PARADISE

Por mtch_n

33.4K 3.7K 282

Published in ffn at Sept 8, 2016. Yifan dan Chanyeol adalah sebuah kekacauan. Sanggupkah mereka menyelamatkan... Más

FALLEN LEAVES
The Dusk
Hazy
Fuzzy
High
Home
A Sky Full of Stars
Tremble
Stay With Me
Your Eyes
Solace
Let Me Love You
Cold Water
What is Love?
Freal Luv
If I Have
Cave Me In
Love Me Right
Paradise
Love is a Dog from Hell
The Night in Questions
Yang Fana adalah Waktu
Surefire
Kotonoha no Niwa (Garden of Words)
One More Time, One More Chance
Sometimes, Somewhere
Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
Si Me Amas, Serva Me
Sebuah Akhir

Lighter

1.7K 187 19
Por mtch_n

"Kau datang lagi besok pagi ke sini. Sebagai ucapan terima kasih, aku akan mengantarmu ke sekolah."

Pada hari di mana seharusnya menjadi hari pertama Yifan masuk sekolah kemarin, Ibunya berpesan bahwa untuk sampai di sekolah ia harus menaiki bis nomor 4 dari halte dekat apartemen yang mereka tinggali. Kemudian ia harus turun di halte dekat taman kota untuk transit ke bis nomor 6 yang nantinya akan melewati halte dekat sekolahnya. Namun kemarin Yifan hanya menyelesaikan perjalanannya di halte dekat taman kota saja dan berhenti di sana. Ia lupa nomor bis selanjutnya yang harus ia naiki untuk sampai di sekolah dan ia terlalu malas untuk bertanya pada orang lain. Ia justru melangkah menjauhi halte dan duduk di taman kota memperhatikan lingkungan di sekitarnya. Sampai pemuda itu menyapanya.

Hari Selasa ini hujan turun cukup deras. Begitu sampai di halte dekat taman, Yifan yang pagi itu memastikan kembali pada Ibunya nomor bis kedua yang harus ia naiki, tampak ragu-ragu. Kemarin pemuda yang memperkenalkan diri dengan nama Park Chanyeol itu menawarkan diri untuk berangkat ke sekolah bersamanya. Tetapi kalau memang mereka akan berangkat bersama dari taman kota, nanti tentunya mereka akan berangkat dari halte ini. Dan juga, Yifan tidak terlalu mempercayai pemuda itu. Ia terlihat jahil dan tidak serius. Lagipula, kalau ia memutuskan untuk menemui pemuda itu –yang entah jadi datang atau tidak, di kursi taman kota, itu artinya ia harus mengeluarkan payung, berjalan di atas genangan air dan membuat sepatunya basah. Sungguh merepotkan.

Yifan dalam dilema. Dan saat itu, bis nomor 6 sudah muncul dari ujung jalan.

-

-

-

"Ku kira kau tidak akan datang." Chanyeol tersenyum ketika melihat Yifan datang dengan tangan kiri terselip di saku celananya dan payung di tangan kanannya. Tas ranselnya terlihat menggantung di salah satu bahunya.

"Hm." Gumam Yifan yang sebenarnya tidak menyangka akan memutuskan untuk datang ke kursi itu dan menemukan Chanyeol sudah berdiri di bawah payung menunggunya. Tapi sebenarnya Yifan sedang penasaran, benarkah Chanyeol akan menepati janjinya untuk berterima kasih atas sebatang rokok yang ia berikan kemarin.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Chanyeol melangkahkan kakinya ke arah yang berlawanan dari arah Yifan datang dari halte tadi. Tunggu, jika mereka akan ke sekolah bukankah seharusnya..

"Kau mau berangkat atau tidak?" Panggil Chanyeol dengan tidak sabar.

"Kau mau ke mana?"

"Um, sekolah?" Chanyeol memandangnya dengan heran.

"Tapi bukankah sekolah itu ke arah.."

"Kalau aku bilang akan mengantarmu ke sekolah, itu berarti kita pasti ke sekolah. Aku tidak akan menculikmu ke Disneyland, tenang saja." Potong Chanyeol. Nada bicaranya terdengar ketus. Sungguh bertolak belakang dengan senyuman yang tadi menghiasi wajahnya.

Yifan mengikutinya dengan diam. Yifan tidak menyadarinya kemarin, tapi baru kali ini ia bertemu seseorang di kota ini yang tingginya hampir menyamainya.

-

-

-

-

Ternyata Chanyeol tahu jalan pintas dari taman kota menuju sekolah. Itulah sebabnya mereka tidak perlu menaiki bus nomor 6. Mereka hanya perlu berjalan sekitar 10 menit untuk sampai di sekolah. Sudah banyak murid yang datang ketika mereka berdua tiba, dan seperti melihat sebuah pemandangan langka, kebanyakan dari murid-murid itu menatap Chanyeol dan Yifan yang berjalan berdampingan menuju ke lobi sekolah.

"Um, kau mungkin perlu lapor dulu. Ruang guru ada di ujung koridor ini." Ujar Chanyeol yang sedang melepas jaketnya.

