LUST for LOVE (2)

By kicauanpelangi

157K 11.3K 5.6K

[LOVE or LUST: Season 2] - [COMPLETED] _____________ ✔ FOLLOW terlebih dahulu sebelum membaca karena akan ada... More

PROLOG
1 - NEW TEAM
2 - KAWAN ATAU LAWAN
3 - WHEN I SEE YOUR FACE
4 - SUATU PAGI DI PRAHA
5 - BOGOR & BOY
6 - SOULMATE
7 - HAPPY PRAS DAY
8 - DOUBLE DATE?
9 - WHO IS DENIS?
10 - TERIMA KASIH PRAS
11 - CINTA ATAU NAFSU?
12 - S E P T A
13 - THAT'S LUST NOT LOVE
14 - WHO ARE YOU?
15 - DECISION
16 - THE APARTMENT
17 - LIFE WITH LOVE
18 - ME, BETWEEN US
19 - COMING OUT
20 - SANG PENGAGUM RAHASIA
21 - LEMBAYUNG
22 - LEMBAYUNG (PART 2)
23 - LOVE NO LIMIT
25 - THE INSIDENT
26 - SEBUAH PESAN
27 - ANCAMAN & KENANGAN
28 - SHE IS BACK
29 - SEBUAH PERINGATAN
30 - LE COUP DE FOUDRE
31 - MELEPAS MATAHARI
32 - DIORAMA
33 - MISTERI SANG PENEROR
34 - REVENGE
35 - THE DETECTIVE
36 - THE END OF US
37 - A SUSPICION
38 - LOVE OR LUST 2
39 - KEBENARAN
40 - KABAR PERTUNANGAN
41 - LUST IS LUST
42 - LUST FOR LOVE
43 - LOVE IS LOVE
EPILOG

24 - SEPASANG SEPATU

2.7K 261 77
By kicauanpelangi


"Jauh itu hanya sebuah jarak. Tapi hati, selalu dekat seperti sepatu dan talinya. Yang kemana-mana selalu bersama" ~ Boy Alexander.

==================

"Alhamdulillah sampai juga" kataku ketika Boy baru saja mematikan mesin mobilnya.

Aku langsung turun dan kubawa satu tas miliknya yang disimpan di kursi belakang.

Hari ini, jam setengah satu siang. Aku dan Boy baru saja tiba dari Bogor. Boy akan terbang ke Filipina jam sembilan nanti malam. Maka selepas kerja kemarin, aku dan dia langsung berangkat ke rumahnya. Dan hari ini aku minta cuti dari kerja.

Selalu ada perasaan cemburu manakala melihat sebuah keluarga yang begitu hangat. Mungkin aku egois kalau berbicara seperti ini. Karena pada kenyataannya di luar sana masih banyak juga anak yang tidak mendapatkan keluarga yang harmonis. Tapi perasaan cemburu itu tetap saja selalu melintas disaat mataku menyaksikan bagaimana hubungan sebuah keluarga yang luar biasa perhatian pada anaknya. Boy bukanlah seorang anak kecil, tetapi aku melihat dan ikut merasakan bagaimana suasana haru orang tuanya untuk melepas Boy pergi ke Filipina. Padahal negara yang dijuluki Lumbung Padi ASEAN itu adalah tanah kelahiran ayahnya. Dan Boy bukanlah orang asing juga kalau pun harus tinggal di negara itu. Tapi tetap saja, orang tua yang begitu sayang pada anaknya akan merasa ditinggalkan. Kuliah bukanlah waktu yang sebentar. Meski jarak Jakarta - Manila itu tidak begitu jauh, tetapi bukan berarti Boy bisa pulang setiap sebulan sekali.

Ah, aku jadi terus menerus ingat keluargaku. Kepedulian terakhir mereka yang luar biasa diberikan padaku adalah disaat aku terbaring di rumah sakit pasca pengeroyokan waktu itu. Setelahnya? Ya. Mereka sudah menerimaku sebagai seorang gay, tapi sikapnya tidak berbeda jauh seperti sebuah keluarga tiri pada anak pungutnya yang suka aku lihat di film-film. Mereka tidak sekedar dingin, tapi seolah aku ini hanya pelengkap keluarga saja. Ada atau tanpa aku pun sepertinya gak ada masalah bagi keluargaku. Bahkan bisa jadi kepergianku dari rumah adalah sebuah kebaikan bagi mereka. Berbeda sekali dengan Boy. Keluarganya nampak begitu berat untuk melepas Boy. Padahal selama ini Boy juga di Jakarta, dan jarang sekali ada di rumah. Ia gak pulang sebulan sekali apalagi dua Minggu sekali. Boy selalu pulang ke Bogor semau dia.

"Sayang... Kamu senyum dong... Dari semenjak di mobil kamu hanya diam saja. Bagaimana aku bisa pergi kalau kamu masih seperti ini..." Ujar Boy saat aku membuka pintu apartemen.

Belum ada jawaban yang kuberikan. Kami pun segera masuk. Aku meletakkan tas yang kubawa di sofa. Sementara Boy begitu saja meletakkan koper yang dibawanya di dekat pintu.

Aku segera mengambil air minum ketika tiba-tiba saja Boy memelukku dari belakang. "Sayang... jujur aja aku gak mau pergi. Aku lebih memilih di sini bersama kamu. Tapi..."

