Sexy Bae

Da WiwinSetyobekti

36.6K 2.8K 429

Bersahabat dengan Kang Baekho sejak kecil, tak pernah terbersit sedikitpun di benakku bahwa aku akan mengangg... Altro

Kangmas
Ketika cinta datang terlambat
01. Going Home
02. Everything happens for reason
03. Still The Same Person
05. Princess Warrior
06. Fight Me
07. Let Me
Mas Bae
08. Rival?
09. Kode
10. I was there
11. You are my compass
12. About you
13. Rejected
14. Get into It
15. Let's get closer
16. Backstreet
17. It Hurts
18. Love is complicated
19. Lea and Me
20. Soulmate (End)

04. Partner Of Crime

1.7K 158 21
Da WiwinSetyobekti

September, 2005

"Pake celana dalam, kan?" Bae bertanya seraya menatap sekitar dengan gusar, seolah takut aksi kami akan ketahuan.

"Ya pake lah," jawabku sewot.

Bae menoleh dan kali ini menatap rok seragamku yang panjangnya 2 cm di atas lutut.

"Maksudku, bukan celana dalam biasa, Zoya. Itu, Safety Pants, atau apa sih namanya, yang lebih panjang dari celana dalam, yang__"

"Iya, iya, pake kok." Aku makin sewot.

Bae mengerutkan bibirnya. "Aku nggak mau disebut tukang ngintip lagi," keluhnya.

Aku mendengus.
Terakhir kali kami melakukan ini, aku memang sempat meneriakinya tukang ngintip gara-gara dia mengomentari celana dalamku yang terlalu seksi.
Dia bahkan membahasnya selama tiga hari berturut-turut.
"Serius deh, yang kamu pake itu Thong, kan? Aku pernah lihat itu di majalah dewasa. Emang anak es-em-a udah boleh pake Thong, ya? Seksi banget sih," omelnya waktu itu.
Asyem.

"Udah deh, cepet jongkok. Keburu ketahuan, nih," titahku ketus.

Bae sempat ngedumel lirih sambil melepaskan tas ransel di punggungnya kemudian menyodorkannya padaku.
Aku menerima tas tersebut lalu menggantungkannya di bahu sebelah kiri. Ringan. Dugaanku, Bae hanya membawa tiga buku tulis dan sebuah pulpen. Seperti biasanya.

Bae jarang membawa buku dan mencatat pelajaran bukan karena malas.
Walau memang terkadang sifat malasnya muncul, tapi ia siswa yang cerdas.
Ia tak perlu repot mencatat karena semua pelajaran yang diterangkan guru selalu ia ingat dengan baik.

Taruhan deh, andaikan Bae jadi murid rajin dan penurut, dia pasti bakal jadi siswa populer dan kesayangan semua guru.

Sayangnya, ya begitulah. Bae adalah Bae. Murid urakan, sering bikin onar, tukang bolos, dan langganan ke ruang BP.

"Cepetan dong," desis Bae jengkel. Cowok itu sudah jongkok menghadap tembok, membelakangiku.

Hari ini kami berencana kabur dari sekolah, lagi. Teknisnya, aku akan naik ke pundak Bae, lalu pemuda itu akan berdiri agar aku bisa menjangkau bagian atas pagar dan setelah sampai di sana, aku akan membantu Ia naik, lalu kami meloncat keluar. Selesai.

Biasanya kami memutuskan kabur karena bosan dengan pelajaran-pelajaran tertentu. Tapi untuk kali ini, kami memutuskan kabur di jam kelima karena berniat menonton musik indie.

The Pumpkins, grup indie yang sedang naik daun sedang mengadakan konser di sebuah gedung olah raga dekat alun-alun kota. Dan kami tak ingin melewatkan kesempatan menikmati pertunjukkan tersebut.

"Siap?" tanyaku.
"Hm." Ia menjawab singkat. Aku beranjak, berpegangan pada dinding, lalu menginjakkan sepatuku di kedua bahunya. Setelah keseimbanganku terjaga, Bae perlahan berdiri sehingga aku dengan mudah menjalankan skenario kami.