"Thanks." Yifan mengangguk dan berjalan melewati koridor itu tanpa Chanyeol.

Pada akhirnya Yifan ditempatkan di kelas 2-B. Tidak sulit untuk menemukan ruang kelasnya karena Yifan hanya tinggal mengikuti wali kelasnya yang kebetulan juga akan mengajar jam pertama di kelas itu. Sang wali kelas, Kim Ryeowook yang merupakan seorang guru matematika memperkenalkannya di depan kelas dengan informasi yang cukup detail. Ia menyebutkan bahwa Yifan adalah seorang murid pindahan dari Vancouver, Kanada.

Yifan mendapatkan tempat duduk paling belakang –bukan tempat duduk favoritnya karena itu berarti ia harus sedikit menyipitkan matanya untuk membaca tulisan di papan tulis.

"Hi, Vancouver."

Yifan menoleh ketika ia merasa sapaan itu ditujukan padanya. Lagipula, suara dalam itu tidak lagi terdengar asing baginya. Park Chanyeol yang menempati tempat duduk di samping kirinya hanya menyeringai saat melihat kilat terkejut dari mata Yifan.

-

-

-

-

Pada istirahat makan siang, Yifan yang tadi sempat melongok menu di kantin sekolahnya segera berbalik arah. Lidahnya masih belum membiasakan diri dengan makanan Korea. Ia kemudian mengambil sebuah novel yang sempat ia masukkan ke dalam tasnya sebelum berangkat sekolah tadi dan mencari tempat yang nyaman untuk membaca. Dan tempat nyaman itu tak lain dan tak bukan adalah atap sekolah.

Di Kanada dulu, Yifan juga sering menghabiskan waktu istirahat siangnya di atap sekolah. Setidaknya tempat itu tidak banyak didatangi orang karena mereka tidak mau bersusah payah menaiki tangga. Yifan bisa membaca dengan tenang. Tapi sepertinya hal itu tidak berlaku di sekolahnya sekarang.

Atap sekolah itu memang sepi ketika Yifan datang. Tapi tak sampai 15 menit ia di sana, seseorang dengan kasar membanting pintu menuju ke atap itu. Suara itu kemudian diikuti dengan langkah gontai seseorang yang sepertinya sedang marah. Selain membanting pintu, kini orang itu menendang-nendang tembok sambil mengumpat.

Yifan berdehem. Ia tidak ingin orang itu pada akhirnya malu karena ternyata ia tidak sendiri di tempat itu. Betul saja, orang itu menghentikan amukannya begitu mendengar bahwa ada orang lain di tempat itu.

"Pfftt. Kau lagi." Orang itu mendengus begitu melihat Yifan yang menurunkan novel dari wajahnya. Pemuda dengan rambut hitam itu mengernyit ketika yang ia temui kali ini, -lagi-lagi, adalah Chanyeol.

"Tolong jangan berpikir kalau aku mengikutimu. Aku tidak tahu kalau sekarang tempat ini menjadi tempat favoritmu." Chanyeol segera menyerocos. Ada bercak merah di sudut bibirnya. Seragam sekolahnya juga terlihat lebih berantakan dari sebelumnya.

Yifan mengacuhkannya dan kembali menutupi wajahnya dengan novel yang sedari tadi ia baca. Namun bertolak belakang dengan perkataannya, Chanyeol justru duduk di samping Yifan tanpa permisi. Yifan sadar maksud perkataan Chanyeol tadi bahwa sepertinya tempat ini adalah tempat favoritnya sebelum akhirnya Yifan mengambil alih.

Chanyeol tidak berkata apa-apa sehingga Yifan tidak perlu merasa bertanggung jawab untuk membuka percakapan dengan pemuda itu.

"Kau seharusnya bukan orang yang hobi membaca buku." Chanyeol berkomentar. Sebuah batang rokok terselip di sela-sela mulutnya namun tangannya sibuk menggagapi kantong celananya.

Tanpa menyahut apapun Yifan yang diam-diam mengikuti gerak-gerik Chanyeol segera meraih sesuatu dari kantong celananya.

"Thanks." Chanyeol mendekatkan rokoknya ke korek api yang disodorkan Yifan dalam keadaan menyala. Yifan menyimpan kembali korek apinya ketika rokok Chanyeol sudah menyala.

"Kau mau? Tapi aku hanya punya ini." Chanyeol mengacungkan rokoknya pada Yifan setelah ia menghisapnya beberapa kali.

"Um, tidak. Chanyeol..." Chanyeol menghentikan kakinya yang bergerak dengan gelisah.

"... aku berterima kasih atas bantuanmu tadi pagi, tapi ku rasa kau dan aku tidak terlalu bisa mengobrol dengan baik.. um, maksudku.."

"Yeah. Kita tidak seharusnya berteman. Aku tahu. Aku tidak seharusnya mengajakmu berbicara.." Potong Chanyeol yang kembali menggerakkan kakinya. Celananya tampak lusuh dan sebuah lubang terlihat di bagian bawah lutut seragam Chanyeol. Jika Yifan tidak salah menduga, pasti Chanyeol baru saja berkelahi. Yifan kembali memfokuskan diri untuk membaca novelnya. Chanyeol tidak lagi berusaha mengajaknya berbicara tetapi ia juga tidak beranjak dari tempat itu.

