Julia tidak menghilang. Mereka pembohong. Kalau suatu hari nanti seseorang bertanya padaku apakah aku tahu di mana Julia berada, aku hanya akan menjawab seperti ini, "Dia di rumah."
Dan kalau seseorang itu bertanya balik, "Bohong. Bagaimana kau tahu?" Aku hanya tinggal memberikan pernyataan, "Aku bukan pembohong. Para Carpenter-lah yang pembohong."
"Hei, Jason!" Seth menepuk pundakku, membuatku sadar bahwa semenjak tadi ternyata Seth sudah berusaha memanggil namaku dari kejauhan sebelum akhirnya berdiri di samping mejaku. Tepatnya, tadi ia berada di depan meja counter kafetaria—tempat untuk memesan makanan.
"Ya?" tanyaku seraya mengusap wajah dengan telapak tangan, seolah hal itu bisa membuatku kembali normal dari pikiran-pikiran negatif tidak masuk akal. Kusapukan pandangan ke beberapa meja di sekitar kami, lalu kembali pada Seth.
"Kau mau spaghetti?"
"Ya," jawabku singkat, tidak peduli apakah Seth mau memesankan spaghetti yang lezat ataukah pancake basi yang menjijikkan. Aku tidak bisa fokus sejak tadi malam. Aku telah melihat Julia lagi dan gadis itu benar-benar nyata berada di rumah itu, seolah semua yang telah berlalu—perihal Julia yang tiba-tiba lenyap—benar-benar berlalu. Maksudku, Julia hilang atau Julia muncul lagi, tidak ada yang peduli sama sekali. Seolah keluarga mereka bukanlah sebuah masalah besar bagi para tetangga. Ah iya, aku baru ingat sekarang. Hanya aku dan Seth yang mengetahui bahwa—
"Jason!!!" Seth meneriaki wajahku. Refleks, tubuhku menghindar. Mulut Seth bau sekali. Aku benar-benar baru tahu sekarang ini bahwa aku mempunyai adik yang bau mulutnya seperti daging busuk. Pantas saja gadis-gadis tidak ada yang mau padanya.
"Kapan terakhir kali kau menyikat gigi?" tanyaku.
"Hah?!"
"Mulutmu bau."
"Benarkah?" Seth menghirup napasnya sendiri yang sudah ia hembuskan di telapak tangan. Anak itu melakukannya berulang kali, lalu menggerutu, "Tidak, napasku wangi. Oh, hei! Kau mau kupesankan minum apa?"
"Terserah."
Seth bergeming di tempatnya berdiri, sementara aku duduk terdiam seribu pikiran, bertopang dagu. Tiba-tiba aku bisa merasakan Seth menampar pipiku. Cukup keras sehingga membuatku mengaduh pelan. Aku hampir-hampir roboh ke samping akibatnya. Sialan Seth.
"Kenapa kau melakukannya?!" bentakku marah.
"Itu tadi tidak lebih sakit dari pukulan Nyonya Carpenter tadi malam. Kau lemah!" Seth memelotot, lalu mengacungkan telunjuk ke arahku, seperti layaknya Mom yang setiap Minggu pagi selalu naik darah ketika Seth sendiri kerjaannya hanya menonton televisi. "Berhenti melamun, atau kau bukan lagi kakakku. Berhenti memikirkan gadis itu. Dia bukan siapa-siapa."
"Bukan urusanmu."
"Ya, aku tahu," Seth menyergah. "Aku tahu, dia telah menjadi seseorang di hatimu."
Aku bergeming mendengarnya, seolah-olah aku baru saja mendengar kalimat paling menyedihkan yang pernah kudengar seumur hidupku. Seth berbalik, berjalan menuju counter lagi. Ah, kini anak itu benar-benar sudah memiliki rencana untuk memesan apa. Dan aku, aku masih mematung.
Aku bisa melihat Seth yang sedang berbincang dengan penjaga kafetaria di seberang sana, namun pikiranku tidak tertuju pada apakah Seth jadi memesankan spaghetti atau tidak, minuman bersoda atau air putih, aku sama sekali tidak berpikir ke arah situ.
Semuanya mengarah pada Julia. Aku tidak yakin apakah aku terlalu berlebihan serta norak jika selalu mengungkit-ungkit peristiwa tadi malam dalam pikiran. Rasanya kami telah dibohongi. Tidak, tunggu. Mengingat bahwa dari seluruh keluarga di perumahan Jalan Fess, satu-satunya orang yang peduli pada keluarga misterius itu sepertinya hanyalah aku saja. Tidak Seth, tidak Mom, apalagi Dad.
Suasana kafetaria ramai. Seperti biasa, para siswa tidak akan peduli pada siapa anak yang duduk bersebelahan dengan meja mereka dan apa yang mereka makan serta bagaimana suasana hatinya, atau siapa gerangan cowok yang sedang memesan makanan di sana, ataukah siapa cowok yang sedang melamun di tengah-tengah keramaian ini.
---
Pukul sembilan malam, aku belum tidur. Kurasa aku adalah satu-satunya orang di rumah ini yang masih sibuk sendiri dengan pikiran mentalku. Ah, ya. Sebenarnya aku tidak melakukan apa-apa sejak satu jam yang lalu. Duduk diam bersandar di sisi bingkai jendela dengan menggantungkan salah satu kakiku ke luar ruangan, menikmati udara musim gugur serta mengamati bintang.
