Meraih Mimpi

By AnnaNoerhasanah

4.9K 112 3

Perjuangan seorang gadis desa untuk mencapai cita-citanya. Aku Kirania, seorang gadis desa yang ingin berjuan... More

Bagian 2
Bagian 3
Bagian 4
Bagian 5
Bagian 6
Bagian 7
Bagian 8

Bagian 1

2K 22 0
By AnnaNoerhasanah

Angin berhembus sepoi-sepoi, tak ada suara bising lalu lalang kendaraan, langit biru tampak cerah tanpa ada awan satupun di angkasa. Di sekeliling masih terlihat asri, banyak pepohonan yang menambah suasana menjadi sejuk. Pohon kelapa tampak melambai-lambai tertiup angin. Terdengar kicauan burung di sekitar rumah. Suasana yang jauh berbeda dengan kota tempatku tinggal selama ini.

Aku memutuskan kembali ke sini setelah beberapa tahun meninggalkan desa tercinta. Desa Srigonco, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Jawa Timur, suasananya tidak banyak berubah masih sama seperti beberapa tahun yang lalu. Hanya jalanan yang dulu berbatu sekarang sudah berubah menjadi jalanan yang beraspal. Pepohonan hijau masih ada, ladang dan sawah juga masih menjadi lahan mencari nafkah bagi warga desa. Mereka hidup damai, tentram dan rukun antar warga.

Melihat ke sekeliling, tampak bayangan masa lalu berkelebat diingatanku. Mengapa harus kembali mengingat masa lalu yang pahit dan menyakitkan. Desa ini memang penuh kenangan, baik manis maupun sakit. Tapi aku sangat menyayangi desa tercinta ini. Di sini terlahir dan dibesarkan. Hingga akhirnya memutuskan untuk mengabdi demi kemajuan desa. Membantu mencerdaskan warga desa.

Bayangan masa lalu semakin tampak jelas di pelupuk mata.

***

Januari 2006.

Dengan tergesa-gesa aku keluar dari kamar dengan memakai seragam SMP. Hari ini ada ulangan Bahasa Inggris, tak boleh terlambat. Apalagi jarak sekolah yang lumayan jauh sekitar tiga kilometer dari rumah, harus ditempuh dengan berjalan kaki. Tampak emak sedang menyiapkan bekal buat bapak, aku menghampiri ke dapur yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu.

“Mak, Kira berangkat sekolah dulu ya,” ucapku sambil mencium tangan Emak.

“Iya, hati-hati ya di jalan. Yang pinter sekolahnya.” Emak mengusap kepala dengan penuh kasih sayang.

“Nggak usah sekolah! Ikut Bapak ke sawah! Anak perempuan itu nggak perlu sekolah tinggi-tinggi!” bentak Bapak yang tiba-tiba sudah ada di dapur.

Aku seketika menoleh, tampak sorot mata bapak menunjukkan kemarahan. Beliau memang tidak pernah setuju anak gadisnya bersekolah tinggi. Menurut bapak tak ada gunanya sekolah tinggi, toh nanti juga akan di dapur juga.

“Ta-tapi, Pak. Hari ini Kira ada ulangan. Kalau ndak ikut, nanti ndak bakal lulus,” kataku dengan terbata.

Mata sudah berkaca-kaca, ingin menangis rasanya. Aku tak mau berhenti sekolah, ingin sekali menjadi orang yang berguna demi nusa dan bangsa. Memajukan desa tercinta ini.

“Bagus itu. Lebih baik memang ndak usah lulus. Percuma anak gadis sekolah tinggi-tinggi!” Bapak melotot ke arahku. “Pokoknya ndak usah sekolah, berhenti saja!” bentak Bapak sambil menggebrak meja yang ada di dapur.

Aku terlonjak kaget. “Mak, bagaimana ini? Kira mau sekolah. UNAS kurang tiga bulan lagi,” ucapku sambil terisak.

