Komet 101

By saturnisa

632K 60.2K 81.9K

Teman Kos - Kos-mate - Komet. [SUDAH DITERBITKAN, TERSEDIA DI TOKO BUKU] Info terkait terbit dan lain-lain a... More

Komet - Intro
The Atmojo's
Boncengan Motor Satrio
Acid & Dica pt.1
Acid & Dica pt.2
Origami Biru pt.1
Origami Biru pt.2
Bagas Arrizqi Gunawan - Just a Friend to You? pt.1
Bagas Arrizqi Gunawan - Just A Friend to You? pt.2
Pensi SMA Galang pt.1
Pensi SMA Galang pt.2
Naufal Akbar
Double N
Fariz, The Prince Charming
Fariz, The Prince Charming pt.2
Jafar & Perempuan pt.1
Janji Jime pt.1
Janji Jime pt.2
Kampung Halaman Awang pt.1
Kampung Halaman Awang pt.2
Davi dan Bulan April
Davi dan Bulan April pt.2
Dzaky, "I love your mess"
Ucup & Double N
Hanif dan Maaf
Ponyo as Partner
The Atmodjo's - Pembuka dan Penutup
PENGUMUMAN PRE ORDER KOMET 101

Jafar & Perempuan pt.2

13.4K 1.9K 4K
By saturnisa

Sore di selasar masjid kampus adalah waktu dan tempat favorit Jafar. Biasanya perkuliahannya sudah selesai sebelum jam lima sore, jadi dia punya waktu cukup senggang untuk duduk di selasar masjid setelah salat ashar, jika sedang tidak ada kegiatan LDK.

Sudah hampir pukul lima sore saat Jafar duduk di lantai selasar yang dingin, angin mengoyak bagian depan rambutnya. Jafar masih tertunduk membuka chat-chat yang masuk ke whatsappnya saat matanya menangkap kibasan rok panjang yang melintas di depannya.

Jafar mengangkat wajahnya dan mendapati sosok yang ia kenal baru saja melewatinya. Adelia. Mengenakan rok panjang, dengan langkah terburu-buru menuju deretan rak sepatu. Jafar mengulum senyum, pasti Adelia pura-pura tidak melihatnya yang duduk di sisi selasar.

Senyum Jafar mulai terkembang melihat Adelia kebingungan di depan rak sepatu, mencari-cari tempat ia menaruh sepatunya. Perempuan itu masih belum berubah.

"Mungkin kamu lupa naronya bukan di rak." Adelia nyaris jantungan begitu suara ramah itu terdengar dari belakang.

Arrrrgggh gue pikir dia gak bakal nyadar gue lewat. Ia menggerutu dalam hati, sebelum dengan enggan campur malu menoleh menatap Jafar yang berdiri dengan tali ranselnya tercangklong sebelah ke bahunya. Tuh kan, kenapa sih mesti senyum??? Gak usah senyum baik kayak gitu. Nanti gue susah lupaaa!!!!

"Terus di mana? Kayaknya gak mungkin gue taro genteng deh." Adelia mencoba menguasai diri dan memasang tampang cuek.

Senyuman di wajah Jafar masih belum hilang ketika dia menunjuk ke arah sepatu-sepatu yang berjajar di bawah tangga sebelum batas suci, "Mungkin di situ."

Adelia menepuk dahinya dan bergumam tidak jelas yang kedengarannya seperti 'Kenapa gue bego banget sih.'

Tanpa menunggu Jafar bicara lagi Adel melesat dan meraih sepatunya, meski sekali lagi ia kesulitan karena yang ia temukan hanya sepatu sebelah kanannya.

'Pake acara jadi Cinderella segala lagi gue.' Umpatnya seraya celingukan mencari pasangan sepatunya.

Ketika ia menemukan sepatunya tertumpuk di bawah wedges, Adelia langsung duduk di ujung tangga dan mengenakan sepatunya dengan tergesa-gesa, berencana langsung kabur. Tapi lagi-lagi Jafar tidak melepasnya begitu saja.

Jafar tahu-tahu sudah duduk di ujung tangga yang lain, sama-sama mengikat tali sepatunya. Angin sore kembali meniup bagian depan rambut mereka selagi mereka tertunduk mengikat tali sepatu.

Dalam hati Adelia tidak henti-hentinya menyesal kenapa tadi ia tidak langsung pulang ke kos begitu perkuliahan selesai. Dia sudah tahu pasti bahwa kemungkinan ia akan bertemu Jafar di masjid kampus sangat besar tapi dia tetap membiarkan langkah kakinya ke sini, dikomando sesuatu yang tidak ingin Adelia beri nama. Sesuatu yang menurut teman-temannya adalah perasaan suka, yang membuat matanya selalu mencari Jafar meski setelah itu ia langsung mengalihkan perhatian ke arah lain.

Tepat ketika Adelia selesai mengikat tali sepatunya, Adelia melihat sepasang sepatu yang lain tidak jauh di depan ujung sepatunya, sepatu keds berwarna hitam yang simpul talinya rapi.

"Mau pulang ke kosan?" Tanya suara pemilik sepatu itu, tanpa perlu mendongak, Adelia tahu ada senyum di wajah orang yang berdiri di depannya.

"Iya." Jawabnya gugup.

"Bareng aja, saya juga mau pulang. Jalan kaki kan?"

Adelia memejamkan matanya, mencoba menenangkan gemuruh dalam dirinya yang sudah ribut sedari melihat Jafar duduk di selasar.

"Tumben lo gak bawa motor?" Tanyanya ketika sudah bangkit berdiri, lagi-lagi mencoba santai meski isi hatinya tidak.

"Kadang emang gak bawa, gak apa-apa, jalan sore. Sehat."

Stop senyum bisa gak sih. Adelia misuh tak bersuara.

Mereka berdua berjalan bersisian dalam jarak tidak terlalu dekat menyusuri jalan meninggalkan pelataran masjid kampus. Sementara langit sore sudah semakin menggelap. Jafar sengaja berjalan di sisi kiri Adelia, di sisi jalan.

"Makaroninya kemarin enak. Makasih ya." Jafar berkata sambil memandang lurus ke depan.

"Hahaha, iya sama-sama." Adelia tertawa garing. "Dimakannya barengan kan?"

"Barengan kok. Semua pada suka. Kalo kamu mau jual kayaknya mereka minat beli, apalagi Rama."

Adelia tidak menjawab, berpura-pura lebih tertarik melihat lembaran daun di dahan pohon yang mereka lewati. Diam-diam ia melirik ke kanan dan kiri, berharap tidak ada yang mengenal mereka yang melihat mereka pulang bersama seperti ini. Ya sih gak ngapa-ngapain tapi orang di sebelah gue ini Ketua LDK lho??? Jafar Alfakhry!! Seberapa sering sih dia jalan berdua sama perempuan?

"Ngomong-ngomong, kamu tau di sekitar daerah kosan ada yang jual es tebu gak ya?"

