Josua berdiri tepat di depan ruang rawat inap Catherine. Ia tampak ragu untuk meraih engsel pintu tersebut, rasanya tangannya bergetar lemah. Nayla yang menyadari hal itu, lalu meraih bahu Josua lalu tersenyum manis seolah mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Melihat senyum Nayla, Josua memberanikan diri untuk membuka pintu ruang rawat adik kesayangannya, Catherine.
Setelah pintu itu terbuka, disanalah Catherine terbaring lemah dengan sedikit bekas luka yang masih tersisa di tangan dan kakinya. Nayla yang melihatnya merasa iba atas kejadian yang menimpa Catherine. Ia menatap Josua yang tertunduk lemah, takut untuk menatap Catherine.
"Jo? Catherine pasti baik-baik aja kok" ujar Nayla yakin. Ia tak tahan melihat Josua yang murung seperti ini.
"Bukan itu Na..." Josua menggeleng lemah. "Gue cuma merasa bersalah"
"Kenapa?"
"Kenapa gue sebagai abang gak bisa jaga dia??"
"Kamu ngejaga dia kok Jo.. buktinya sampai sekarang kamu ada disini kan"
"Enggak Na... Sebenarnya hari itu gue menjemput Cath dari sekolah. Tapi karena gue ekskul, gue gak bisa jemput dia. Pas ditelepon, gue sama Catherine sempat cekcok. Bodohnya gue lebih mentingin ekskul daripada jemput adek gue sendiri. Alhasil dia kecelakaan di bus karna gue Na.." ujar Josua sendu. Ia tampak sedang membendung air matanya.
"Hati gue sakit Na... apalagi pas sampai di rumah, dapat kabar kalo Cath kecelakaan bus" lanjut Josua menutupi matanya yang kini sudah dibanjiri air mata.
"Gue lihat kasus tentang kecelakaan bus, parahnya kebanyakan dari mereka yang koma bakalan lama bangun dari komanya. Gue takut Cath gak bangun... Gue takut waktunya terhabiskan karena gue. Atau mungkin aja dia gak mau bangun karena marah sama gue." Josua mengungkapkan seluruh gundah gulana hatinya pada Nayla.
Nayla tak mengira bahwa perasaan bersalah Josua sedalam ini. Dia benar-benar menyesal sampai menitikkan air mata.
Nayla berpindah tempat. Yang tadinya berada di samping kini ia berada tepat di hadapan Josua yang masih tertunduk sedih. Nayla sejenak terdiam sebelum akhirnya memeluk Josua perlahan.
"Catherine sayang kamu kok, Jo. Jangan khawatir. Sekalipun kalian bertengkar hebat, dia gak akan pernah membencimu. Dia hanya sedang beristirahat sebentar. Dia pasti bakal nyapa kamu lagi" gumam Nayla lirih.
"Tapi na...."
"Enggak Jo, Cath sayang kamu" potong Nayla sebelum Josua menyalahkan dirinya lagi.
Josua terdiam sejenak tanpa jawaban sebelum akhirnya bersuara.
"Na, kalo gue nangis di depan lo boleh gak?" tanya Josua yang masih di dalam pelukan Nayla.
"Menangislah Jo. Nangis bukan berarti kamu lemah" Nayla menepuk-nepuk punggung Josua perlahan.
Josua tampak tak berdaya. Josua sudah memendam perasaan bersalah itu sejak dahulu. Namun ia tak tahu ingin mengungkapkannya pada siapa. Sampai akhirnya ia kembali bertemu dengan Nayla. Sahabat favoritnya sejak kecil. Penghibur lukanya. Dan kesayangannya.
Ia terisak lalu membalas pelukan Nayla. Rasanya nyaman sekali saat mengetahui bahwa Nayla masih mau menenangkan dan berada di sisinya. Masih mau mendengarkan curahan hatinya.
Bahkan tidak masalah bila ia terlihat lemah dihadapan Nayla. Josua tidak akan pernah menyembunyikan apapun dari Nayla karena Nayla adalah perempuan ketiga yang ia sayangi setelah Ibunya dan Catherine, sang adik.
***
"Duh maaf naa.. gue jadi cengeng gini." kata Josua setelah Nayla turun dari motornya. Sekarang mereka tepat berada di depan rumah Nayla.
Nayla melepaskan helm yang terpasang di kepalanya.
"Jangan sedih lagi ya Jo, ada aku loh.."
Ia tersenyum simpul.
