanya? Pangeran—Vel? Ah sial, kenapa paman ini mati sebelum mengucapkan kalimatnya secara tuntas. Dan sebenarnya ritual apa yang melibatkan keluargaku?

_______To be Continued_______

Akhirnya hari ini berhasil up kawan.. ^^ Maaf banget kalo author bulan ini slow up date, karena author masih sibuk ngurus proses pengeditan archer buku ke dua.. Jadi—maaf banget yah.. Mungkin bulan depan author udh mulai santai dan bisa up tepat waktu lagi.. Mohon untuk bersabar yah.. T_T

Maaf juga kalo banyak yang typo dan masih kurang sana-sini kawan, maklum gk bisa full fokus.. T_T

Jangan lupa tinggalkan jejak kawan.. Makasih banyak buat suportnya.. ^^

Salam fantasy, by Irie.. :*

Continue Reading

You'll Also Like

58.6K 9.5K 35
[Fantasy & (Minor)Romance] Ruby tidak pernah tahu bahwa kolong tempat tidurnya mempunyai ruangan rahasia. Keinginan konyolnya waktu belia, rupanya di...
76.7K 7.4K 51
Total kata yang di gunakan sebanyak 40.015 kata Mampu memahami bahasa hewan dan tumbuhan, mampu menemukan benda-benda berharga seperti kandungan emas...
310K 73.8K 36
"Bahkan walau jiwa gue dirobek berkeping-keping, gue bakalan mastiin lo bisa pulang." Pasca melihat ibu kandungnya sengaja bunuh diri di depannya unt...
7.5K 444 19
Kisah cinta terlarang antara seorang wanita desa dengan gadis kota yang ditolongnya saat terjatuh dari paralayang. Akankah mereka bersatu? "Galuhh...