Sweet Home

By KeiWinset

103K 11.8K 263

Hana Maria harus membuang jauh-jauh impiannya untuk bisa menjadi model terkemuka karena sebuah kesalahan fata... More

01. A Ticket
02. Audition
03. Queen of Drama
04. The Show
05. Confession
06. Meet The First Love
07. Let's Make Love
08. Lena's Father
10. Lost
11. Desperate Sadness
12. Find A Way
13. Home Sweet Home
14. My Sweetheart (End)

09. But I Love You

6.6K 830 20
By KeiWinset


"Yang kau bicarakan di video itu putriku, kan? Dia putriku, kan, Hana?" Joshua mengguncang bahuku dengan kencang.

Rahangku kaku.
"Bukan," jawabku. "Dia putriku, hanya putriku seorang!"

"Jangan bohong padaku!" Lelaki itu berteriak. "Aku sudah mencari tahu tentang dirimu dan dia. Kau belum menikah dan usia anak itu pas ketika kita berpisah. Jadi kenapa waktu itu kau tak bilang bahwa kau hamil, hah?"

Aku menyentakkan tangan Joshua lalu mundur selangkah.

"Aku memberitahumu! Aku sudah berusaha memberitahumu bahwa aku hamil!" Air mataku menitik. "Aku datang ke rumahmu, bertemu ibumu, dan aku memberitahukan padanya tentang kehamilanku. Tapi ibumu bilang kau sudah berangkat ke Kanada."

"Ibuku tidak menceritakan apapun tentangmu." Lelaki itu tampak terpukul.

Aku tertawa getir.
"Sudah kuduga. Ibumu pasti tidak memberitahukan kabar itu padamu," desisku parau.

"Lalu kenapa kau tak berusaha menghubungiku?" Ia kembali berujar.

"Aku sudah melakukannya. Aku meminta nomor telponmu pada ibumu. Dan aku sudah berusaha menelponmu, ribuan kali, seperti orang gila." Suaraku tercekat. "Tapi tak ada kabar darimu. Kau tak menerima telponku, pesanku tak kau balas. Apalagi yang salah? Apalagi yang kurang? Aku sudah mencoba segala cara untuk menghubungimu!" jeritku parau. Air mataku berderaian.

Joshua menelan ludah. Ia menggeleng pedih.

"Jangan katakan kalau ibumu memberiku nomor yang salah," gumamku satir.

Bahu lelaki itu luruh. Dan aku tahu dugaanku benar.
Joshua tak menerima telpon dariku.
Ibunya sengaja memberiku nomor yang salah.

"Hana, aku minta maaf soal ibuku. Aku janji ..."

Aku kembali mundur ketika lelaki itu berusaha menggapai tubuhku.
"Jangan.sentuh.aku." Gigiku terkatub, memperingatkan.

"Hana, kumohon ..."

"Menjauhlah dariku tuan Joshua. Atau aku akan berteriak dan kau harus terpaksa mengakhiri kunjunganmu lebih awal," ancamku.

Joshua menatapku dengan tatapan putus asa. Kedua matanya berkaca-kaca. Dan akhirnya ia bergerak mundur, menjauhiku.

"Jadi dia putriku, kan?" suaranya parau.

Aku menggigit bibir, lalu mengangguk perlahan.

Dan lelaki itu meremas surai rambutnya yang kini diwarna coklat kemerahan. Terhuyung, ia menjatuhkan pantatnya di sofa. Satu-satunya sofa yang ada di ruangan itu.

"Bahkan jika kau mengetahui kenyataan ini, keadaan tetap tidak akan berubah. Kita sudah berpisah, kau meninggalkanku. Jadi dia putriku, hanya putriku seorang." Suaraku sudah lebih tenang. Kuhapus air mataku dengan jemari.

"Aku akan bertanggung jawab." Joshua kembali membuka suara.

"Tak ada yang perlu dipertanggung jawabkan. Sudah terlalu terlambat untuk melakukannya," sanggahku.

