Time Turner: First Love Never...

By owlery99

46.1K 5.1K 589

"Coba saja hidup seperti ini! Bahkan kekasih sempurna saja sulit menghapuskan fakta bahwa cinta pertama tidak... More

Blurb
Prolog
CHAPTER 1: Not the Beginning
CHAPTER 2: Full of Emma
CHAPTER 3: Interview Again
CHAPTER 4: Florist and Call For a Sudden?
CHAPTER 5: Just Like First Meet
CHAPTER 6: The Portkey
CHAPTER 7: Where the Bloody Place are We?
Hogwarts Cast
CHAPTER 8: Night at Hogwarts
Note
CHAPTER 9: The Beginning
CHAPTER 10: The Ancestor
CHAPTER 11: Hogwarts Classes
CHAPTER 12: What Exactly G.M is
CHAPTER 13: Aleria S. D
CHAPTER 15: Transfiguration
CHAPTER 16: Tree House
CHAPTER 17: The Pieces of Two (Part I)
CHAPTER 18: The Pieces of Two (Part II)
CHAPTER 19: Friends
CHAPTER 20: Tom's Suspicion
CHAPTER 21: Potter's Favorite White Rat
CHAPTER 22: The Tea Has Spilled

CHAPTER 14: A Slytherin Girl

1K 135 19
By owlery99

o-o

Malam itu, rapat prefek berjalan dengan lancar. Emma dan Tom berhasil memerankan ketua murid dengan baik berkat jurnal milik Emmyra yang Emma temukan di kamar. Tom tak banyak bicara selain mendengarkan omong kosong yang dilaporkan para prefek tentang pelanggaran ini itu. Menurut Emma, ketua murid laki-laki harusnya tak banyak bicara selain memberi perintah. Bahkan Grace dan Bas pun bersikap biasa saja, seperti tak mendapati sesuatu yang aneh. Emma yakin mereka berhasil.

Emma sudah memberitahu Tom sebelumnya tentang apa yang biasa 'mereka' lakukan di akhir pekan. Tom berkata bahwa ia akan menunggu Dan mengajaknya dulu, kalau Dan tak ikut ke Hogsmeade maka Tom tak akan ikut, demi menghindari kecurigaan Dan terhadapnya. Emma hanya menurut apa katanya. Tetapi ia belum membicarakan soal kecurigaannya pada Aleria karena tak banyak waktu malam itu. Selepas rapat, mereka harus langsung kembali ke asrama masing-masing.

Pukul delapan pagi, Tom sudah terbangun dari tidurnya. Ia mengenakan piyama berwarna abu-abu cerah. Beberapa meter tak jauh dari depan tempat tidurnya, ia melihat Dan yang masih mendengkur. Begitupun dengan ranjang di sebelahnya, Jason Smith masih berkerudung selimut, sementara di samping Dan, ranjang milik Louis Zabini sudah kosong—tak tahu apakah dia ada hubungannya dengan Blaise Zabini atau tidak, tapi mereka sama-sama berkulit gelap. Anak itu sudah bangun dan sedang mandi. Sambil menunggu Louis, maka Tom hanya memandang langit-langit kamarnya yang terkena pancaran dari danau hitam. Memandangi bayangan ikan-ikan yang berenang rendah dan beberapa tanaman aneh yang bergoyang kesana kemari. Pikirannya masih terbayang soal kejadian yang dia alami beberapa minggu lalu di rumah Chris. Tom akhir-akhir ini sering memimpikan hal itu. Dari awal dia bertemu dengan seorang penjual bunga aneh, mawar hitam yang ditakuti, dan tiba-tiba ia terbangun dari tidur seakan semua itu adalah mimpi. Apakah semua itu ada kaitannya?

"Kau sudah bangun?" Louis yang menggendong anduk di punggungnya mengagetkan Tom.

"Ah, iya, sudah. Aku akan mandi dulu." Katanya gugup, segera berjingkat dari tempat tidurnya.

