Aku sedang berlari pagi di hari Minggu yang sejuk yang belum terlampau siang untuk hawa panas di liburan musim panas kali ini. Berlalu terlalu cepat tanpa adanya suatu kejadian yang berarti bagi hidupku yang juga tidak berarti ini, mungkin bisa kuhitung berapa hari lagi aku akan kembali masuk sekolah dan menempati tahun keempatku sebagai murid senior.
Pelantang telinga yang terhubung ke ponselku terpasang di kedua telingaku, memutarkan lagu-lagu akustik berinstrumen gitar klasik. Aku paling suka jika menikmati lagu-lagu santai ketika berolahraga. Itu tidak akan memaksaku berolahraga dengan tempo yang cepat. Tidak akan ada bawaan emosi yang meluap tidak seperti ketika aku mendengarkan musik rock yang malah membuatku mual.
Penelope Miller berseru memanggil namaku ketika aku baru saja melewati depan rumahnya. Aku tidak menoleh, masih melanjutkan lariku, tidak menghiraukan seorang Penelope yang kini tengah berlari-lari kecil menyusulku yang sudah lumayan jauh dari rumahnya. Karena aku tidak mau terjadi sesuatu gara-gara ulahnya, aku mencoba untuk memacu langkah lebih cepat, meskipun aku tahu hal itu akan sia-sia pada akhirnya.
Penelope telah sampai di sampingku, mensejajarkan langkahnya dengan langkahku. "Pagi, Jason." Aku bisa mendengarnya menyapaku, namun aku diam saja, menatap lurus ke depan. Biar saja, aku kan sedang menikmati musikku, kenapa aku harus menanggapinya?
"Jason," panggilnya. Aku masih diam.
"Jason," panggilan kedua, dan aku masih akan tetap membisu hingga dia mulai menyerah lalu pergi.
"Jason!" kali ini suaranya meninggi, marah. Tangannya tiba-tiba menarik pelantang telingaku dengan paksa, membuat benda itu kini berayun-ayun di bawahku. Bukannya mengomel pada Penelope karena ulahnya yang telah mengganggu kenyamanan Minggu pagiku, hal yang kulakukan malah memasang kembali kabel tersebut di lubang telingaku.
"Jason, apa-apaan?!" Sedetik kemudian Penelope melakukan hal yang sama lagi, melepaskan pelantang telingaku, tetapi kali ini agak berbeda karena ia juga menarik ponsel dari saku celanaku dengan paksa.
Kali ini aku menoleh, memandangi ponselku di tangannya. "Kembalikan," suruhku.
"Tidak akan."
"Kenapa?"
"Karena kau tidak mau mendengarkanku, maka aku juga tidak mau."
Aku mendengus lalu berkata, "Apakah itu perlu? M-maksudku, apakah mendengarkan ocehanmu itu di pagi yang sejuk ini sangat perlu untukku?"
"Tentu saja," katanya dengan nada angkuh.
"Kenapa?" Ini yang kedua kalinya aku bertanya kenapa.
Penelope melirikku—aku benci tatapan itu, tatapan menyelidik seolah aku telah melakukan sesuatu yang salah. Aku jadi merasa risih, apalagi jika mengingat cewek ini memberiku kado tempo hari lalu saat aku berulang tahun seolah-olah aku ini pacar sepihaknya.
"Harusnya aku-lah yang bertanya," katanya dengan angkuh lagi, seperti nada bicara seorang majikan yang memaksa pesuruhnya untuk melakukan sesuatu—dan aku adalah pesuruhnya. "Kenapa? Kenapa kau melakukannya seperti itu?" tanyanya.
Aku tidak mengerti apa maksud perkataannya, jadi aku hanya bisa mengernyit sambil bertanya balik, "Kau bicara apa? Bicaralah yang jelas!" sentakku, karena aku muak dengan omong kosong Penelope selama beberapa kali terakhir.
"Kenapa kau melakukan itu? Hal yang terjadi kemarin. Kau yang menuruni atap rumah Carpenter dan akhirnya aku sadar kau baru saja keluar dari kamar Julia."
Aku terheran, "Apa?!" kenapa dia bisa tahu? "A-aku tidak—"
"Tentu saja. Aku tahu itu. Kalian pasti melakukannya, kan?" Penelope mendengus dan memandangku dengan tampang meremehkan—seolah ia benar-benar tahu apa yang kulakukan di rumah Carpenter, padahal sebenarnya tidak. Penelope sama sekali tidak tahu.
"Aku tidak melakukan apa-apa."
Aku menatap Penelope yang terkekeh licik, seolah ia tengah merencanakan sesuatu atau apalah itu. Perasaan emosi meluap di dalam pikiranku namun masih bisa kutahan. Aku pikir, seorang maling pasti akan semakin dicurigai ketika maling itu menunjukkan tanda-tanda kemarahan dalam dirinya bahwa ia telah dituduh mencuri. Yah, kau harap aku tidak terbawa emosi yang berlebihan kali ini.
Cewek itu berkata, "Dasar. Mau-maunya kau dengan orang bisu seperti dia," gerutunya, "Apa istimewanya, sih?" Nada bicaranya mengisyaratkanku bahwa ia mungkin bisa saja cemburu melihatku bersama Julia. Ya, Penelope sepertinya memang cemburu—aku tahu.