"Boy.. kamu apaan sih?" Aku segera meletakkan gelas di tanganku dan melepaskan pelukan Boy.

Lalu berbalik menghadap ke arahnya. "Aku gak apa-apa kamu pergi. Aku harus berapa kali lagi meyakinkan kamu kalau aku sudah siap ditinggal sama kamu? It's okay beib..."

"Terus kenapa kamu keliatan sedih banget? Dari tadi diem mulu. Aku ajak ngobrol juga malah pasang earphone"

"Sorry... Aku lagi males ngobrol tadi" aku mengusap pipinya sambil tersenyum kecil. Lalu pergi menuju ruang TV.

"Kamu kenapa sih sebenarnya? Semua senyuman yang kamu berikan dari semalam kayaknya bukan sebuah senyuman yang ikhlas. Seperti terpaksa" Boy berjalan mengikutiku.

Aku kembali berbalik mendengar perkataannya barusan. "Terpaksa? Terpaksa apaan sih?"

"Sayang... I know who you are. Pasti lagi ada yang kamu pikirkan. Oke gak apa-apa kalau kamu gak mau cerita tapi aku mohon jangan bikin aku berat ninggalin kamu" Boy meletakkan kedua tangannya di pipiku.

Seketika aku jadi ingin sekali memeluk Boy. Maka dengan cepat aku segera meraih tubuhnya. Dan tanpa bisa ditahan air mata pun keluar begitu saja.

"Tuh kan... Kamu lagi sedih.." ujar Biy langsung menyadari kalau aku sedikit terisak.

"No... I'm okey... Aku hanya ngiri lihat kamu dan keluarga kamu" bisikku dalam pelukannya.

"pasti kamu kepikiran lagi keluarga kamu kan?" Tanya Boy. Aku hanya mengangguk kecil menjawabnya.

"Baby... Aku tahu rasanya di posisi kamu kayak gimana. Tapi kamu harus sabar. Bukan perkara mudah bagi orang tua menerima anaknya yang seorang gay. Tapi kamu harus percaya, akan ada hari dimana kamu bisa kembali ke pelukan keluargamu. Kalaupun memang terlalu lama itu terjadi, aku selalu bilang sama kamu jadikan keluarga aku sebagai keluarga kamu juga. Toh keluargaku juga selama ini sudah menganggap kamu sebagai bagian dari keluarga juga. Kamu jangan terus merasa kehilangan sosok keluarga. Aku pacarmu, tapi aku juga keluargamu" jelas Boy.

Aku langsung mengeratkan tanganku memeluknya.
"Makasih ya Boy..."

Gak lama setelah itu Boy melepaskan pelukanku. Ia mengangkat wajahku sehingga aku sedikit menengadah menatap matanya. "Pokoknya, selama aku pergi kamu bebas bawa siapapun teman kamu ke sini. Teman kamu itu banyak banget. Lebih banyak dari aku. Relasi kamu luas. Aku gak mau kamu merasa kesepian. Merasa sendirian. Jadi silahkan kamu ajak teman-teman kamu. Makanya kenapa aku minta Denis di sini juga supaya kamu ada teman"

Perkataan Boy itu sontak membuatku merasa semakin sayang padanya. Boy tidak seegois aku. Ketika aku harus meninggalkannya sendirian di apartemen disaat aku bekerja, selalu banyak sekali pikiran negatif kalau Boy akan melakukan sesuatu. Tetapi sekarang justru Boy memberikan kebebasan padaku. Bahkan dia rela membiarkan Denis, orang yang menyukaiku untuk tinggal bersamaku. Boy sama sekali tidak berpikir macam-macam terhadapku. Ia hanya ingin melihat aku bahagia. Melihatku tidak kesepian.

"Makasih Boy..." Aku kembali memeluk tubuhnya.

Dia benar.
Teman-temanku banyak sekali.
Tapi bisa dihitung berapa orang yang dekat denganku. Maksudnya yang aku anggap lebih dari sekedar teman saja. Yang dekat denganku memang banyak. Tetapi sahabat atau teman spesial mungkin gak sampai sepuluh orang. Itupun satu persatu mulai berjauhan. Entah karena usia yang menyebabkan lingkup pertemanan mengecil, atau karena kesibukan yang pada akhirnya masing-masing jadi fokus pada menata masa depan untuk membina keluarga.

Sahabat-sahabatku di masa kuliah pun pada akhirnya jadi terpisah berjauhan. Meski selalu ada komunikasi, tetapi gak seintens jaman dulu. Bahkan komunikasi dengan mereka pun perlahan mulai jarang sekali dilakukan. Sekarang, aku merasa hanya punya Boy seorang setelah Alvin berubah menjadi orang paling brengsek di mataku.

Mbak Lea, Mbak Clarissa, Mas Galuh? Ya. Mereka orang terdekatku juga. Tetapi aku masih tidak mengerti hubungan kami itu jelasnya apa? Mungkin karena perbedaan usia juga yang pada akhirnya hubungan kami lebih kepada seorang adik dan kakak. Itu pun aku masih ragu dengan Mas Galuh dan Mbak Clarissa sekarang. Apa iya mereka masih mau menganggapku sebagai adiknya?

