"Siapa nama anak perempuan dari Lucian?"
"Namanya Thanasa Lucian, Yang Mulia. Dia salah satu keluarga kerajaan Lucian yang terkenal pembangkang."
Pemuda berbaju kebangsawanan yang tengah duduk disinggasananya berdiri, dengan muka datar mengangkat suara lagi. "Kita ubah rencana awal. Bunuh semua keluarga Lucian kecuali Tristan dan gadis itu."
"Perintahmu adalah mutlak Yang Mulia, akan saya laksanakan dengan baik." Pengawal berbaju besi tadi membungkukkan badan pamit.
***
Hari ini adalah hari cerah bagi keluarga Lucian. Semuanya bahagia dan bercengkrama santai sembari menikmati pertunjukkan seni tarian. Hari ini adalah hari pertunangan Tuan Putri Thanasa dengan seorang Pangeran dari Kerajaan Grassia, Lander Grassia. Sahabat kecilnya dulu.
Thanasa begitu cantik dengan gaun merah putih yang ia kenakan. Terdapat beberapa hiasan dirambut yang menambah kepiawaian gadis itu. Semua orang disana menatap takjub dan bertubi-tubi memuji kecantikkan putri Lucian. Tidak pernah ada gadis secantik Thanasa Lucian, wajahnya begitu langka. Mungkin karena menurun dari sang Ibu yang berasal dari kerajaan timur.
Dibalik wajah ayu Thanasa, ia merasa jengah berada dikerumunan ramai seperti ini. Apalagi banyak pasang mata yang mengawasinya dengan liar.
"Hei, kau baik-baik saja?"
"Kakak!" Kedatangan Tristan membuat Thanasa bersorak riang. Tidak peduli dengan semua orang yang ada disana, Thanasa lekas memeluk Tristan begitu erat. Akhirnya ada salah satu orang yang bisa menghapus kebosanannya. Thanasa sangat bersyukur Kakaknya datang di waktu yang tepat.
"Ada hal yang inginku bicarakan dengan mu Thanasa."
Lingkaran tangan Thanasa melonggar, ia mendongak melihat raut muka Tristan. Tidak biasanya muka sang Kakak terlihat begitu serius. Kini Thanasa benar-benar melepaskan pelukkannya dari Tristan.
"Ada apa Kak?"
"Aku ingin bicara serius denganmu, tapi tidak disini."
Tristan mengerti ekspresi bingung diparas Adiknya, ia menggenggam tangan Thanasa menuju suatu ruangan, "Ayo, akan kujelaskan nanti."
***
"Hormat saya Yang Mulia. Sungguh suatu kehormatan bisa menjalin hubungan dengan putri anda."
Lucian mengangkat tubuh Lander supaya bangun. Tidak pantas seorang calon menantu Raja Lucian membungkukkan badan.
"Bangunlah. Kau tidak boleh memberi hormat padaku jika dihadapan para petinggi kerajaaan lain. Kau tau peraturan tersebut kan?" Suara Lucian lebih terdengar seperti berbisik, tidak mungkin ia menasehati Lander didepan umum.
"Apa anakku membuat kesalahan?"
Netra hitam Lucian melongok ke belakang tubuh Lander. Erland Grassia. Teman seperjuangannya dulu yang akan segera menjadi besanan.
***
"Maafkan Kakak, Thanasa. Kakak tidak berniat untuk berbuat jahat kepadamu."
Alis Thanasa mengkerut heran, "apa yang sedang Kakak bicarakan?" Apa karena Lucian sering menjauhkan Tristan dari Thanasa, makanya sang Kakak menganggap dia adalah seseorang yang jahat? Lagipula, sampai detik ini Thanasa tidak mengerti kenapa Ayah tercintanya tidak begitu suka ketika Tristan berdekatan dengan dirinya. Mereka Kakak Adik bukan?
Sorot bersalah terus terarah pada mata Thanasa, seolah-olah ia telah melakukan perbuatan yang tidak akan pernah bisa dimaafkan. "Thanasa, Kakak minta maaf."
Hiruk pikuk diluar terdengar berisik sekali. Teriakkan dan suara tapakkan kaki terdengar begitu jelas, seperti sedang terjadi sesuatu.
Alord dan beberapa pengawal masuk ke ruangan tempat Thanasa dan Tristan berbicara. Cukup terkejut melihat hal tersebut. Jantung Thanasa berdetak kencang, ia yakin hal buruk sedang terjadi.
"Tuan Putri, anda harus ikut dengan saya." Tidak biasanya Alord tidak menundukkan kepala menghadap dirinya, seorang Tuan Putri Lucian. Thanasa bertanya-tanya.