Ha? Adelia meyakinkan dirinya bahwa ia tidak salah dengar.

"Es... tebu?"

"Iya, es tebu." Lagi-lagi Adelia merasa bisa melihat Jafar tersenyum meski ia berusaha keras tidak menoleh menatap lelaki itu. Jalanan beraspal seakan bisa merefleksikan senyuman Jafar.

"Lo suka es tebu?" Adelia tidak mampu menyingkirkan bayangan ia dan Jafar minum es tebu berdua, duduk di kursi plastik, sore itu. Sore yang melelahkan namun melegakan. Apakah sore itu juga menghuni salah satu ruang pikiran Jafar seperti pikirannya sendiri?

"Ya... lagi pengen minum es tebu."

Adelia berdeham salah tingkah, "Kayaknya ada yang jual di deretan warung sop iga sama warung pecel ayam itu, sebelah tukang kebab."

"Oh.. jalan raya deket kosan? Yang waktu itu kita pertama kali ketemu."

Adelia mengernyit. Ya udah gak usah diungkit, gue malu.

"Iya."

"Hm ok deh nanti malem coba saya cari sekalian beli makan." Jafar terdiam sejenak, ia melirik Adelia yang masih berjalan sambil menunduk seolah sedang mencari koin.

"Tapi gak tau juga deh masih jualan apa nggak, gue juga lupa-lupa inget. Terus udah lama gak makan di daerah sana."

"Lho kenapa? Itu bukannya daerah favorit anak kosan sekitar sini kalo makan? Temen-temen kosan saya kayaknya tiap malem ke sana."

"Justru itu."

"Justru itu?"

Adelia menghela napas, "Justru karena gue gak ngehindar dari lo sama temen-temen lo, makanya gue beli makan di tempat lain."

Jafar mengerutkan kening, untuk pertama kalinya ia menoleh pada Adelia sementara langkah mereka semakin dekat menuju kos-kosan. "Kenapa?"

Tangan Adelia mencengkram tali selempang tasnya, ia memejamkan mata selama beberapa detik sebelum akhirnya berhenti dan berani menatap Jafar.

"Gue yakin lo juga udah ngerasa, gue tuh suka sama lo."

Langkah Jafar sepenuhnya terhenti sekarang. Ia terpaku dan mengerjap-ngerjap.

"Pasti ini pertama kalinya ada cewek yang segini blak-blakannya bilang langsung sama lo." Adelia mengatur napasnya supaya tidak berkata terlalu cepat, karena Jafar terlihat sedang meyakinkan dirinya sendiri kalau ia menangkap ucapan Adelia dengan jelas. "Wajar banget lo kaget, tapi pasti sebenernya jauh di dalem hati lo sebenernya lo udah tau. Gue cuma memperjelas aja."

"Gue udah lama merhatiin lo, kagum sama lo. Selama ini gue percaya kalo gue tuh cuma kagum sama lo, gak lebih. Tapi pas kita jualan bareng itu, pas sore-sore kita minum es tebu itu, gue tau ini gak cuma kagum. Makanya sebelum semakin kepalang, gue ngejauh dari lo."

"Kenapa harus ngejauh?" Jafar masih belum paham.

"Ya karena gue tau gue gak pantes, Jafar." Adelia menggigit bibir, berharap volume suaranya masih dalam batas wajar. "Gue tau banget lelaki-lelaki kayak lo itu pada akhirnya bakal sama perempuan yang kayak gimana, yang jelas bukan perempuan yang kayak gue. Lo tuh terlalu sempurna."

Adelia langsung memotong ketika melihat Jafar membuka mulut hendak menyangkal.

"Nggak, plis, gak usah ngerendah. Lo itu laki-laki baik, sementara gue jauh dari baik. Lo liat gue berubah selama ini, jadi sering pake rok, jadi lebih jaga suara, gak teriak-teriak, jadi sering solat di kampus? Itu emang karena gue tanpa sadar pengen berubah. Tapi yang salah adalah gue pengen berubah karena lo. Bukan karena Tuhan. Salah banget kan? Jadi tolong, tolong bantuin gue sebelum perasaan ini makin gak sehat lagi. Jangan kasih gue harapan."

Adelia memalingkan wajah lalu melanjutkan langkah lebih cepat menuju pagar kosannya yang sudah di depan mata. Ia yakin setelah ini mungkin ia dan Jafar tidak akan bisa bertemu selayaknya teman biasa lagi. Semuanya berubah dalam kurun waktu beberapa menit dan Adelia mulai sedikit menyesal telah jujur.

Akhirnya. Akhirnya ia mengatakannya juga.

Dan akhirnya ia tahu, setelah ini ia benar-benar harus langsung mematikan semua harapannya.

Dengan tangan sedikit bergetar, ia berusaha membuka gembok pagar, dan saat itu langkah Jafar mendekat. Jafar berdiri canggung di muka pagar, menatap punggung Adelia.

"Mungkin di mata kamu dan di mata banyak orang saya keliatan baik dan sempurna," ucap Jafar pelan, otomatis membuat punggung Adelia menegak, meski ia tidak mampu menoleh untuk tahu bagaimana ekspresi Jafar sekarang.

"Tapi sebenarnya Tuhan sedang menutupi semua kesalahan dan kekurangan saya."

Adelia merasakan matanya memanas. Kenapa Jafar mengatakannya dengan sangat meneduhkan? Kenapa Jafar membuat ini semua jadi semakin sulit? Bagaimana ia bisa melupakan laki-laki baik ini?

Tepat begitu gembok pagar kosan Adelia terbuka, Adelia mendengar Jafar menggumam "Assalamualaikum." sebelum berlalu menuju Komet yang berjarak tidak jauh dari situ. Adelia menahan diri untuk menatap Jafar meski hanya punggungnya saja. Karena Adelia tahu, bahkan hanya dengan menatap punggung Jafar, akan sia-sialah semua usahanya untuk tidak menyukai Jafar lagi.

Malamnya, saat Adelia sedang melamun di depan buku yang tidak ia baca, hpnya bergetar. Matanya membelalak menatap nama yang tertera di notifikasi.

Jafar A.

Terima kasih udah jujur.

Jangan nyalahin diri sendiri.

Perasaan yang kamu punya juga kan bagian dari kehendak Tuhan :)

Adelia menutup wajahnya dengan kedua tangan hanya sedetik setelah membaca pesan itu. Dia bukan orang yang mudah menangis, tapi pesan itu, kalimat Jafar, membuat airmatanya perlahan mengalir.

Untuk pertama kalinya dia merasa bahwa ia tidak salah menyukai seseorang yang tidak seharusnya ia sukai, untuk pertama kalinya ia merasa tidak apa-apa mempertahankan sepetak perasaan di dalam hatinya untuk Jafar.

Meski tetap tertanam di dalam pikirannya bahwa ia dan Jafar tetaplah langit dan laut, yang sekilas terlihat dekat dan tidak kentara garis batasnya, padahal sebenarnya jauh. Sangat jauh.

