Ini semua gara-gara kau, ketikku, di papan pesan, dan pesan singkat itu akhirnya terkirim pada kontak Penelope; cewek paling tidak punya hati di dunia ini—kurasa.
Setelah mencermati kembali tulisan-tulisan tangan di kertas yang kutemukan di kamar Julia, aku mulai berprasangka bahwa Penelope adalah sebenar-benarnya Penelope yang selama ini kukenal; jahat dan memang selalu menunjukkan sisi buruknya. Aku masih menyimpan kertas itu; kertas dari Penelope.
Ketika kuingat-ingat sekali lagi, hujatan-hujatan yang ditujukan kepada Julia itu adalah tulisan tangan Penelope—tulisan yang hampir sama dengan yang kutemukan di loker; ucapan terima kasih. Antara spasi dan karakter dari tinta yang tergores di atas kedua kertas itu memang betul sama setelah aku mencocokkan keduanya. Ya, aku masih menyimpan ucapan terima kasih itu, namun perlu diketahui, aku bukannya masih berharap sesuatu terhadap maksud pesannya, melainkan hanya iseng saja, berpikir mengapa di zaman sekarang ini Penelope masih menggunakan surat-menyurat dan alih-alih mengirimkan pesan melalui ponsel canggihnya.
Ada apa? Begitulah balasan singkat yang kudapatkan dari kontak Penelope selang beberapa menit. Penelope sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah di dalam pesan itu—yah, setidaknya cewek itu mau membalasnya.
Kita perlu bicara. Dua orang, balasku.
Aku baru saja keluar dari ruang kelasku—kelas pertama bulan Juli di tahun keempatku sekolah (oh, ya, omong-omong, aku sudah mulai masuk sekolah di kelas senior minggu ini.) Pandanganku berfokus pada ponsel sampai-sampai lupa memperhatikan jalan ketika tiba-tiba seseorang dari lawan arah menyenggol pundakku. Aku bisa saja sampai tersungkur dengan ponsel jatuh lebih dulu jika aku tidak cepat-cepat memasang kuda-kuda berdiri lalu mengumpat pada seseorang yang menyenggolku tadi, "Apa kau punya mata, bung?!" Aku tidak terbiasa mengumpat apalagi mengomel pada seseorang karena selama hidupku, hanya Mom yang melakukannya dan itu dilakukan Mom semata-mata karena aku memang benar-benar bersalah.
Aku tidak sempat memikirkan hal-hal lain tentang cowok yang kuumpati serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi setelah aku memarahinya. Sialnya, cowok itu berperawakan lebih besar dan tinggi dariku—seperti karakter utama dalam film Wreck It Ralph—membuatku harus mendongak ketika menatap wajahnya yang berubah sangar ketika mendapati ada seorang cowok culun sok keren sedang mencemoohnya. Aku jadi merasa kecil sekali. Sangat-sangat kecil ketika di hadapannya.
"Maafkan aku, bung. Sungguh, aku tidak bermaksud...." Namun ketika kulihat lagi wajahnya, ia tampak memerah. Berubah cepat sekali.
Cepat.
Sekali.
Dalam satu tonjokkan....
Pukulan keras menghantam hidung mancungku seketika dan tahu-tahu aku terjerembap di lantai yang dingin. Ketika kulihat ke atas, wajah karakter Wreck It Ralph menutupi seluruh sudut mataku, seolah ia semakin dekat, dan dekat, dan....
Sebuah sepatu menendang bokongku—dan itu sakit sekali rasanya. Aku merintih, berusaha memeluk tubuhku sendiri seolah aku adalah perisai yang melindungi tubuhku sendiri. Namun percuma saja, sepatu itu menendangku sekali lagi, menyebabkanku terpejam.
---
"Bangunlah pelan-pelan, hati-hati terhadap memarmu," aku bisa mendengar seseorang berkata demikian. Itu suara gadis, dan sepertinya suara itu tidaklah asing bagiku.
"Apa kau Julia?" tanyaku tiba-tiba dengan asal-asalan.
Astaga. Bodoh. Lantas aku buru-buru memaksa kelopak mataku untuk membuka karena sejak tadi aku rupanya belum cukup berkesadaran penuh.
Aku baru saja membelalakkan indera mataku ketika tiba-tiba saja seorang gadis berambut cokelat sedang menatapku jijik.
Julia memang berambut cokelat, namun aku ingat sekali gadis itu tidak pernah memandangku jijik seperti sekarang ini. Tidak, itu bukan Julia. Itu Penelope; cewek paling tidak punya hati di dunia ini—sekali lagi kukatakan.