Tapi sebentar.
Kenapa aku jadi teringat seseorang? Aku yakin betul, ada satu sahabatku waktu kuliah yang mendapat kerja di Jakarta. Kalau gak salah dia juga kerja di televisi swasta sepertiku. Kenapa juga aku gak menghubunginya?

"Sayang... Kok kamu diam saja? Kamu gak apa-apa kan?" Tanya Boy.

Aku langsung tersadar.
"Eh, maaf Boy... Enggak kok, aku udah gak kenapa-kenapa. Makasih banget yaa..." Kulepaskan pelukanku.

"Ya udah kalau gitu sekarang kita makan dulu" Boy mengusap sisa air mata di wajahku.

Aku mengangguk mengiyakan.
Maka dengan segera kami pun langsung ke meja makan. Boy membuka bungkusan nasi yang kami bawa dari Bogor. Lalu makan siang bersama setelah itu.

Selepas makan siang aku dan Boy langsung mengemas barang-barang yang akan ia bawa ke Filipina.

"Sayang tas yang tadi kamu bawa keluarin isinya, kamu masukin ke koper yang silver ya. Kalau masih kosong nanti tambahin dari koper kecil yang aku bawa tadi" ujar Boy sambil mengeluarkan beberapa pakaian dari lemari.

"Okey" kataku singkat. Lalu kuambil tas yang tadi kusimpan di sofa.

"Oya, koper yang aku bawa tadi mana ya?" Sahut Boy.

"Hmmm... Kamu letakkan di dekat pintu tuh"

"Oh Jesus... Lupa aku. Maaf dong kamu ambilin sekalian hehe"

Hampir dua jam lamanya kami mengemas barang saking banyaknya yang mau Boy bawa termasuk oleh-oleh Indonesia untuk keluarganya di Filipina. Bertepatan dengan itu adzan ashar pun berkumandang di langit Ibu Kota.

"Puji Tuhan... Selesai juga..." Boy meregangkan kedua tangannya.

Pun dengan aku yang langsung membaringkan tubuhku di lantai kamar sebelum memutuskan untuk pergi sembahyang.

"Eh ada yang ketinggalan" Boy langsung berdiri dan membuka lemari kembali.

"Apaan?" Aku bangun karena penasaran.

"Taraaa..." Ia menunjukkan tiga kotak bungkusan kondom yang masih tersegel rapi dan satu kotak yang sudah terbuka.

"Hah? Kondom? Mau kamu bawa?"

"Enggak lah. Ngapain bawa-bawa kondom?" Boy kembali duduk di lantai di dekatku.

"Kondom-kondom ini mau aku hancurkan. Buat apa juga kan kamu simpan kondom selama aku gak ada hehe" ia menatapku sambil tersenyum.

"Huu....dasar.... Ternyata kamu takut juga ya aku 'main' sama yang lain" aku langsung melemparinya dengan satu kotak kondom yang ia letakkan di lantai.

Boy mulai membuka satu kotak pertama.
"Iya lah... Aku gak rela kalau kondom ini sampai habis kamu pakai. Masalahnya kan gak mungkin kamu coli pake kondom haha"

"Dasar kamu tuh emang kamu pikir aku apaan. Terus mau dihancurin gimana itu kondom? Apa gak sebaiknya dikasih ke orang yang membutuhkan?" Tanyaku memberi saran sekenanya.

"Haha kamu tuh ada-ada aja sayang. Siapa juga yang membutuhkan kondom? Lagian harga kondom kan murah. Orang butuh, tinggal beli. Dan juga ya... Ngasih kondom cuma-cuma sama aja kita nyuruh dia ngeseks haha" jawab Boy sedikit tertawa.

"Ya gak gitu lah..." Sanggahku buru-buru.

Boy pun kembali berdiri. Diambilnya sebuah gunting lalu duduk kembali.
Aku sedikit terkejut dibuatnya.

"Kamu mau..."

"Yes! Potong semua kondom ini biar gak bisa dipake hehe" potong Boy cepat.

"Haha kejam banget sih" balasku.

Ia pun segera memotong satu persatu kondom itu hingga tersisa dua lagi di tangannya yang belum ia buka.

"Oke selesai" ujarnya memperlihatkan kondom yang berhasil ia potong berserakan di lantai.

"Lah itu dua lagi?" Tanyaku.

Boy mendekatkan wajahnya padaku. "I wanna fu*k you, and baby... fu*k me please... With your beautiful dick" bisiknya.

"What? Sekarang? Di sini?" Aku sedikit melotot ke arahnya.

"Kapan lagi? Hanya tersisa beberapa jam lagi waktu kita" ujarnya sambil tersenyum nakal.

"Gantian?"

"Of course" ia mengedipkan satu matanya.

Aku terdiam sesaat.
"Gak ah, aku capek"

Boy langsung meraih daguku dengan tangannya. "Bener gak mauuu...?"

"Emm... Gimana ya?" Aku menaikkan kedua bola mataku pura-pura berpikir.

Boy kembali mendekatkan wajahnya padaku lebih dekat dari sebelumnya.
"Gak usah banyak bicara. Let's do it baby"

CUP!

Ia langsung menempelkan bibirnya di bibirku. Lalu mendorong tubuhku ke lantai dan langsung menindihku.