Dan laut beserta seluruh ombaknya pada akhirnya tidak akan pernah bisa memeluk langit seberapa keras pun ia berusaha dan bagaimanapun indahnya langit di atas sana.

*

Komet kedatangan Mala hari Jumat itu.

Rama akan mulai magang minggu depan dan sebagai orang yang sangat memperhatikan penampilan sekaligus sedikit perfeksionis, ia berusaha mempersiapkan semuanya dengan amat rinci. Termasuk berbelanja kemeja dan sepatu baru.

Mala dengan sabar menemani Rama berbelanja yang konon katanya bisa lebih lama daripada perempuan belanja. Pulangnya Rama mengajak Mala mampir ke Komet dulu sebelum mengantar Mala pulang.

"Pasti dari tadi Kak Mala ditanya-tanyain 'Ini cocok gak?' 'Kalo dasinya yang ini pantes gak?' gitu ya?" Iqbal menirukan gaya abangnya sambil menuang jus buah kemasan ke gelasnya. "Emang gitu Abang, Kak. Dia senewen kalo besok hari penting, mulai dari mix n match baju, nyemir sepatu, terus kaos kakinya juga dia pastiin gak panjang sebelah."

"Iya, aku ngerti kok. Hehe." Mala yang sedang memasak spageti dalam rangka mengisi waktu sebelum pulang, melempar senyum pada Iqbal yang berusaha menjelaskan indikasi OCD abangnya sementara abangnya sedang mandi.

"Bang Jafar mau gak?" Iqbal menawarkan jus pada Jafar yang sedari tadi duduk di salah satu kursi makan, mengaduk teh panas.

"Nggak Bal." Tolak Jafar seraya tersenyum halus lalu kembali melamun.

Sudah tiga hari berlalu sejak sore itu, sejak ia berjalan pulang bersama Adelia dan Adelia mengatakan perasaannya yang sebenarnya. Diam-diam jantung Jafar berdegup lebih cepat mengingat perkataan Adelia sore itu.

Dia benar, ini adalah pertama kalinya seseorang mengutarakan perasaannya secara gamblang tepat di depannya sehingga ia tidak bisa berhenti memikirkannya. Dia juga tidak tahu harus melakukan apa. Apa yang biasanya dilakukan laki-laki kalau ada perempuan yang mengungkapkan perasaannya? Apa sebaiknya ia bertanya salah satu dari bujangan-bujangan Komet yang dianggap ahli cewek semacam Acid atau Satrio. Atau sebaiknya ia minta pendapat teman sekamarnya sendiri, Dzaky?

Saat Jafar masih memikirkannya dilatari obrolan Iqbal dan Mala, tahu-tahu serombongan manusia perusuh Komet memasuki dapur.

"Oi Jep. Napa muka lu kayak abis ditembak." Jafar merasa jantungnya hampir menggelincir begitu mendengar pertanyaan Wawan. Padahal ia tahu Wawan hanya bercanda ngaco seperti biasa tapi sedikit kebenaran dalam pertanyaannya membuat Jafar tertegun. Meski teknisnya, Adelia tidak nembak dia. Eh, iya kan? Itu istilahnya? Nembak?

"Denger-denger ada ceweknya Rama nih. Hehe." Satrio mengambil tempat di sebelah Iqbal lalu meneguk jus dari gelas Iqbal cuek, nyengir begitu Iqbal memprotes kesal.

"Eh iya, halo semua." Mala mengalihkan perhatian dari wajan dan tersenyum pada semuanya. Dia sudah tahu pasti mereka ini Trio Bumbu Dapur yang sering diceritakan Rama.

"Hallo Nirmala, Okinya mana?" Acid mengangkat tangan gesture menyapa sambil tersenyum lebar.

"Basi lo nanyanya," Wawan menoyor Acid, " Hallo Nirmala, Paman Kikuknya mana?"

"Beda ceritaaaa, Romlaaaah."

"Lah kan dari majalah yang sama? Masa gak pernah kenalan."

"Bodo amat. Susah ngomong sama yang pas kecil bacanya bukan majalah tapi bungkus gorengan.

Satrio tertawa, tangannya masih celamitan, kali ini mengambil Pringles Iqbal, Iqbal merengut, dalam hatinya berharap tangan Bang Sat tersangkut di tabung Pringles dan tidak bisa keluar.

"Kalian dari mana? Kok bisa barengan pulangnya? Langsung pada ke dapur lagi." Jafar akhirnya bicara.

"Dari masjidlah Far, Jumatan."

"Sekarang kan udah sore. Abang Jumatan di Arab? Lama amat." Sela Iqbal sebal, matanya masih mengawasi pergerakan tangan Satrio.

"Kita kan Jumatannya di Istiqlal, ya gak, Cid?"

"Yoi."

"Jauh-jauh amat."

"Sekalian jalan-jalan." Jawab Acid asal.

"Jumat depan mereka Jumatannya di Mesir." cetus Satrio.

"Iya, gue kan Fahri."

"Nikahi aku, Fahri." Wawan memegang tangan Acid jijay.

Mala diam-diam tertawa di depan wajan.

"Apa tema khutbah di Istiqlal hari ini?" Jafar mengaduk tehnya sambil memandang Acid dan Wawan bergantian, sejurus kemudian sadar ia tidak bisa mengharapkan jawaban serius.

"Gak ada khutbahnya, Jep." Jawab Wawan dengan tampang kurang meyakinkan.

"Masa iya gak ada khutbahnya?"

"Gak ada, beneran. Pas gue buka mata, udah mulai solat aja."

"Itu namanya ketiduran, Wan." Jafar menggeleng-geleng tapi tetap tertawa.

"Ramanya ke mana, Mal? Kok lo disuruh masak gini? Ya ampun jangan repot-repooot Maaal buat kita."

"Nggak disuruh kok," Mala tersenyum menjawab pertanyaan Acid, "emang tadi abis beli beberapa kebutuhan terus beli spageti jadi langsung dimasak aja. Ramanya lagi mandi dulu."

"Ooooo," Acid manggut-manggut.

"Kita kebagian juga gak spagetinya?" Tanya Satrio, kalo soal makanan emang gak tau malu.

"Kebagian koook, bikinnya banyak nih, sesuai rikues Iqbal juga pake susu." Mala dengan riang meniriskan spagetinya.

"Asiiik." Iqbal menggosok-gosok telapak tangannya tidak sabar sementara Acid mendecak.

"Jadi pengen."

"Pengen apa, Cid?"

"Pengen dimasakin maksudnya, ah cewek gue jauh sih." Acid mengerling musuhnya, "Kalo lo ngajakin si Vio ke sini, sekalian ajak masak dong. Bisa masak gak dia?"

"Hah? Skill si Pipiyot mah noob." Wawan sontak menyadari sesuatu, "Eh, Mal, lo kenal pasti ya sama Pipiyot? Kan kalian satu cerita hahahah."

