Ten Rumors about the Mute Girl

Af fibiway

264K 26.7K 2.3K

Orang-orang bilang ada gadis bisu di rumah itu. Dan akhirnya aku tahu bahwa itu benar setelah kejadian dimana... Mere

0.0 | copyright
epigraph
prologue
1 | people said, the house is haunted
2 | people said, she is from the other city
3 | people said, the carpenters have often moved house because 'she' is mute
4 | people said, they are anti-social family
5 | people said, Julia is a whiny girl
6 | the beginning
7 | the warming party
8 | why Mrs. Carpenter gets mad?
9 | the taro flavor
10 | Seth, the stalker
11 | Seth and the truth
12 | why Mrs. Carpenter gets mad? (pt.2)
13 | a middle-aged man asked us about the Carpenters' house
14 | what the hell?
15 | she; a gone girl
16 | ten rumors about the mute girl and her family
17 | Mom said that she will try
18 | but Mom never trying
19 | the Carpenters' truth
20 | a girl who was slapped
21 | what happen; why Penelope calling?
24 | stupidity
23 | a big confusion
25 | a stranger
26 | he is the hero, again
27 | Herbert Carpenter
28 | she said she really sorry for her father
29 | the day with them
30 | a ticket, to Iceland
31 | me, and the sun, and the girl-who-will-go to reach her dream
32 | the truth, but not the whole truth
33 | the truth happened later, i think it's the end
34 | too late to say goodbye
35 | everything's back to normal, like when the girl has not come yet
36 | new neighbor, isn't it?
37 | yeah, they are gone
38 | a diary
39 | page 1, 30 November
40 | page 2, 3 December
41 | page 3, 10 December
42 | page 4, 12 December
43 | page 5, 15 December
44 | page 6, 28 March
45 | page 7, 30 March
46 | page 8, 31 March
47 | page 9, 3 April
48 | page 10, 30 May
49 | "nothing ever goes away..."
50 | "...until it teaches us what we need to know."
epilogue
[ author's note ]

22 | Julian

3.5K 450 14
Af fibiway

Aku pernah mendengar Mrs. Steinberg(guru bahasa Inggris-ku) bilang bahwa hukum sebab-akibat dalam kehidupan itu hukum mutlak. Bahwa apa yang terjadi di masa lampau, akan berakibat di masa depan. Sebelumnya aku pikir itu hanya omong kosong belaka para guru di sekolah sebagai pembekalan kata-kata bijak di kemudian hari bagi para murid—yang pada akhirnya hidup mereka akan berakhir sama saja. Namun ketika malam menjelang pagi hari ini, aku dituntut untuk percaya.

Julian. Duduk di sebelahku. Sibuk dengan setir mobil yang ia pegang. Sesekali lengannya memutar kemudi ketika mobil harus berbelok di persimpangan. Rambut pirangnya yang lurus kadang-kadang juga berkilau ketika lampu jalan mengenai helaiannya.

Julian. Terakhir kali aku mendengar namanya disebut adalah ketika aku baru saja siuman gara-gara Julian menonjok mukaku. Kata Penelope, Julian kena skors, dan setelah itu, aku tidak lagi tahu kabarnya.

Julian. Laki-laki seumuranku itu tiba-tiba saja sudah memarkirkan mobilnya di depan rumahku saat aku sedang pusing sendiri di dalam kamar, memikirkan bagaimana cara pergi ke rumah sakit kota saat tengah malam tanpa menggunakan cara-cara bodoh.

Waktu aku keluar dari pintu rumah, Julian langsung meneriakiku, "Cepatlah, bung! Masuk ke mobil!"

Saat dia menyuruhku untuk buru-buru masuk ke mobil, tidak sempat kupikirkan alasan mengapa Julian melakukannya. Jadi, langsung saja aku mengikuti perintahnya.

Kataku, "Kau..." namun di bagian akhir, suaraku menghilang karena Julian telah melajukan mobil dengan lumayan menyendal serta deru mesin yang menggeram, membuatku agak kaget. Tadinya aku ingin bertanya apakah Julian mabuk atau tidak karena bau alkohol di mobilnya benar-benar menusuk hidungku.

"Kita ke rumah sakit," cetus Julian tiba-tiba. Aku hampir-hampir tersedak ludahku sendiri karena apa yang kudengar barusan membuatku harus memikirkan berbagai kemungkinan terbesar mengapa dengan kebetulannya Julian memberiku tumpangan ke rumah sakit ketika aku sedang membutuhkannya.