Darahku seketika bergelora. Bibir kami masih terekat erat tanpa terlepas sedetik pun. Hanya dalam beberapa menit kami sudah celentang telanjang di atas lantai memandang langit-langit apartemen. Ini sebuah sore yang begitu panas di akhir bulan. Dan aku tidak mau melewatkan percintaan kami ini dengan sia-sia. Maka ditengah-tengah kondom yang berserakan itu, Boy seperti yang diucapkannya langsung memintaku untuk menjadi top nya. Mustahil jika ada penolakan dariku. Aku langsung menyetujuinya dengan cepat. Kubiarkan Boy yang masih berada di atas tubuhku. Aku mulai memasukkan pusaka milikku dengan posisi di bawah.

Setelah aksiku selesai, giliran Boy yang menjadi top untukku. Kami masih terburu nafsu yang membara. Pantulan langit yang mulai kemerahan dari jendela kaca sana seolah mengimbangi irama pergulatan hebat ini agar terus berlangsung tanpa henti. Berbagai gaya kami coba. Entah kenapa gak biasanya kami melakukan percumbuan seliar ini. Seakan tak akan ada lagi percumbuan di antara kami berdua, aku dan Boy benar-benar memanfaatkan momen ini menjadi percintaan yang akan meninggalkan cerita indah di kemudian hari. Aku berani bersumpah jika pergulatan ini adalah percintaan kami yang paling hebat karena kami sampai melakukannya berkali-kali.

"Allahu Akbar, Allahu Akbar"

"STOP IT!" Ucapku buru-buru saat Boy asik memainkan lidahnya di leherku yang penuh keringat.

"Why?"

"Sepertinya cukup Boy. Udah adzan ashar juga. Gak enak sama Tuhan, orang lagi adzan ini malah.." bisikku.

"Haha iya iya" Boy segera melentangkan tubuh penuh keringatnya di lantai.

Sementara itu aku segera bangun dan kuraih celana dalam untuk menutupi kemaluanku yang masih tegang sempurna.

"Capek yaa... Tapi mantap sekali. Kamu hebat sayang bisa ngebuat aku keluar sampai tiga kali" ujar Boy ketika aku berjalan mendekati jendela.

"Kamu juga. Baru kali ini aku di fu*k dua kali dalam waktu yang non stop. Biasanya juga kalau beberapa ronde ada jedanya" jawabku berdiri di dekat kaca menghadap ke arah Boy yang terlentang.

"Langitnya indah banget. Merah. Dan kamu berdiri di situ jadi siluet hitam memperlihatkan tubuh indahmu sayang" kata Boy masih terlentang menatap ke arahku.

"Eh sebentar. Kamu diam di situ" Lanjut Boy buru-buru bangun.

Lalu diambilnya smartphone miliknya dan dengan cepat ia langsung memotret tubuhku.

Boy berjalan ke arahku. "Bagus bukan?" Ia memperlihatkan hasil jepretannya itu.

Benar apa yang Boy bilang. Foto itu memperlihatkan siluet hitam tubuhku dengan latar langit jingga yang begitu merah menyala.

"Ini akan aku jadikan wallpaper" lanjut Boy sembari memainkan telepon pintarnya.

"Ya udah kamu istirahat. Kamu kan capek. Masih ada waktu buat tidur sebelum kita ke bandara. Aku mau mandi dulu" kataku.

"Tuh pake bajunya" sambungku sebelum akhirnya meninggalkan Boy di kamar.

Baru saja aku hendak membuka pintu kamar mandi, tiba-tiba aku ingat sesuatu.

'bentar... Langit merah banget. Terus tadi perasaan beres kemas barang adzan Ashar deh... Nah, barusan adzan...'

"BOOOOY!!" Teriakku seketika.

"Ya! Kenapa? Kamu jatuh?" Boy berlari dari kamar dengan wajah paniknya.

"Kamu gak jatuh ternyata. Kamu kenapa berteriak?" Tanya Boy terlihat begitu penasaran.

"Lihat jam di HP kamu" pintaku segera.

"Hah?" Boy malah menaikan satu alisnya.

"Lihat jam!" Tegasku.

Boy langsung melihat ke arah ponselnya.
"Jam enam lebih sepuluh menit"

"What? Jadi... Barusan itu adzan Magrib bukan adzan ashar!!" Aku terkejut bukan main.

"Oh iya" balas Boy singkat.

"Oh iya-oh iya... Aku gak shalat ashar tahu!" Aku sedikit memukul bahunya.

"Ya udah di qada aja kan bisa"

"Qada... Qada... Emang semudah itu shalat di qada? Kan alasannya harus jelas"

"Ya ini kan juga jelas. Kamu abis melayani suamimu hehe" jawab Boy sekenanya.

"Boy! Aku seriuuuus....!"

Boy sepertinya acuh dengan ucapanku. Masih dengan telanjang bulat, ia menyenderkan tubuhnya di pintu kamar mandi
"Bentar juga ya kita main. Serasa lama padahal"

"Dodol kamu! Bentar dari Hongkong!! Tiga jam non stop! Pantesan pantat aku sakit rasanya" aku reflek menotor kepalanya.