"Anjir parah banget."

"Eh bener gue, dia kalo masak aer aja aernya dicicipin udah mateng apa belom."

"HAHAHHAH itu elu kali???"

"Kagaklah."

"Aku juga gak bisa masak kok sebenernya," ujar Mala sambil membawa dua piring spageti yang sudah dituang saus dan keju dan menaruhnya di meja makan. "Ini kan spageti doang gampang."

"Eh Mal, yang buat si Wawan jangan banyak-banyak, dia kalo makan ginian suka sakit perut."

"Tai."

"Makasih ya Mala, jadi gak enak saya dibikinin juga." ujar Jafar saat Mala menaruh sepiring spageti di depan Jafar.

"Iya, eh tapi masakan gue gak seenak Adelia lho ya."

Jafar kembali besyukur ia tidak sedang meneguk tehnya karena demi mendengar nama itu disebut, ia langsung tersentak.

"Eits." Celetuk Satrio. "Tengtengtengtengteng..."

"Sat, jangan bikin gue jadi Maria lagi, Sat. Gue lagi makan nih." Wawan memperingatkan dengan mulut belepotan saus spageti.

"OHOK-MAKARONI-OHOK." Acid sengaja batuk. Ye, batuk beneran aja lo repot.

"Eh? Ada apa sih? Kak Jafar jadi ada cerita sama Adelia?" Mata Mala mendadak bersinar, ia duduk di salah satu kursi di antara mereka sambil melipat tangan di atas meja, siap menyimak.

"Emang Rama gak cerita? Ah dia emang gak ngegosip sih." Acid mendecak, "Kemaren kan Jafar dianterin makaroni sama dia, yang tinggal di kosan sebelah kan tuh?"

"OH??" Mala melempar pandangan pada Jafar yang akhirnya meneguk tehnya, berusaha tenang. Dalam hati lega karena tidak ada yang tahu beberapa hari lalu ia pulang bersama Adelia.

"Emang ramalan gue tokcer nih kayaknya. Besok gue buka jasa ngeramal dah, Bal, mau abang ramal gak jodohnya siapa?" Wawan menyenggol Iqbal.

"Yuhu, Jafar siap-siap panjat pinaaang."

"Kok panjat pinang, Cid?"

"Panjatkan doa untuk meminang. Aseeeek." Acid bersiul sambil menata rambutnya sok ganteng.

"Temen aku mau langsung dipinang???" Mala nyaris memekik membuat yang lain tertawa melihat reaksinya, kecuali Jafar yang langsung kaku salah tingkah. "Serius, Kak???"

"Nggg." Jafar menggaruk kepalanya yang tak gatal ketika Mala menatapnya seperti menuntut jawaban. "Sebenernya ada yang lebih pengen saya tanyain ke kamu. Soalnya dia ngehindarin saya." ujarnya akhirnya.

Mala mengerutkan kening, "Ngehindarin kakak? Kenapa?"

"Mal," Jafar mendeham, melirik ke trio bumbu dapur dan Iqbal yang kelihatan jelas sedang nguping. "Saya boleh tanya, apa yang pernah terjadi sama Adelia? Sesuatu atau apa gitu?"

Mala tertegun.

"Tapi kalo misalnya bersifat pribadi, gak apa-apa, jangan dijawab, Mal. Saya cuma pengen tau aja apa yang bikin dia..." Jafar menelan ludah, memutuskan untuk tidak meneruskan kalimatnya.

"Ng, mungkin keluarganya kali ya, Kak."

"Keluarganya kenapa?"

"Sebenernya...." Mala menarik napas, "Adelia masih sering nyalahin dirinya sendiri sama sesuatu yang terjadi di masa lalu. Mama papanya udah cerai dari pas dia dan adiknya masih kecil, mereka tinggal sama ibu dan ayah tiri. Terus.... Ngg... adiknya, maaf, penyandang disabilitas."

Jafar mendengarkan dengan saksama, begitu juga yang lain.

"Pendengaran adiknya agak kurang. Itu mungkin ngejelasin kenapa Adelia sering ngomong kenceng-kenceng malah kesannya kayak teriak."

"Kenapa itu bikin dia ngerasa dirinya gak pantes?" Jafar bergumam, teringat kata-kata Adelia sore itu, waktu mereka pulang bersama.

"Dia bilang gitu?"

"Kira-kira gitu..."

Sinar antusias di mata Mala perlahan memudar, "Mungkin karena dia masih belum bisa maafin diri dia sendiri, Kak."

"Maafin diri sendiri?" Jafar diam-diam merasa tidak enak.

"Iya, dia kayaknya masih nganggap kepergian adiknya itu salah dia."

"Adiknya pergi ke mana?" Jafar merasakan punggungnya mendingin, rasanya ia sudah tahu dari wajah Mala meski Mala belum menjawab.

"Udah meninggal. Waktu awal-awal Adelia masuk kuliah dan ngekos. Adiknya emang sering sakit-sakitan. Walaupun Adelia gak pernah bilang, kayaknya dia nyesel dan nyalahin diri dia sendiri karena gak ada di rumah pas adiknya sakit, karena dia gak bisa terus-terusan di samping adiknya. Itu masa-masa sulit buat Adelia, dia sering cerita kalo biasanya dia masak bareng adiknya karena adiknya suka masak, paling suka makaroni panggang."

Ruang makan itu benar-benar hening, bahkan Wawan yang kalau makan biasanya menimbulkan bunyi-bunyian sendok berdenting ke piring kali itu diam.

Jafar menatap teh di dalam cangkirnya dengan berbagai pikiran melintas di kepalanya. Kalau itu alasannya, berarti Adelia telah menyimpan bagian gelap dalam hidupnya itu dengan anggapan bahwa dialah yang bertanggungjawab atas semuanya. Benar kata Mala, dia pasti belum bisa memaafkan dirinya sendiri. Bagian kelam itu menjelma jadi anggapan-anggapan dalam hatinya bahwa dirinya tidak pantas, dirinya telah terluka dan tidak ada yang bisa mengobatinya lagi. Kalau kita belum bisa menerima dan memaklumi diri kita sendiri, bagaimana kita mau menerima orang lain?

"Kak?" Mala bertanya khawatir melihat ekspresi Jafar, "Dia ngehindarin kakak terus? Kakak belom ngomong lagi sama dia?"

Jafar menggeleng, sebersit senyum terbit di wajahnya.

"Ya udah Mal, jangan ikut dipikirin. Saya tanya aja kok."

Tapi Mala masih kelihatan khawatir, "Nanti aku coba ngomong deh sama Adel."

"Eh, gak usah. Gak apa-apa."

Tepat saat itu Rama keluar dari kamar mandi dan menghampiri meja makan dengan handuk menyelubungi rambutnya yang basah, wangi sampo dan sabun mandi disinfektannya seketika menyebar.

