Thomas Brodie-Sangster Imagin...

By acablackrose

14.4K 1.1K 732

Written in bahasa. Gk tau deskripsinya apaan. Semoga suka. Udh itu aja hehe. Thomas Brodie-Sangster as Himsel... More

The Truth
Crazier part 1
Thomas short imagine
Crazier part 2
Crazier part 3
Say Something part 1
Say Something part 2
Say Something part 3
Safe and Sound part 1
Safe and Sound part 2
Author's Note
Safe and Sound part 3
Safe and Sound part 4
Forgotten (Special Newt Imagine)
Mr. Right part 1
Mr. Right part 2
Mr. Right part 3
A/N
Mr. Right part 4
Mr. Right part 5
Mr. Right part 6
Mr. Right part 7

Mr. Right part 8

573 38 42
By acablackrose

HAI KAWAN GW KEMBALI!!!


SIAPA YG SENENG HAYO????

Oiya, maaf ya lama. Gw lagi gak mood kayak gairah buat nulis tuh ilang aja gitu, trus ada sesuatu yang terjadi di real life gw. Jadi ya ... gitu dah. Semoga chapter ini gak mengecewakan.


Enjoy~
































Sejak Dylan menelfonku tadi, aku langsung menarik tangan Kang Taehyung dan memintanya untuk mengantarku ke rumah sakit. Aku panik bukan main. Aku bahkan meminta Kang Taehyung untuk mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi.

Kini, aku duduk di salah satu bangku rumah sakit. Semua orang yang berada di sini sama kacaunya denganku. Tatapanku kosong, tak ingin mendengar apapun selain pintu kamar rumah sakit yang kuharap akan terbuka secepatnya. Suara isak tangis di sampingku juga tak hentinya terdengar semakin pilu. Suara tangis yang rasanya semakin menambah rasa penyesalanku bertambah menjadi dua kali lipat.

Ibu Seokjin masih duduk di sampingku ditemani oleh suaminya yang setia mencoba menenangkan dirinya. Ia bahkan belum mengangkat kepalanya untuk melihatku semenjak kedatanganku ke sini. Kedua tangannya selalu menutup wajahnya yang telah basah oleh air mata. Aku merasa telah menjadi kekasih yang buruk. Untuk sekadar menyapa pun aku tak bisa.

Aku sadar ayah Seokjin telah beberapa kali melempar tatapan kepadaku. Tak ada sirat kemarahan di wajahnya. Hanya ada tatapan sendu darinya yang dijatuhkan kepadaku. Tapi, aku juga tak bisa mengeluarkan satu kata pun kepada ayahnya Seokjin seolah mulut ini telah terkunci.

Hening adalah suasana yang tepat aku deskripsikan kali ini. Semua orang yang menunggu di sini bungkam. Sudah berjam-jam kami menunggu kabar dari dokter. Aku tak tahu seberapa parah kecelakaan yang menimpa Seokjin. Hanya samar-samar yang kudengar pembicaraan saat Kang Taehyung menanyakan Dylan mengenai parahnya luka yang Seokjin dapat. Yang kutahu, Dylan tak berani mengutarakannya secara detail.

"M-maafkan aku."

Aku gugup saat mengatakan itu seraya memainkan tanganku yang bergetar. Kalimat yang mengalihkan atensi mereka kepadaku. Mereka tak menjatuhkan tatapan menghakimi. Namun setelahnya, mataku kembali menitikkan air mata karena perasaan bersalah yang menguar di tubuhku. Bahuku kembali bergetar kala mengingat memori buruk yang telah kubuat.

"Ini semua salahku."

Kang Taehyung dan Dylan menatapku lirih. Kupikir hanya Dylan yang tahu maksud lain dari apa yang kukatakan. Terlihat dari matanya kalau ia juga merasakannya. Kurasakan usapan nyaman di punggungku. Aku menoleh ke arah Ibu Seokjin yang kini menatapku sendu disertai senyuman hangatnya. Tangannya yang gemetar membuatku sadar kalau ia adalah yang paling rapuh saat ini.