Josua membalas senyuman Nayla.
"Iya, makasih ya na.. Gue itu.... sayaaaaaang banget sama lo" Josua mengungkapkan perasaannya.
Nayla tertawa kecil.
"Iya, sama aku juga" balas Nayla sama. Tapi tampaknya Nayla tak mengerti bagaimana ungkapan rasa sayang yang dimaksudkan Josua itu.
"Aku masuk dulu ya." kata Nayla pamit.
"Jangan sedih lagi loh!" Nayla memperingatkan.
"Iya iya.." jawab Josua seraya mengangguk patuh.
"Daahh, selamat malam"
Nayla melambaikan tangannya, lalu masuk.
***
Nayla pulang dari tempat bimbel pada jam 7 malam, ia langsung mandi dan makan. Nayla benar-benar lelah. Tugas OSIS, Bimbel, dan PR dari sekolah itu perlahan-lahan membunuhnya. Karena tak mau pekerjaan itu menumpuk, Nayla memutuskan untuk membabat habis semuanya malam ini bila sempat. Untuk memastikan apa saja tugasnya, ia menanyakannya pada Sarah.
Setelah Nayla sudah yakin akan list tugasnya, ia mulai mengerjakan tugas-tugasnya. Ia menyingkirkan ponselnya dari hadapannya. Sebab ia tahu bahwa benda itu hanya akan menjadi penghalang Nayla dalam mengerjakan tugasnya.
Malam itu, Nayla hanya fokus untuk mengerjakan tugasnya. Pesan dan telepon yang masuk pun tidak ia hiraukan.
***
"Morning my friends" sapa Louis semangat.
"Pagi, semangat banget lo" balas Danar.
"Oh iya dong, pagi-pagi harus semangat." Kata Louis seraya merapikan rambutnya yang bahkan tidak berantakan.
"Pagi" gumam Nayla tiba-tiba entah darimana. Berbeda dengan Louis yang bersemangat, Nayla tampak lesu.
"Kenapa lo naa.." tanya Danar heran.
"Biasanya semangat"
"Iya na, lo kurang tidur yak?" Tebak Louis.
Nayla hanya mengangguk pelan lalu duduk di kursinya. Ia menenggelamkan wajahnya ke arah meja, kedua lengan Nayla menopang kepalanya yang berbaring di meja.
"Lo kok bisa kurang tidur na? Tumben?" Louis melanjutkan pertanyaannya.
"Aku ngebut ngerjain pr semalam" gumam Nayla tanpa menolehkan wajahnya.
"Waahhhh, sampai jam berapa?'
"Sampai jam 2 pagi"
"Gilaa naa, pacu banget lo"
"Jangan ganggu aku ya, mau tidur" Nayla pamit tidur.
"He-eh baiklah" gumam Louis singkat.
Baru beberapa menit Nayla pamit tidur, Vania sudah datang dengan hebohnya.
"Woi, woi, woi" katanya heboh.
"Sshhh, apasih van. Nana lagi tidur" Danar mendesis. Ia melirik Nayla lalu mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Sejenak kemudian ia kembali membuka suara yang volumenya lebih kecil dibandingkan beberapa saat yang lalu, sehingga hanya Danar dan Louis lah yang dapat mendengarnya.
"Ada yang cariin Nana" bisik Vania.
"Siapa?" Danar ikut berbisik.
"Zhavier."
Sesaat kemudian Danar, Louis dan Vania saling bertatapan secara bergantian sebelum akhirnya Danar melempar sebuah pertanyaan klise.
"Mau ngapain?" Tanya nya masih berbisik.
"Gatau" Vania mengidikkan bahunya.
"Bilang aja kalo Nana lagi tidur" perintah Louis.
"Beneran nih dibilang gitu?"
"Iya, beneran"
"Haha, oke. Gue bilang dulu ya" kata Vania lalu pamit meninggalkan Danar dan Louis yang kelihatan sedang menjaga Nayla yang sedang tidur, walau tidak lelap.
"Zha, Nayla lagi tidur" kata Vania menemui Zhavier.
"Tidur kak?"
"Iya"
"Tidur di kelas?"
"Iya"
Zhavier sempat bingung sebelum akhirnya memutuskan untuk pamit.
"Oke deh kak, nanti sampaikan aja kalo gue dateng ya"
"Siap" Vania mengangguk paham lalu kembali ke ruang kelasnya.