"Ya tiga jam mah bentar. Kita pernah sampai pagi" balasnya.

"Jam berapa mulainya? Dulu itu dari jam satu malem sampe jam empat pagi. Sama-sama tiga jam tapi itu pake jeda"

"Ya udah ya udah... Aku minta maaf deh... Tapi.. kamu kan juga keenakan tadi. Kalau gak ada adzan pasti kita masih lanjut hehe" Boy menatapku dengan nakal.

"Ampun yaa kamu diajak serius juga"

"Ya udah kmu mandi besar sana. Terus shalat magrib. Apa mau aku temenin mandinya?"

"GAK! Yang ada kamu mulai lagi nanti" aku segera meraih pintu dan sedikit mendorong tubuh Boy agak keluar dari pintu.

"Baiklah suami. Silahkan mandi. Aku mau tidur dulu. Lelah juga rasanya hehe" Boy hendak berbalik, tapi aku segera menahannya.

"Eits.. tidur? Gak boleh tidur jam segini, pamali!" Kataku tegas.

"Lah kamu yang nyuruh tadi"

"Ya aku pikir kan tadi baru adzan ashar. Lagian jam delapan kita harus sudah di bandara loh. Jangan tidur kamu. Mending mandi saja dan siap-siap" ungkapku.

Tiba-tiba saja Boy nyelonong masuk ke kamar mandi.
"Ya udah.."

"Eh, mau kemana?" Aku langsung menarik tangannya.

"Mandi. Katanya suruh mandi"

"Ya nanti mandinya abis aku!"

"Lah gimana...?"

"Ya udah sana sana... Nanti lagi mandinya. Enak aja mandi bareng" aku kembali mendorong tubuhnya. Lalu segera kututup pintu kamar mandi dan kukunci dari dalam.

Selepas aku mandi, giliran Boy yang mandi. Sementara itu aku langsung shalat magrib.

Sekitar jam tujuh malam, aku dan Boy sudah siap berangkat ke bandara. Tak lupa kami puas-puasin dulu berpelukan sebelum membuka pintu apartemen.

"Kamu beneran gak mau pakai mobil aku?" Tanya Boy disaat ia memakaikan sepatunya.

"Gak ah. Aku ke kantor bisa pakai busway atau ojek online"

"Gak akan kerepotan emangnya? Siapa tahu kamu butuh"

"Boy... Selama ini emang aku pakai mobil kamu? Enggak kan? Udah deh... Aku pokoknya gak apa-apa"

Boy selesai memakaikan sepatunya. Lalu menatap ke arahku.
"Aku serius yang... Kalau kamu mau pakai silahkan. Jadi aku tinggal minta Papi untuk gak usah ambil mobil aku besok"

"Gak Boy... Aku gak perlu pakai mobil. Beneran. Apartemen ini aja udah cukup. Lagian kan kamu tahu di Jakarta ini aku paling gak suka bawa kendaraan sendiri. Capek" jelasku jujur.

"Ya udah iya iya..."

"Yuk kita berangkat. Udah jam tujuh lebih nih" ajakku. Lalu kami berdiri.

Baru saja Boy hendak membuka pintu tiba-tiba saja dari luar ada yang mengetuk.

TOK TOK TOK!
TOK TOK TOK!

Pintu itu diketuk berkali-kali. Aku dan Boy saling berpandangan.

TOK TOK TOK!
TOK TOK TOK!

Boy langsung membuka pintu setelah itu.

"Bagas?" Sapa aku dan Boy berbarengan.

"Ada apa lo tumben malam-malam ke sini?" Tanyaku.

"Kalian di telepon kok gak ada yang jawab gue?" Tanya Bagas.

Aku dan Boy kembali bertatapan.

"Astagfirullah... Tuh kan untung diingetin. Sebentar..." Aku kembali masuk ke dalam ketika sadar kalau ponselku sejak dari mengemas barang diletakkan di meja makan.

"Telepon? Lo nelepon gue emang?" Tanya Boy kemudian.

Aku kembali ke arah pintu.
Benar saja. Ada tiga belas panggilan tak terjawab dari Bagas dari sejak jam setengah lima sore. Aku jadi penasaran dibuatnya. Ada apa Bagas menghubungiku sebanyak itu?

"Oh iya... Barusan ya. Sorry banget Gas. HP nya gue silent. Kayaknya pas gue mandi deh gak ketahuan. Putra juga salat" Boy terlihat menatap layar ponsel yang dikeluarkan dari saku jaketnya.

"Iya gue ngehubungi lo barusan. Soalnya Putra dari tadi gak di angkat. Makanya gue langsung ke sini" jawab Bagas.

"Gas. Lo ada apa nelepon gua sebanyak itu? Lo gak lagi dalam keadaan darurat kan...?" Tanyaku khawatir.

"Sorry Gas Putra gak ngangkat telepon lo pasti karena kita tadi lagi..." Ucap Boy yang langsung kupotong.
"Sst! Boy"

Aku sedikit melotot ke arah Boy.

"Ini soal Pras" ujar Bagas dengan wajah khawatirnya yang begitu tergambar jelas sekarang.

"Pras?" Tanya aku dan Boy berbarengan.

"Iya. Gue mau tanya apartemen dia" balas Bagas.