Setelah jam istirahat selesai, kelas selanjutnya adalah mata pelajaran biologi. Kali ini mereka harus berpindah ke laboratorium selama 2 jam pelajaran itu. Seorang gadis teman sekelasnya menawari Yifan untuk duduk di sebelahnya, tapi pemuda itu hanya tersenyum kecil untuk menolaknya. Ia memilih duduk di ujung belakang kelas berharap tidak ada yang mengajaknya bicara.

Di akhir pelajaran, Lee Jonghyun, guru biologi mereka kala itu mengumumkan bahwa mereka akan diberikan tugas berkelompok masing-masing dua orang. Para murid sudah dengan otomatis menggandeng teman kelompok yang mereka inginkan. Yifan sungguh membenci hal-hal seperti ini.

"Chanyeol? Kau belum dapat kelompok?"

Chanyeol yang tanpa Yifan sadari ternyata duduk di tempat duduk paling depan itu mengangkat kepalanya yang sedari tadi sedang sibuk memainkan mikroskop. Chanyeol menggeleng.

"Yifan sudah?"

Yifan juga menggeleng.

"Karena hanya kalian berdua yang tersisa, jadi..." Mr. Lee belum menyelesaikan ketika bel tanda akhir pelajaran berbunyi. Para murid yang sudah tidak sabar segera membubarkan diri. Yifan mengemasi barang-barangnya ketika Chanyeol menghampirinya.

"Well, sepertinya kau terjebak denganku." Kata Chanyeol sebelum keluar dari kelas.

-

-

-

-

Makan malam kali itu, Ibunya memasak pasta dan telur dadar untuk Yifan. Mereka berdua duduk di bersila di depan sebuah meja di ruang tv. Terbiasa makan di meja makan membuat Yifan kesulitan menempatkan kaki panjangnya di posisi yang nyaman untuk makan. Sang Ibu tertawa melihatnya.

"Meja makannya akan datang Minggu depan. Kau bisa bernafas lega." Mrs. Wu mengisi piring Yifan dengan sebuah gulungan besar mie.

Yifan meraih sumpitnya dan mulai makan.

"Maaf. Aku tahu kau pasti akan lebih nyaman jika kita kembali ke Guangzhou saja, tapi kau tahu sendiri, aku tidak akan bisa bekerja di sana."

Yifan mengangguk tapi ia terlihat acuh tak acuh ketika matanya terfokus pada acara di tv.

"Bagaimana sekolahmu?" Tanya Mrs. Wu yang juga mulai menikmati makan malam.

Yifan kembali mengangguk. Ia tidak punya jawaban lain –atau lebih tepatnya, ia enggan menjawab yang lain. Mrs. Wu tampak menghela nafas.

"Yifan, aku tahu kau masih marah karena aku bercerai dengan Kevin. Aku tau dia adalah sosok Ayah yang baik bagimu, tapi dia.."

"Ma.." Yifan meletakkan sumpitnya. Ibunya lebih baik diam saja. Ia tidak perlu bersusah payah mengajak Yifan berbicara.

"Dia bukan suami yang baik, Yifan." Ujar wanita yang kini berusia 36 tahun itu melanjutkan kalimatnya.

"Aku tahu kau menyayangi Kevin, tapi semuanya sudah cukup bagiku."

Yifan yang sudah tidak tahan lagi pun beranjak dari tempatnya duduk dan masuk ke dalam kamarnya. Kevin adalah Ayah tiri Yifan, suami kedua Ibunya. Mereka menikah di Guangzhou ketika Yifan berusia 10 tahun. Setelah satu tahun pernikahan, Kevin membawa Yifan dan Ibunya pindah ke Kanada dan memulai kehidupan baru di sana. Meskipun Kevin hanyalah Ayah tirinya, tapi Yifan sangat menghormati satu-satunya laki-laki yang pernah ia panggil Ayah selama ini.

Seguir leyendo

También te gustarán

29.2M 2.5M 70
Heaven Higher Favian. Namanya berartikan surga, tampangnya juga sangat surgawi. Tapi sial, kelakuannya tak mencerminkan sebagai penghuni surga. Cowo...
6.7M 958K 54
Prahara rumah tangga si cowok spek malaikat dan cewek spek iblis. PART MASIH LENGKAP! TIDAK DI HAPUS SAMA SEKALI ❣️ Novel tersedia di seluruh Gramedi...
4.6M 488K 48
Deva, cowok dengan segabrek reputasi buruk di kampus. Namanya mengudara seantreo Fakultas Ekonomi sampai Fakultas tetangga. Entah siapa yang mengawal...
15.7M 990K 35
- Devinisi jagain jodoh sendiri - "Gue kira jagain bocil biasa, eh ternyata jagain jodoh sendiri. Ternyata gini rasanya jagain jodoh sendiri, seru ju...