Mula-mula, kulemparkan tasku dan juga tas Bae ke seberang. Menjangkau puncak pagar, perlahan aku naik ke sana. Dan dengan mudah, aku membantu Bae naik.
Kami baru saja sampai di atas ketika terdengar bunyi peluit.
Hanya satu orang yang punya kebiasaan itu. Meniup peluit nyaring tanpa jeda.
Adalah Pak Guru Anton, Sang guru piket.

Aku dan Bae perpandangan. "Gawat," desisku.

Dan teriakan itu terdengar.
"BAEEE! ZOYAAA! BAPAK HITUNG SAMPAI TIGA, TURUN DARI SANA! JIKA TIDAK___"
Pak Guru sudah berteriak heboh dari bawah sana sambil mengayun-ayun tongkat baseball. Tongkat itu biasa beliau gunakan untuk menakut-nakuti siswa yang bikin onar.

"Loncat!" seru Bae. Dan belum sempat aku menjawab, cowok itu sudah melesat turun ke sisi di luar tembok.

Melihat ulahnya, kemarahan Pak Guru makin meledak. "BAEEE!" teriaknya. Tatapannya beralih padaku. "Zoya, jika kamu nggak turun ke sini, maka Bapak akan memanggil orang tuamu!"

Aku menelan ludah. Membayangkan Mami atau Papi yang harus dipanggil ke sekolah, nyaliku ciut. Tapi, toh mereka sudah sering begitu kok.

"Zoya, ayo loncat!" Bae kembali berteriak. Kali ini ia merentangkan kedua tangannya.
"Ayo!" ulangnya.

Tatapanku beralih ke arah Pak Anton.  "Maaf, Pak. Tapi saya benar-benar ingin menonton The Pumkins. Mereka grup favorit saya. Sampai jumpa, Pak."
Dan keputusan kuambil. Seolah yakin bahwa Bae akan menangkap tubuhku dengan selamat, aku meloncat dan menjatuhkan diriku ke arahnya.

Dan seperti biasanya, kedua lengannya yang kokoh menangkap tubuhku dengan sempurna dan aku mendarat dengan aman.

Tanpa bersuara, ia menurunkanku dari gendongannya lalu beranjak.
Terdengar pak Anton masih berteriak-teriak frustrasi, sementara aku dan Bae terus berlari sambil terkikik geli.

Besok kami pasti dihukum. Tapi biarlah.

°°°

Aku dan Bae memutuskan mampir dulu ke SPBU untuk berganti baju di toilet umum.
Gedung olah raga tempat The Pumkins tampil tidak memperbolehkan anak berseragam masuk ke area. Jadi kami terpaksa membawa baju ganti. Aku sudah menaruh kaos oblong tipis bergambar tengkorak, sementara Bae sudah mengenakan kaos putih polos di balik seragamnya.

Setelah sukses berganti baju, kami menyewa taksi. Patungan. Uang saku kami menipis, kami bahkan melewatkan makan siang, tapi apa boleh buat, yang penting kami bisa segera sampai di lokasi.

°°°

Acara sudah dimulai sekitar lima menit ketika kami tiba. Tanpa menunggu lama, kami dengan mudah larut dalam gegap gempita musik pembuka. Manakala musik menghentak, aku bersorak. Bae juga melakukan hal yang sama di sisiku. Sejenak kami lupa dengan semua tugas-tugas sekolah. Biarlah.

The Pumkins bahkan belum tampil ketika tiba-tiba saja Bae terpergok menghantam muka seseorang.
"Menjauh darinya, Bedebah!" umpatnya. Seorang pemuda lain jatuh terjengkang di hadapannya.

Aku ternganga. Beberapa pengunjung yang sempat menyaksikan keributan kecil itu juga tampak kaget.