"Ini bukan salah kamu, Nak. Semuanya resmi kecelakaan," kata Ibu Seokjin masih menangis. Suaranya sarat kesedihan yang mendalam.

Aku menggeleng pelan. "T-tapi—"

"Sudah, Nak. Gak apa-apa. Sekarang yang bisa kita lakukan hanya berdoa yang terbaik untuk keselamatan Seokjin."

Ucapan ayah Seokjin yang memotong pembicaraanku sukses membuatku bungkam. Andai saja, orangtua Seokjin tahu betapa buruknya aku melakukan Seokjin sebagai kekasih. Mungkin mereka telah membenciku kali ini. Atau bahkan, tak akan mengizinkanku untuk duduk di sini. Betapa buruknya aku yang tak pernah memberikan kebahagiaan yang nyata kepada Seokjin dariku. Hanya Seokjin yang melakukannya sendiri. Ia selalu berjuang sendiri untuk kebahagiaanku. Namun, apa yang dia dapat dariku? Tak ada sama sekali.

Aku ingat hari di mana Seokjin memperkenalkan aku sebagai kekasihnya di depan orangtuanya. Aku cukup mengenal orangtua Seokjin, bahkan sebelum kami menjadi sepasang kekasih. Hanya saja, saat Seokjin memperkenalkanku ulang dengan status yang baru. Orangtua Seokjin nampak bahagia. Sejak saat itu aku tahu, Seokjin telah bercerita banyak tentangku.

"Ibu ingat. Dulu sewaktu Seokjin baru beberapa hari masuk SMA, Seokjin gelagatnya berubah jadi aneh. Dia terus aja gelisah kayak ada yang dipendam di hatinya. Butuh waktu yang lama sampai Seokjin akhirnya ngaku sama Ibu kalau dia suka sama sahabatnya sendiri. Dan ternyata itu kamu."

Ibu Seokjin mengambil napas dalam lalu melanjutkan ceritanya. "Dia bilang katanya susah banget dapetin kamu. Tapi, dia gak pernah nyerah, sampai akhirnya Ibu dapet kabar dari dia kalau dia berhasil. Ibu seneng banget pas liat muka bahagianya dia. Dia bahkan jadi lebih hiperaktif dari biasanya."

Aku merasakan tanganku digenggam hangat oleh kedua tangan ibu Seokjin. Ia menatap sendu ke arahku dengan mata sembapnya sembari mengusap punggung tanganku berkali-kali.

"Terimakasih, Nak. Udah nerima Seokjin. Kamu bisa lihat dari matanya, kalau dia emang sayang sama kamu. Kamu bikin dia bahagia."

Perkataan ibu Seokjin lantas membuatku menangis. Hatiku semakin teriris mendengar cerita tentang Seokjin yang begitu bahagia dengan keberadaanku yang menjadi kekasihnya. Ia kemudian merengkuhku dalam pelukan keibuannya yang membuatku merasa semakin tak pantas untuk berada di sini. Kami menangis cukup lama dalam keadaan seperti ini dan menghiraukan tatapan dari orang lain yang melintas.

Aku benar-benar merasa buruk. Bahkan rasanya aku tak pantas menerima pelukan ini. Dalam hati aku berjanji. Aku tak akan mengulang kesalahan ini lagi. Tentunya, mencoba untuk membuat Seokjin bahagia setelah ia bangun nanti.

Kulihat lampu merah di atas pintu ruangan berubah warna. Disusul dengan pintu ruangan yang terbuka, menampakkan sesosok berjaket putih khas rumah sakit yang telah kami tunggu kabar baru darinya. Di belakangnya diikuti beberapa suster yang menundukkan wajahnya. Jantungku berdegup lebih kencang tatkala dokter itu melepas masker yang melekat di wajahnya dan menatap semua yang ada di sini sendu. Hingga akhirnya, satu kalimat yang meluncur dari mulutnya sukses membuat seluruh sel sarafku beku.