Emak hanya menatap sedih, tak mampu berbuat apa-apa. Bapak orang yang keras, semua yang diucapkan harus dituruti. Hatiku sangat sakit, tak mungkin membantah apa kata bapak. Tapi aku juga ingin sekolah. Bagaimana mungkin bisa ikut membangun desa jika tak bersekolah. Air mata semakin mengalir dengan deras. Bahu berguncang hebat.

“Halah, cuma gitu aja kok nangis! Wes sana ganti baju! Ikut Bapak ke sawah.” Bapak menarikku dengan paksa.

“Pak, Kira hanya mau sekolah, ndak keluyuran.” Aku berkata dengan uraian air mata.

Bapak melotot. “Berani melawan kata orang tua sekarang ya! Apa ini namanya anak berpendidikan!” ucap Bapak sambil menampar pipi sebelah kiri.

Tangisku semakin pecah. “Sakit, Pak,” ucapku sambil memegang pipi.

“Makanya nurut sama, Bapak!” Bapak terus menarikku dengan paksa.

“Pak, jangan siksa Kira. Kasihan, dia anak kita satu-satunya.” Emak mencoba menghalangi Bapak untuk memukulku.

“Halah, minggir kamu! Ini kalau terlalu dimanja, jadinya ndak nurut sama orang tua!” Lagi-lagi bapak memukulku.

Semakin pecah tangisku. Meronta-ronta supaya diizinkan ke sekolah. Bagaimana dengan ulangan Bahasa Inggris nanti? Mata pelajaran yang paling aku sukai. Hari ini telah berjanji untuk mendapatkan nilai sempurna. Pupus sudah harapan dan masa depanku.

Aku terus menangis dan memohon, namun Bapak tetap pada keputusannya. Bapak mendorong masuk ke dalam kamar. Menyuruh berganti baju. Akhirnya aku pun mengambil salah satu baju yang biasanya dipakai untuk ke sawah, di dalam kardus.

Dengan langkah gontai keluar dari kamar.

“Bapak mana, Mak?” tanyaku dengan suara serak.

“Sudah berangkat. Wes Lah, Nduk, ndak usah sedih … turuti mau bapak.” Emak mengelus kepalaku dengan lembut.

“Tapi, Mak. Kira pengen sekolah yang tinggi. Mau jadi guru, ingin membantu mencerdaskan anak-anak di desa ini,” sahutku dengan terisak.

“Emak paham, Nduk. Tapi bapakmu sangat keras. Emak ndak mau kamu kena pukul lagi,” ucap Emak sambil menyeka sudut matanya.

Aku menatap Emak. “Jangan nangis, Mak. Maafin Kira ….”

“Sekarang lebih baik kita susul bapak ke sawah. Nanti takutnya marah-marah lagi.”

Kami pun menyusul bapak ke sawah. Melewati jalanan desa yang masih berupa tanah. Jalan menuju sawah hanya jalan setapak. Jalanan licin, karena semalam hujan. Harus berhati-hati untuk melewatinya. Sepanjang perjalanan aku hanya diam membisu. Seharusnya sekarang sudah berada di dalam ruang kelas, mengerjakan soal ulangan. Aku menarik napas panjang.

“Nduk, ndak usah sedih ya. Pasti ada jalan kok, nanti Emak bantu ngomong ke bapak. Siapa tahu bisa mengerti.”

Aku bergeming, hati dan pikiran melayang entah kemana. Tak bersemangat menjalani hidup. Semoga ada jalan untuk menggapai cita-cita dan keinginan. Aku yakin Allah akan mengabulkan doa hambanya. Semoga saja hati bapak luluh.

Tanpa terasa kami pun sudah  memasuki persawahan. Berjalan dengan pelan menyisir pinggiran jalan, aliran air di selokan kecil mengular menuju petak-petak sawah. Beningnya memancarkan kesegaran. Di sisi kanan dan kiri jalan tampak rerumputan yang hijau. Sejuknya pagi semakin menyentuh karena kabut yang masih menggantung menyisakan butiran-butiran embun di ujung daun. Pemandangan persawahan sejenak membuat lupa akan kegundahan dan kesedihan hati.