"Lah ada kalian," Ia menatap Trio Bumbu Dapur waspada sambil mengusap kepala Iqbal sambil lalu.

"Yaela Raden, gak gue godain cewek lo Radeeeen, cuma minta spageti doang nih." Wawan menghabiskan spageti di piringnya sampai licin. "Enak Mal hehe. Ajarin dong cara bikinnya, apa cuma direbus doang? Kayak masak indomie?"

"Eh, ini punya kamu." Mala tersadar, ia mengambil piring spageti di konter yang memang disiapkan untuk Rama. "Bikinan aku enak kan?" tanya Mala pada yang lain yang langsung dibalas acungan jempol.

"Enak, ini makanan Spanyol paling enak yang pernah gue makan hmmmm deliciosoooo."

"Italiiiiiii, Yantooooo. Kok Spanyol sih." Acid menoyor Wawan.

"Ya pokoknya deliciosoooo de la fonte gelato pizza hut." Wawan mengoceh asal.

"Enak kok, Bang." Iqbal ikut berkomentar, "Iqbal mau nambah dong Kak Mala."

"Boleeeh. Nih, buat kamu dulu nih," Mala menyodorkan piring Rama.

Rama yang berdiri di dekat konter mengerjap menatap Mala, membuat Mala sempat gugup ditatap seperti itu. "Kenapa sih?"

"Kenapa pake piring yang ini?"

"Lho? Kirain pake yang mana aja? Gak boleh ya?"

"Eh iya bener, ini kan piring si Rama yang dibeli tapi gak pernah dipake. WAKAKAKA." Satrio tertawa setelah mengamati piringnya.

"Kata Rama ni piring spesial, Mal, cuma boleh dipake kalo Keluarga Keraton dateng ke Komet." Acid tergelak. "Dia takut kalo dipake, takut dipecahin si Wawan."

"Yah maaf aku gak tau."

"Gak apa-apa kok, kan dibeli juga buat dipake."

"Najis lo Ram, giliran cewek lo yang make gak apa-apa, giliran gue yang make, diawasin pake bambu runcing." Wawan bersungut-sungut.

Mala tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Terus kalo gak apa-apa, kenapa aku masih diliatin gitu? Kenapa sih?"

"Gak apa-apa. Kamu cantik." Jawab Rama yang langsung ditimpali dengan koor dari monyet-monyet.

"Cantiiiiiiiiiik. Siaaap."

"Ih Ram, lo sama Mala berdiri di situ persis pasutri baru Ram."

"Iya lho Ram, kayak abis dimasakin istri Ram. Udah lo berdiri di situ aja terus. Gue poto nih gue poto."

"TENGTENGTENGTENGTENG GAK NEEEH?" Pancing Satrio, siap-siap memberi BGM.

"Eh jangan, itu sontreknya Jafar doang. Lagu Kahitna aja Kahitna." Acid mengomando lalu mulai menciptakan musik lewat petikan jarinya. "Cantiiiik, ingin rasa hati bersisiiiik."

"BERBISIK!!!" Semua ramai-ramai menyambit Acid. Lo kira hati lo mujaer apa bersisik.

"Anak Komet seru-seru ya." Mala tertawa, tidak sadar kalau Rama mendeham dengan wajah memerah. Selalu canggung setiap kali dibahas ke arah sana.

Tahu-tahu suara seseorang menyadarkan mereka berdua, "Kak Mala... kan Iqbal mau nambah."

"EH? Oh iya, Baaal, maaf maaf."

Sementara Jafar hanya menyaksikan keributan di depannya sambil tersenyum, meski pikirannya melayang pada seseorang di kos-kosan seberang.

*

Malam itu, setelah Jafar selesai menonton video ceramah Ustad Hanan Attaki tentang jodoh, ia menutup laptopnya lalu termenung sejenak. Sudah berkali-kali ia menyimak ceramah tentang jodoh, tapi kali ini entah mengapa ia benar-benar memaknainya dengan serius. Inti dari ceramah itu adalah bagaimana pengalaman orang-orang termasuk cerita ustad sendiri mengenai pernikahan. Bagaimana Tuhan akan memudahkan jika kita berniat.

Jafar menoleh, tempat tidur Dzaky kosong dan setelah sekian lama berteman dan sekamar dengan Dzaky, Jafar sudah bisa menebak kalau teman karibnya itu sedang duduk di balkon atau teras belakang. Merokok.

Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam ketika Jafar keluar kamar dan menaiki tangga menuju balkon setelah memastikan bahwa Dzaky tidak ada di teras belakang.

Benar dugaannya, kepulan asap tipis melayang terlihat dari jendela balkon.

"Lah, Far? Ngapain lo?" Dzaky terlihat kaget melihat Jafar menghampirinya lalu duduk di sebelahnya, satu alisnya terangkat, "Lo gak bakal minta kan?" Candanya mengangkat kotak rokok yang tadinya ditaruh di sebelahnya.

"Nggaklah, mau ngobrol aja." Jafar duduk di sebelah Dzaky di lantai, menyandarkan kepalanya ke kaca jendela. "Tumben gak di bawah?"

"Nggaklah." Dzaky menjentikkan abu dari puntung rokoknya ke asbak. "Enakan di balkon, tapi gue harus nunggu krucils pada tidur dulu."

Jafar tersenyum, dia tampak tidak terganggu dengan kepulan asap rokok.

"Kenape, Far? Kepikiran cewek yang di warung sop iga itu?"

Jafar menoleh, "Siapa yang ngasih tau?"

"Menurut lo Jime bakal tahan gak cerita lebih dari 24 jam?" Dzaky tertawa singkat, "Enak ya, Far, makaroninya?"

Reaksi seperti biasa Jafar jika digodain, hanya tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Lo serius sama dia?"

"Dia bilang."

"Bilang apa?"

"Bilang kalo dia...."

"Suka sama lo?" Tebak Dzaky, dan meskipun sudah berhari-hari sejak sore bersejarah itu, Jafar masih merasakan hatinya disergap gelombang yang aneh mengingatnya. Dzaky bisa melihat itu di wajahnya dalam sekali lirik, jadi dia hanya terkekeh. "Pantes lo bingung banget Far, Far, ini pasti pertama kalinya ada yang bilang sama lo ya?"

Jafar tidak menjawab tapi Dzaky tahu ia benar.

"Gue harus gimana sebenernya? Biasanya kalo orang abis dikasih tau perasaan gitu mesti ngapain sih?"

Dzaky tertawa mendengar pertanyaan polos Jafar.

"Lo udah ngapain?"

"Bilang makasih."

"Bilang makasih?"

"Ya."

"Kenapa tuh?"

"Karena udah suka sama gue dan karena udah jujur. Perasaan jujur orang buat kita harus disyukuri."

"Udah gue duga sih lo bakal begitu. Terus?"

"Abis itu gue gak pernah ketemu dia lagi."

"Kok bisa?"

"Dia ngejauh."