Tidak, bukan bintang di langit, melainkan bintang di dalam rumah itu. Rumah Carpenter.
Ya, memang benar sial. Aku tidak bisa langsung melupakan Julia begitu saja seolah tidak terjadi sesuatu. Dalam kata lain, mungkin memang sebenarnya ada sesuatu. Ya, pasti ada sesuatu yang salah. Tidak mungkin 'kan, Julia tiba-tiba dimunculkan oleh orangtuanya sendiri di ruangan itu jika memang tujuan mereka sebelumnya adalah menyembunyikan Julia? Lalu, kenapa Nyonya Carpenter menampar gadis itu?
Aku menoleh ke sisi kiriku, ke dalam kamar. Kudapati jam di dinding menunjukkan pukul sepuluh. Astaga, sudah satu jam aku melamun.
Baiklah, saatnya tidur dan semoga besok tidak lebih buruk dari kemarin malam.
---
Drrrt... drrrt... drrttt...
Apa itu?
Oh, astaga. Ponselku.
Drrrt... drrrt... drrttt...
Ponselku—yang kuletakkan di bawah bantal tidur—berdering serta bergetar. Aku ragu apabila nada deringnya adalah dering alarm, dan sepertinya memang bukan.
Tiga detik adalah waktu yang cukup lama untukku mengumpulkan kesadaran dan membuka kelopak mata.
Ah, sial. Ruangan gelap dan aku tiba-tiba teringat bahwa aku lupa menyalakan lampu tidur sementara lampu utama sudah kumatikan tadi. Kusibak selimut tebalku, kemudian dengan asal-asalan (karena di dalam ruangan ini tidak ada cukup cahaya untuk melihat), kuraba-raba ponsel di bawah bantal.
Segera kulihat apa yang ada di layarku. Sial lagi, mataku perih melihatnya.
Incoming call from Penelope Miller.
Astaga, jam berapa ini? batinku. Aku langsung melirik ke sisi pojok kanan atas layar ponsel yang menunjukkan pukul satu dini hari.
"Jam satu?!" seruku, kaget setengah mati. Lalu kugumamkan sesuatu, kata-kata umpatan kesialan untuk Penelope. Kenapa pula cewek itu menelepon? Ah, aku bahkan tahu benar bahwa ini adalah pertama kalinya dia menelepon. Sial, "Awas saja kau jika ini hanya jebakan konyol atau semacam permainan dare."
Segera kujulurkan tangan, meraih lampu tidur yang terletak di atas nakas samping ranjang. Setelah itu, kamarku jadi lumayan terang dengan secercah cahaya lampu kecil.
Jempolku menekan tombol 'terima panggilan'. Dengan perlahan, ponsel kuletakkan di samping telinga. Awas. saja. Ya. Kau.
"Jason! Gawat! Kau harus ke sini secepatnya! Ini menyangkut hidup dan matiku!" suara Penelope Miller dari seberang telepon hampir-hampir memecahkan gendang telingaku. Sialan Penelope. Bisa-bisanya dia mengoceh tengah malam yang hampir pagi ini!
"Bisakah kau diam dan tenang karena kau sudah merusak tidur malamku," kataku, seperti memerintah namun terdengar sebagai nada paling membosankan di telinga (karena pasalnya saat ini aku benar-benar malas menanggapi gadis satu ini).
"Kau harus dengarkan dulu."
"Bicaralah. Dua menit."
"Datanglah ke rumah sakit di pusat kota sekarang juga. Aku mohon, Jason," nada bicara Penelope tiba-tiba merendah, lirih, lebih ke ... entahlah, seperti ketika seseorang memohon sesuatu kepada kekasihnya dan itu adalah satu-satunya permintaan terakhir di sisa akhir hidupnya (karena mungkin sebentar lagi seseorang itu sampai di ajal hidupnya).
Sejenak kemudian aku menyadari, kali ini Penelope tidak main-main. Mungkin dia memang berkata serius. "Ada apa memangnya? Kau kenapa?" tanyaku kemudian.
"Akan kuceritakan ketika kau sudah sampai di sini nanti. Tapi tolong, aku butuh bantuanmu. Please," Penelope memohon lagi, dan aku sampai meringis sendiri mendengar ucapannya itu. Seperti terdesak, seperti ada sesuatu namun ia sembunyikan.
Perlu beberapa detik untukku berpikir, memutuskan apakah aku harus ke sana atau tidak, serta bagaimana caranya aku bisa sampai ke sana, juga kemungkinan-kemungkinan lain yang harus dipertimbangkan. Sedetik kemudian, terlepas dari semua pikiran-pikiranku, aku akhirnya justru berkata singkat, "Baiklah. Aku akan ke sana."
Dan aku tiba-tiba merasa bodoh, tidak tahu harus pergi ke sana dengan apa. Rumah sakit kota Bloomington sekitar delapan kilo dari rumah. Dan aku tidak mau begitu saja menyerahkan nyawaku sendiri (dengan menaiki sepeda) kepada bandit-bandit malam hari yang sering berkeliaran di jalanan Bloomington. Sial. Jason, remaja tujuh belas tahun, bisa-bisanya belum bisa mengendarai mobil.
Penelope berkata singkat, "Baiklah, kutunggu kau, Jason. Terima kasih." Lalu, telepon ditutup secara sepihak dari sana dan diakhiri bunyi tut tuut tuut pelan.
Baiklah, sekarang aku harus bagaimana? []