"Tumben sekali kau tak merasa aneh." Tom berhenti sejenak sebelum ia mengambil perlengkapan mandi dari lemarinya. "Aneh kenapa?" Matanya melihat mata Louis yang cerah berseri-seri.

"Yah, tak apa-apa, sih. Biasanya kan kau protes sekali melihatku rajin begini di hari Sabtu." Laki-laki itu kemudian menaruh handuknya, melipat baju tidur yang sudah dipakainya.

"Ehm, jadi, kau sudah jadian dengan Diandra? Dua hari lalu?"

Louis berbalik, menatap Tom dari pintu lemarinya, dan sesaat kemudian, ia seakan menyadari sesuatu, "ah, kau membaca pikiranku."

"Sori, mate. Selamat, kalau begitu. Semoga kau semakin rajin lagi kedepannya." Kata Tom, tersenyum sumringah sambil mengambil handuknya, menepuk bahu laki-laki itu dan melompat girang keluar kamar. Ia baru saja membaca pikiran Louis yang bahkan tak ia kenal. Ia baru saja menemukan hal itu, bahwa firasatnya soal kemampuan legilimens yang dimiliki Tom itu benar. Dia bisa membaca pikiran seseorang, dan bukankah itu suatu hal yang baik?

Sementara itu Dan sudah bangun terduduk di tepi tempat tidurnya ketika Tom selesai mandi. Louis sudah pergi dari kamar, sepertinya sarapan di aula.

"Apa kau akan ke Hogsmeade hari ini?" Pertanyaan itu keluar tiba-tiba saja dari mulut Tom. Dan menoleh, mengucek-ucek matanya. "Entahlah. Rasanya capek sekali minggu ini."

Tom mendecak sebal, "padahal aku lebih capek tahu." Gumamnya.

"Apa?"

"Ah, tidak. Kupikir kau mau ikut yang lain ke Hogsmeade." Tom pura-pura merapikan tempat tidurnya.

"Kau akan kesana?" Tanya Dan. Tom menggeleng, "sepertinya tidak. Kau tak akan pergi, kan? Lagipula aku ada tugas."

"Tugas jaga?" Tom mengangguk.

"Ya sudah, aku mau tidur lagi. Kalau kau bertemu Rupes atau yang lain, bilang saja aku tak enak badan." Benar saja, Dan kembali meringkuk di balik selimutnya. Mungkin hari Sabtu memang yang terbaik untuk benar-benar beristirahat dari pelajaran dan kegiatan lain. Maka Tom segera mengabari Emma bahwa ia tak akan pergi ke Hogsmeade hari itu.

Emma sedang membereskan tempat tidurnya bersama ketiga teman kamarnya yang lain. Tina, sambil memasukan sarung bantal baru ke bantal empuknya itu berkali-kali membuat lelucon aneh, sengaja mengibaskan sarung lamanya yang berdebu ke arah mereka yang ada disitu, mengundang tawa dan perang bantal dari yang lainnya. Mereka sepertinya senang sekali menghadapi akhir pekan ini, bisa beristirahat sebentar dari tugas-tugas NEWT yang menyita waktu. Emma pun merasa begitu, ia memutuskan hari ini untuk bersenang-senang di Hogsmeade, mencoba hal-hal baru sebelum ia kembali ke dunianya yang sebenarnya, cepat atau lambat. Barangkali Aleria ikut, ia bisa memanfaatkan hal itu untuk mengetahui lebih jelas tentang gadis itu.

Setelah membersihkan diri, Emma mengenakan baju kasualnya dan juga cardigan milik Emma ditambah jubah santai Gryffindornya—karena hari itu cuaca dingin sekali. Ketiga temannya sudah lebih dulu keluar ke ruang rekreasi, sementara Emma masih menunggu pesan dari Tom. Ia akhirnya memainkan tongkat sihir Emmyra, mencoba-coba mantra yang baru saja dipelajarinya dari buku Transfigurasi, ketika tak berapa lama terdengar bunyi pip dari laci di nakas. Emma segera meraih perkamen kecil yang ia yakini dari Tom.

