Bidadari dengan Sayap Patah

By KusumaCantik

474K 14.7K 539

Aku, Moreno Alvaro Ardiansyah. Demi Kayla aku dipaksa menikah dengannya, dengan alasan bahwa cinta akan datan... More

Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Sebelas (lanjutan)
Bonus Part
Dua belas
Tiga belas
Lima belas
Sembilan belas
Bukan Dua Puluh Satu
Menuju ending
Bukan Kisah Sempurna
Thanks
Epilog
Pengumuman
Nestapa Sang Cassanova

Lima

16.4K 845 16
By KusumaCantik


Perlahan kelopak mataku terbuka, mengerjap-ngerjap, perih tertimpa cahaya. Sebenarnya rasa kantuk masih menyergap, namun sepertinya sudah pagi, sehingga secara otomatis otak memerintahkan tubuh untuk bangkit.

Hey, aku merasakan ada yang aneh. Tunggu! kusingkap selimut yang membungkus rapat tubuhku. Tak sehelai benang pun menempel. Ya, ampun! Apa telah yang terjadi. Sedikit panik, kuedarkan pandangan menyapu ruangan. Tak salah lagi, ini bukan hotel tapi kamarku. Berantakan sekali ranjang, sprei putih itu sudah tak berbentuk, bantal dan guling sudah terkulai menyedihkan di lantai, tak terkecuali pakaianku. Tiba-tiba resah menjalar samar, sekelebat bayang wajah wanita itu mampir di kepalaku. Oh, tidak, Reno tak pernah seceroboh itu. Bisik hatiku membantah debat.

Masa bodoh dengan semua pertanyaan yang sedari tadi mencecar otak. Aku butuh air hangat tuk menentramkannya. Selesai mandi, tubuh terasa lebih enteng. Lagi, kuamati kasur. Sebenarnya apa yang terjadi semalam. Apa telah terjadi badai tornado, sehingga menyebabkan kamar ini begitu amburadul. Kupunguti bantal dan guling di lantai lalu melemparnya ke atas ranjang. Tanpa sengaja sudut mataku menangkap bercak merah pada sprei putih yang terkoyak.

Kuseret kakiku menuju ruang makan. Kayla pasti sudah berangkat sekolah, karena ini sudah pukul tujuh. Sudah pasti aku pun akan terlambat ke kantor. Aku sudah menelepon Risma, sekretarisku. Setiba di meja makan, aroma kopi sudah menyambut indra penciuman. Hmm, nikmat. Niswa, kemana wanita itu. Entah, kenapa tiba-tiba ingin mencarinya. Ada apa ini, pagi-pagi hatiku sudah mengacau. Kuurungkan niat duduk untuk menikmati kopi itu lebih lama, kemudian malah mencarinya. Begitu melihatnya....

“Niswa …” dengan ragu kudekati wanita bergamis pastel itu.

Diluar dugaan, dia sangat terkejut seolah baru saja melihat hantu. Sampai-sampai benda yang dipegangnya terjatuh, menimbulkan suara berdenting. Dirapatkan punggunggnya pada sisi tempat cucian piring.

“Ja … jangan, jangan mendekat, Mas,” teriaknya.

Aku melongo, “Katakan padaku, apa yang telah terjadi?”

Dia menggeleng lemah, wajahnya pias menatapku cemas. Tanpa sepatah kata pun, berlari meninggalkan dapur.

“Niswa … ” Oh, apakah pertanda semua praduga itu benar. Kuacak rambutku kasar. Sial!

Aku berlari mengejarnya, terlambat, dia sudah menutup pintu rapat-rapat, masuk ke kamar Kayla. Sunyi.

….

Benda melingkar pergelangan tanganku menunjukkan pukul 20.00,  selesai rapat dengan klien. Ya, sebagai perusahaan pengadaan jasa alat-alat berat, pada semester kedua pertengahan tahun begini banyak proyek yang kejar tayang. Demi mencapai target perusahaan serta profesionalisme, membuatku harus bekerja ekstra keras. Sejenak melupakan semua masalah pribadi yang sebenarnya sedikit mengganggu konsentrasi.

Teringat peristiwa tadi pagi, reaksi Niswa. Apakah benar telah terjadi sesuatu? Apa aku sudah kasar padanya. Huuff, sepertinya aku harus segera pulang dan bicara pada Niswa.

“Huaaa … Bundaaa, …. Bundaa….” Sayup terdengar teriakkan gadis kecilku di antara tangisannya. Kubatalkan memutar kenop pintu, menjauh dari kamar utama menuju ke kamar Kayla.

“Kayla, ada apa ini?” Bocah itu masih terisak, menelungkupkan kepalanya di antara bantal.

“Ini, pak, non Kayla nggak mau makan. Sore belum makan,” ujar Bi Inah cemas.

“Kayla nggak mau, kalau nggak sama bunda. Telepon Bunda, papah,” bocah itu merengek. Tunggu! lalu, kemana Niswa?

“Bundanya kemana, Bi,”

“Ibu, tadi nitip non Kayla, tadi bilang mau nginap di pondok,” jawabnya terbata

Aku mengernyitkan dahi. Menginap di pondok? Apa-apaan ini? Dia tahu persis kan, seorang istri seharusnya tidak pergi begitu saja dari rumah tanpa pamit pada suaminya, walau alasannya ke rumah orangtuanya, bukan?

