Ten Rumors about the Mute Girl

By fibiway

264K 26.7K 2.3K

Orang-orang bilang ada gadis bisu di rumah itu. Dan akhirnya aku tahu bahwa itu benar setelah kejadian dimana... More

0.0 | copyright
epigraph
prologue
1 | people said, the house is haunted
2 | people said, she is from the other city
3 | people said, the carpenters have often moved house because 'she' is mute
4 | people said, they are anti-social family
5 | people said, Julia is a whiny girl
6 | the beginning
7 | the warming party
8 | why Mrs. Carpenter gets mad?
9 | the taro flavor
10 | Seth, the stalker
11 | Seth and the truth
12 | why Mrs. Carpenter gets mad? (pt.2)
13 | a middle-aged man asked us about the Carpenters' house
14 | what the hell?
15 | she; a gone girl
16 | ten rumors about the mute girl and her family
17 | Mom said that she will try
18 | but Mom never trying
19 | the Carpenters' truth
21 | what happen; why Penelope calling?
22 | Julian
24 | stupidity
23 | a big confusion
25 | a stranger
26 | he is the hero, again
27 | Herbert Carpenter
28 | she said she really sorry for her father
29 | the day with them
30 | a ticket, to Iceland
31 | me, and the sun, and the girl-who-will-go to reach her dream
32 | the truth, but not the whole truth
33 | the truth happened later, i think it's the end
34 | too late to say goodbye
35 | everything's back to normal, like when the girl has not come yet
36 | new neighbor, isn't it?
37 | yeah, they are gone
38 | a diary
39 | page 1, 30 November
40 | page 2, 3 December
41 | page 3, 10 December
42 | page 4, 12 December
43 | page 5, 15 December
44 | page 6, 28 March
45 | page 7, 30 March
46 | page 8, 31 March
47 | page 9, 3 April
48 | page 10, 30 May
49 | "nothing ever goes away..."
50 | "...until it teaches us what we need to know."
epilogue
[ author's note ]

20 | a girl who was slapped

3.6K 473 28
By fibiway

"Jadi, kau masih juga menyalahkanku setelah semua yang terjadi? Oh man."

Aku menunjukkan layar ponselku—yang menampilkan sebuah foto—kepada Penelope. Seakan ponselku ini tidak ada harganya, Penelope mengambil paksa benda itu dari tanganku dengan gerakan cepat, terkesan angkuh. Tangan kirinya memegangi ponselku, sedangkan tangan kanannya bermain dengan rambut panjang cokelatnya. Aku hampir-hampir mengumpatinya karena ketika dia telah selesai membaca tulisan dalam foto dari ponselku, diletakkannya benda pipih itu begitu saja di atas mejaku, menimbulkan bunyi buk lirih (kupikir itu lumayan keras dan bisa dikategorikan ke dalam kriteria peletakan ponsel ter-asal selama aku memilikinya).

Penelope tidak pernah peduli dengan orang lain, apalagi barang-barang mereka. Orang-orang seperti dia memang sudah seharusnya kuhindari(dalam keadaan apa pun itu). Kalau tidak, cepat atau lambat, aku akan terkena dampaknya. Namun detik ini, aku seperti mendorong diriku sendiri untuk terkena masalah setelah sekian lama.

Aku, Jason untuk pertama kalinya menyelinap ke kelas yang bukan kelasku. Untung saja Mrs. Larson belum menyadari kedatanganku sejak dia masuk kelas ini.

Demi Tuhan, aku pasti tidak akan pernah berani menelusup ke kelas yang berisi manusia setengah monster layaknya Penelope kalau bukan untuk melabraknya. Perlu diketahui, aku dan Penelope jarang berada di kelas yang sama. Seingatku, kalau tidak salah, aku hanya melihatnya di kelas Bahasa Latin—dan pelajaran itu hanya ada di hari Kamis depan, sedangkan sekarang adalah hari Jumat. Aku hanya perlu bicara seperlunya pada Penelope lalu keluar.