Aku dan Dan tidak akan ikut ke Hogsmeade, dia bilang tak enak badan, tolong sampaikan itu ke Rupert. Aku akan lebih baik kalau disini saja. Kau bagaimana?

Emma terdiam sesaat. Ia ingin sekali pergi ke Hogsmeade, tapi kalau tak ada Tom.. rasanya hambar, bukan? Tapi, kalau ia tidak ikut pergi, orang-orang mungkin akan curiga padanya, dan kemungkinan besar ia akan terlihat seperti mengikuti Tom. Emma menggeleng-geleng keras. Ia tak boleh tampak seperti itu, maka dengan berat hati Emma membalas,

Baiklah, akan aku sampaikan. Manfaatkan waktu liburmu dengan baik, Tom. Aku akan kembali sebelum pukul 11.00. Mereka akan curiga kalau tak ada dari kita yang ikut. Ingat, jangan melakukan hal yang tidak-tidak!

Rupert, Matthew dan Grace sudah menunggu di ruang rekreasi. Emma menuruni tangga spiral dengan hati-hati. Perasaannya tidak seantusias sebelumnya ketika belum mendapatkan pesan dari Tom.

"Kita berangkat sekarang?" Tanya Matthew, yang dari tadi sudah berdiri memeluk katak kesayangannya, ketika Emma sudah menginjakan kaki di ruang rekreasi.

"Mm, Tom dan Dan bilang mereka tidak akan ikut. Dan bilang dia sedang tidak enak badan," kata Emma.

"Ah, anak itu. Paling dia hanya tidur lagi. Tapi, baiklah, segini saja cukup." Kata Rupert, bangkit dari duduknya.

"Aleria tidak ikut?" tanya Emma.

"Dia akan menyusul." Kata Grace, lalu menggandeng Emma pergi menuju lubang lukisan. Entah kenapa tiba-tiba Emma merasa bersemangat lagi mendengar Aleria akan datang.

Sementara itu Tom sudah duduk rapi di ruang rekreasi. Sesekali memandangi patung-patung kecil yang bergerak kesana kemari di meja, sesekali juga ia pura-pura membaca buku yang ada di rak sana sambil menunggu sarapan datang. Tapi selama hampir setengah jam ini ia tak mendapat sarapan sama sekali, hingga seorang gadis Slytherin dengan mantel panjangnya duduk tiba-tiba di hadapan Tom, membawa kucing peliharaannya di gendongan. Sebuah papan kecil yang tertempel di dada kirinya memberitahu Tom bahwa namanya adalah Merula Snyde.

"Kau tak kemana-mana, Thomas?" tanyanya, tampak sekali sedang basa-basi.

"Tidak." Balas Tom singkat.

"Dimana Dan?"

"Dia sedang di kamarnya."

"Oh.."

Sok kenal sekali dia, pikir Tom. Tapi barangkali Tom yang asli memang mengenalnya, kan? Tentu saja, kenapa dia tak kenal dengan teman seasramanya sendiri?

"Kau tampak tenang sekali akhir-akhir ini, padahal kalau aku jadi kau, rasanya sudah pusing sekali aku mendengar gosip berseliweran tentang diriku." Kata gadis itu lagi menyiasati keheningan.

"Gosip?" Tom tiba-tiba teringat dengan perkataan Rupert dan Dan tentang beritanya dengan Emma yang terlambat masuk kelas.

"Ya."

"Tentang keterlambatanku di kelas, begitu?"

"Bukan hanya itu." Kucingnya sekarang sudah turun dari gendongannya. Mengendus-endus ujung jubah Tom.

"Memangnya ada apa lagi selain itu?"