"Aku benar-benar tak tahu jika kau hamil, Hana." Lelaki itu mendesis.

"Lalu apa ada bedanya jika kau tahu lebih awal tentang kehamilanku?" Aku kembali bertanya sebal.

"Tentu saja. Aku akan segera kembali ke sini dan menemuimu."

"Lalu?"

"Menikahimu."

Aku tersenyum sinis.
"Jadi kau kembali padaku karena aku mengandung anakmu? Bukan karena kau mencintaiku?"

"Aku mencintaimu."

"Bohong!" Suaraku kembali meninggi. "Jika kau mencintaiku, maka kau takkan melepaskan diriku lalu memilih untuk pergi. Kenyataannya kau lebih memilih untuk menuruti kemauan orang tuamu dan pergi, meninggalkan diriku!"

"Aku tak punya pilihan! Waktu itu ibuku sakit! Ia memintaku fokus mengurus bisnis di luar negeri. Ada banyak masalah di sana. Dan aku harus menurutinya!" Joshua berteriak kalut.

"Demi Tuhan aku tak berniat meninggalkanmu, Hana. Tapi waktu itu tak ada pilihan yang lebih tepat selain harus meninggalkanmu." Air matanya menitik.

Tenggorokanku kering. Dan air mataku kembali berjatuhan.

"Tapi jika saja aku tahu kau hamil, lain lagi ceritanya ..."

"Cukup." Aku meratap.
"Jangan membahasnya lagi, Josh. Kenyataannya di antara kita sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi. Kita sudah putus, kau meninggalkanku, dan aku merelakanmu," lanjutku.

Joshua menggeleng lirih, lalu kembali mengusap mukanya hingga wajahnya terlihat makin lelah.

"Kita jalani saja hidup kita seperti sediakala. Turuti kemauan ibumu, dan kembalilah ke Kanada, teruskan bisnis ayahmu di sana. Dan aku akan tetap di sini, hidup bahagia dengan putriku. Dan mari tidak saling berhubungan lagi."

"Apa kau berniat meniadakan keberadaanku? Apa kau tak berniat memperkenalkanku pada putrimu bahwa aku ayahnya? Ayah kandungnya?" Joshua protes.

"Tidak," jawabku cepat. "Akan lebih bagus lagi kalau ia tak tahu bahwa kau ayahnya."

"Hana ...?"

"Pergilah, Josh."

Joshua bangkit.
"Aku tidak akan pergi. Aku kemari untuk bertanggung jawab. Aku akan menghentikanmu dalam Reality Show ini. Dan akan kubantu dirimu menyelesaikan semua kontrak ataupun denda, atau ... apapun itu. Dan setelah itu aku akan menikahimu."

"Aku tidak akan menikah denganmu!" teriakku.

"Lalu apa kau akan menikah dengan lelaki itu? Sean?"

Aku tak menjawab.

"Aku takkan merelakanmu, Hana."

"Josh...?"

"Jika kau tak bersedia menikah denganku, maka biarkan aku mendapatkan hak asuh atas anakku."

Aku melotot. "Jangan coba-coba melakukannya!" jeritku.

"Aku serius," balasnya.

"Jauhi.putriku."

"Dia juga putriku."

Tatapan kami kembali beradu.

Dan lelaki itu beranjak. "Lain kali kita akan bicara lagi." Ia meninggalkan ruangan, meninggalkan diriku.

Sepeninggal dirinya, aku limbung.
Mau tak mau luka itu kembali terbuka.
Mengingatkanku akan setiap kenangan bersama Joshua yang telah berusaha kukubur, namun sekarang seolah peristiwa itu kembali terpampang dengan jelas di hadapanku.

Betapa dulu aku begitu bahagia ketika berkenalan dan  berpacaran dengannya, pemuda kaya raya berdarah asia, putra konglomerat yang punya kerajaan bisnis di Asia dan Amerika.