Para tetangga menatap dengan pandangan yang aneh. Mungkin mereka heran menyaksikanku pergi ke sawah, bukannya hari ini sekolah tidak libur. Aku menyapa mereka dengan anggukan kepala dan senyuman.

“Loh, Kira ndak pergi sekolah?” tanya salah satu tetangga yang sedang mencangkul di dekat sawah bapak.

Hendak menyahut tetapi sudah dijawab Bapak. “Halah anak gadis itu ndak perlu ke sekolah. Ndak ada gunanya.”

Aku menelan ludah, tersenyum kecut. Tampak para tetangga berbisik-bisik. Entah apa yang mereka bisikkan. Aku memilih tak menghiraukannya. Biarlah, mereka mau berkata atau berpandangan buruk, terserah mereka.

Lalu terlihat beberapa petani wanita mulai masuk ke dalam tanah yang becek dan berlumpur. Mereka sangat menikmatinya. Pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat menembus dinginnya embun. Sebenarnya aku merasa bangga pada para petani, mereka tak pernah mengeluh. Sepanjang setengah hari mereka bertahan di sawah, melakukan pekerjaan yang sama. Pekerjaan yang tidak semua orang mampu melakukannya.

Emak pun sudah ikut mencebur ke dalam tanah yang berlumpur. Tampak tidak merasa jijik sama sekali. Sedangkan aku hanya menyaksikan saja. Kalau saja bapak tak berteriak memanggil, mungkin aku masih berdiam diri di pinggir sawah.

“Kira, sini bantu Emak menanam padi!” teriak Bapak.

“I-iya, Pak.”

Kemudian secara perlahan dan hati-hati aku menceburkan diri ke dalam sawah. Awalnya merasa jijik dan geli, karena merasa seperti ada hewan yang menggigit kaki. Hendak naik ke atas pematang sawah, bapak berteriak lagi.

“Mau kemana! Cepat bantu Emak! Bapak mau melanjutkan mencangkul ini!” teriak bapak.

Melihat wajah bapak yang beringas aku pun urung untuk naik. Masih bergeming, menyaksikan apa yang dilakukan emak dan petani lain. Sepintas apa yang mereka kerjakan sangat mudah, hanya menancapkan benih ke lumpur. Namun ternyata ketika aku melakukannya terasa sangat sulit. Ternyata beginilah rasanya menanam padi.

“Jadi anak orang tani itu harus bisa ikut menanam padi. Ndak usah mimpi terlalu tinggi. Ilingo, wong isor yo tetep ndek isor, ojo kakean ngimpi!” Bapak berkata dengan penuh penekanan.

Aku menelan ludah, kemudian mengikuti apa yang dilakukan emak. Beruntungnya emak mengajari dengan sabar dan telaten. Aku berjalan mundur dengan tangan kiri memegang benih padi dan tangan kanan menancapkan benih ke lumpur. Padi-padi yang baru ditanam tampak cantik berendam di persawahan yang terendam air. Pemandangan yang sederhana.

Melihat ke hamparan sawah, tampak para petani bekerja tanpa berbincang satu sama lain. Petani wanita menancapkan benih padi ke dalam lumpur, sedangkan yang pria mencangkul di bagian yang belum siap ditanami benih. Sesekali tampak mereka berbincang bahkan seringkali meledakkan tawa. Aku pun ikut tersenyum, sejenak lupa soal keinginan dan cita-cita.

Hari beranjak siang dan angin mulai kencang menggoyang pohon kelapa. Aku merasa sangat capek dan perut sudah melilit, lapar sekali. Tapi tak berani berhenti, karena takut kena marah bapak. Sebelum bapak memanggil tetap bertahan di dalam lumpur.

“Kira! Sudah istirahat dulu. Ayo makan!” teriak Bapak.

Tanpa menunggu lama, aku pun bergegas naik ke pematang sawah. Membersihkan diri di sungai dekat sawah. Lalu menghampiri bapak dan emak. Kami menyantap hidangan makan siang yang sederhana. Selama makan aku hanya diam membisu, takut salah dalam berucap. Setiap bapak bertanya hanya menanggapi dengan anggukkan dan senyuman.