"Apartemen? Emang lo gak tahu apartemen si Pras?" Boy terlihat gak percaya mendengar ucapan Bagas.

Bagas hanya menggelengkan kepalanya yakin.

"Lah, selama ini bukannya Pras sering main bahkan nginep di kostan lo ya? Masa lo gak tahu apartemen dia?" Sambungku.

"Gue sama sekali belum pernah ke apartemen dia Put, Boy. Pras emang sempat ngasih tahu apartemen dia. Tapi gue lupa nanya tower sama lantai berapanya" jelas Bagas.

"Lagian kalaupun lo tahu dia di tower dan unit berapa, tetap aja lo gak bisa asal naik ke atas. Apartemen si Pras kan pake akses gak kayak di sini yang masih bebas gara-gara masih baru" kataku.

"Elu sih... Makanya sekali-kali nginep tuh di tempat si Pras. Terus grepein dia haha" celetuk Boy. Aku langsung menyenggol bahunya.
"Boy! Kamu tuh ya becanda mulu"

"Sorry Gas, Boy gak usah ditanggepin. Okey, kediaman Pras ya... Duh.. gimana ya jelasinnya. Gua juga gak tahu persis kalau towernya itu tower berapa. Tapi gua tahu yang mana apartemennya. Gimana ya? Emang ada apaan sih? Kenapa gak tanya dia langsung?"

"Oh iya. Kenapa gak tanya dia langsung? Kan nanti pas sampai sana lo harus hubungi dia untuk jemput di lobi" Tambah Boy ikut-ikutan.

"Justru itu. HP dia gak aktif. Dia WA gue pas jam empatan tadi. Ini nih WA-nya" Bagas memberikan ponselnya padaku. Aku dan Boy langsung membaca isi chat-nya.

"Gas. Ke apartemen gue sekarang. Gue butuh bantuan lo. URGENT!! Please... Buruan!"

"Pras chat gini. Dia kenapa ya?" gumamku.

"Jam empat? Dan lo baru ke sini sekarang?" Boy menatap ke arah Bagas.

"Boy... Jam pulang kerja macetnya Jakarta lo tahu sendiri. Dan jarak kostan gue ke sini aja jauh banget" balas Bagas cepat.

Bagas makin terlihat panik.

"Eh sebentar. Ini chat-nya jam empat, Pras kan di kantor. Dan hari ini ada taping. Lo yakin itu dari Pras?" Tanyaku sedikit ragu.

"Ya siapa lagi Put. Kalau SMS sih bisa saja dari orang lain yang mau nipu gue. Ini kan WhatsApp" jawab Bagas.

"Iya juga sih. Bentar-bentar" dengan cepat jariku langsung menghubungi salah satu tim di divisiku yang sekiranya bisa menerima panggilan disaat sebelum taping mulai.

"Hallo... Di lo dimana?" Sapaku menghubungi Adi yang langsung diangkatnya.

"Di studio Put. Kenapa?"

"Tolong ke si Pras dong. Gua ada perlu sama dia HP nya gak aktif"

"Pras? Dia kan gak masuk"

Jawaban Adi itu seketika membuatku kaget.
"Hah? Gak masuk?"

"Ya iya. Makanya Mbak Lea juga bingung. Lo gak ada, Pras juga malah gak masuk. Mana gak ngasih kabar lagi dia" jelas Adi di telepon

"Lo serius Pras gak masuk?"

"Astagfirullah Put... Lo masa gak percaya sih sama gue"

"Ya udah thanks ya Di"

"Tuh kan... Pasti ada apa-apa sama Pras" Bagas semakin terlihat panik.

"Lo tenang Gas... Bentar, beberapa hari yang lalu dia kasih data terbaru dia. Ada alamat apartemennya di sana. Semoga lengkap. Tapi di laptop gua. Masuk dulu geh" aku pun segera masuk kembali sambil meminta Bagas masuk juga karena sedari tadi berdiri di depan pintu.

Dengan cepat kuambil dan kunyalakan laptopku.

"Nah nih dia. Lo catat atau lo foto" aku menunjukkan data diri Pras pada Bagas.

"Oke thanks banget ya Put, Boy" Bagas langsung berbalik untuk segera pergi.

"Kalau ada apa-apa kabari gua secepatnya"

"Oke"

"Oh iya by the way sorry banget. Gua sebenarnya bisa aja nganter lo. Tapi gua harus nganterin Boy ke bandara" kataku.

Bagas langsung melihat ke arah koper sesaat.
"Bandara? Oh iya kalian bawa koper banyak emang mau ke mana?"

"Boy mau ke Filipin. Nanti gua jelasin. Lo sekarang ke tempat Pras dulu aja. Ntar jelasin aja ke satpam sana biar lo dikasih akses buat ke unit si Pras"

"Oke oke. Hati-hati Boy. Thanks ya Put"

Gak lama setelah itu Bagas pun segera berlari dan meninggalkan apartemen.

"Ya udah yuk. Udah hampir setengah delapan nih takut telat. Semoga udah gak macet" aku langsung mengajak Boy agar cepat-cepat.

Selama perjalanan aku dan Boy jadi sama-sama memikirkan Pras.

"Apa gak sebaiknya kita ke apartemen dia dulu?" Tawar Boy sambil serius dengan kemudinya.