"Udah pergi dia?" Tanya Louis berbisik setelah Vania duduk tepat di depan Louis.
"Udah"
"Hmmm, kayaknya dia mau pdkt sama nana kita" Danar berdeham curiga.
"Iya kan!" Louis mengangguk setuju.
"Seriusan? Adek kelas mau deketin nana yang sibuk ini?" Vania menunjuk Nayla dengan tangan kanannya yang terbuka.
"Ngapain lagi coba pagi-pagi nyariin kakak kelas kalo bukan cuma pdkt-an" kata Danar masuk akal.
"Jadi menurutlo gimana, lo setuju gak kalo Zhavier akhirnya deket sama Nayla?" Tanya Vania.
"Hmm.... tergantung orangnya gimana, ya kalo brengsek gue ga setuju lah" Danar menjawab sebagai solidaritas teman.
"Azek. Gue juga deh setuju sama Danar" Louis ikut-ikutan.
***
"Nih, makan yang lahap Na..." kata Sarah menyodorkan nasi goreng pesanan Nayla.
"Makasihh" ucap Nayla senang.
"Enggaklah, kita yang makasih lo udah mau minjamin pr lo ke kita nanti" goda Sarah, padahal Nayla tak pernah bilang akan meminjamkan prnya.
"Hee? Aku gak pernah bilang mau minjamin tuh. Kerjain sendiri. Biar tau rasanya berjuang" balas Nayla pedas, lebih pedas dari nasi goreng yang ada di hadapannya saat ini.
"Jahat banget looo" Sarah meringis.
Nayla tertawa kecil.
"Biarin aja"
"Nayla!" Panggil Danar.
"Haa?" Nayla lalu menyantap nasi gorengnya.
"Tau apa lo soal berjuang? Lo kan cewek! Yang berjuang itu kami, cowok!" Kata Danar dramatis.
"Apaansih" Nayla tertawa geli.
"Tau nih, kok baper si Nar?"
"Biarinlah ah, biar lucu"
"Gak lucu loh"
"Itu Nana ketawa"
"Itu si Nana nya aja yang receh."
"Ah bener, si Nana emang receh" ucap Danar seraya menepuk dahinya seolah kecewa. Sementara Nayla hanya menatap keduanya sekejap lalu kembali fokus dengan nasi gorengnya.
"Eh, btw kalian udah dapat narasumber buat tugas wawancara itu belum sih?" Tanya Sarah tiba-tiba.
"Belum, masih bulan depan kan dikumpulnya?" Kata Danar santai.
"Wah parah lo, harus dipikirin mulai sekarang. Jangan disitu mau BAB, disitu bangun WC. Ntar keteter loh" kata Sarah menggunakan perumpamaan.
"Ah iya, ampun kanjeng.. Besok gue langsung cari narasumbernya deh" Danar mengatupkan tangannya seolah meminta ampun.
"Ah iya, aku juga mau cari besok" Nayla buka suara.
"Sama gue yuk" ajak Danar.
"Enggak ah, ntar kamu nyontek narasumberku" kata Nayla galak.
"Ih, mana mungkin. Kan gak boleh sama"
"Gausah mau Na... nanti si Danar malah ninggalin lo" kata Sarah mengingat kejadian dimana Danar dan Sarah pernah pergi karena tugas kelompok, lalu Danar pergi begitu saja meninggalkan Sarah. Walaupun pada akhirnya Danar kembali menjemputnya, tetap saja Sarah jengkel.
"Wah, raa... masih ingat aja ya, itukan pas kelas sebelas. Gue udah tobat. Gak bakalan ninggalin gitu lagi" Danar meringis.
Nayla tertawa kecil.
"Aku rencananya mau sama Kevin kalo dia gak ekskul"
"Ah iya, udah pasti ya Nana sama adek kesayangannya" Danar mengangguk paham.
"Oh iya dong, dia adek kesayanganku" Nayla mengibaskan rambutnya.
"Ih, apalah daya gue yang gapunya adek. Tapi pengen adek!!!" Sarah menggerutu.
"Suruh emak buat lagi" kata Danar santai.
Sarah memukul lengan Danar.
Tidak sakit, tapi Danar memasang wajah nelangsa. "Aduh!" Pekiknya.
"Gaboleh ngomong gitu, ada anak kita yang masih polos" kata Sarah menunjuk Nayla dengan dagunya.
"Oh iya, maafkan ayah ya nak. Lupakan perkataan ayah yang ambigu tadi" kata Danar meminta maaf seperti seorang ayah yang sedang melakukan kesalahan.