"Kenapa?"

Jafar menghela napas, "Dia ngerasa dia gak pantes sama gue, terus.. ada sesuatu sama masa lalunya yang kayaknya bikin dia berpikir kayak gitu."

"Kita semua punya masa lalu, Far. Gue, elo, semuanya, dan emang masa lalu itu pasti ngebentuk kita yang sekarang secara langsung maupun gak langsung."

"Ya, gue tau. Lo juga tau gue kan, Jek?" Tangan Jafar menghalau asap rokok Dzaky yang menghalangi pandangannya. "Gue gak serta merta kayak gini, tapi orang-orang termasuk dia berpikir gue terlalu baik dan terlalu sempurna."

"Tapi gue ngerti sih," Dzaky membetulkan posisi duduknya. "pasti dia juga kemakan stereotip kalo laki-laki masjid kayak lo pasti sama perempuan yang lebih lebih alim dari dia. Gue pikir juga gitu lho, Far? Kayak yang Rama bilang kemaren, kirain lo bakal taaruf."

"Gue emang gak bakal pacaran, Jek."

"Langsung ngelamar?" Dzaky bersiul.

"Ya gimana, orangnya aja ngehindar dari gue. Padahal gue bukan Nabi, Jek, dosa gue juga banyak, dan kalo soal perempuan alim, sejak kapan harus ada standarnya? Kalo bisa sama-sama berubah jadi baik kenapa nggak?" Akhirnya Jafar menumpahkan pikiran-pikiran yang mengganggunya selama ini.

"Mungkin dia butuh waktu." Timpal Dzaky, kali ini sambil mematikan rokoknya yang sudah pendek.

"Waktu?"

"Ya.. Far, bisa aja sama kayak lo, dia butuh waktu buat... figure things out?"

"Kalo pada akhirnya sampe lama juga dia gak mau ketemu gue lagi, berarti..."

"Berarti belum jodoh?" Dzaky meneruskan kalimat Jafar, "Lo kan yang sering bilang kalo lo nyerahin sama Yang Di Atas, lo sebagai manusia cuma bisa usaha sama doa, tapi pertanyaannya, lo udah usaha belom?"

Jafar terdiam.

"Usaha apa yang udah lo lakuin? Udah coba usaha ketemu dia?"

"Dia ngehindar, Jek."

"Iya, gue tau. Nih, Far, gue kasih tau ya, Keysha tuh sering banget ngehindarin gue. Lo tau kan Key gimana dan keluarga dia gimana? She's complicated, ada beberapa saat dia gak bisa diganggu sama sekali, ngejauh dari orang-orang. Itu yang dia lakuin di sini waktu itu, di teras belakang. Lo inget kan? Dia butuh waktu. Akhirnya, kalo dia udah tenang dan udah bisa mikir jernih, dia pasti bakal ngomong lagi sama gue." Dzaky mengembuskan napas keras, matanya seperti menatap jauh ke luar sana.

"Tapi kalopun akhirnya ternyata dia gak mau ngomong lagi sama gue, ya udah gak apa-apa, itu pilihan dia, yang penting gue udah berusaha. Gue gak bakal maksa karena gue tulus sayang sama dia, dan kalo kita beneran tulus, kita gak bakal menuntut apa-apa, kita gak bakal ngerasa dia harus A, harus B, harus C. Gitu, Far. Semua orang bisa memutuskan mana yang baik dan yang buruk buat dia."

"Jadi dia gak bakal ngehindar dari gue lagi kalo emang dia udah bisa mutusin?"

"Ya, menurut gue, tapi dengan catatan lo udah berusaha, Far. Lo udah berusaha belum?"

"Gue belum tau gue harus ngapain, Jek. Takut salah langkah. Ini tuh per—"

"Iya, pertama kalinya buat lo, gue tau." Dzaky tersenyum maklum. "Sejauh ini sih itu aja saran dari gue, Far. Manusia itu rumit, selalu. Gak ada salahnya kita jadi manusia yang berusaha mengerti. Kalo pada akhirnya gak sesuai sama ekspektasi kita, ya udah, yang penting kita udah berusaha kan?"

Jafar mengedip berkali-kali, ia menatap Dzaky di sebelahnya yang memainkan korek di tangan.

"Gantian ya? Jadi gue yang nyeramahin lo. Hahaha."

"Gak apa-apa, makasih Jek. Itu ngebantu."

Dzaky baru akan membuka mulut membalas ucapan Jafar, ketika terdengar suara pintu dibuka dan langkah cepat menuju balkon.

"Iya, iya, aku keluar nih, coba masih kresek-kresek gak." Tepat ketika sosok yang melangkah itu berusaha membuka jendela, Jafar dan Dzaky kompak menyingkir. "Hallo? Hal—Lah???"

"Ngapain, Riz?" Dzaky menahan tawa melihat Fariz yang sudah berhasil membuka kaca jendela dan bersiap melewatinya untuk sampai ke balkon dengan ponsel di tangan menganga kaget.

"Kok ada Bang Jafar sama Bangjek???"

"Kamu ngapain keluar lewat jendela? Kan bisa lewat pintu." Jafar tertawa.

"Kayak Opang aja sukanya manjat lewat jendela.. Oh ya kalian kan agen ya. Paham, paham." Dzaky mengangkat tangan.

"Gak dilanjutin teleponnya, Riz?" Tanya Jafar geli melihat Fariz masih tercengang.

"Hah??? Eh, oh iya. Hallo Han? Masih kresek-kresek? Masa gue mesti naik genteng sih?"

"Oh, teleponan sama pacar." Dzaky sengaja meledek, membuat Fariz langsung panik mau menyangkal.

Belum sempat ia berkelit, Opang ikut keluar dari kamar sambil membawa-bawa sesuatu. Wajahnya datar meski bola matanya sempat melebar melihat ada Jafar dan Dzaky.

"Besok teleponannya pake ini aja, Riz." Katanya sambil menyodorkan telepon kaleng hasil prakarya (baca: keisengan) ia dan Fariz untuk saling bertelepon dari lantai atas ke ruang tengah di bawah.

"Lo pikir aja??? Emangnya tu benang telepon bisa nyampe mana? Nyampe pos satpam kompleks aja gak bakal nyampeee, Paaang." Fariz ngedumel.

"Kasih Bang Jafar aja, Pang." Dzaky menepuk bahu Opang sebelum melewatinya menuruni tangga. "Kalo ke kosan putri di seberang nyampe kan benangnya?"

Jafar langsung tergeragap mendengar ucapan Dzaky, Dzaky malah tertawa renyah lalu pergi meninggalkan mereka bertiga.

"Nih, Bang." Dengan polosnya, Opang menyerahkan telepon kaleng itu pada Jafar.

