HANA (Republish)

By TinaAgustin_

141K 6.4K 307

Hana tak punya pilihan untuk menentukan kepada siapa ia akan menjalin bahtera pernikahan. Semuanya telah diga... More

Prolog
1.
2.
3.
4.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16
17
18
19
20
21
22
23
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
Epilog
Cerita Baru

5.

3.5K 197 2
By TinaAgustin_

بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْم

Terkadang kita terlalu sibuk memikirkan sakit yang kita rasakan hingga lupa pada orang-orang disekitar yang mungkin saja lukanya kian hari kian mendalam.

🌸🌸🌸

Dengan tubuh bergetar, Hana menatap rumah yang selama 18 tahun ini menjadi tempatnya kembali. Segala cinta yang telah ia rasakan berasal dari dalam bangun itu. Kini rumahnya telah dipadati oleh banyak orang, sebagian ada yang ia kenali dan ada yang tidak. Air matanya kembali berjatuhan saat menapaki tumpukan anak tangga. Kakinya melemah seakan tidak mampu menopang tubuhnya sendiri.

Hana memasuki ruang tamu yang biasanya lengang kini telah dipenuhi oleh banyak orang. Di sudut ruangan, Hana menatap sosok yang berada di atas pembaringan, terbujur kaku. Seluruh tubuhnya ditutupi kain berwarna putih. Perlahan Hana berjalan menghampiri. Tepat berada disamping sosok yang terbujur kaku itu, Hana terduduk lemas, tubuhnya bergetar, tenaga yang sejak tadi coba ia kumpulkan lenyap, menguap begitu saja. Hana menatap sosok itu, sosok yang sangat ia sayangi. Sosok yang kedatangannya selalu ia nanti. Sosok yang dekapannya mampu menghilangkan seluruh gundah di hati. Hana meringis dalam tangisan melihat wajah yang sama sekali tidak ia kenali. Semua hancur bagai dilahap api. Wajah itu kini tak berseri lagi, tak ada senyum yang menghiasi. Semuanya kaku karena tak ada darah yang mengaliri.

“Ayah” ucap Hana dengan isakan pilu.

Ibu meraih tubuh bergetar Hana kedalam pelukannya. Mereka menangis dalam dekapan. Menangisi kepergian sosok panutan, suami, ayah, sahabat yang selama ini setia menemani. Tangisan mereka adalah tangisan duka, siapa pun yang melihatnya akan ikut merasakan pedih yang mendalam.

"Ayah nggak kenapa-napa kan bu? Ini cuma mimpi bukan? Hana mohon jangan bangunkan Hana dari mimpi ini bu" Hana menatap wajah sembab ibunya yang terlihat pucat pasih.

Dengan gelengan samar, Nur membalas tatapan sang putri "Waktu ayahmu telah habis Na. Allah telah memanggilnya untuk kembali."

"Nggak bu. Nggak" Hana menggeleng cepat. Matanya memanas. Air bening itu jatuh semakin deras.

Air mata Hana telah luruh sejak meninggalkan gedung Universitas, saat Fikran memberikan kabar yang tak satu pun orang ingin mendengarnya termasuk Hana. Tentang kabar kematian sang ayah. Sosok yang sangat Hana cintai. Saat Hana hanyut dalam isakan, Fikran menjelaskan bahwa ayah menjadi salah satu korban serangan bom bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang tidak bertanggung jawab. Masyarakat menyebut mereka sebagai teroris. Teroris yang menyerang kantor ayah berjumlah 2 orang dengan mengendarai sebuah sepeda motor. Mereka memaksa untuk masuk namun dicegah oleh polisi penjaga. Karena mendengar  keributan di luar pintu masuk, ayah dan dua rekannya keluar menghampiri. Qodrullah saat ayah dan rekannya baru tiba di tempat keributan, terjadilah sebuah ledakan besar yang mengakibatkan 6 orang tewas, tiga diantaranya adalah anggota kepolisian, dimana ayah menjadi korbannya. Dua teroris yang membawa bom bunuh diri. Dan seorang pejalan kaki yang berada di sekitar area keributan.