“Kayla, sudah, nggak boleh nangis gitu. Nanti papa panggil bundanya,” ujarku menenangkannya. Aku tak janji, hanya saja bocah ini harus dibujuk agar berhenti berteriak.

“Iya … papa buruan teleponin Bundanya yaaa,” rengeknya lagi, kedua pipinya basah oleh air mata. Begitu sayangnya putriku ini pada mama barunya. Aku mendekatinya kuusap pelan kepalanya.

Aku mengangguk, “… tapi sekarang makan ya, nanti papa bilang sama bunda.” Kucium puncak kepalanya, sebelum berlalu meninggalkannya.

Begitu berada di luar kamar, Bi Inah tergopoh-gopoh mengikutiku, “Pak, tadi, ibu sakit, saya sempat pijitin.” Bi Inah menundukkan kepalanya.

Langkahku terhenti,  “Sakit?” kaget, iya ...sangat. Bukankah tadi pagi baik-baik saja,  “Sakit apa?”

Bi Inah menggeleng lemah, “… badannya panas,” jawabnya.

“Tolong jagain Kayla, pastikan tidak tidur larut malam,” perintahku. Bohong, jika aku bilang tak kuatir. Aku gelisah, iya … karena tanpa pamit, Niswa pulang ke rumah orangtuanya. Kini ditambah lagi kondisinya sakit. Ckk, merepotkan!

Sepertinya drama dalam hidupku segera dimulai. Inilah yang kutakutkan, ini tidak menyenangkan. Tiga tahun jiwaku merasakan kebebasan. Aku nyaman dengan itu, walau ku tahu banyak melakukan dosa dengan penyaluran hasrat yang tidak halal. Hey, persetan tentang halal dan haram? Selama itu tidak merugikan orang lain. Aku harus apa jika hoby pun dikatakan sesuatu yang haram. Minum.

Di dalam kamar, tergeletak secarik kertas di atas nakas,

‘Assalamualaikum, Mas. Maaf, Niswa pamit pulang ke rumah Abah. Saya sedikit tidak enak badan, saya takut akan merepotkan. Saya sudah titip Bi Inah untuk menjaga Kayla. Sekali lagi maafkan Niswa, Mas. Wassalamualaikum’

Kini aku gelisah, mondar-mandir di dalam kamar. Kalau mama sampai tahu, bisa gawat. Bisa-bisa diceramahi sehari semalam. Berkali-kali kutelepon nomor Niswa, tapi gawainya mati. Tanpa sengaja sudut mataku menangkap buku tebal di atas meja yang berada di sudut kamar. Tak biasanya rasa penasaranku begitu besar, kuambil buku pada halaman depan berjudul, “Fiqih Wanita,” ejaku pelan. Bacaan berat. Kubuka-buka asal, bukan untuk membacanya, hanya sekedar ingin tahu sekilas apa isi buku itu. Tiba-tiba, secarik kertas terlipat jatuh di sudut kakiku.

Alisku bertaut, ini bukan sekedar kertas catatan, tapi … sebuah surat.

Assalamualaikum,

Bintangku, maaf, terpaksa aku lancang menulis surat ini. Sepertinya
kamu tak izinkan aku menghubungimu.
Kamu pun melarang para ustazah di pondok memberikan nomormu padaku.
Aku sangat kecewa begitu tiba di Indonesia, bintang yang selama ini menerangi hatiku tiba-tiba menjadi hak laki-laki lain.

Aku rela jika semesta menghukumku, setelahnya aku berharap bintang itu bersinar kembali untukku atas Ridha Nya.

Wassalamualaikum.

Ramadhan

Entahlah, ada yang berdesir ketika membaca secarik kertas ini. Kalimatnya puitis, luapan hati yang dalam. Mungkin egoku sebagai laki-laki jantan sedang merespon keras. Walau kubilang aku tidak ada rasa, wajar bukan seorang laki-laki geram istri sahnya disambangi laki-laki lain? Berani sekali dia! Aku tersenyum sinis. Jadi begini cara laki-laki sok alim menganggu istri orang!

Reflek kuremas kertas itu, melemparnya ke tempat sebagaimana mestinya. Sampah!

Continue Reading

You'll Also Like

32K 2.9K 50
Ini hanya sebuah fiksi dan jangan sangkut pautkan kepada real life. Selamat membaca. Jangan lupa untuk votenya.
172K 13.1K 30
Bagaimana cara nya hidup bersama orang yang sama sekali tidak kita sukai?. Akankah hubungan mereka baik-baik saja, atau mungkin?, Ikutin cerita ini...
452K 16.2K 26
GANTI COVER. "lo udah merk*sa gue dan lo bilang lo gatau apa apa?!" -arsyila, gadis itu bertanya, entah apa yang ada dipikiran cowok brengsek tersebu...
312K 15.7K 32
[Follow dulu untuk bisa membaca part yang lengkap] Tarima Sarasvati kira akan mudah baginya menjadi istri bayaran Sadha Putra Panca. Hanya perlu mela...