"R-rumah sakit kota?" tanyaku meyakinkan.

"Yup."

Aku sempat menoleh pada Julian, mencoba membaca wajahnya apakah anak itu sedang berbohong padaku atau tidak. Bisa saja dia berbohong, atau, bisa saja ... dia orang asing yang memakai topeng replika wajah Julian si anak besar. Tapi, jika dilihat dari postur orang ini, ukurannya memang persis seperti milik Julian sendiri.

Tiba-tiba Julian menoleh padaku, mendapati ekspresi terkejut dari wajahku sehingga dia berkata, "Kenapa kau tegang begitu?" tanyanya, dengan nada santai seolah wajahku tidak ada harganya sama sekali ketika sedang was-was.

"Tidak ada." Lalu, aku terdiam. Kami tidak melanjutkan pembicaraan lagi setelah itu. Aku hanya perlu menunggu jawaban apakah benar Julian benar-benar membawaku ke rumah sakit kota atau malah membawaku terjun ke jurang bersamanya.

---

Mrs. Steinberg benar. Hukum sebab-akibat itu ada. Julian benar-benar mengantarku ke rumah sakit kota. Anak itu bagaikan superhero yang datang tepat waktu ketika seseorang membutuhkan bantuan. Julian yang dulu brutal, kini telah berubah (meskipun setidaknya itu hanya sembilan puluh derajat dari kebrutalannya menonjokku).

Julian menyuruhku turun ketika sampai di halaman depan dan membiarkanku masuk ke rumah sakit lebih dulu sementara ia memarkirkan mobil di basement.

Sedetik kemudian, aku langsung berlari menuju lobi. Kusapukan mata ke seluruh penjuru ruangan yang seluruhnya berwarna cat dinding putih itu. Ruangan senyap. Hanya ada seorang wanita yang duduk di balik meja resepsionis di ruangan itu. Ia terperanjat dari kantuknya ketika melihat kemunculanku di ambang pintu, mengamatiku, menunggu pergerakanku.

Ketika aku masih berdiri di tempatku sambil menimbang-nimbang apakah aku harus bertanya pada wanita penjaga lobi di manakah letak kamar nama pasien yang kutuju padahal aku sama sekali tidak mengerti apa sebenarnya tujuan Penelope memerintahkanku ke sini, tiba-tiba, seseorang memanggilku.

"Jason!" Aku sempat menduga bahwa itu suara Penelope dan memang benar itu dia. Penelope berdiri di lorong setelah meja resepsionis. Dari kejauhan, ia mengatakan, "Kemarilah!"

Aku berjalan ke arah gadis berambut cokelat itu seraya memperhatikan wajahnya. Ada rasa kecemasan dalam alisnya. Sialnya, Jason (remaja yang menumpang mobil temannya dini hari ini) masih belum tahu sebenarnya ada masalah besar apa yang menimpa temannya, Penelope.

Penelope maju beberapa langkah ketika aku hampir sampai padanya. Ada harum kefemininan yang bisa kucium dari parfum Penelope. Astaga, aromanya malah membuat kepalaku pusing. Aroma parfum bercampur bau keringat, bercampur ... bau alkohol.

Alkohol ... mengapa di saat yang hampir bersamaan, aku bertemu orang-orang yang ... mabuk?

"K-kau mabuk?" tanyaku menaruh curiga, menyelidik ke dalam pikiran Penelope.

"Tidak ... ah, sedikit. Aku hanya minum sedikit," aku Penelope, namun aku masih beranggapan bahwa dia berbohong. "Ah, di mana Julian? Bukankah dia menjemputmu tadi?"

Julian? Menjemputku?

Apa hubungan mereka?

Aku belum sempat menjawab pertanyaan Penelope tentang di mana keberadaan Julian ketika akhirnya Penelope bergumam singkat, "Itu dia," katanya, sambil menaruh pandangan jauh ke arah sesuatu di belakang punggungku, Julian.

Aku ikut menoleh. Yang kudapati adalah benar Julian. Berjalan ke arah aku dan Penelope.

Tiba-tiba, aku menyadari sesuatu ketika Julian dengan luwesnya bermain mulut dan lidah dengan Penelope selama beberapa detik. Astaga. Apakah aku diundang ke sini hanya untuk menyaksikan pemandangan menjijikkan mereka? Alangkah baiknya aku pulang saja dan tidur di balik selimut tebal bergambar Spiderman kesayanganku ketimbang berlama-lama di sini. Cih.