"Ayah bangun" Hana menggenggam tangan sang ayah setelah melepas pelukan ibunya.

"Ayah  jangan seperti ini. Hana mohon. Ayah masih punya janji bukan?" Suara yang tadinya lirih mulai terdengar, menarik perhatian banyak orang.

"Yah bangun. Kenapa ayah pulang dalam keadaan seperti ini? Bukankah selama ini ayah selalu pulang dengan senyuman? Menyambut Hana dengan pelukan? Ayah, ayah." gerakan tangan Hana yang hendak mengguncang tubuh sang ayah terhenti saat Nur mencengkramnya dengan erat.

"Berhenti Hana. Apa yang mau kamu lakukan?" Nur kembali membawa tubuh Hana kedalam pelukannya. Mendekapnya erat.

"Ikhlaskan ayahmu nak. Biarkan ayah pergi dengan tenang. Ini semua telah menjadi takdirnya. Allah yang menetapkannya. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah mendoakannya. Semoga surga menjadi tempat tinggal ayah." Nur mengusap punggung Hana dengan lemah karena nyatanya ia tak sekuat ucapannya. Ia mencoba tegar, menjadi penguat bagi anaknya yang rapuh.

"Istighfar Na. Jangan seperti ini. Ibu takut kamu melakukan hal yang berlebihan nantinya. Ingat Allah maha melihat. Jangan sampai Allah melihat mu melakukan hal-hal yang menyalahi aturan.  Allah yang maha mengatur Na. Kita tidak pantas membantah aturan-Nya. Ma Qodarullahi Khoir (Semua ketetapan Allah itu baik)."  Nur melanjutkan dengan suara serak.

Berulang kali Hana merapalkan kalimat Istighfar. Sempat terbersit pertanyaan dalam pikirannya apakah ibu tidak merasa kehilangan? Kenapa ibu bisa begitu tenang di saat ayah telah pergi untuk selamanya? Cepat-cepat ia menghilangkan pertanyaan-pertanyaan itu.

Lama mereka saling diam. Mencoba melepas sesak melalui isakan. Meresapi tiap-tiap ayat suci yang dilantunkan. Mencari ketenangan.

Hana menghapus air matanya saat merasakan tangan seseorang yang mengusap punggungnya dengan lembut. Ia tahu itu bukanlah tangan sang ibu. Hana berbalik menatap orang itu saat ibu telah melepas dekapannya. Dia adalah seseorang yang mulai Hana kagumi. Mata teduhnya terlihat merah seperti sedang menahan tangis. Dia seakan ikut merasakan kepedihan Hana.

“Mba Farah,” lirih Hana dengan suara sedikit sengau, ia memeluk Farah erat.
Air mata yang Farah tahan sejak tadi jatuh begitu saja bersama isakan Hana. Farah ikut menangis merasakan kesedihan yang Hana alami karena telah kehilangan orang terkasih. Ia pernah merasakan sakit yang sama saat kedua orang tuanya telah di jemput oleh sakaratul maut. Sehingga yatim piatu menjadi takdirnya. Kini Farah tak bisa berbuat apa-apa ia hanya bisa mengusap pucuk kepala Hana mencoba untuk menenangkan. Isakan yang ia dengar semakin memilukan. Seakan menusuk relung hati terdalam.

Terkadang diam menjadi solusi terbaik bagi orang yang ditinggalkan. Mereka membutuhkan pelukan bukan kata-kata yang menenangkan. Bukan kata "sabar" karena saat itu mereka sama sekali tidak mengerti apa makna dari kata itu.

Tanpa Hana sadari, dari balik pintu ada sepasang mata yang terus memperperhatikan dirinya. Ikut merasakan kesedihan yang Hana rasakan. Bahkan dia ingin Hana menjadikan bahunya sebagai sandaran, tempat menumpahkan segala kesedihan. Namun hal itu tidak akan mungkin menjadi kenyataan.

“Hana sudah sholat Dzuhur nak?” Suara parau ibu terdengar.

Hana menggeleng.