"Cepat atau lambat, kau harus meminta maaf kepada Julia. Karena perbuatanmu padanya sudah terbukti. Ini tulisanmu, 'kan?" aku berusaha mengancamnya.

"Kalau aku tidak mau?"

Omong-omong, kemarin malam aku telah mengirim pesan singkat pada Penelope yang berisi ajakan agar kami berdua bertemu. Aku ingin membahas perihal Julia. Jelas saja Penelope menolak bertemu karena aku tahu, tipikal cewek setengah monster seperti dia, tidak akan mau disuruh-suruh kecuali jika mendesak. Dan harus ada bayarannya untuk itu.

Aku terdiam, memikirkan kata-kata yang pas untuk mendesak Penelope. Namun mulutku membisu, dan itu disebabkan karena aku memang tidak punya alasan yang masuk akal untuk terus memojokkannya. Sial, kenapa aku jadi seperti orang bingung?

"Jason?!" Penelope membentakku dengan nyaring. Aku pikir mungkin dia sengaja melakukannya agar semua orang menoleh pada kami lalu menyadari kehadiranku sebagai orang asing di kelas mereka. Termasuk Mrs. Larson—yang tadi tengah menuliskan materi di papan tulis—kini wanita itu memicingkan mata ke arahku dengan raut bertanya-tanya apakah dia pernah melihat wajahku atau belum sebelumnya. Aku hampir-hampir tidak bernapas selama empat detik ketika Mrs. Larson menatapku sebelum akhirnya ia kembali menulis. Anak-anak lain juga melakukan hal yang sama—mencatat pada buku tulis mereka, kembali mengacuhkanku.

Aku kembali pada Penelope yang duduk di bangku sampingku, "Kau akan menyesal jika tidak meminta maaf."

Masih dengan aksen angkuhnya, Penelope berseru "Kenapa?!" seolah ia memang sengaja melakukannya agar orang-orang menoleh lagi pada kami.

Kali ini benar-benar Mrs. Larson menyorotiku tajam dengan kedua bola matanya. Aku bisa saja memelototinya balik (mengeluarkan jurus andalanku, tatapan elang) namun mengingat karena Mrs. Larson adalah seorang guru, serta kehadiranku di sini yang secara ilegal, maka aku tidak jadi melakukannya.

"Mrs. Miller, bisakah kau diam?" tanya Mrs. Larson. Aku sedikit lega karena wanita itu tidak menyebutku di hadapan seisi kelas.

"Tentu saja," Penelope menjawab," aku akan diam jika orang ini mau diam tidak menggangguku." Aku begitu kaget ketika tiba-tiba Penelope menunjukku dan itu lebih ke menyalahkanku karena telah mengganggunya.

Mrs. Larson menggeser pandangannya beberapa senti dari Penelope lalu ke arahku. "Oh, dan kau, Mr ...?"

"MacMillan. Jason MacMillan," sahutku tiba-tiba.

"Dan kau dari kelas ...?" Sial. Mrs. Larson sepertinya tahu bahwa aku bukan berasal dari kelas ini.

"Biologi."

"Baiklah, Mr. MacMillan, sepertinya kau salah kelas."

"Ya, aku juga merasa begitu."

Sontak, seisi kelas tertawa, termasuk Penelope. Aku melirik padanya, sial, dia benar-benar tidak punya perasaan.

"Jadi, kapan kau akan keluar dari kelas ini lalu pergi ke kelas Biologi, Mr. MacMillan?" Mrs. Larson terus menanyaiku seolah ia sedang berusaha membuat lelucon bagi seisi kelas. Kuedarkan pandangan ke seluruh wajah anak di kelas ini yang sejak tadi menoleh padaku. Sial sekali lagi, mereka tertawa cekikikan seolah aku ini badut yang memang diperuntukkan untuk lelucon kelas rendahan.