Sarah mengernyit geli.
"Apasih, geli ah" kata Sarah lalu tertawa.
Nayla hanya menggeleng-geleng lucu seraya tertawa samar.
***
Sepulang dari tempat bimbelnya, Nayla langsung mandi dan makan. Biasanya dia akan langsung mengerjakan tugas-tugasnya, tapi karena tugasnya telah selesai jadi Nayla hanya akan bersantai sebentar lalu nanti ia mengulang pelajaran sebelum tidur.
Nayla membuka hpnya, seharian ini ia tidak menyentuh hpnya karena tertinggal di rumah. Ia menduga pasti banyak notifikasi baik dari personal chat, maupun dari grup saat ia membukanya.
Dan benar saja dugaan Nayla. Jadi ia mulai membalas satu-satu chat itu mulai dari yang terpenting sampai yang tidak penting.
Lalu ia beralih ke aplikasi WA, untuk memeriksa grup kelas, barang kali ada tugas yang tidak ia ketahui. Untungnya tidak ada. Tapi notifikasi WA sangat banyak, jadi Nayla menggulir layar hpnya, melihat apa saja yang masuk ke hpnya itu. Satu yang menarik perhatiannya. Nomor yang tak dikenal, alias ia tidak menyimpan nomor itu di dalam kontaknya.
Hmmmm....
Baru saja hendak menutup aplikasi, pesan masuk kembali muncul.
Masih dari Zhavier.
Percakapan mereka mengalir lancar.
Adek kelas yang baik, batin Nayla polos.
"Naaaa...." panggil mamanya.
"Iya maa???" Jawab Nayla, ia keluar dari kamarnya.
"Anterin ini dong ke rumah Josua" pinta mama Nayla menyerahkan sebuah kotak makan yang cukup besar.
"Apa ini ma?"
"Mie gomak"
"Mama buat sendiri?"
"Iya dong. Gak lihat dapur berantakan?"
"Wah, tante Rini kan suka banget sama mie gomak buatan mama"
"Makanya kasihkan ya"
"Mama gak mau kasih sendiri aja?"
"Mama mandi dulu, nanti mama kesana sama teman-teman mama."
"Oh, oke. Nayla ke sana dulu ya, sekalian mau jumpa Josua juga."
"Iya"
"Mau kemana kak?" Tanya Kevin yang kebetulan lewat di depan Nayla.
"Mau kerumah Josua nganterin mie gomak"
"Wih, mau lah aku mie gomaknya!"
"Ambil aja di dapur,"
Jadilah Kevin mengikuti sesuai yang dikatakan kakaknya itu. Sementara itu, Nayla segera mengantarkan makanan itu ke rumah Josua.
Sesampainya di depan rumah Josua, Nayla memencet bel rumah mereka.
"Tantee" panggil Nayla dari depan rumah Josua.
Tak lama menunggu, bibi Arni -- asisten rumah tangga di rumah Josua -- datang membukakan pagar rumah.
"Eh, Nayla... Masuk naa" gumam bibi Arni ramah.
"Bi Arni, kangenn!!" Nayla memeluk bi Arni.
"Sama, bibi juga kangen"
Bi Arni sudah bekerja bertahun-tahun dengan keluarga Josua, bahkan sebelum Josua pindah ke luar kota. Jadi tentunya bi Arni ingat pada Nayla. Sebab sejak kecil bi Arni lah yang sering menemani Nayla dan Josua bermain sewaktu kecil. Sudah seperti keluarga sendiri, orang terpercaya.
"Malam tante, ini mie dari mama" kata Nayla ramah.
"Wah, makasih ya Naa... mamanya mana?" Rini tersenyum ramah.
"Lagi mandi tante, ntar nyusul."
"Owhh"
"Josua nya mana tante?"
"Di kamarnya, lagi belajar mungkin. Masuk aja" jawab Rini.
"Oke tante" balas Nayla singkat lalu segera naik ke lantai atas untuk menjumpai Josua.
Nayla berencana mengangetkan Josua, jadi ia tak mengetuk dan langsung menerobos masuk ke kamar Josua.
"JOOOO---" baru saja Nayla ingin berteriak heboh, rona merah langsung mendesir di pipinya. Jantungnya berdegup kencang karena kaget. Ia sempat bertatapan dengan Josua yang tengah bertelanjang dada dengan handuk menggantung di pinggangnya sebelum akhirnya ia memalingkan badannya ke belakang lalu keluar dari kamar Josua. Ia menutup pintu. Nayla malu setengah mati.