"Ya gak mungkin lah. Gak akan sempat waktunya. Emang apartemen dia deket?" Jawabku.

"Iya sih. Kamu nanti abis dari bandara langsung ke tempat dia. Aku benar-benar khawatir yang. Aku trauma sama kejadian kamu waktu itu"

"Hush!!.. kamu itu. Jangan mikir aneh-aneh ah. Bikin aku takut aja. Nanti abis nganterin kamu aku langsung ke sana deh" kataku.

Kami berdua pun jadi saling diam sesaat.

"Kasian sama Bagas kalau sampai terjadi apa-apa sama Pras" gumam Boy kemudian.

"Iya... Kamu ingat kan, waktu setelah barbeque itu Bagas bilang apa ke kita?"

"Iya... Betapa dia ngiri ngelihat kebersamaan kita. Dan dia pengen sekali bisa seperti itu sama Pras. Bagas udah kepalang dibuat nyaman sama Pras. Sayangnya Pras cowok straight, Bagas jadinya hanya bisa bermimpi kalau sampai bisa dapatin Pras" jelas Boy.

"Kira-kira Pras ada kemungkinan kaya kamu gak ya?" Aku menatap ke arah Boy.

"Maksudnya?"

"Ya kamu juga kan awalnya straight, jadi suka sama cowok"

"Ngeledek nih?"

"Ya ampun... Enggak lah. Ngeledek sebelah mananya? Tapi jujur loh, aku juga suka sama Pras. Berharap sekali dia belok, terus..."

"Terus kamu pacaran sama Pras? Jadi selama ini kamu sembunyiin itu? Kamu diam-diam suka sama dia? Kamu mau rebut dia dari Bagas? Kamu mau selingkuh dari aku? Karena kesepian aku tinggal ke Filipin? Terus kamu..." Cerocos Boy memotong ucapanku.

"Woy woy woy... Cukup Pak cukup... Haha enggak lah gila. Aku bukan kamu Boy yang bisa main belakang. Ooppss... Keceplosan" timpaku sambil meletakkan beberapa jari di bibirku.

"Tuh kan... Gak suka tahu gak aku tuh kalau kamu bahas itu mulu" Boy langsung cemberut seketika.

"Becanda sayang..." Aku langsung mengelus pipinya.

"Tapi kamu serius suka sama Pras?" Boy menatap ke arahku.

"Iya. Ya secara dia cakep, pinter. Ngobrol sama dia enak, Bagas saja yang belum lama sama dia bisa dibikin nyaman. Apalagi aku. Hehe" jawabku sengaja membuat Boy semakin cemburu.

"Udah ah, aku gak jadi berangkat" Boy mengurangi kecepatan mobilnya.

"Haha apaan sih Boy, kamu kayak anak kecil" aku langsung menepuk bahunya.

"Ya lagian... Kamu gak nyaman gitu sama aku? Gak enak gitu ngobrol sama aku?"

"Ya jelas lah kalau sama kamu segalanya enak. 'Sosis' gede panjang kamu aja lama-lama jadi enak apalagi sebatas ngobrol doang hahahha"

"Gak lucu" Boy semakin cemberut.

Aku langsung mendekatinya. Kucubit pipinya perlahan-lahan.
"Maafin... Jangan cemberut dong... Cowok se-macho kamu tuh sangat gak banget kalau harus cemberut"

"Awas loh. Selingkuh sama Pras" Boy menunjuk ke arahku.

Aku balik menunjuk ke arahnya.
"Awas juga selingkuh sama cowok-cowok manja di Filipinos sono"

Boy kembali menatap ke arahku sebelum kembali fokus ke jalanan. Lalu menggenggam tanganku sesaat.

Setibanya di Bandara, kami langsung berciuman hebat sebelum keluar dari mobil.

Aku ingin sekali bermanja-manjaan dengannya sebelum ia benar-benar pergi. Tiba-tiba saja mataku berkaca.
Ini seperti hari terakhir aku melihat Boy. Kenapa secepat itu ia harus jauh dariku Tuhan?

"Kamu mau nangis-nangis aja" bisik Boy.

"Apaan sih? Tapi aku sedih sih" balasku.

"Aku juga sedih... Tapi ya mau gimana lagi. Pokoknya kamu tenang aja. Jauh itu hanya sebuah jarak. Tapi hati, selalu dekat seperti sepatu dan talinya. Yang kemana-mana selalu bersama" Boy tersenyum padaku.

Aku ingin sekali memeluknya erat. Namun apalah daya hubungan kami. Bisa-bisa kami hanya jadi bahan cemoohan orang kalau bermesraan di depan umum.

Beberapa menit kemudian, Boy pun telah siap meninggalkanku. Aku semakin gak mau ditinggalkan olehnya.

"Aku harus pergi sekarang. Kamu baik-baik ya di Indonesia. Ingat semua pesan aku. Pokoknya sebisa mungkin kita selalu komunikasi" ujar Boy meletakkan satu tangannya di bahuku.

"Iya. Kamu hati-hati ya. Jaga diri. Di sana baik-baik. Kuliah yang benar. Kamu harus bisa raih gelar sarjanamu itu. Bikin bangga keluarga kamu" balasku.