Betapa dulu aku begitu terharu dan merasa seperti Cinderella di dunia nyata. Membayangkan betapa indahnya kelak ketika aku menikah dengan pemuda itu. Dan betapa diriku akan menjadi wanita paling berbahagia jika bersanding dengannya.

Namun semuanya berantakan ketika ternyata orang tua Joshua tidak menyetujui hubungan kami. Menganggap bahwa gadis miskin sepertiku tidak layak menjadi bagian dari keluarga mereka.

Dan aku hancur ketika akhirnya Joshua lebih memilih untuk mengikuti permintaan orang tuanya.

Mengakhiri hubungan kami, lalu pergi ke Kanada, meninggalkanku.

"Hana." Kai melangkah memasuki ruangan.
Melihatku terduduk lemas di lantai, segera ia menghampiriku, menggamit pundakku, dan membantuku untuk duduk di sofa.

Pemuda itu duduk di sampingku lalu meremas tanganku dengan lembut, mencoba untuk menenangkanku.

"Kau dengar semua pembicaraan kami?" tanyaku. Dan ia mengangguk pelan.

Air mataku berderaian tanpa mampu kubendung.

Kai beringsut dan memeluk pundakku.
"Tenangkan dirimu terlebih dahulu. Nanti baru kita pikirkan langkah selanjutnya, oke?" Ia berbisik lembut.

Aku hanya mengangguk lirih, lalu terisak lagi.

***

Imbas dari video perkelahian yang viral itu, aku memang mendapatkan popularitas yang luar biasa.

Tapi aku tak mengira bahwa popularitas yang kudapat harus kubayar dengan hal sebesar ini.
Privasi.

Semakin aku dikenal publik, mereka semakin penasaran dengan sosok diriku yang sebenarnya. Mereka jadi ingin tahu semua hal tentang diriku, tentang karir modelku sebelumnya, tentang kehidupan pribadiku, tentang putriku, bahkan tentang spekulasi siapa ayah dari putriku.

Wartawan mulai sering datang secara sembunyi-sembunyi ke rumah kontrakanku demi untuk mendapatkan foto putriku.

Dan semakin mereka mengutak-atik tentang putriku, yang kurasakan adalah kemarahan yang mendarah daging.

Putriku adalah milikku, dan aku tak ingin segala hal tentang dirinya menjadi konsumsi publik.

Terlebih ketika Joshua kembali dan berniat mengambilnya dariku.

Tidak. Bukan seperti ini yang kuharapkan. Ini di luar rencana.

"Bagaimana keadaan Lena?" tanyaku ketika sore itu aku berkesempatan menelpon Lizzy.

Terdengar perempuan itu mendesah.
"Begitulah," jawabnya lirih.

"Apa masih banyak wartawan di depan rumah?" tanyaku.

"Banyak. Mereka datang silih berganti. Bahkan ada yang sembunyi-sembunyi. Sekarang aku tak leluasa keluar rumah. Mereka selalu menanyakan tentang dirimu, tentang Lena. Aku bilang aku tak mengenalmu agar mereka pergi, tapi mereka tak percaya padaku," gerutunya.

"Maafkan aku, Lizzy."

"Dari mana kau tahu tentang semua ini? Bukankah kau dilarang membuka internet?"

"Kai memperbolehkanku membuka komputer di ruang kerjanya, secara sembunyi-sembunyi."

"Ah, dia baik sekali." Suara Lizzy terdengar senang.

"Maafkan aku, Lizzy, ini di luar dugaan."

"Sudahlah, Hana. Setidaknya sekarang kau terkenal. Urusan di sini biar aku yang atasi."

Aku menggigit bibir.

"Lizzy, bisakah kau membawa Lena sembunyi sementara waktu? Ke rumah teman atau saudara mungkin?"

"Kenapa? Karena wartawan-wartawan itu? Tenanglah, Lena aman. Aku janji mereka tidak akan mendapatkan info apapun atau bahkan foto dirinya."

"Bukan begitu," desisku ragu.