Satu kalimat yang membuat hatiku terasa terlempar jauh ke dasar jurang. Kalimat yang membuatku tersadar. Kalau kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan yang telah kubuat telah sirna.

"Maaf kami telah berusaha semaksimal mungkin. Namun nyawa Seokjin tidak bisa diselamatkan."

******************************

Aku tahu kalau Dylan berusaha sebaik mungkin untuk mengajakku bicara. Dari semua tingkahnya yang normal dan tidak normal telah ditunjukkan kepadaku supaya aku mau mengeluarkan sepatah kata untuknya. Aku tahu Dylan melakukan ini karena dia khawatir dengan keadaanku yang kian memburuk. Dylan yang selalu berusaha akhirnya menyerah. Kupikir ia sadar kalau aku butuh waktu sendiri.

Aku yang dulu terkenal dengan sifat galak dan berisik. Mendadak menjadi pendiam dan suka mengurung diri di kamar. Seringkali aku melempar tatapan kosong kepada orang yang menjengukku. Mereka semua memang khawatir kepadaku dan berharap supaya aku kembali seperti biasa. Tetapi apakah mereka tahu? Aku mengalami tekanan batin di sini.

Terlebih saat aku membuka galeri ponselku. Melihat fotonya bersamaku saja membuatku menangis. Ya. Aku menangis karena merasa bersalah dan juga kehilangan.

Setelahnya, aku akan meringkuk di atas kasur dan kembali menyalahkan diriku. Aku tahu semua itu percuma. Seokjin tak akan kembali lagi di sisiku dan membuatku tersenyum. Semuanya telah terjadi. Dan aku belum bisa melakukan perubahan apapun. Aku kecewa kepada diriku sendiri. Andai saja aku berani untuk mengutarakan maaf kepada Seokjin. Mungkin cerita yang terjadi sekarang akan sedikit berbeda.

Aku cukup terkejut ketika menyadari saat membaca ulang pesan Seokjin yang berisikan pertanyaannya tentang kerinduan yang akan kualami jika ia pergi dalam jangka waktu yang lama. Aku benar-benar merasakannya kali ini. Kerinduanku akan sosoknya yang mempunyai sifat yang unik mengisi pikiranku.

Seokjin itu berbeda.

Sayang sekali aku tak bisa menempatkannya di posisi hatiku.

Orangtuaku sangat mengkhawatirkan keadaanku—terutama ibu. Setiap pagi ibuku selalu membujukku untuk bicara. Aku paham sekali dari sorot matanya kalau ia sedih melihat wajahku yang kian memucat. Mungkin kalian berpikir aku berlebihan. Tapi sungguh, rasanya aku tak ada selera untuk melakukan apapun.

Aku tak menyangka jika pagi ini sedikit berbeda dari yang kemarin. Aku tak mendengar suara ibuku. Melainkan suara bariton yang mengisi kamarku dengan datarnya. Keningku sedikit mengerut kala melihat presensi Pak Thomas yang berada di kursi belajarku sembari menatapku intens. Aku bahkan lupa kalau ia adalah tetanggaku. Bukan suatu hal yang tak mungkin jika ia bisa berada di sini.

"Udara pagi itu segar. Kamu ngapain ngurung diri di kamar terus?"

Raut wajah datarku menjadi jawabannya. Sorot mataku yang kosong berbanding terbalik dengan matanya yang tegas. Mulutku tak mengatakan sepatah kata pun sehingga membuat Pak Thomas menghela napas pelan.

"Saya tahu kamu sedih," kata Pak Thomas sembari membasahi bibir bawahnya, lalu menimpali, "tapi mau sampai kapan?"

Tak mendapat respon apapun dariku membuat Pak Thomas kembali menghela napas. Tangannya sejenak menyugar rambutnya sebelum tungkainya berjalan dan mendudukkan dirinya di pinggir kasurku.