"Oh, kau benar-benar tak tahu? Anak kelas empat sampai tujuh banyak membicarakanmu, tahu."

"Soal apa itu?"

"Soal kau dan Emma. Mereka curiga mungkin kau berpacaran dengannya."

Tom pura-pura tertawa, mendecakan lidahnya, "aku tak mungkin berpacaran dengannya. Maksudku, dia muggle, kan?"

Oh, Tom berharap sekali bahwa jawabannya bukanlah jawaban bodoh. Ia sudah terbiasa dengan berakting sebagai Draco Malfoy dan hal itu sangat mengganggunya.

"Muggle? Sejak kapan seorang Thomas kembali menjunjung tinggi kemurnian darah?" Gadis itu tertawa sebal, dan Tom tahu bahwa apa yang baru saja dikatakannya adalah kesalahan.

"Kupikir sudah lama sekali keluargamu berhubungan baik dengan muggle, Malfoy? Beberapa puluh tahun yang lalu?" Kata Merula lagi.

"Mm, yeah."

"Tapi itu urusanmu, sih. Aku tak ingin tahu. Well, aku sih setuju kau pacaran dengan Emma. Dia setara denganmu."

"Apa sih maksudmu?" Tom mengernyitkan keningnya keras, dan Merula sedikit mencondongkan badannya ke depan, merendahkan suaranya. "Jangan kira aku tak tahu, Malfoy, kalau kau mengencaninya, kan?"

Tom hampir saja terhenyak di kursinya. Dia-maksudnya Malfoy berpacaran dengan Emmyra? Tetapi belum sempat Tom mengatakan apa-apa, gadis itu berkata lagi, "maaf tentang ini, tapi aku pernah tak sengaja mendengar percakapanmu dengan Dan. Kurasa aku mulai percaya soal kutukan kalau ketua murid laki-laki dan perempuan akan berakhir bersama." Sekarang Merula tertawa nyaring di tempatnya. Tom masih mengernyit heran, tak percaya apa yang dikatakan gadis itu. Untuk sesaat, ia mendadak ingin bertanya segala hal yang tak diketahuinya pada Merula, tapi mungkin dia akan curiga padanya. Karena itu Tom memaksakan diri untuk diam, sambil memutar otak bahwa tak mungkin Emma adalah pacarnya di kehidupan itu.

"Omong-omong, kau masih berteman dengan anak Ravenclaw itu?" Tanya Merula lagi.

Kali ini Tom harap-harap cemas bahwa Merula bukanlah Rita Skeeter yang tahu bahwa dia bukanlah Thomas Malfoy yang asli dan sedang mengetesnya.

"Siapa?" Tom mengernyit.

"Aleria, si keturunan Scamander yang aneh itu."

"Aneh apa maksudmu?"

Merula tampak membentuk mulutnya menjadi o bulat, dan menyeringis, "maaf, aku tak bermaksud menyinggung. Tapi seperti yang banyak dibilang orang, dia memang terlihat aneh, kan? Maksudku, kau tahu sejak kelas satu dia selalu menyendiri, pergi kemana-mana sendiri, melakukan hal-hal aneh sendiri, bahkan dia berteman dengan kelompok saudara raksasa di hutan dan menyebabkan masalah besar waktu kita tingkat tiga—hey! masa kau tak ingat?"

Tom menggeleng-geleng kecil. "Aku tak mengingat hal-hal tak penting seperti itu."

"Yah, kenyataannya begitulah dia. Kupikir setelah dipilih menjadi prefek dia akan berubah, apalagi setelah berteman dengan orang-orang terkenal di sekolah—ya, kau salah satunya dari kelompok Potter yang beken. Dengar, aku masih tak habis pikir kalian mau berteman dengan orang seperti itu." Merula kemudian menyilangkan tangannya di dada, matanya tampak menerawang ke lantai di bawah, dan seakan tak ada lelahnya ia berkata lagi, "yah, dia memang pintar, sih. Tapi tetap saja aneh. Dia kan pernah suka padamu, Malfoy, jangan bilang kalau kau tak ingat itu juga?"