Aku melirik arloji di pergelangan tanganku dengan gusar.

"Lalu?"

"Joshua kembali."

"Apaa?!!" Lizzy memekik.

"Apa kau yakin? Kapan? Bagaimana bisa? Maksudku, bagaimana kau tahu?"

"Dia datang kemari," lirihku.

"Whaatt??!" Perempuan itu kembali berteriak.

"Waktuku untuk menelponmu terbatas. Nanti malam akan kuusahakan untuk pulang dan akan kuceritakan segalanya padamu, oke? Sekarang, aku akan menyudahi obrolan ini dulu. Kumohon, jangan biarkan mereka tahu tentang Yena. Please."

"Oke, serahkan saja padaku."

Dan pembicaraan kami berakhir.

Kuletakkan gagang telpon ke tempatnya, kemudian kuremas rambutku dengan putus asa.

Sekarang apa yang harus kulakukan?

Apa?!

***

"Maksudmu, malam ini juga kau ingin pulang diam-diam ke rumah, begitu?" Kai bertanya setengah berbisik.

"Jadwalku pulang baru lusa, dan aku tak bisa menunggu selama itu. Aku harus menemui Lizzy, banyak hal yang harus kubicarakan dengannya dan itu tak bisa lewat telpon. Aku hanya akan di sana beberapa menit saja, setelah itu aku akan segera kembali ke sini. Aku janji."

Kai mengusap rambutnya, tampak bingung.

"Baiklah, akan kuantarkan," jawabnya kemudian.

Aku baru saja hendak mengucap terima kasih ketika tiba-tiba pintu ruang kerja Kai terbuka.

Aku dan Kai menoleh bersamaan dan melihat Sean berdiri di ambang pintu. Sorot matanya dingin.

"Bisa saya tahu apa yang kalian lakukan di sini malam-malam begini?" Suaranya datar, terdengar tak ramah.

Aku dan Kai saling menatap. Tak menjawab.

"Pak asisten sutradara, bisa dijelaskan ada apa ini? Jujur ini terlihat tak sopan karena perempuan yang bersama anda saat ini masih berstatus sebagai salah satu calon istriku. Bagaimana jika saya keberatan?" Sean menyandarkan bahunya di kusen pintu lalu bersedekap angkuh.

Aku merasakan wajahku memanas.

"Uhm, itu ...." Kai terlihat tak mampu menjawab.

"Aku meminta padanya untuk mengantarkanku mengunjungi putriku," jawabku.

Sean mengerutkan bibirnya dan manggut-manggut.
"Dan kenapa kau ingin ke sana? Apa putrimu sakit lagi?"

"Mmm, sesuatu terjadi padanya," ucapku terbata.

"Baiklah, aku yang akan mengantarkanmu pulang," ucap Sean enteng.

Tubuhku membeku.

Memoriku bergerak cepat mengingat kembali kejadian yang kami lakukan ketika terakhir kali Sean mengantarkanku pulang.

Mengingat kembali kami bercinta di mobil, perutku terasa bergelenyar.

"Tidak," jawabku cepat.

"Kenapa tidak?" Sean menatap lurus ke mataku.

"Karena ..." aku menelan ludah.

Karena aku takut tak mampu menahan diriku jika berada di sisimu? Jeritku dalam hati.

"Baiklah. Jika kau menolak, maka kau tak kuijinkan keluar dari rumah ini. Aku yang mengantarkanmu pulang atau tidak sama sekali." Lelaki itu berbalik.

"Baiklah." Aku buru-buru meralat jawabanku.

Kai menatapku protes, tapi aku menggeleng lirih ke arahnya.
Bagaimanapun caranya, aku akan pulang hari ini, batinku.

Dan akhirnya, malam itu Sean mengantarkanku pulang.

Lagi.

***

Selama dalam perjalanan ke rumah kontrakanku, lelaki itu tak membuka suara sama sekali. Aku juga.