Aku kembali pada Mrs. Larson yang masih menunggu jawaban dariku. "Baiklah, saya akan keluar. Maaf." Kugendong tasku, lalu dengan perasaan kacau sekaligus terburu-buru, aku beranjak dari tempatku duduk.

Nahasnya ketika aku tengah melewati deretan kursi para anak laki-laki, salah satu dari mereka memalangkan kaki tepat ketika aku melangkah di depannya.

Brukk.

Aku tersandung, hampir-hampir jatuh. Seisi kelas tertawa lagi, dan aku mulai merasa mual. Kalau saja aku mempunyai cukup nyali untuk mencegah agar harga diriku tidak terinjak-injak cukup keras, aku mungkin sudah menonjok anak lelaki berambut pirang yang menjegalku.

Mrs. Larson melipat lengannya di depan dada sementara terus mengawasiku dengan sorotan yang menusuk, menungguku berjalan hingga ke luar kelas.

---

Malam harinya, entah mengapa aku merasa begitu lelah akan hari ini. Pelajaran kedua setelah kelas Biologi adalah olahraga (yang ini aku sudah keluar dari kelas Penelope).

Aku pikir tubuhku tidaklah cukup bugar karena pada ronde ke dua permainan baseball dimulai, aku hampir pingsan karena kehabisan napas. Untung saja permainan segera berakhir karena kalau tidak, bisa-bisa seluruh anak di kelasku pasti langsung membatin, Jason yang cupu.

Pukul delapan malam, seharusnya aku belajar. Tapi, kurasa sebaiknya aku tidur saja. Tidak belajar selama satu kali semalam tidak akan mempengaruhi bagaimana nasib masa depanku kelak, bukan? Jadi, yah, kutarik selimut, kuambil ponsel, mengecek notifikasi sebentar (sayangnya tidak ada sama sekali), lalu kumatikan ponsel, dan memejamkan mata.

Lima menit. Tidak bisa tidur. Lalu kuputuskan untuk membayangkan sesuatu-adegan film laga yang biasanya aku tonton (dimana di sini, aku-lah yang jadi pemain utamanya).

Nihil. Sepertinya aku memang harus belajar, batinku.

Kurasakan ponsel di bawah bantalku bergetar, sebuah panggilan masuk.

Segera setelahnya, aku mendapati bahwa rupanya Seth-lah yang menelepon.

Incoming call from Stupid Seth.

Kutekan tombol penerima panggilan.

"Apa-apaan?!" Bukannya 'halo' atau kata sapaan lain yang kuserukan pertama kali layaknya orang lain pada umumnya, aku malah mengumpat di telepon. Ya, tipikal kakak pada adiknya—si pengganggu sialan di malam hari. Kenapa pula dia menelepon padahal kamar kami hanya berbatasan sebidang tembok selebar kurang lebih sepuluh senti?!

"Ke kamarku. Sekarang. Cepat!"

"Ada ap—"

Tut tuut tuut...

Sebenarnya aku malas untuk bergerak lagi. Tapi, mendengar Seth berbicara di telepon dengan cara berbisik dan itu terdengar seperti ia sedang dalam keadaan darurat, maka aku terpaksa beranjak.

Dengan lunglai, aku berjalan ke kamar Seth, kubuka pintunya. Segera setelahnya, aku bisa melihat Seth yang berjongkok diam di tepian jendela.

"Seth?!" panggilku.

Anak itu menoleh. Tiba-tiba dia berdiri dan menggaet bahuku, memaksaku menuruti gerakannya, berjongkok di sisi jendela kamar yang menghadap ke luar.

"Ada apa, sih?" tanyaku.

Ssst! Seth mendesis sejurus kemudian. Tatapannya menjurus. Tajam. Mendelik. "Lihat itu," Telunjuk Seth menghadap ke luar jendela. Refleks aku langsung mengikuti gerakan adikku. "Dia di sana."