Setelah makan, aku menyempatkan berkeliling di sekitar persawahan. Aku menemukan kupu-kupu di balik daun-daun yang hijau. Mungkin mereka mencari makan. Sayapnya tampak berwarna warni, belang-belang. Mereka membentangkan sayapnya. Kemudian datang lagi kupu-kupu yang lain dengan warna kuning polos, menari-nari di sekitar dedaunan. Akhirnya hinggap di samping sang kupu yang berwarna warni tadi. Cantik sekali. Aku tersenyum menyaksikan kupu-kupu yang sedang mencari makan. Mereka tampak bahagia tanpa beban. Setelah puas, aku pun berlalu meninggalkannya.

***

Malam hari dengan suasana hati yang gelisah dan gundah gulana, aku keluar rumah. Duduk di lantai teras beralaskan tikar, menikmati suasana malam yang dingin. Cahaya bulan menyinari bumi yang gelap, sehingga tampak sedikit bercahaya. Kerlap-kerlip cahaya bintang menambah keindahan suasana malam di desa.

“Nduk …,” panggil Emak.

Aku menoleh, emak ikut duduk di tikar. “Ada apa, Mak?” tanyaku.

Emak masih bergeming, tak mengeluarkan sepatah kata pun. Lalu menghembuskan napas. Hati berdebar-debar menunggu apa yang akan diucapkan emak.

“Maafkan, Emak ya,” ucap emak dengan mata berkaca-kaca.

Alisku bertaut, kenapa emak meminta maaf? Memangnya emak melakukan salah apa? Namun, entah mengapa pertanyaan itu tak mampu kuucapkan, lidah terasa kelu.

“Emak … ndak bisa membujuk Bapak.”

Sudah kuduga sebelumnya, bapak tidak akan pernah merestui dan menyetujui. Biarlah disimpan dalam hati saja keinginan dan cita-cita yang selama ini menjadi impian. Tak akan pernah sanggup untuk menggapainya. Aku menghela napas.

“Sudah jangan nangis, Nduk.” Emak mengelus kepalaku dengan lembut.

Mencoba tersenyum dan tak menunjukkan kesedihan di wajah. Harus tegar menjalaninya. Emak kemudian berlalu masuk ke dalam rumah. Terlihat menoleh sebentar, seperti ingin mengucapkan sesuatu. Aku menunggunya, namun tak juga keluar kata-kata dari mulut emak. Hanya terlihat mata yang berkaca-kaca. Emak bergegas masuk, tanpa sepatah kata terucap.

Oh Allah … akankah cita-cita dan keinginanku terwujud? Bagaimana mungkin bisa terkabul, jika harus berhenti sekolah. Ujian akhir kurang tiga bulan lagi, sedangkan aku harus berhenti di tengah jalan. Aku mengacak rambut dengan kasar. Kenapa bapak sangat egois? Mengapa harus menyuruh berhenti sekolah? Kalau alasannya karena tak ada biaya, bukannya selama sekolah tak pernah dipungut biaya? Selama ini selalu mendapat beasiswa karena rangkingku selalu teratas.

Ingin sekali bertanya pada bapak apa alasannya, namun setiap bertanya selalu kemarahan bahkan pukulan yang kudapatkan.

****

Bersambung …

Continue Reading

You'll Also Like

552K 4.5K 17
WARNING 18+ !! Kenzya Adristy Princessa seorang putri terakhir dari keluarga M&J group yang diasingkan karena kecerobohannya. Ia hanya di beri satu...
STRANGER By yanjah

General Fiction

273K 31.2K 36
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
116K 378 15
ADULT ROMANCE 21+ [Beberapa part berisi adegab dewasa yang diprivat, follow dulu akun ini] Jasnie Foster sangat berambius menjadi ketu yayasan univer...
58.6K 5.2K 28
⚠️ Region BL. Yang Homopobia silahkan menjauh ⚠️ Bagi Aklesh hidup nya terasa monoton, tidak ada tantangan atau pun kisah menarik didalam catatan hid...