Pak Thomas diam, begitu pun aku. Kami hanya diam saling menatap hingga akhirnya Pak Thomas menyerah dan membuka mulutnya. "Ikut saya. Saya gak terima penolakan."

Setelahnya ia beranjak keluar dari kamarku. Tadinya aku ingin mengabaikan saja perkataannya. Namun reaksi tubuhku justru berlawanan dengan pikiranku. Aku bahkan tak mengerti mengapa aku mau repot untuk bersiap dan menemuinya sedang berbicara dengan ibuku di ruang tamu. Ibuku bahkan kaget melihatku akhirnya mau keluar kamar.

Aneh sekali.

Dua kalimat yang diberikan Pak Thomas ternyata memberikan afeksi yang besar kepadaku.

Aku hanya diam tak peduli ke mana Pak Thomas membawaku. Kami hanya berjalan bersama—menghirup udara pagi yang katanya segar, tanpa ada obrolan sedikit pun. Pak Thomas hanya menatap lurus ke jalan, sesekali aku dapat merasakan lirikan matanya yang dijatuhkan kepadaku.

Tak lama kami berjalan, Pak Thomas akhirnya berhenti. Aku menyadari kalau ia membawaku ke taman yang cukup penuh dengan orang yang berolahraga ataupun hanya sekadar berjalan-jalan di pagi hari.

"Kamu duduk di bangku itu. Nanti saya nyusul."

Aku mengangguk langsung meninggalkan Pak Thomas yang masih berdiri di tempat. Mataku memejam sambil merasakan udara pagi yang terasa segar di relung paru-paruku—yang tadinya selalu terasa sesak. Kulakukan hal sederhana itu beberapa kali, sekadar ingin merasa lebih baik.

Pemandangan banyak anak kecil dengan orangtua yang mengawasi menjadi santapan mata baru setelah sekian lama aku mengurung diri di kamar. Dapat kulihat dari wajah mereka terlukis senyuman bahagia yang membuatku sadar. Kalau di sini hanya akulah yang memasang raut tak menyenangkan.

Kugenggam erat kalung yang melingkari leherku. Kalung pertama dan terakhir yang diberikan oleh Seokjin. Ini hanya kalung sederhana, bukan kalung mahal yang dilapisi berlian atau semacamnya. Ini sungguh sederhana. Kalung sederhana yang memberikan makna ketulusan tersendiri dari si pemberi.

Aku tersenyum masam. Teringat ketika Dylan memberikan kalung ini yang masih berada di dalam kotak tepat setelah pemakaman Seokjin. Tepukan penguat yang diberikan di pundakku tak sedikit pun menyadarkanku dari pandangan kosong saat itu.

"Aku nemu kotak ini di dalam tasnya Jin yang dia pakai sebelum ketemu kamu. Aku pikir kotak ini buat kamu, soalnya ada tulisan nama kamu di atasnya. Semoga kamu jaga kotak ini baik-baik."

Tentu, sampai kapan pun aku tak akan pernah merusak barang ini sedikit pun. Aku akan selalu mengingat kalung ini menjadi salah satu memori yang kusimpan dengan baik di pikiranku. Karena hanya dengan kalung inilah, aku merasakan presensi Seokjin di ingatanku.

"Kalo melihat orang yang tulus bahagia, seharusnya kamu juga ikut bahagia."

Suara tersebut menyadarkanku kembali. Aku menoleh menatap Pak Thomas kini sudah duduk di sampingku, disertai 2 porsi bubur ayam di tangannya. Merasakan dirinya mendapatkan tatapan dariku, lantas Pak Thomas menoleh dan menyodorkan satu bungkus kepadaku.

"Makan bubur ayamnya. Saya gak mau makanannya kebuang percuma hanya karena kamu gak mau makan. Saya gak mau rugi."

Licik sekali.

Wajahnya pun nampak acuh sembari mulai memakan bubur ayamnya. Aku menghela napas pelan. Kalau dipikir-pikir bubur ini terlihat enak. Tanganku beralih membuka bungkus tersebut dan memakannya dalam diam.