Lelaki itu baru membuka suara ketika kami telah sampai di kelokan pertama, sekitar 200 meter dari rumah kontrakanku.

"Firasatku mengatakan bahwa akan ada banyak wartawan di depan rumahmu. Jadi sebaiknya carilah jalan lain untuk masuk ke sana, lewat pintu belakang mungkin. Dan aku akan menunggumu di sini. Jika sampai mereka tahu kau pulang dengan diantarkan olehku, keadaan akan bertambah kacau," jelasnya.

Aku mengangguk, lalu beranjak membuka pintu.

"Lima belas menit, jangan lebih. Jika dalam waktu lima belas menit kau tak kembali, aku akan datang ke rumahmu lewat pintu depan. Dan membiarkan wartawan memotret kita berdua sekalian," peringatnya.

Aku menggigit bibir dan menatapnya.
"Oke," jawabku pendek, lalu beranjak keluar dari mobil, dan berjalan dengan langkah cepat.

Aku berjalan memutar untuk menghindari beberapa wartawan yang siap siaga di depan rumah.

***

Lizzy nyaris menjerit ketika melihatku memasuki rumah lewat jendela samping.

"Ada wartawan di depan." Aku berbisik.

Perempuan itu urung menyalakan lampu dan malah membantuku turun dari jendela.

Aku berjalan cepat menyusuri ruang tengah menuju kamar Lena. Putri cantikku itu tengah tertidur pulas. Damai sekali.

Kukecup kening, pipi, hidung dan juga dagunya berkali-kali demi untuk melepaskan rasa kangenku. Balita itu menggeliat sesaat lalu kembali tertidur pulas, merasa tak terganggu.

Dan entah kenapa air mataku nyaris tumpah.
Betapa aku merindukannya. Merindukan celotehannya, merindukan tangisnya, merindukan aroma bedak bayi dari tubuhnya.

"Jadi bagaimana ceritanya Joshua bisa kembali ke sini?" Lizzy bertanya tak sabar.

"Video," jawabku pendek. Aku bangkit, menggamit lengan Lizzy, lalu mengajaknya menjauh dari Lena. Dan aku segera menceritakan tentang kembalinya Joshua ke negara ini.

"Kau harus membawa Lena pergi dari sini, Liz. Nanti setelah urusanku di Sweet Home selesai, akan kita pikirkan langkah selanjutnya. Yang jelas aku tak mau media, atau bahkan Joshua, tahu banyak hal tentang Lena," ucapku.

Lizzy menatapku dengan tatapan protes. Dan aku buru-buru meremas tangannya.

"Kumohon, Liz. Bantu aku menjauhkan Lena dari masalah ini," pintaku.

***

Tepat lima belas menit kemudian aku kembali ke mobil Sean.

Tanpa banyak kata, ia segera menjalankan mobilnya setelah aku duduk dan memakai sabuk pengaman.

Lagi-lagi ia memilih berdiam diri selama dalam perjalanan hingga menimbulkan perasaan canggung dalam diriku.

"Beberapa hari yang lalu, ayah putriku datang berkunjung ke Sweet Home." Dan akhirnya aku yang memilih membuka suara terlebih dahulu.

"Aku tahu." Sean menjawab pendek.

Dan aku sempat kaget.

"Kau tahu?" Aku menatapnya. Lelaki itu mengangguk tanpa mengalihkan tatapannya dari jalan.

"Aku tuan rumah, dan aku tahu siapa saja yang berkunjung ke rumahku."

"Kau yang mengijinkan dia masuk untuk bertemu denganku?"

"Bukan. Pihak televisi mungkin. Aku tahu ia dan keluarganya juga punya hubungan baik dengan semua orang di negara ini."

"Jadi kau tahu siapa lelaki itu?"

Lagi-lagi Sean mengangguk.

"Keluarga Hong Joshua adalah salah satu Crazy Rich Asia yang terkenal. Perusahaanku pernah beberapa kali bekerja sama dengan mereka. Aku tak mengira bahwa putra tunggal mereka, Joshua, adalah ayah dari putrimu," ujarnya.