"Bae, apa-apaan sih?" Aku menarik tubuhnya untuk mundur.
"Kamu tadi habis digrepe-grepe, masa nggak nyadar sih?" Bae tampak emosi.

Aku melongo. Hah? Masa sih?
Kok aku nggak merasa. Memang sih tadi sempat merasa ada yang berdusal di belakangku. Hanya saja aku tak menyangka ada tangan jahil sedang beraksi. Mungkin karena efek dari penonton yang berjubel dan terbawa hentakan musik, lalu jingkrak-jingkrak.

"Udah-udah. Jangan ribut." Aku menggamit lengan Bae dan mengajaknya ke tepi. Dia masih sempat menoleh ke arah pemuda yang tadi dihajarnya. "Berani menyentuhnya lagi, awas! Kupatahkan tanganmu!" peringatnya.
"Bae," rajukku seraya menyeret lengannya. Aku ngeri jika sampai terjadi keributan di antara. Lagipula, kami sudah jauh-jauh ke sini untuk menikmati pertunjukkan musik, bukan yang lainnya.

"Nyebelin banget, tauk." Bae masih saja mengomel. Kali ini ia melingkarkan tangannya di sekitar tubuhku dengan sikap protektif.

Kami mulai melupakan insiden kecil itu ketika band pamungkas yang kami tunggu mulai tampil. Dan suasana riuh makin tak terkontrol. Band indie beraliran cadas itu menghipnotis penonton hingga kami kembali bersorak dan jingkrak-jingkrak.

Sampai akhirnya aku merasakannya. Sebuah tangan menyolek pinggulku, dua kali.
Sambil mengumpat, aku menoleh guna mencari tahu sosok kurang ajar yang telah berani menyentuhku.
Dan sebuah pukulan mendarat telak pada sosok jangkung yang berdiri tepat di belakangku.
Pemuda yang sama. Yang tadi sempat terlibat keributan dengan kami. Dan lagi-lagi, kali ini Bae juga yang kembali menghajarnya.

"Bro, kau sudah kuperingatkan." Bae berujar dengan napas menderu.
Pemuda yang terjengkang di lantai itu hanya terkekeh. Menghapus darah dari bibirnya yang robek, ia tersenyum sinis.
"Ya gimana ya. Habisnya cewekmu seksi sih. Dan aku nggak tahan untuk nggak menyentuhnya," jawabnya.
"Bangsat!" Bae berteriak. Ia kembali menerjang ke arah sosok serupa pecandu itu dengan membabi buta, namun kali ini mendapat perlawanan.

Tanpa bisa dihindari, keributan pecah. Beberapa pengunjung berteriak, ada pula yang melerai, termasuk diriku. Pertunjukkan musik terhenti sejenak, lalu beberapa Security datang menghalau pergumulan antara Bae dan pemuda sialan tersebut.
Mereka menyeretnya keluar gedung. Dan aku berlari mengikutinya. Ah, lupakan tentang musiknya.

°°°

Aku dan Bae menyusuri trotoar dengan langkah gontai. Keinginan untuk menikmati pertunjukkan The Pumpkins lenyap sudah.
Setelah terlibat keributan, Security mengusir kami keluar dan melarang masuk. Termasuk pemuda yang terlibat keributan dengan kami.

"Astaga, padahal pertunjukkan musik tadi bakalan keren banget." Bae ngedumel. Raut kesal masih terlihat jelas di wajahnya. Aku hanya mampu mengangkat tangan sembari terus mengikuti langkahnya.

"Apa menurutmu bajuku terlalu seksi?" tanyaku spontan.
"Maksudmu?" Bae balik bertanya sembari melirikku sekilas.
"Lihatlah, seperti rokku memang terlalu pendek," ujarku.

Bae menghentikan langkah, berbalik, lalu menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Cepat ia menggeleng. "Bukan," jawabnya.

"Bukan apanya? Lihat deh, sepertinya pak guru benar. Bajuku terlihat sedikit berlebihan."