“Sholat lah nak, sebentar lagi waktu Ashar akan tiba. Setelah Ashar jenazah ayahmu akan dikebumikan." Nur menghapus jejak air mata di wajah Hana.

Hana menatap lekat wajah ibunya. Sungguh Hana tidak ingin pergi kemana pun. Ia tidak ingin jauh dari ayahnya barang seinci pun, namun tak ada yang lebih penting selain melaksanakan perintah dari sang pencipta. Hana mengangguk kelu. Ia mencoba bangkit untuk mengambil air wudhu dan melaksakan sholat Dzuhur.

Awalnya bagi Hana sholat memanglah sebuah kewajiban namun belakangan ini pola pikirnya berubah ia menganggap bahwa Sholat bukan hanya sekedar sebuah kewajiban melainkan sebuah kebutuhan. Manusia membutuhkan Allah karena manusia adalah makhluk yang terus berkeluh kesah dan banyak meminta. Hanya kapada Allah lah tempat terbaik menyampaikan keluh kesah. Terlebih sholat itu bagaikan sebuah candu yang dimana seseorang akan merasa gelisah jika belum menunaikannya.

Baru saja hendak melangkah, Hana tiba-tiba terjatuh. Tubuhnya luruh diatas dinginnya lantai keramik. Ia tidak kuat untuk melangkah lebih jauh lagi. Tulang-tulangnya seolah remuk begitu saja hingga tak mampu menopang tubuhnya. Nur dan Farah membantunya berdiri dan membopongnya menuju kamar mandi.

🌸 🌸 🌸

Hana menangis sejadi jadinya, ini adalah kali kelima ia mengulang takbiratul ikhramnya. Sungguh ia tidak mampu mengangkat tangan mengucap takbir karena setiap ia melakukannya ingatan akan percakapannya bersama sang ayah kemarin sore kembali terngiang.

Sore itu Ardi menelpon menanyakan kabarnya, mengatakan bahwa dalam waktu dekat ini dia akan pulang. Dia akan mengajak Hana dan Nur berwisata ke tempat-tempat bersejarah. Sungguh Hana sangat senang mendengarnya. Ia menaruh harapan penuh kepada sang ayah karena ayahnya adalah seorang yang selalu menepati janji.

"Hana jaga diri baik-baik nak, jaga ibumu. Jangan membantah perkataannya. Ayah rindu kalian."

Itulah kalimat penutup yang Ardi ucapkan saat mengakhiri percakapan diantara mereka. Sungguh hati Hana sangat sakit mengingatnya. Itu adalah kata rindu terakhir yang ayahnya ucapkan.

Kembali Hana mengusap airmatanya. Menguatkan diri agar mampu melaksanakan sholat. Beberapa menit kemudian Hana menyelesaikan sholat Dzuhurnya meski khusyuk tidak sepenuhnya ia rasakan.

Lantunan doa mengiringi kepergian sang ayah. Airmata yang sejak tadi membasahi kini telah mengering seolah tak ada yang bisa mengalir lagi. Menyisakan sisa-sisa yang membuat wajahnya terlihat tidak karuan.

🌸🌸🌸

27 Dzulkaidah 1439

Continue Reading

You'll Also Like

3.1K 814 32
[BELUM REVISI, BEBERAPA KATA MASIH ADA YANG BELUM BAKU, DAN MASIH ADA BEBERAPA TANDA BACA YANG BELUM SESUAI DENGAN TEMPATNYA] "Kamu mau dapetin adik...
1.9K 193 30
"Bukan tentang siapa yang menemaninya dari awal, tetapi siapa yang dipilihnya untuk menjadi sang kasih." ©zkyaca, 2021
3.4K 518 38
Sequel "Turkish Airline-67" Baca dulu ya, kalo suka masukkan ke list bacaan kalian dan jangan lupa vote + komen 😁 Kamu itu bagaikan angan semu yang...
5.4K 845 44
DON'T COPY MY STORY ❗ [COMPLETED] [NAKHODA X DOKTER] REVENGE AND LOVE Zara harus mengalami trauma terhadap laut akibat insiden yang dia alami hingga...