Tiba-tiba tubuhku membatu. Aku terus berfokus pada seseorang di seberang sana. Di rumah itu.

Julia. Duduk diam di sebuah sofa.

Lalu ada Nyonya Carpenter muncul dari balik pintu ruangan lain, diikuti suaminya.

Seth menggumamkan sesuatu, namun aku tidak punya cukup konsentrasi tinggi untuk menghiraukan omongan Seth. Semua pikiranku tiba-tiba bercampur aduk menjadi satu. Bayangan semua orang terlintas cepat, seperti kereta api yang menyala di malam hari. Dari mulai kejadian dimana aku sering bertemu Julia dengan membawakan milkshake taro, lalu adegan dimana Nyonya Carpenter selalu menyorotiku sengit, Tuan Carpenter yang misterius, dan lagi ... Julia ... Julia yang tiba-tiba menghilang serta tindakan-tindakan konyolku yang dilatarbelakangi oleh menghilangnya gadis itu secara tiba-tiba...

Segalanya membuatku pusing...

"M-mengapa Julia bisa ada di sana?" bisikku selepas aku terlarut-larut dalam kebingungan.

"Kau tahu, Jason, tadi siang aku juga melihat Julia," Seth berbisik lirih sekali (aku sampai harus mendekatkan telinga beberapa senti ke arahnya).

"Di mana? Apa kau sempat bicara padanya?"

"Aku melihat seorang perempuan bertudung dengan setelan hitam berjalan masuk ke mobil yang terparkir di depan rumah mereka siang tadi. Awalnya aku mengira itu Nyonya Carpenter," Seth berhenti bicara. Refleks kutolehkan wajahku padanya, memunculkan mimik wajah yang antusias sekaligus tertekan agar Seth segera melanjutkan bicaranya. "Namun, kau tahu? Ketika aku menyerukan nama Julia, perempuan itu menoleh. Aku kaget sekali ketika itu benar-benarlah wajah Julia. Sayangnya ia segera masuk ke mobil, dan secepat kilat, mereka pergi. Aku yakin sekali orang lain di dalam mobil itu adalah orangtua Julia-atau siapa pun itu—yang berkendara."

Seth selesai pada ceritanya. Kami lalu kembali pada ruangan yang berisi sebuah keluarga di seberang sana.

Aku melihat pergerakan Nyonya Carpenter yang mendekati Julia, lalu berhenti di depan gadis itu. Satu detik, dua detik ... wanita itu menampar Julia.

Seth terkesiap dan aku juga. Kami sama-sama kaget, menutup mulut dengan telapak tangan, tidak percaya dengan omong kosong dan kemustahilan yang baru saja terjadi.

"S-Seth ... M-mengapa wanita itu melakukannya?"

"Seharusnya tadi siang aku tidak menyerukan nama Julia."

Keningku berkerut. "A-ap—"

"Nyonya Carpenter mungkin marah pada Julia karena aku telah mengetahui kebohongan mereka." []

Continue Reading

You'll Also Like

103K 13K 51
Ayasa yang tomboy bersahabat dengan Adriel yang menjadi idola cewek-cewek di kampus. Bosan diteror terus-menerus karena kedekatannya dengan Adriel, A...
2.1M 126K 33
[SUDAH TERBIT] Sebagian cerita sudah dihapus. Buku sudah bisa dipesan dan ditemukan di semua toko buku. An Eternal Vow Wanita itu masih memakai keba...
14.5K 1.1K 22
Pernahkah kalian mendengar kalimat ini, "Setiap kebahagiaan yang kamu berikan kepada orang lain, akan kembali kepadamu bahkan lebih indah" Arka, seor...
1M 135K 17
"Ever wonder how it feels to love a man who's more unreachable than the sun?" Substansi © 2017 by Crowdstroia. Image taken from pinterest. [W...