Lagi-lagi Bae menggeleng. "Bukan gitu, Zoya. It's not your problem. Dasar cowok yang tadi aja otaknya mesum. Ingat, aku selalu berada di sisimu bahkan ketika kau mengenakan fashion aneh yang lebih norak daripada ini dan terkadang nyaris mempertontonkan semua kulit mulusmu. Tapi, apa aku pernah berbuat nggak senonoh padamu? Apa tanganku pernah grepe-grepe-in kamu? Atau, pernahkah aku melakukan skinship berlebihan padamu? No." Entah kenapa  suara Bae terkesan berusaha menenangkanku.
Tapi Bae benar. Selera fashionku terkadang terkesan norak. Aku seringkali bereksperimen dengan mempadu padankan apa yang kukenakan. Walau terkadang, kesannya aneh dan berlebihan. Entah kenapa, rasanya seru aja.

"So, sekali lagi, it's not about you. It's just about guy's mindset on you." Pemuda itu kembali menambahkan.

Aku baru saja ingin menanggapi ketika tiba-tiba terdengar deru motor menghampiri kami dan dalam sekejap, ada hampir setengah lusin sepeda motor di sisi trotoar. Masing-masing dari kendaraan itu ditumpangi oleh dua orang. Tampang mereka tak ubahnya anak berandalan. Jaket denim compang camping, kalung rantai, dan rambut yang dicat menyala.
Yang pertama kali mendekat, aku mengingatnya.
Dialah sosok yang tadi terlibat keributan dengan kami di konser musik.

Menyadari hal yang tidak beres, Bae sigap menghalau diriku ke belakang tubuhnya.
"Menjauhlah. Ini pertanda nggak baik," bisiknya. "Jika perlu, lari, dan mintalah bantuan," tambahnya.
Aku terhenyak. "What?"

Dan semua terjadi dengan begitu cepat. Bae mendorong tubuhku menjauh ketika para pemuda itu turun dari motor dan mengeroyok dirinya.
Bae masih berusaha melakukan perlawanan. Tapi satu melawan selusin orang, sungguh pergumulan tak seimbang.

Bae mulai lengah ketika insiden itu terjadi. Salah satu dari mereka mengeluarkan belati dan secepat kilat menusukkannya ke dada Bae. Sosok itu ambruk dengan darah bercucuran.

Aku menjerit. "BAE!!"

Entah karena takut dengan jeritanku atau yang lain, pemuda-pemuda itu memilih kembali ke motornya, tancap gas, dan segera pergi.

Aku menghambur ke arah Bae yang tergeletak tak berdaya dengan luka menganga di dada.
"Bae!" teriakku lagi, sesenggukan.

"TOLONG!! TEMANKU BERDARAH!!" Aku berteriak pada jalanan yang sepi sembari memeluk sosok tak bergerak di dekapanku.

°°°

Butuh waktu yang lumayan lama untuk membawa Bae ke Rumah Sakit. Untungnya sebuah taksi berpenumpang berhenti dan bersedia menolong kami. Sayangnya si penumpang taksi itu juga melaporkan apa yang menimpa kami pada polisi. Dia bilang, ini tindakan kriminal dan yang berwajib harus mengetahuinya.
Dan aku tak peduli.
Apa saja, terserah. Asal Bae segera mendapat pertolongan.

°°°

Dokter masih berusaha menyelamatkan nyawa Bae ketika beberapa polisi datang ke rumah sakit dan menanyaiku banyak hal. Mereka bahkan melakukan sesi interogasi di lorong, sementara aku duduk laksana orang penyakitan di kursi tunggu.

Tanya jawab itu belum sepenuhnya berakhir ketika dari ujung lorong kulihat Papi, Mami, Mas Aron, Om Hans, dan juga tante Tricia berlari tergopoh. Polisi yang membantu memberitahu keluargaku dan keluarga Bae tentang apa yang terjadi, bahkan tentang kondisi pemuda itu.