Kubuang muka, dan karena darahku sudah hampir naik, entah antara sadar atau tidak, kakiku melangkah pergi ketika mereka berdua masih berciuman.

"Jason?" salah satu dari mereka memanggil. Penelope-lah yang menyebut namaku. Aku menoleh, namun berusaha untuk tidak menatap sorot mata gadis itu. Aku tidak mau dibilang cemburu atau apa, aku hanya ... kesal dengan omong kosong semua ini.

Julian melepas lengannya dari pundak Penelope. Kami bertiga terdiam sebelum akhirnya Penelope memulai bicaranya, "Maaf aku tidak memberitahumu kalau kami..." mulut Penelope berhenti bicara, lalu berkata lagi, "Sebenarnya tujuanku menyuruhmu ke sini adalah untuk memberitahumu sesuatu tentang tetangga kita, Julia..."

"Ada apa?!" sergahku.

Raut Penelope menunjukkan rasa letih dan sedih, seolah ia takut aku akan marah besar apabila aku telah mendengar sesuatu dari mulutnya.

Beberapa detik berselang, ruangan kembali senyap setelah sesudahnya, Penelope kembali berucap, "Kami hampir menabraknya. Julia masih belum sadarkan diri dari pingsannya."

Telingaku berdenging, seolah gelombang ultrasonik tengah melintasi tubuhku dan membuat kepalaku bisa meledak kapan saja.

Aku menoleh pada Julian. Anak laki-laki itu berdiri di samping Penelope dengan memasang wajah sok merasa bersalah. Dasar keparat!

"Sialan kau, Julian," umpatku di depan wajah lelaki bertubuh dua kali lebih besar dariku itu.

Sedetik setelahnya, tahu-tahu rasanya seolah aliran darahku berhenti di setiap ujung anggota badanku, memaksa keluar, memaksa untuk meledak. "Kau yang menyetir, benar 'kan?!" Lalu, tanganku terkepal. Sejurus kemudian melayang pada hidung Julian.

Julian tidak jatuh, justru aku yang malah terhuyung ke depan gara-gara kehilangan keseimbangan.

Sial. Kenapa aku melakukannya? batinku.

Mendadak, baju bagian punggungku ditarik oleh Julian, lalu dihempaskannya begitu saja ke arah sisi tembok, membuat wajahku menubruk dinding rumah sakit yang berwarna putih.

Tidak, hukum sebab-akibat itu lenyap. Julian masih belum berubah.

Julian, menghatam hidungku. Lagi. Keras sekali.

Aku tersungkur, masih dalam keadaan setengah sadar namun dengan pandangan mengabur. Dua sosok manusia masih berdiri di atasku. Salah satu di antara mereka mundur beberapa langkah, sementara yang satu memegang lenganku, membantuku berdiri.

Tangan lembut Penelope masih terpaku di lenganku meski aku sudah bisa berdiri dengan bersandar pada dinding. Bau alkohol dan parfum masih tercium, disertai bau amis darah dari hidungku. Kurasa kali ini hidungku patah.

"M-maaf, maaf Jason. Aku tidak bermaksud—"

"Diam kau, Julian. Aku tidak butuh maafmu," kataku ketus.

"Jason, apakah kau mau kami antar pulang atau kau masih bisa berada di sini lebih lama lagi?"

Aku mendesis kasar karena rupanya rasa nyeri tiba-tiba merasuki seluruh tulang hidungku. "Aku hanya akan di sini beberapa lama lagi," untuk Julia, lanjutku di dalam hati. "Aku hanya butuh P3K."

"Baiklah."[]

Fortsæt med at læse

You'll Also Like

5.1M 216K 52
On Going ❗ Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan yang tak s...
55K 6.1K 42
Happy Quarantine by Anneliese Shofia [Winner Wattys 2021 - Fiksi Penggemar] Pandemi virus ini tidak hanya dialami oleh para Muggle. Di dunia sihir pu...
2.3M 82.1K 44
Jangan jadi pembaca gelap! Seorang santriwati yang terkenal nakal dan bar-barnya ternyata di jodohkan dengan seorang Gus yang suka menghukumya. Gus g...
103K 13K 51
Ayasa yang tomboy bersahabat dengan Adriel yang menjadi idola cewek-cewek di kampus. Bosan diteror terus-menerus karena kedekatannya dengan Adriel, A...