"Ada apa Alord?"
"Maaf Tuan Putri, anda harus segera ikut dengan saya ketempat yang aman."
"Memangnya kenapa? Apa yang sedang terjadi Alord?"
Mata Alord beralih ke Tristan yang dijawab dengan anggukan oleh Pangeran tunggal Lucian tersebut. Lalu, tanpa aba-aba Alord langsung membawa Thanasa pergi. Si gadis memberontak tidak suka, ia ingin tahu hal apa yang sedang dialami.
Tristan dan pengawal lainnya sudah tidak terlihat.
Alord membawa Thanasa melewati sebuah lorong dibawah tanah.
"Alord, jelaskan apa yang terjadi? Kenapa kau membawaku kesini? Alord! Alord! Dengar perintahku!" Tidak peduli dengan teriakan sang Tuan Putri, Alord terus melangkah hingga mereka sampai dibelakang kerajaan. Terdapat seekor kuda putih disana. Alord memaksa Thanasa naik, tangan gadis itu diikat sehingga dia tidak bisa meronta lagi.
Selesai, Alord memacu kuda kearah hutan.
***
Darah bersibakkan dimana-mana. Banyak tubuh tak berdaya sedang terbaring disana. Barang-barang dan makanan yang sudah berubah bentuk juga ikut menghiasi lantai.
Tenang.
Sepi.
Hanya keheningan dan bau amis yang melanda.
Para pengawal berbaju merah marun segera pergi dari kerajaan Lucian.
***
Tempat yang tidak asing. Memasuki sebuah gua yang pernah ia singgahi.
Thanasa mengenal tempat ini.
Benar saja, ketika menembusi gua, tempat yang ada di ingatan Thanasa sekarang, persis seperti tempat sebelumnya yang pernah ia kunjungi. Ya, tempat ini. Tempat dimana 3 hari sebelum menjelang hari pertunangannya dengan Lander.
Perasaan sudah setengah hari perjalanan, tapi mereka tak kunjung sampai. Thanasa masih agak terkejut, khawatir, bingung dan merasa bodoh.
Dirinya bertanya-tanya. Apa ini sebuah perintah dari sang Ayah, menyuruh Alord membawa kabur dirinya dari pertunangan? Bahkan mereka belum sempat bertemu.
Tapi Bukankah itu hal yang mustahil?
Lalu apa?
"Kita sampai Tuan Putri." Baru sadar tempat tujuan mereka sudah tiba, Thanasa menilik semua pemandangan yang tengah ia lihat sekarang.
Sebuah kastil yang sangat besar, bahkan jauh lebih besar dari kerajaaan Lucian. Apakah ini kerajaan orang lain? Atau kerajaan teman Ayahnya mungkin?
Ikatan tangan Thanasa sudah lepas. Alord menuntun Thanasa menuju ke suatu lokasi. Mendadak gadis cerewet itu diam. Tidak seperti diri aslinya. Seputar pertanyaan yang hendak diajukan kepada Alord yang ia susun saat sampai di tempat, lenyap. Ah, dia lupa karena saking fokusnya memandangi keindahan kastil yang sedang dikunjungi.
Tampaknya angan-angan Thanasa untuk melihat tempat yang permai, hangus. Karena semakin mereka masuk, hawanya semakin tidak enak karena tercium beberapa bau tak sedap yang lewat. Seperti bau amis darah.
Melintasi lorong demi lorong, mereka bertemu dengan beberapa pengawal berbaju marun yang tengah menjaga sebuah kurungan atau yang biasa di sebut penjara mungkin?
"Alord, ini tempat apa?" Lirih Thanasa pelan, netra coklatnya bergulir kekanan dan ke kiri meratapi sekeliling ruangan. Entahlah, dia merasa kalau terlalu berisik akan menimbulkan masalah.
Berhenti. Thanasa mengikuti Alord.
Sedari tadi Alord tidak menjawab pertanyaannya. Sungguh, ini bukan Alord yang ia kenal.
"Kurung dia."
Tersentak, Thanasa diseret masuk oleh 2 pria bertubuh kekar tersebut. Setelahnya, ia dikunci.
Berlari mendekat tiang jeruji besi, Thanasa menatap Alord berang. "Alord! Apa yang kau lakukan?! Kau mengurungku di tempat seperti ini?! Apa ini?!"
Menghiraukan kicauan Thanasa, Alord pergi meninggalkan Thanasa. Ah bahkan ia tidak peduli dengan teriakkan si gadis dibelakang.
"Alord! Alord! Lepaskan aku! Alord! Bajingan! Lepaskan aku!"
***