"Setelah ia berkunjung ke rumah dan bicara padamu, aku menemuinya," lanjutnya.

"Kau menemuinya?" Aku mendesis tak percaya.

Lelaki itu kembali mengangguk.
"Hanya ingin bicara antar lelaki. Dan dia tak keberatan bercerita bahwa ia adalah ayah putrimu. Dia bilang, terjadi sesuatu di antara kalian hingga kalian tak jadi menikah. Jangan khawatir, aku tak bertanya lebih jauh. Aku takkan menghakimi dan ikut campur urusan di antara kalian.

"Aku juga takkan menyebarkan tentang dia dan putrimu. Sekali lagi, aku tak ingin ikut campur. Lagipula dari yang kulihat, sepertinya kau tak berencana berbaikan lagi dengan lelaki itu." Ia berujar panjang lebar.

“Ia memintaku untuk melepasmu, mengirimmu pulang dari acara Sweet Home. Tapi aku menolak. Bahkan jika ia sanggup membayar denda, berapapun, aku takkan mengirimmu pulang.” Sean berujar lagi.

Aku terdiam mendengar semua penjelasan Sean. Perasaanku campur aduk. Tak menyangka Ia tahu tentang Joshua, dan juga status keluarganya.

Hening lagi.

"Sean, tentang permintaanku---"

"Sudah kubilang bahwa aku takkan memulangkanmu." Lelaki itu memotong.

Aku menelan ludah susah payah.

"Kau mengatakan bahwa jika kau meniduriku lagi, kau akan mempertimbangkan permintaanku. Apakah tawaran itu masih berlaku?"

"HANA!" Pria berteriak sembari menatapku dengan mata berkilat.

Aku melepaskan sabuk pengaman.
"Ayo kita lakukan, dan biarkan aku pulang." Tanganku bergerak, melepas kancing blouse-ku.

"HANA!" Sean kembali berteriak. Ia memukul kemudi dengan marah. Mobil sempat berjalan oleng, ia membanting stir ke kiri, rem berdecit dan kendaraan yang kami tumpangi berhenti mendadak di sisi jalan.

Kedua tanganku sempat menahan dashboard agar kepalaku tak terantuk.

"APA YANG KAU LAKUKAKAN HAH?!" Lelaki itu bergerak, meraih kerah blouseku yang kancingnya sudah terbuka dan memperlihatkan belahan dadaku dan juga sebagian bahuku.

"Apa kau begitu murahan hingga harus menawarkan tubuhmu padaku dengan keadaan menyedihkan seperti ini?!" Ia kembali menarik kerah bajuku.  Wajahnya merah padam dilanda amarah.

"Sebenarnya apa yang terjadi padamu?!!" bentaknya.

Bibirku bergetar, tak mampu bersuara.
Dan air mataku menitik satu persatu.

Melihatku menangis, Sean menyentakkan tubuhku dengan kasar lalu menyisir rambutnya dengan jemari. Ia membuang napas kesal.

Kemudian ia melepaskan sabuk pengamannya lalu kembali mencondongkan tubuhnya ke arahku. Kedua tangannya terulur, tapi kali ini untuk mengancingkan kembali bajuku.

Ia mengancingkannya satu persatu, dengan sabar.

Dan hatiku seperti terkoyak.

Mataku terpejam sesaat dan deraian air mataku makin mengalir deras.

"Aku putus asa, Sean," rintihku. "Terlalu banyak masalah di kepalaku. Aku tak bisa menyelesaikannya bersamaan." Suaraku parau.

Kali ini Sean menatapku.
"Kalau begitu berbagilah cerita denganku, biarkan aku membantumu. Biarkan aku tahu semua beban yang kau rasakan." Kedua mata itu begitu lembut.