Oh, apa lagi ini?

"Dia pernah—apa?"

Tom merasa tertarik untuk terus mendengarkan tanpa berniat menginterupsi Merula sama sekali. Semua itu informasi yang bagus yang tak disangka-sangka akan didapatkannya. Dan pembicaraan soal Aleria itu membuatnya teringat kejadian kemarin pagi.

"Oh, ingatanmu benar-benar tak bagus. Dia pernah suka padamu tahu, mengirim surat di depan pintu asrama kita hampir tiap seminggu sekali. Yah, walaupun dia tak pernah mengakui itu. Aku sih percaya saja ada orang yang sengaja mengerjainya, toh kalian ternyata malah berteman sampai sekarang. Itu berarti kau sudah tak percaya omong kosong itu, kan?"

Tom menggeleng lagi kuat-kuat.

"Tapi aku masih penasaran, kenapa kau berusaha menyembunyikan hubunganmu dengan Emma?"

"Hm, iya ya. Kenapa ya.." kata Tom pura-pura berpikir. Sementara Merula tersenyum kecut, tersinggung. Tom merasa lama-lama gadis ini jadi serba ingin tahu dan sok akrab. Apa jangan-jangan justru dia lah yang senang menyebar gosip-gosip tentang mereka?

"Bukan karena dia muggle, kan?" tanyanya lagi.

"Bukankah kau sendiri bilang keluargaku sudah tak lagi mempermasalahkan itu?"

"Yah, siapa tahu." Katanya mengangkat bahu.

Rasa lapar Tom yang sudah mendera sejak pagi tampaknya memang sudah tidak begitu terasa sejak perbincangan dengan Merula tentang Thomas-yang secara tak sengaja itu-dimulai. Tapi lama-lama ia mulai teringat juga dengan tujuannya duduk disana, karena gadis Slytherin itu mulai berbicara soal hal-hal yang tak dimengertinya. Maka Tom pun beralasan bahwa ia harus mulai menjalani tugas jaganya dan pergi ke Aula Besar untuk menghabiskan sarapan disana. Ia tak ingin memikirkan dulu apa saja yang dikatakan Merula, meski semua itu terngiang di kepalanya. Apalagi pertanyaan tentang kenapa Thomas dan Emmyra menyembunyikan hubungannya dari orang-orang-yang mungkin kedengarannya tidak penting.

Sementara itu, Emma dan yang lain sudah sampai di desa yang sekarang sudah berubah menjadi pusat perbelanjaan Hogsmeade. Pusat belanja kedua terbesar di Inggris setelah Diagon Alley. Bayangan Emma soal rumah-rumah berpetak yang ditemukannya dalam film sama sekali tak ia temukan disana. Tentu saja, karena rumah-rumah penduduk itu tak benar-benar ada di pusat perbelanjaan. Rumah-rumah penduduk berada di bawah bukit, sejalur dengan danau hitam di kaki gunung dekat kastil. Emma terkesima dengan pemandangannya sekarang. Orang-orang tua dengan topi kerucut tuanya tampak berjalan hilir mudik, membawa beberapa kantong plastik besar yang isinya belanjaan mereka. Di sisi kanan dan kirinya juga ramai sekali orang-orang yang sedang tawar menawar. Rupert kemudian menggiring ketiga temannya itu melewati gang sempit, melepaskan diri dari keramaian. Emma hanya mengikuti langkah teman-temannya membawanya, meski ada banyak sekali hal yang ingin ia tanyakan tentang Hogsmeade. Tak berapa lama, mereka sampai di salah satu pub yang dindingnya bergambarkan kastil Hogwarts dengan anak-anak bersyal keempat asrama yang terbang bergerak-gerak di bawahnya.