*

Sore itu, hari Sabtu. Adelia baru pulang ke rumah setelah satu bulan tidak pulang. Ia sedang berdiri melamun di depan kompor, memanaskan susu untuk eksperimem memasaknya membuat minuman yang seperti es krim tapi hangat. Setiap dia pulang ke rumah, dia memang butuh distraksi. Rumah ini penuh dengan jejak adiknya, dan ia tidak pernah bisa berhenti merasa bersalah. Karena itulah biasanya saat ia pulang ia jadi lebih sering memasak atau mencoba menu baru.

"Del," panggilan ibunya yang terdengar aneh membuat Adelia tersadar, ia menoleh.

"Itu, ada temen kamu dateng."

"Temen?" Adelia mengerutkan kening, "Siapa?"

"Gak tau, itu temen kamu, cowok."

Adelia tambah bingung, ia yakin ibunya salah. Dia tidak ingat ada temannya yang berencana datang ke rumah, apalagi laki-laki.

"Siapa sih?" Adelia meletakkan sendok pengaduk ke sisi kompor sebelum mengelap tangannya ke apron.

"Gak tau, tuh di ruang tamu sama papa. Coba kamu ke sana."

Masih dengan heran, Adelia menuju ruang tamu. Ketika ia melihat siapa yang datang, seorang laki-laki mengenakan kaus putih dan jaket krem serta celana hitam duduk bersama ayah tirinya. Kalau sel otaknya tidak memperingatkan kalau ia sedang di rumah, mungkin Adelia sudah berteriak.

Ngapain Jafar ke rumah gue?????????? Akhirnya dia puas dengan berteriak di dalam hati saja, meski itu tidak mengurangi gejala panas dinginnya akibat kedatangan Jafar yang begitu tiba-tiba.

Jafar tersenyum, memberi satu alasan lagi bagi Adelia untuk langsung menggelosor. Dalam hati Adelia bertanya-tanya apakah ini waktu yang tepat untuk pura-pura pingsan atau naik balon udara ke Tembok China.

"Kok malah bengong ada temenmu, Del?" Tanya papanya, setengah geli melihat wajah shock Adelia.

"Bikinin minum sana." Bisik mamanya.

Linglung, Adelia melangkah balik menuju dapur, dan ia masih linglung waktu membuatkan teh dalam cangkir.

Apa sih? Ngapain dia ke sini? Tau dari mana alamat gue??? Kenapa dia ganteng gitu? Siapa yang suruh????

Ketika ia kembali ke ruang tamu, langkahnya terasa seperti melayang.

Tanpa berani menatap Jafar, Adelia membungkuk untuk memindahkan cangkir teh ke atas meja, tepat di depan Jafar. Saat Jafar buka suara, ia seperti tersambar petir.

"Iya, jadi kedatangan saya ke sini, bermaksud minta izin sama orang tua Adelia untuk datang lima tahun lagi, melamar Adelia."

APA?????????? Adelia nyaris menjatuhkan baki di tangannya dan menimbulkan bunyi ribut. Apa? Apa yang baru saja ia dengar? Apa sekarang dia sedang dihipnotis?

"Kalian pacaran?" Tanya papa Adelia, menatap Jafar dan Adelia berganti-ganti, keningnya sedikit mengerut melihat Adelia melotot.

"Nggak, Pak." Jafar tersenyum sebelum melanjutkan dengan tenang, "Saya memang gak pacaran sama Adelia, tapi saya serius akan datang kalau Adelia berkenan menunggu lima tahun lagi. Lima tahun itu adalah perhitungan saya, setelah saya lulus, setelah saya InsyaAllah sudah punya cukup untuk menjadi seorang kepala keluarga."

Nada suara Jafar yang terdengar tenang namun menenangkan itu memebuat Adelia membutuhkan lebih banyak oksigen. Beberapa menit yang lalu dia masih melamun di dapurnya, memanaskan susu, sekarang tahu-tahu laki-laki yang selama ini hanya berani ia harapkan dalam pikirannya saja bilang kalau dia akan melamarnya lima tahun lagi?

"Semoga perhitungan saya gak meleset." Jafar tersenyum lagi, dan dia masih tampak tenang.

Adelia mencengkram pinggiran baki, memperhatikan Jafar dari sudut tembok ruang tamu. Kenapa dia bisa setenang itu??? Gak tau ya kalo di sini rasanya udah kayak terjun bebas dari menara tujuh belas lantai??? Parasut mana parasut??? Adelia menggigit bibir, takut kelepasan berteriak.

"Kamu yakin—Ng, siapa namanya tadi? Jafar ya?" Tanya ayah tiri Adelia yang sepertinya bingung menentukan respons yang tepat. "Kamu sudah lama memangnya kenal sama Adelia?"

Jafar menunduk sekilas sebelum menjawab, "Saya baru kenal Adelia, Pak."

"Nah, gak mau kenal lebih jauh dulu?"

"Butuh waktu seumur hidup buat benar-benar kenal seseorang, Pak. Jadi kalau memang sudah sama-sama yakin, bisa menjalani sambil saling mengenal, saling menerima ketidaksempurnaan masing-masing. Inti dari hidup kita sebenarnya kan ketidaksempurnaan, kita hanya berusaha menyempurnakan saja sambil menjalani."

Ayah Adelia tampak kagum mendengar jawaban Jafar.

"Kalau sudah yakin dan memang berniat untuk ibadah, Allah pasti akan kasih jalan, Pak. Apapun itu, baik rezeki, jodoh, semuanya. Ini usaha saya, selebihnya saya akan pasrah pada kehendak Yang Di Atas."

Saat itulah, ayah Adelia mengarahkan pandangannya pada Adelia yang masih berdiri mematung, memproses semuanya.

"Bapak menghargai maksud baik kamu, Bapak kira juga jarang-jarang ada laki-laki yang langsung datang ke rumah untuk minta izin serius kayak gini." Ayah Adelia mendeham, "Selanjutnya biar Adelia ya yang menentukan jawabannya. Bapak sih iya saja."

Untuk pertama kalinya tatapan mata Jafar dan Adelia bertemu.

*

Setelah Jafar mengobrol akrab dengan ayah Adelia, setelah tehnya habis, dan akhirnya ia pamit pulang. Adelia memberanikan diri untuk mengantarnya sampai pagar, setelah berkali-kali meyakinkan dirinya sendiri jarak dari pintu rumah sampai pagar adalah jarak aman kalau-kalau ia pingsan. Ia masih kaget, tapi dia merasa perlu bicara dengan Jafar.

"Kan waktu itu gue udah bilang supaya jangan ngasih harapan?" Tanyanya ragu, matanya menatap tanaman-tanaman yang dirawat ibunya, tidak sanggup menatap Jafar.

"Ini saya bukan ngasih harapan, saya lagi berusaha. Kan kamu denger sendiri tadi." Jawab Jafar tenang. "Nanti saya dateng lagi ke sini pas saya udah siap dan kamu udah yakin. Jadi gak ada yang ngasih atau dikasih harapan, kita berdua sama-sama punya harapan."