"Saya paham. Kehilangan orang terdekat kita pasti sakit banget. Tapi, kita juga gak bisa menyalahkan takdir, 'kan?"

Kunyahanku melambat seiring mendengar ucapan Pak Thomas yang mengarah kepadaku. Kulihat dari ujung mataku sorot matanya terlihat sendu. Pak Thomas pun menghela napas.

"Dulu, saya pernah merasa kehilangan saat saya masih kecil. Saya dulu belum tahu apa-apa. Yang Ibu kasih tahu ke saya, Ayah saya tidur di tempat yang lebih baik dalam waktu yang lama dan gak boleh saya ganggu." Pak Thomas tersenyum sendu, lalu menambahkan, "saya percaya aja waktu itu sampai saya sadar kalau Ayah gak pulang-pulang. Saya kecewa, sedih sama Ibu karena dia selama ini bohong. Saya ngambek sama Ibu, minta Ayah pulang. Tapi, akhirnya saya paham kalau di dunia ini gak ada yang abadi. Saya gak bisa terus-terusan terpuruk karena kehilangan. Saya sadar kalau setiap orang pasti akan mengalami kematian."

Pak Thomas mengambil napas dalam lalu membuangnya kasar. Matanya kini nampak berkaca-kaca. "Saya juga menyesal karena saya belum bisa menjadi anak yang baik buat Ayah saya. Jujur aja sampai saat ini saya masih merasa begitu. Tapi, apakah dengan selalu sedih Ayah saya akan bangga? Enggak. Makanya, saya berusaha kembali seperti dulu dan membahagiakan seseorang yang selalu mendukung saya kapan pun itu."

Pak Thomas tersenyum sebelum mengakhiri. "Orangnya itu Ibu saya."

Kami kembali terhanyut dalam diam, menikmati sarapan bubur ayam ini. Aku termenung memikirkan setiap kata yang Pak Thomas lontarkan. Mungkin maksud dari Pak Thomas adalah aku harus menerima keadaan dan mencoba untuk menjalani kehidupan dengan baik. Tapi, sampai saat ini saja aku masih dirundung rasa penyesalan.

Tak sadar berapa lama aku melamun, bubur ayamku telah habis. Pak Thomas pun sama, ia lalu membuang sampah bungkus plastik tersebut.

"Nah sekarang, ayo jalan-jalan!"

Pak Thomas menarik tanganku, membuatku mengikuti langkah kaki lebarnya. Ia kemudian berhenti di tempat peminjaman sepeda yang boleh digunakan untuk mengitari taman yang cukup luas ini. Ia menuntunku untuk duduk dibelakangnya. Tangannya menarik kedua tanganku untuk melingkari pinggangnya, lalu mengayuh sepeda ini.

"Udaranya segar, 'kan?"

Aku terdiam, memproses jalan pikiranku yang tiba-tiba melambat disertai pipi yang menghangat karena jarak yang sedekat ini dengan Pak Thomas. Pak Thomas menoleh sejenak lalu menghela napas.

"Kalau kamu masih gak mau jawab, nanti saya cium pipi kamu loh."

Mataku mengerjap pelan. Detak jantungku kembali berdegup kencang setelah sekian lama rasanya seperti orang yang tak minat hidup. "I-iya, Pak. Udaranya segar."

Dapat kulihat dari sini Pak Thomas tersenyum puas lalu menambahkan kecepatan sepedanya. Aku mengeratkan peganganku pada pinggangnya. Takut-takut nanti malah terjatuh.
"Woo ... kalau begini anginnya berasa semilir gitu di rambut kita, ya 'kan? Hahaha...," kata Pak Thomas.

Aku hanya tertawa kecil melihat tingkah laku Pak Thomas yang kekanakan. Pak Thomas mendadak diam lalu menghentikan laju sepedanya. Kurasa ia tak mendengar suara tawa kecilku. Aku menaikkan sebelah alisku tanpa minat bertanya.