Melihat kedatangan mereka, terutama tante Tricia yang sesenggukan, tangisku pecah.
Berlari, aku menghambur ke arah Mami dan memeluknya erat.
"Maafkan aku, Mi. Aku kapok. Aku nggak akan bolos lagi," jeritku.
Dan terdengar Mami juga terisak. Tak ada yang tak menangis saat itu. Bahkan Mas Aron yang biasanya cuek, waktu itu juga tak luput dari deraian air mata. Kami takut Bae kenapa-napa.

°°°

Setelah sesi interogasi selesai, walau sempat terhenti sejenak oleh insiden bertangis-tangisan, polisi pamit dan berjanji akan  membantu menangkap pelaku penusukan Bae. Besok, aku juga diminta datang ke kantor polisi untuk melengkapi beberapa laporan. Sudah bisa kubayangkan, urusannya akan panjang.

°°°

Selama menunggu Bae yang belum sadarkan diri, tak ada sumpah serapah yang dilontarkan padaku. Tidak ada dari Papi dan Mami, tidak juga dari Om Hans dan Tante Patricia.
Kedua orang itu sibuk saling menguatkan dan mendoakan kesembuhan Bae, sementara orang tuaku sendiri tak berhenti untuk menenangkan diriku yang masih kalut.
Sungguh, ini adalah titik dimana urat maluku sampai ubun-ubun.
Setelah semua keonaran yang kuperbuat, mereka masih saja bersikap sabar padaku.
Aku benar-benar tak tahu diri.

Kami berjingkat dari tempat duduk ketika seorang suster keluar dari ruang perawatan dan mengatakan bahwa Bae sudah sadar.
"Dia manggil-manggil Zoya terus. Menanyakan apakah Zoya baik-baik saja atau enggak. Jadi---"
"Saya, Sus," sahutku.
"Masuk aja nggak apa-apa kok. Kondisi pasien sudah stabil. Asal nggak terlalu berisik," lanjutnya.
"Siap," ucapku. Secepat kilat aku menghambur ke ruangan tempat Bae dirawat. Om Hans dan Tante Tricia mengikuti, begitu juga dengan Papi dan Mami.

Ketika sampai di dalam, Bae menatapku lemah. Mulutnya komat-kamit memanggil namaku.
"Zoya ..." panggilnya lagi. "Kamu nggak apa-apa, kan?" Ia mengulurkan tangan.
Aku mengangguk haru. Air mata sudah tak dapat kubendung. Pelan kuraih tangannya dan kugenggam erat. Berkali-kali aku mengangguk, mencoba mengatakan bahwa aku baik-baik saja, tapi suaraku seakan tertelan ke tenggorokan. Ini saja sudah cukup. Karena terlihat sinar mata Bae yang diselimuti kelegaan.

Ya, aku baik-baik saja, Bae.
Terima kasih karena kau telah melindungiku.
Dan terima kasih karena kau sudah membuka mata kembali.

Terlibat perkelahian dengan berandalan, melihatmu sekarat, berurusan dengan Polisi, cukup ya, Bae.

Semoga ini yang terakhir kali.

°°°

Desember, 2007
Kuliah semester awal...

"Zoyaaa ...! Kuliah nggak sih?" Suara Mami melengking dari lantai bawah. Aku hanya membuka mata sejenak, lalu kembali terlelap lagi.
"Zoyaaa...! Banguuun...!"
Lagi, teriakan itu terjadi.
Mendesah, aku menggeliat sejenak. Sempat bangkit, melihat jam di dinding, aku memutuskan rebah lagi sambil menarik selimut.
"Lima belas menit lagi, Mi," sahutku lirih. Entah Mami mendengarnya atau tidak. Karena sejenak kemudian, terdengar beliau kembali berteriak, "Dicariin Bae, nih!"

"Suruh sini aja!" teriakku akhirnya, kesal. Padahal hari ini kami nggak ada rencana berangkat bareng, kok dia ke sini sih, omelku dalam hati.