"Aku mencintaimu, Hana. Aku mencintaimu dengan tulus. Kau sudah memenangkan hatiku sebelum acara reality show ini di mulai. Aku selalu mencari tahu tentang dirimu secara sembunyi-sembunyi. Apa yang kau suka, dan bagaimana kehidupanmu selama ini. Karena aku mencintaimu,” ucapnya.

“Aku tahu kau menyimpan luka tersendiri. Tolong beri aku kesempatan untuk membantumu menyembuhkannya."

Aku menggigit bibirku.
"Aku justru takut akan ada luka baru. Kau dan Joshua tak jauh berbeda. Strata, keluarga, semuanya. Aku lelah berurusan dengan orang kaya seperti kalian. Aku ..."

"Tapi aku mencintaimu. Dan akan selalu begitu. Keluargaku juga akan menerima dengan apa adanya dirimu. Aku akan membuatmu bahagia, aku akan memperlakukanmu dengan baik, aku ..."

"Dulu Joshua juga bilang begitu. Dia bilang dia mencintaiku, keluarganya juga akan mencintaiku, dan semuanya akan baik-baik saja. Tapi kenyataannya, dia pergi," potongku.

"Aku dan Joshua berbeda."

"Tapi kalian berpotensi meninggalkan luka yang sama." Suaraku serak.

Sean menatapku pilu. "Hana, apa kau mencintaiku?"

Aku terdiam.

"Jujurlah padaku, apa kau mencintaiku?" Pertanyaan yang sama.

Perlahan aku menggeleng, dan seketika kulihat luka di kedua mata teduh itu.
"Aku mengikuti acara ini untuk mendapatkan popularitas. Aku tak berniat untuk menjadi pemenang. Aku tak berniat untuk menjadi istrimu. Berada di sisimu ... bukan tujuanku."

Dan air mataku kembali menitik.

Kedua mata Sean berkaca-kaca. Rahangnya yang kokoh tampak kaku.
Ia beringsut, menegakkan tubuhnya di kursi kemudi, dan menatap kosong ke hadapannya.

"Keluar." Ia memerintah lirih. Suaranya nyaris tertelan di tenggorokannya.

"Keluar dari mobilku," ulangnya. Kali ini suaranya lebih dalam, seolah ada beban berat menghimpitnya.

Aku menggigit bibir, lalu bergerak membuka pintu. Sesaat setelah aku keluar, Sean menyalakan mesin mobil, lalu menjalankan kendaraan itu dengan kecepatan kencang.

Ia pergi meninggalkanku.

Sendirian, di pinggir jalan.

Aku mematung seperti orang tolol.
Terisak dan menggigil kedinginan.

Sean, aku tak berniat berada di sisimu.

Tapi aku mencintaimu ...

***

Aku tak ingat berapa lama aku berdiri mematung di pinggir jalan seperti orang linglung. Sampai akhirnya sebuah SUV hitam berhenti tak jauh dariku, dan pemuda itu keluar dari sana.

"Hana!" Ia berteriak dan berlari menghampiriku.

"Sean kembali ke rumah sendirian, jadi kupikir---"

Aku tak bisa menangkap keseluruhan kalimat yang meluncur dari mulutnya. Karena selanjutnya bahuku terguncang, dan tangisku meledak.

"Kai..." panggilku.

Dan isak tangisku kutumpahkan di pelukannya.

***

to be continued

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 292K 49
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
907K 51.7K 38
"Karena hati tidak akan pernah lupa" Warning 21+ Highest rank #3 in Romance (29 dec'18-2 Jan'19), #1 in chicklit (6&13 May'19), #1 in novel (14 May'1...
651K 36.5K 66
[Completed] Start: 27/11/2020 End: 17/04/2022 [Rewrite] Start: 6/1/2023 Complete: 26/11/2023 (16 Part Telah dihapus) [21+] [Chicklit / Romance / Frie...
11.8K 1.6K 19
Ini adalah cerita kilas balik, tentang kisah cinta Dewa dan Indah sebelum maut memisahkan mereka dan membuat Indah hilang kewarasan. [Prequel dari "S...