"Turun kamu," kata Pak Thomas.

Aku yang kebingungan langsung menuruti permintaannya. Pak Thomas lalu menarik tanganku untuk mendekat ke arahnya. Dalam hitungan detik, kedua tangannya menangkup wajahku dalam jarak dekat. Hembusan napasnya pun terasa di wajahku. Aku mengerjap pelan karena perlakuan tiba-tibanya.

Pak Thomas menyeringai sebelum berbicara. "Ingat kan tadi kalau kamu gak jawab, saya bakal lakukan apa ke kamu?"

Mataku membesar namun diriku tak berkutik sama sekali. Pak Thomas tertawa pelan. Kemudian kurasakan bibir lembut itu mendarat di pipi kanan dan kiriku secara bergantian. Setelahnya ia menggesekkan hidungnya dengan hidungku gemas.

Pak Thomas terkekeh pelan karena aku hanya diam—kuyakin dengan wajah yang semakin memerah. Lantas ia menarikku ke dalam pelukannya lalu mengusap punggungku perlahan. Kurasakan wangi tubuhnya yang menenangkan memenuhi indra penciumanku.

"Jangan sedih lagi, ya. Saya bakal bikin kamu bahagia."

Aku melongo. Setelahnya aku tersadar kalau posisiku salah. Ini tidak benar. Aku mendorong dadanya untuk menciptakan jarak di antara kami. Pandanganku menunduk disertai jemari tangan yang bergerak gelisah satu sama lain.

"M-maaf, Pak. Gak seharusnya kita kayak tadi."

Kunaikkan sedikit kepalaku untuk melihat raut wajahnya. Pak Thomas nampak mengerjap. Tangannya menggaruk tengkuknya sambil membasahi bawah bibirnya. "Saya pikir status kita bukan lagi masalah."

Guratan tipis muncul di keningku. "Maksud Bapak apa?"

Pak Thomas menghela napas pelan. Ia menggeleng pelan lalu berujar, "gak usah dipikirin. Ayo saya anter kamu pulang."

******************************

Aku menatap malas ke arah Dylan dan yang lain kini menatapku dengan cengiran lebar khasnya seolah apa yang ia perbuat tak begitu bermasalah untukku.

Hari ini aku berniat untuk mengundang Dylan untuk bermain di rumahku. Aku masih menunggu jadwal untuk mulai kuliah dan juga kedua orangtuaku sedang bekerja. Kupikir setelah sekian lama aku menghiraukannya yang selalu membujukku untuk bicara, aku perlu memperbaikinya dengan cara ini. Nyatanya, ia juga mengundang banyak teman yang lainnya.

Awalnya, aku tak masalah dengan kehadiran mereka karena kupikir akan menyenangkan.Tapi mereka malah membuat kacau di rumahku. Plastik bekas keripik, piring makanan, beberapa botol minuman berserakan dimana-mana. Rasanya aku ingin meledak saja. Apa jadinya nanti aku kalau orangtuaku melihat ini setelah mereka pulang?

"Jangan marah dong, Raven. Nanti kita beresin kok. Janji," ucap Dylan yakin.

Aku memutar kedua mataku. "Ada juga kamu malah mecahin piringnya Mama."

Dylan hanya terkekeh sambil menggaruk tengkuknya. Mengingat dulu ia pernah kena amarah ibuku karena salah satu piring cantiknya pecah.

"Tenang aja. Janji deh, rumahnya bakal kinclong. Kalau gak percaya kamu boleh nyuruh Dylan apapun selama seminggu," kata Harry diikuti tawa geli dari yang lain. Dylan yang menjadi korban melotot ke arah Harry.

"Terserahlah," balasku malas.

"Yah kan Raven ngambek. Kamu sih, Dylan!" Jungkook menuduh Dylan.

"Tahu nih. Udah bagus Raven mau ngomong sama kita," kata Louis juga menyalahkan Dylan.