Aku nyaris saja kembali terlelap ketika terdengar pintu dibuka, dan sosok itu menghempaskan tubuhnya di sisiku.

"Ayo bangun." Ia bahkan dengan lancang menarik selimutku. Untung aku nggak suka tidur sambil bugil.
"Apaan sih, Bae?" protesku.
"Bangun dulu, dong." Ia terdengar antusias. "Aku mau nunjukkin sesuatu sama kamu," lanjutnya.

Pemuda itu terus saja menarik-narik lengan tanganku hingga mau tak mau, akhirnya aku bangkit.
Duduk bersila, aku mengucek mata yang masih mengantuk. Tanpa perlu repot-repot menutup kuap, kutatap sosok di depanku dengan mata setengah menyipit.
"Apaan?"
"Buka mata dulu, dong," titahnya.
"Ini, udah." Aku melebarkan kedua mataku yang masih ngantuk, walau akhirnya menyipit lagi.

Masih sambil tersenyum, Bae berdiri di hadapanku, lalu mulai membuka kancing bajunya satu persatu.
Kali ini kedua mataku benar-benar membelalak.
Bae berniat membuka baju di hadapanku? Pagi-pagi ini begini?
Wait! What?

"Bae? What are you---"

Dan ia menunjuk dada kanannya dengan bangga. "Tato baruku? Keren, kan?" ucapnya.

Aku menatap dada itu dengan saksama. Sebuah tato bergambar bintang dengan tulisan: What you give is what you get.

Hampir dua tahun ini aku terbiasa dengan luka bekas tusukan di dada Bae. Tapi sekarang, tato itu menutupnya dengan sempurna.

Tiba-tiba, aku kembali didera rasa bersalah. Luka itu ia peroleh karena diriku.
Jadi, apakah Bae terganggu dengan keberadaannya? Hingga ia harus terpaksa menutupinya dengan tato?

"Keren, kan?" Ia kembali berujar antusias. Aku menggigit bibir. Dan entah kenapa, kedua mataku terasa basah.

"Zoya?" Ia memanggilku bingung.

Aku turun dari tempat tidur, menghambur ke arahnya, dan memeluknya erat.
"Bae, maafkan aku ya?" desisku. Dan tangisku tertahan.
"Kenapa, sih? Kok kamu tiba-tiba aneh gini?" Bae masih terdengar bingung.
"Pokoknya aku minta maaf banget ya," ucapku lagi sembari mempererat pelukan.
"Ada apa sih? Ada sesuatu? Ada yang menggangumu? Menyakitimu?" Kalimatnya lembut sekarang.
"Bukan, maksudku---"

Kata-kataku tertahan ketika pintu kamar terbuka kasar dan Mas Aron muncul dari sana. Tanpa ancang-ancang, ia berteriak, "MAMIIIII, ZOYA SAMA BAE BERBUAT MESUM DI KAMAR!"

Aku dan Bae membelalak. Kami melepas pelukan lalu mundur beberapa langkah. "Mas!" jeritku tertahan.
"Aku cuma mau nunjukkin tato baruku." Dan Bae masih dengan bangga menunjukkan tatonya.

Terdengar Mami berteriak dari lantai satu, "Bae sama Zoya berbuat mesum?! HOAX!"

Kami bertiga saling tatap.

Lah?

°°°

Bersambung

Slow update ya... 😊

Continua a leggere

Ti piacerร  anche

1.1M 20K 44
What if Aaron Warner's sunshine daughter fell for Kenji Kishimoto's grumpy son? - This fanfic takes place almost 20 years after Believe me. Aaron and...
944K 21.6K 49
In wich a one night stand turns out to be a lot more than that.
229K 7.9K 98
Ahsoka Velaryon. Unlike her brothers Jacaerys, Lucaerys, and Joffery. Ahsoka was born with stark white hair that was incredibly thick and coarse, eye...
63.5K 1.3K 47
*Completed* "Fake it till you make it?" A messy relationship with a heartbroken singer in the midst of a world tour sounds like the last thing Lando...