Boy lalu mendekatkan wajahnya ke telingaku dan berbisik.
"I love you"

Aku langsung membalasnya perkataannya dengan berbisik juga.
"I love you too.."

"Mau ciuman tetakhir gak?" Bisik Boy.

"Woy! Ini tempat umum" aku langsung menepuk kepalanya.

"Kan biar seperti Rangga dan Cinta" ujarnya.

"Masalahnya... kita kan bukan Rangga dan Cinta, tapi Rangga dan Rangga ha ha ha"

"Haha bisa aja kamu" Boy langsung mencubit hidungku.

Aku sedikit kaget karena takut ada yang melihat.

"Udah sana" aku mendoring baranya pelan.

"Iya. Bye..."

"Bye..." Aku melambaikan tangannya padaku.

Ada genangan air mata di mata indahnya itu yang gak bisa berbohong kalau Boy juga sedih harus jauh dariku. Sama sepertiku. Aku bahkan merasa semuanya seperti mimpi. Belum lama aku berada di sampingnya, sekarang aku akan jauh lagi darinya. Tetapi aku yakin seperti yang diucapkan Boy, jika kita seperti sebuah sepatu dan talinya. Sejauh apapun jarak memisahkan, kita akan selalu bersama. Oh sebentar, kalau Boy bilang kita seperti sepatu dan talinya, maka bagiku kita seperti sepatu kanan dan sepatu kiri. Kita adalah sepasang sepatu. Gak bisa hanya kanan saja, atau gak bisa hanya kiri saja. Kita harus selalu bersama.

Tidak.
Aku sedang tidak berbicara lirik lagu dari salah satu penyanyi pria Indonesia. Aku sedang berbicara tentang cinta di antara sepasang pria. Cinta yang selalu dianggap mustahil ada di atas nafsu yang selalu lebih banyak, namun rupanya kami memilikinya. Gay hanyalah sebuah label semata. Tapi gay juga manusia. Salah sekali jika ada yang bilang gak ada cinta dikalangan gay.
Salah sekali.
Karena kami membuktikan itu.

===

Jakarta di malam hari masih memperlihatkan berbagai rupa manusia bersama kesibukannya masing-masing di atas gemerlap ibu kota. Semuanya bergerak. Tak kenal waktu dan tak kenal lelah. Seperti aku, seperti mobil yang sedang melaju cepat ini.

Hampir setengah bahkan lebih dari lima puluh persen penduduk ibu Kota adalah pendatang. Mereka adalah pekerja yang menggantungkan rezekinya di metropolitan. Aku pun demikian. Bahkan saat ini mobil yang sedang kukemudikan ini pun sedang menuju salah satu kediaman rekan kerjaku. Rekan kerja yang hampir aku serahkan hatiku padanya. Tapi tidak. Jelas karena aku memilih Boy seorang diri. Tetapi dia bagiku adalah seorang yang spesial, meski aku gak tahu apakah aku juga se-spesial itu kah dimatanya atau tidak. Yang jelas, saat ini kekhawatiran sedikit banyak sedang menyelimuti perasaanku.

Semua kepanikan yang Bagas tunjukkan di apartemen tadi itu aku takutkan jika telah terjadi sesuatu pada Pras. Tapi aku tidak mau berpikir negatif terlebih dahulu. Sekalipun entah kenapa Bagas mendadak gak mengangkat telepon dariku berkali-kali. Apa mungkin memang terjadi sesuatu sama Pras?

Dengan segera aku semakin melajukan kendaraanku. Untung saja jalanan sudah tidak sepadat sore hari. Aku bisa sedikit leluasa membawa mobilku dengan cepat.

Beberapa puluh menit berikutnya aku telah sampai di tower tempat Pras tinggal. Aku terus berusaha menghubungi Bagas namun tidak diangkat juga. Pras pun nomornya masih belum aktif.

Dengan segera setelah berdiskusi dengan security, aku bisa diantar ke unit tempat Pras tinggal.

Hingga tepat di depan pintu...

TOK TOK TOK!!

Aku langsung mengetuk pintu itu dengan cepat.

Gak ada jawaban sama sekali.

TOK TOK TOK!!

Kucoba sekali lagi.
Masih belum ada jawaban juga.

Dan...

Klek...

Aku mendorong pintu itu perlahan. Gak dikunci.

"Pras... Bagas...." Sapaku pelan.

Aku perlahan mengambil langkah memasuki apartemen Pras. Hingga ketika aku baru saja masuk sepenuhnya...

"Astagfirullah...!"

Brak!

Ponselku terjatuh ke lantai.

Aku kaget bukan main.

"Ba..gas..."

Continue Reading

You'll Also Like

298K 12.5K 39
Kalian tidak perlu mencari tahu. Namun, Bagi kalian yang telah mencari tahu habis-habisan, aku apresiasi :) Terima kasih.
2.8K 456 10
Insan remaja yang menghabiskan masa sekolahnya dengan warna yang berbeda. Dari rasa takut yang melanda, ragu yang menerka, takdir yang selalu menyatu...
24.6K 314 12
cerita ini banyak memakai kata kata kasar dan bahasa terkadang baku ⚠️peringatan dimohon untuk tidak meniru perilaku atau perkataan dari cerita ini...
74.7K 7.1K 33
End