Senyumku merekah, memamerkan deretan gigi-gigiku. Tergambar sebuah rencana kecil di kepalaku untuk membuat Penelope semakin cemburu dengan perasaannya sendiri. Yah, meskipun aku tidak tahu sebenarnya alasan apa yang menyebabkan cewek itu jadi tiba-tiba berubah haluan menjadi mengejar-ngejarku? Hahaha konyol sekali.
Aku ingin menyulut emosinya, maka aku berkata, "Ya, kami memang melakukannya. Selama orangtuanya pergi," tipuku, dan sepertinya itu memang berhasil karena sedetik kemudian bintik-bintik samar kemerahan muncul di wajah Penelope, menandakan bahwa mungkin ia memang terbawa emosi. Dan aku semakin menyudutkannya agar ia lekas-lekas benci kepadaku alih-alih terus mengejarku. "Kuberitahu kau ya. Dengar, kau tidak perlu repot-repot jatuh cinta dengan cowok tampan sepertiku lagi sekarang karena rupanya cowok ini telah memilih yang lain—cewek yang tidak bisa bicara."
Penelope terdiam dalam perasaan sentimentalnya, memelototiku penuh kegeraman sebelum akhirnya ia mencemoohku dengan berujar, "Seleramu rendahan," lalu tanpa kusadari sebelumnya, ia mengembalikan ponsel dan earphone-ku dengan menepukkannya keras-keras pada telapakku. berbalik dan pergi begitu saja, berlari menuju rumahnya.
"Terserah kau saja!" seruku dari kejauhan, "Tapi asal kau tahu, aku lebih baik bersama orang yang bisu daripada dengan orang yang punya mulut namun banyak bicara!" lanjutku, kemudian terkekeh sambil mengamati cewek itu menghilang di balik pagar sementara aku masih berdiri di trotoar Jalanan Fess.
---
Ketika aku pulang dari jogging-ku mengitari beberapa perumahan, aku mendapati Nyonya Penny sedang duduk-duduk di teras depan rumahnya, dan aku bisa melihatnya sedang sendirian—ah, memang selama ini dia hidup sendiri, tapi maksudku, tidak biasanya ia bersantai di depan rumah tanpa ditemani kucing persianya yang berbulu abu-abu.
Aku menyapanya, "Selamat pagi, Nyonya Penny," kataku dari balik pagar yang tingginya hanya sepinggang. Nyonya Penny tidak merespons. Aku bisa melihatnya menatap kosong ke arah bunga-bunga di halamannya sendiri-sepertinya tanaman itu masih baru ditanam karena seingatku, kemarin belum ada. Rupanya dia memang benar-benar melamun sejak tadi-duduk mematung. Aku mengulangi sapaanku, "Selamat pagi, Nyonya Penny!" dengan lebih nyaring.
Wanita tua itu seperti kelabakan mendapati rupanya ada aku di sini, menyapanya sejak tadi namun ia malah melamun. "Iya, Jason? Selamat pagi juga," balasnya begitu tersadar dari renungannya. "Maaf aku melamun."
"Apa ada sesuatu yang buruk, Nyonya?" tanyaku.
Bahu Nyonya Penny merosot pelan, dan seketika wajahnya berubah pilu. "Yah, Erasmus—" aku tahu itu adalah nama kucingnya, "—sudah mati."
Aku menunjukkan muka merasa bersalah karenanya. "Aku ikut bersedih mendengarnya," kataku lirih. "Apakah dia sakit sebelumnya?"
"Ya, dia memang sudah tua. Begitu juga denganku."
"Anda tidak sedang berpikir bahwa anda akan sama malangnya dengan Erasmus beberapa hari ke depan, bukan?" kataku, setengah bercanda—dan aku harap itu membantu.
"Tidak," ucapnya singkat.
Aku memberi masukan, "Baiklah, saranku, lebih baik anda melakukan hal-hal yang anda sukai agar anda tidak melamun seperti ini lagi."
"Hal-hal yang kusukai?" Wanita itu terlihat agak bingung ketika mendengarkanku, itu sebabnya aku mengangguk penuh yakin. Kemudian Nyonya Penny melanjutkan, "Aku hanya suka menggosip."
Aku tercengang, tidak percaya mengapa wanita itu malah berkata demikian. Apa hubungannya dengan menggosip? Apakah menggosip sebegitu menyenangkannya?
"Hei, Jason," tiba-tiba Nyonya Penny menatap ceria ke arahku, penuh kebahagiaan, seolah-olah Nyonya Penny yang tadi bersedih telah amnesia secara mendadak atau malah bisa jadi ia memiliki penyakit semacam kepribadian ganda yang membuat perilakunya berubah secara tiba-tiba. Wanita itu berkata, "Kau ingin dengar sesuatu?"
"Apa?" tanyaku, namun dengan nada tidak terkesan sama sekali.
Nyonya Penny meringis, memamerkan deretan giginya yang berwarna putih semu kekuningan. "Kudengar para Carpenter punya hubungan dengan para hantu. Itu sebabnya si Olivia Carpenter sering marah-marah, emosinya tidak terkontrol—ya, aku pernah melihatnya mengomeli suaminya di depan rumah."
Apa-apaan?! []