"Ayo," ajak Rupert, memasuki pintu yang otomatis terbuka. Emma bertanya-tanya dalam hati, apakah pintu itu terbuka dengan sihir atau dengan mesin layaknya di dunia muggles?

Mereka lalu menaiki tangga ke lantai atas, dan memilih tempat duduk di paling pojok dekat jendela. Orang-orang yang mereka lihat tadi tampak kecil di bawah sana. Emma sedang melepas jubahnya ketika ia mendapati seseorang dengan rambut pirang menyusul naik ke pub remaja itu. Dia adalah Aleria.

"Oh, hai, Al!" Sapa Rupert, yang juga menyadari kedatangan Aleria. Wajah gadis itu sudah tampak lebih segar dari sejak terakhir kali Emma melihatnya. Rambutnya bahkan terlihat dikepang rapi. "Hai," balas Al riang. Emma bisa menangkap matanya yang melihat ke arahnya kikuk, dan ia tak bisa melupakan kejadian kemarin. Tapi apa gadis itu pura-pura lupa atau memang tak mengingat Emma sama sekali, entahlah.

"Kupikir kau masih lama, Al." Kata Grace.

"Aku di belakang kalian sebenarnya. Kupikir kalian sudah lama berangkat."

Kalau ada di belakang, kenapa tak memanggil saja kalau begitu? Batin Emma.

"Jalanan bising sekali. Jadi tak mungkin aku memanggil-manggil kalian seperti anak kecil." Kata Aleria tanpa ditanya, duduk di hadapan Emma dengan santainya.

Apa dia baru saja menjawabku? Bisa-bisanya dia bertingkah begini, apa dia tak lupa soal kejadian kemarin pagi? Batin Emma lagi.

Aleria tersenyum pada Emma. Matanya yang terkena cahaya matahari jelas sekali berwarna biru terang.

"Kalian mau pesan apa?" tanya Rupert pada yang lain.

"Seperti biasa saja." Kata Matthew.

"Aku cokelat hangat dan sandwich ekstrak telur occamy." Grace menyahut.

"Aku juga seperti biasanya saja," sahut Al.

"Dan kau, Emma?"

"Mm, aku juga." Katanya ragu.

"Baiklah, aku juga kalau begitu. Tolong pesankan, Matt."

"Apa? Kenapa harus aku?"

"Oh, ayolah, sobat. Aku kan sudah menuliskan pesanannya."

"Kenapa tidak sekalian kau saja?" Gerutunya.

"Kerja sama tim." Kata Rupert mengerling, dan Matthew segera mengambil kertas kecil di depannya ogah-ogahan. Grace yang duduk di samping Rupert terkikik, diikuti Emma dan Aleria.

"Aku akan ke kamar kecil dulu," kata Aleria tiba-tiba, berdiri dari kursinya, dan seakan menyadari Emma yang terus-terusan memperhatikannya, ia berkata, "kau mau menemaniku, Em?"

Emma sedikit terkesiap, lalu mengangguk kaku. Aleria segera menggandengnya ke lantai satu di atas mereka. Entah kenapa Emma merasa ada yang berbeda dari gadis ini.

"Aku tahu kau mungkin merasa aneh padaku." Katanya tiba-tiba ketika mereka sudah berada di depan wastafel besar di dalam toilet, membasuh wajahnya.

"Aku minta maaf soal kemarin, Emma. Aku sama sekali tak berniat menghindari kau dan Tom atau apapun, hanya saja.."

"Hanya saja apa?" Emma sudah tertarik mendengarkan Aleria.

"Kau tahu kondisiku memang sedang tidak baik akhir-akhir ini. Aku stress sekali. Aku bahkan tak bersemangat bertemu siapapun." Emma mendadak merasa prihatin melihatnya.