"Loh, kok aku? Kalian kan juga bikin kacau," balas Dylan tak terima.

"Udahlah. Nanti kita beresin bareng-bareng," kata Kaya menengahi yang terlihat jengah.

Aku tertawa kecil melihat perdebatan mereka. Aku paham, mereka seperti itu hanya dalam konteks bercanda. Aku jadi membayangkan jika nantinya saat kuliah aku tak sekelas lagi dengan mereka. Bahkan, mereka telah mempunyai tujuan masing-masing. Terbesit di benakku apakah nantinya aku bisa seperti ini dengan mereka.

"Loh kok Raven malah bengong?" Kaya mengibaskan tangannya di depan wajahku. Aku segera mengerjapkan mata.

"Hm ... kamu mikirin Seokjin lagi?" tanya Jungkook ragu. Disambut dengan Louis yang menyikut dan melotot ke arahnya.

Aku menggeleng pelan. "Enggak, kok. Tentang Seokjin aku udah mulai terbiasa."

Kulihat mereka yang tadinya memasang wajah tegang berubah menjadi lega. "Trus tadi kenapa kamu bengong?" tanya Harry.

Aku tersenyum kecil. "Aku cuma kepikiran kalau kita nanti kuliah masih bisa ngumpul gak, ya? Kita pasti bakal mulai sibuk sama tugas masing-masing."

Dylan terkekeh pelan. "Pasti dong. Kita bakal kayak kini terus. Iya, 'kan?"

Pertanyaan Dylan disetujui yang lain dengan anggukan kepala mereka. Mereka bahkan sampai membuat hukuman yang menanti apabila ada yang berubah sikapnya kepada satu sama lain.

"Raven, berarti sekarang kamu jomblo, 'kan?" tanya Harry tiba-tiba.

Aku mengerutkan keningku mendengar pertanyaan Harry. "Iya. Trus kenapa?"

"Jadian sama aku aja gimana? Dijamin gak nyesel." Harry menaikkan kedua alisnya bergantian. Tangannya menepuk dadanya bangga.

Jungkook memutar kedua matanya lalu menoyor kening Harry. "Mana mau Raven sama kamu. Urusin dulu tuh Kak Taylor."

Aku mengabaikan ajakan Harry, dan justru tertarik dengan ucapan Jungkook. "Hah? Kak Taylor yang lulus tahun kemarin? Bukannya Harry sama Kak Taylor udah putus?"

Jungkook mengangguk pasti. "Biasalah. Harry kena CLBK gara-gara satu jurusan sama Kak Taylor di kampus. Harry ngajak balikan, cuma Kak Taylor masih ragu sama Harry. Ya ... gimana ya, mereka baru ketemu beberapa kali pas ospek tapi Harry udah keburu ngegas."

"Makanya jangan playboy," kata Louis yang juga ikut menoyor kening Harry.

"Engga kok. Udah gak lagi. Cintaku kan hanya untuk Kak Taylor." Harry mengerucutkan bibirnya, membuat raut imut.

Aku dan yang lainnya membuat gerakan seolah muntah.  Jungkook lantas melempar bantal sofa tepat ke wajah Harry.

"Najis," kata Jungkook memutar kembali matanya.

"Bilang aja iri gak pernah pacaran dari lahir," balas Harry dengan wajah bersungut-sungut.

"Enggak dong. Aku mah masih suci," kata Jungkook, "tapi kalau Raven mau jadian sama aku juga gak apa-apa sih. Hehehe."

Louis langsung melempar bantal sofa ke wajah Jungkook. Persis seperti yang dilakukan Jungkook tadi.

"Yeh ... sama aja nih orang," kata Louis.

"Udahlah kalian berdua. Lagian hatinya Raven juga udah keisi kok sama Pak—hmmph."

Aku langsung membekap mulut Dylan yang tiba-tiba menjadi ember itu. Mataku melotot ke arah Dylan. Berani sekali. Mau taruh di mana mukaku nanti jika mereka tahu.