"Maaf Joo, aku gak sengaja... kukira kamu lagi belajar. Aku mau ngagetin kamu. Malah aku yang kaget" Nayla menjelaskan dari balik daun pintu. Karena tak ada jawaban dari dalam kamar, Nayla sempat khawatir bahwa Josua akan memarahinya karena sudah masuk seenaknya ke kamar orang tanpa permisi.
Tapi kekhawatiran itu hilang setelah beberapa saat Josua keluar dari kamarnya dengan piyama yang sudah lengkap dipakai. Kini handuk yang menggantung di pinggang itu sudah berada di atas kepala Josua yang rambutnya masih basah.
"Ah alasan" goda Josua. "Bilang aja mau lihat roti sobek ku" candanya. Josua tak marah, ia malah tertawa melihat ekspresi kagetnya Nayla. Lucu.
"Ih enggak loh" Nayla cemberut.
"Hahah, iya deh." Josua mengalah seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk.
"Kalo lagi mandi, kamarnya di kunci dong"
"Kalo mau masuk, diketok dulu dong"
Nayla gemas melihat Josua yang mengeringkan rambutnya dengan handuk dengan perlahan. Nayla mengacak rambut Josua yang masih diselimuti dengan handuk itu. Membuat tangan Josua yang tadinya mengangkat karena sedang mengeringkan rambut, kini jatuh lepas kebawah. Ia menundukkan kepalanya agar tangan Nayla sampai ke puncak kepala Josua, karena sekarang Nayla yang mengeringkan rambut Josua. Josua itu tinggi, jadi Nayla setengah jinjit untuk mencapai Josua.
Setelah dirasa cukup, Nayla membungkus kepala Josua seperti kerudung.
"Uluu uluu, manisnya anakku" kata Nayla gemas, ia mengerutkan bibirnya.
"Uluu uluuh, romantisnya emakku"
***
Zhavier menaikkan alisnya sebelah.
Kecantol ya... masasih? Mana mungkinlah, pikirnya.
***
"Eh, lo percaya si Zhavier bakalan ngejodohin kak Nana sama bang Raka?" Tanya Hosea seraya duduk di bangku miliknya.
"Gak, palingan dia yang suka nanti" jawab Vino cuek karena asik dengan ponselnya.
"Sama gue juga berpikir gitu" kata Hosea datar.
"Lo gak masalah dengan itu Vin?" Tanya Hosea lagi. Vino melirik Hosea sesaat lalu kembali menekuni ponselnya.
"Gak ah, biarin aja. Lagian abang gue sebenarnya gak suka sama kak Nana."
"Lah?!" Pekik Hosea, alisnya tersentak bersama-sama. "Kok?"
"Gue cuma jual nama abang gue." Jelas Vino.
"Karena Zhavier selalu tertarik sama hal yang baru dan bukan miliknya, ya gue pakailah nama abang gue untuk membuat Zhavier tertarik dengan kak Nana"
"Dan alasan lo melakukan hal itu?" Hosea masih tak mengerti.
"Selama ini kan si Zhavier selalu pacaran hitungan minggu terus putus sama banyak cewek. Apalagi pernah pacaran online entah sama siapa, nah gue liat kebiasaan ini gak baik banget. Jadi gue mutusin untuk mancing dia biar suka ke kak Nana. Gue liat kak Nana ini orangnya baik, terus kayaknya gak mudah didapetin. Cocoklah sama Zhavier, biar dia sekali-sekali dia ngerti berjuang dapetin cewek dan gak mutusin seenak jidat." Kata Vino panjang lebar.
"Wah" gumam Hosea. "Gue aja gak kepikiran. You da real MVP lah. Tapi apa jaminan lo kalo kak Nana susah didapetin?"
"Kak nana suka sama ketos."
"Wah, nice. Brilliant juga lo ya!" Hosea berdecak kagum.
"Namanya juga Vino." Katanya sombong.
Tak lama setelahnya, Zhavier terlihat sudah berada di depan kelas. Sedang berbincang dengan seorang perempuan, entah siapa.
"Tapi lo diem-diem aja ya soal kebohongan gue" bisik Vino sebelum Zhavier mencapai mereka.
"Siap" balas Hosea berbisik. Ia tampak mendukung Vino.
***