Aku bertanya-tanya dalam hati kenapa Penelope bisa-bisanya berada satu ruangan denganku ketika kemudian kusadari rupanya aku tengah berada di ruang kesehatan sekolah—ya, aku masih hafal sekali tata letak ruangan kecil yang dulu pernah kumasuki ketika masih di tahun kedua aku bersekolah di sini.
Kududukkan tubuhku di sisi tempat tidur, namun tepat ketika bokongku telah menopang berat badanku seluruhnya, rasanya tulang-tulang pinggul dan punggungku mau runtuh. Rasanya persis seperti ketika jari manisku terjepit engsel pintu rumahku ketika aku berumur lima tahun, namun bedanya kali ini rasanya sepuluh kali lebih buruk dari sebelumnya.
Aku mengerang cukup keras, refleks memegangi punggungku. Kurasa hal itu membuat Penelope terperangah bertanya-tanya mengapa aku mengerang dengan lantang sehingga cewek itu buru-buru memegangi pundakku sambil bertanya, "Kau tak apa?"
Tidak terpikirkan olehku perbuatan lainnya selain mendorong tubuh Penelope agar ia menjauh dariku. Dan ya, aku langsung membuatnya terhuyung ke belakang beberapa langkah dari tempatnya berdiri begitu kudorong tubuhnya. Meskipun aku masih kesakitan, tapi rasa sakit itu tidak akan mengurangi kekesalanku atas perbuatan Penelope selama ini, mengingat dirinya juga selalu berbuat seenak dahi kepada siapa saja, bahkan pada adikku sendiri.
"Julian kena skors, jadi kau tak perlu khawatir," Penelope mendadak memberitahuku dengan santai, seolah kalimat itu bisa membuatku tenang.
"Anak besar itu?"
"Ya. Siapa lagi?"
Masa bodoh dengan Julian si besar. Pasalnya anak itu memang pantas diberi pelajaran. Bisa-bisa seluruh sekolah bisa sekarat gara-gara dihabisi olehnya kalau ia tidak di-skors. Daripada aku membicarakan si Wreck It Ralph—yang mungkin dirinya itu mengalami gangguan emosi yang menyebabkan tangannya tiba-tiba tidak terkontrol sehingga menonjokku—lebih baik aku memaksa Penelope agar mau bicara. Maka, kataku, "Sekarang, mengakulah bahwa kau penulis teror-an itu."
"A-apa?"
"Kau yang membuat gosip-gosip itu selama ini," tuduhku dengan nada sarkastik.
Penelope buru-buru mengelak, "Bukan aku!" serunya dengan nada meninggi, "Kenapa kau selalu menuduh, hah?!"
"Karena kau jahat!" Tiba-tiba saja aku ikut terbawa emosi begitu Penelope berusaha membela diri. "Kau tidak pernah puas dengan apa yang kau lakukan. Aku tahu kau," lanjutku.
"Kenapa juga kau selalu membela gadis bisu it—"
"Dia tidak bisu!"
"Lalu apa?"
Sejenak, ruangan menjadi hening tanpa suara karena untuk saat ini tiba-tiba saja aku merasa terlalu bersalah dalam segala hal. Tiba-tiba saja aku merasa tidak tahu siapa yang seharusnya kubela. Siapa Julia? Dan siapa para Carpenter? Aku tidak tahu. Yang aku tahu, mereka adalah hanya tetanggaku.
Lalu, yang keluar dari mulutku hanyalah, "Ya, Julia bisu. Kau benar," kataku, dengan nada pasrah, dan aku membayangkan betapa sebentar lagi duniaku akan runtuh karena tidak tahu lagi harus berkata apa.
---
"Mom, apa kau sudah berbicara dengan Nyonya Carpenter?"
"Tidak—" Mom berkata terburu-buru—yang membuatku mengernyitkan dahi setengah bingung—sebelum akhirnya menenggak secangkir teh manis yang baru saja ia seduh. "Eh, maksudku, ya. Aku sudah membujuknya."
"Jadi?" aku menagih penjelasan Mom.
"Ya?"
"Mom!" aku setengah membentak karena tidak sabaran. Mom selalu bermain-main dengan janji, tidak pernah serius ketika kutagih janjinya. Lama-lama Mom bisa kubentak-bentak seperti layaknya Seth yang biasanya sudah sangat ketakutan kerika melihatku marah.
"Olivia Carpenter bilang dia akan menghubungi polisi hari ini."
Hari ini? Omong-omong, aku sampai lupa sudah berapa hari lamanya Julia menghilang. Dasar bodoh. []