"Mm, itu-soal itu tak masalah. Hanya saja kau sudah membuatku cemas. Kupikir aku telah berbuat sesuatu yang salah padamu." Balasnya ragu-ragu, melihat ekspresi Aleria dengan hati-hati. Aleria menggeleng, "kau tidak melakukan apapun, dan tidak ada yang salah. Aku hanya—yah, aku hanya kaget melihat kalian disana dan ditambah pikiranku sedang kacau. Maafkan aku, Emma." Ia meraih kedua tangan Emma dan menggenggamnya, memandangi perempuan berambut cokelat itu seakan-akan ia tak akan pernah lagi melihatnya. Emma agak terkejut, tetapi ia tetap tersenyum. Matanya bisa melihat gurat-gurat kelelahan terpampang jelas disana, dan ia mengangguk, mengusap tangan Aleria.

"Tidak apa-apa, kau tak perlu meminta maaf. Tapi, kurasa harusnya kau memberitahu yang lain. Mereka semua cemas dengan kondisimu akhir-akhir ini, Aleria. Kalau kau memang tak sanggup melewati masalahmu sendirian, kau seharusnya berpikir punya teman-teman untuk membantumu, bukan begitu?"

Aleria hanya mengangguk pelan.

"Terima kasih, Emma. Kau pengertian sekali. Tapi aku tidak bisa mengatakannya. Aku terbiasa untuk melakukannya sendiri."

"Kenapa? Kenapa kau selalu berpikir untuk melakukan semuanya sendiri?"

Aleria tampak terkesiap, seolah tak percaya Emma akan mengatakan hal itu, dan tiba-tiba dengan tegas berkata, "karena ini masalahku."

"Oh, baiklah, itu memang masalahmu, tapi.. aku hanya—"

"Khawatir. Sekali lagi terimakasih, Emma. Tapi aku benar-benar harus menyelesaikannya sendiri." Kata Aleria tersenyum. Namun senyum kali ini terkesan dibuat-buat.

Sesungguhnya Emma ingin sekali bertanya apa tepatnya masalah yang dihadapi Aleria sampai-sampai dia begitu berubah drastis akhir-akhir ini, tapi setelah mengingat fakta bahwa dia bukanlah Emmyra yang sebenarnya memberi Emma batas untuk tidak melakukan hal itu. Ia tak ingin berusaha mengorek masalahnya. Merekapun segera kembali ke meja dimana Rupert dan yang lain berada, berusaha kembali bersikap biasa. Rupert, Grace dan Matthew yang tampaknya sedang mengobrolkan sesuatu sebelumnya mendadak kikuk. Matthew hanya tersenyum simpul pada Emma, seakan mengingatkannya dengan obrolan semalam, bahwa Aleria sudah bergabung bersama mereka dan terlihat baik-baik saja, sehingga tidak perlu ada yang dipermasalahkan.

Continue Reading

You'll Also Like

88.8K 1.7K 34
𝐀 𝐬𝐭𝐨𝐫𝐲 𝐢𝐧 𝐰𝐡𝐢𝐜𝐡 𝐋𝐨𝐫𝐞𝐭𝐭𝐚 𝐋𝐞𝐢𝐠𝐡𝐭𝐨𝐧 𝐟𝐢𝐧𝐝𝐬 𝐡𝐞𝐫𝐬𝐞𝐥𝐟 𝐟𝐚𝐥𝐥𝐢𝐧𝐠 𝐟𝐨𝐫 𝐡𝐞𝐫 𝐛𝐞𝐬𝐭 𝐟𝐫𝐢𝐞𝐧𝐝𝐬 𝐛𝐫𝐨𝐭...
649K 23.6K 98
The story is about the little girl who has 7 older brothers, honestly, 7 overprotective brothers!! It's a series by the way!!! 😂💜 my first fanfic...
1.2M 54.1K 100
Maddison Sloan starts her residency at Seattle Grace Hospital and runs into old faces and new friends. "Ugh, men are idiots." OC x OC
837K 19K 47
In wich a one night stand turns out to be a lot more than that.