"Hm ... Pak?" tanya Harry kepadaku dengan raut menuntut penjelasan kepadaku. Diikuti tatapan lainnya yang menunggu jawabanku.

Aku menatap Kaya meminta bantuan karena di sini hanya Dylan dan Kaya yang tahu perihal rasa sukaku kepada Pak Thomas. Kaya menggeleng pelan merasa tak enak. Kuyakin dia sama bingungnya denganku. Aku meneguk salivaku gugup dengan Dylan yang memberontak karena masih kubekap mulutnya. "I-itu...."

Jungkook langsung membulatkan kedua matanya. Kedua tangannya menutup mulutnya yang mengaga seolah terkejut. Aku memejamkan mataku. Takut kalau apa yang dikatakan Jungkook nanti benar. Keringat dingin mulai terasa di pelipisku. Semoga saja Jungkook tidak mengatakan kalau itu adalah Pak—

"EOMMA!!! UDAH MULAI GERIMIS. OMO ... JEMURANKU!!!"

—Thomas.

Jungkook langsung berdiri dan meninggalkan kami semua yang kebingungan. Dylan pun berhenti berontak mengikuti arah pandang yang lain melihat Jungkook lari terburu-buru keluar rumahku. Rintik hujan pelan terdengar karena suasana ruangan ini yang mendadak sunyi. Kulihat sejenak ke jendela—rintik hujan yang semakin deras di langit sore.

Aku melihat raut wajah Louis dan Harry yang berubah menjadi pucat pasi. Kedua mata mereka berdua juga membulat. Setelahnya kudengar teriakan dari mereka secara bersamaan.

"OH IYA! LUPA JEMPUT UNI. DIA PASTI NGADU SAMA BUNDO NANTI!" teriak Harry panik.

"AISH! AKU JUGA LALI ORA OLEH MULIH SORE. ANA MBAH KAKUNG NENG OMAH. KEPRIYE IKI!" teriak Louis.

Mereka berdua segera beranjak keluar tanpa pamit persis seperti Jungkook tadi. Kami bertiga melongo. Tanganku yang tadinya membekap Dylan pun terlepas.

"Kalau mereka panik, logat aslinya keluar, ya," kata Dylan pelan.

"Iya." Aku mengangguk menyetujui. Sedetik kemudian aku teringat sesuatu. Mataku memicing ke arah Dylan. Tanganku beralih mengambil bantal sofa yang sempat terjatuh lalu memukul Dylan secara brutal.

"GARA-GARA KAMU TADI HAMPIR KETAHUAN. ISH!"

Kaya menggelengkan kepalanya melihatku yang menyerang Dylan. Dylan berusaha keras menangkis pukulan yang kuberikan.

"ADUH!!! AMPUUN ... ITU GAK SENGAJA, RAVEN!!!"

"DIAM!"

—To be continued—
*****************************

*Eomma = Ibu.

*Uni = Kakak Perempuan.

*Aku juga lali ora oleh mulih sore. Ana Mbah Kakung neng omah. Kepriye iki = Aku juga lupa gak boleh pulang sore. Ada kakek di rumah. Bagaimana ini.

Sorry gaes kalo misalnya bahasa korea, minang sama jawanya pas-pasan hehe :v kalo ada yang salah bilang aja wkwk.

Btw, 2 chapter lagi loh guys sebelum buku ini selesai hoho~

See you!

Continue Reading

You'll Also Like

73.3K 11.5K 16
Yang publik ketahui, kedua pemimpin perusahaan ini sudah menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun lamanya, bahkan sebelum orang tua mereka pensi...
64.2K 7.6K 33
Setelah kepergian jennie yang menghilang begitu saja menyebabkan lisa harus merawat putranya seorang diri... dimanakah jennie berada? Mampukah lisa m...
287K 24.3K 36
"I think ... I like you." - Kathrina. "You make me hate you the most." - Gita. Pernahkah kalian membayangkan kehidupan kalian yang mulanya sederhana...
178K 8.7K 29
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...