Mereka berdua berhenti di depan pagar, Adelia masih menunduk, menolak menatap Jafar.

"Kalau kamu masih belum yakin sama saya, gak apa-apa. Nanti coba tahajud, istikharah, terus coba buka Al Quran secara acak setelah istikharah. Kalau ayat pertama yang kamu temukan itu ayat yang baik, InsyaAllah pertanda pilihan kamu juga baik."

"Jafar, bukan itu, bukan gue yang gak yakin tapi lo."

"Saya?"

"Iya. Lo beneran yakin sama gue? Gue masih kayak gini, liat, masih ngomong 'gue-elo', terus... masih kayak gini deh pokoknya." Adelia terdengar frustrasi.

"Kalo soal itu bisa diubah, kayak yang saya bilang tadi, hidup sebenernya ketidaksempurnaan, kita berusaha. Kalau mau berubah sama-sama saya, pelan-pelan juga gak apa-apa. Saya sama tidak sempurnanya kayak kamu."

Adelia menghela napas, ia setengah terisak, "Kenapa kamu ngelakuin ini? Kenapa tiba-tiba? Bener kata bokap gue tadi, lo belom kenal gue, lo juga gak tau masa lalu gue."

"Kenapa saya melakukan ini? Kamu kan jujur bilang perasaan kamu ke saya, maka ini yang saya lakukan, saya juga jujur ke kamu dengan datang ke rumah dan izin ke orang tua kamu."

"Soal masa lalu kamu," Jafar berkata sambil mendorong pelan pintu pagar. "Adelia, siapapun punya masa gelap di hidupnya bahkan berkali-kali. Kita semua pernah. Kita pernah sembilan bulan di tempat gelap, di perut ibu kita, kita juga akan berakhir di tempat gelap, di tanah. Tanaman juga berasal dari gelap dalam tanah dulu sebelum bisa tumbuh dan bertemu sinar matahari. Percaya sama saya, gelap itu bagian dari hidup, dan bukan berarti gelap datang tanpa terang. Akan selalu ada terang, Adelia."

Adelia tidak bisa mengungkapkan sepatah katapun, mendadak lidahnya kelu, dan airmata perlahan mengalir di pipinya. Seperti airmata sore itu, di depan stand jualan mereka.

"Semoga kamu segera bisa menerima dan memaafkan diri kamu sendiri sebelum menerima saya. Akan saya tunggu."

Setelah mengatakannya Jafar tersenyum, mengucapkan salam lalu melangkah ke luar rumah Adelia.

Adelia menatap punggung laki-laki itu dengan pandangan yang terhalang lapisan bening di matanya. Ia teringat waktu itu, setelah ia menyatakan perasaannya tapi langsung meminta Jafar menjauhinya. Tapi kali ini, ia berani menatap punggung lelaki itu.

Lelaki yang semoga dikehendaki Tuhan untuk membimbingnya.

*

Groupchat Anak Komet

Jime: Colek Jafar ah @.Jafar

Jime: Faaar, jadinya Rama dulu apa lo dulu nih?

Wawan: Asik jep jawab jep

Rama: Jafar masih lima taun lagi

Jime: OOOOO jadi lo dulu Ram

Jime: Sip deh

Awang: Minggir lu semua

Awang: Gue dulu

Jime: Gue dululah wang

Jafar: Ini pd ngomongin apa sih ^^

Wawan: Pada kebelet kawin jep biasalah lagi musim kawin burung

Satrio: Wew

Wawan: Burung walet maksudnya

Fariz: Asik bang jafaar, the real gentleman seantero komet

Dzaky: riz, ntar malem telponan manjat jendela lg gak riz

Fariz: zzzzz

Opang: ya

Fariz: KOK LU YANG JAWAB @.Opang

Jafar: Itu belum melamar kok, masih izin aja

Hanif: Alhamdulillah Bang Jafaaaaar

Biru: Selamat Bang Jafar

Iqbal: Selamat bang, traktir sop iga dong

Acid: Selamat Fahri yang asli huhuhuhu

Acid: Nasiip yang mau dilamar masih di jepang

Galang: Nasiip yang mau dilamar masih di Melbourne

Biru: Nasiip yang mau dilamar masih pacar orang

Davi: Riq lo lupa apa gimana sih di grup ini ada....

Davi: *tidak mampu meneruskan*

Dzaky: :)

Galang: aduh mati.

Biru: Member JKT48 juga kan pacar orang

Galang: panik^

Wawan: Priiit, kartu kuning buat Biru

Jafar: Belum ngelamar kok cid, baru minta izin

Jafar: Yang sebentar lagi Rama sih

Wawan: Yakkk umpan dilempar kepada saudara Rama

Wawan: Sodara Rasyid silakan ke pinggir lapangan dan telen peluit

Rama: Enak ya Jafar ntar dimasakin yang enak-enak terus sama istrinya

Satrio: Sok ngalihin perhatian ni Raden

Satrio: Kemaren pdhl dimasakin spageti enak juga sama calonnya

Awang: Far, ditanya-tanya gak pas izin ke bokapnya?

Awang: Kayak...

Awang: 'Emang kamu punya apa berani ngelamar anak saya??? Hah???'

Acid: 'Saya bisa membahagiakan anak om.'

Satrio: 'Saya bisa jadi alasan anak om tersenyum.'

Wawan: 'Saya bisa ngalah kalo anak om mau kulit ayam kfc saya.'

Opang: 'Saya punya skill nahan nguap pas liat orang lain nguap.'

Jime: OK BESOK RESEPSI!

Jime: KE MANA AJA KAMU OM CARI-CARI ORANG DGN KELEBIHAN SEPERTI KAMU @.Opang

Davi: Yailah mulai sedeng nih abang2

Davi: Si opang juga

Jafar: Gak seserem itu kok ditanyanya

Galang: Eh deket dong ya Bang Jafar sama calonnya

Galang: tinggal di kosan seberang itu kan?

Satrio: Iya tuh bisa mampir naik flying fox dari balkon komet ke balkon kosan sana

Dzaky: Flying fox. Siap, Sat.

Opang: Bang jd mau pake telpon kaleng opang gak?

Fariz: Iya tuh bang, nanti Opang yang manjat

Jafar: Gak usah... hahaha

Wawan: Mantaplah selamat ya jep

Wawan: Traktiran khusus buat gue dong

Wawan: Kan sesuai ramalan gue

Jafar: Ya, nanti ya wan ^^ ke masjid dulu ya jamaah

Wawan: BENER2 CALON IMAM

Wawan: IMAMIN AKU DONG~~~~

Acid: Maaf, saya udah solat @.Wawan

Wawan: Bodo amat areng batok.

Jafar: Hahaha.

*

Continue Reading

You'll Also Like

2.2M 114K 64
โ†ณ โ [ INSANITY ] โž โ” yandere alastor x fem! reader โ”• ๐ˆ๐ง ๐ฐ๐ก๐ข๐œ๐ก, (y/n) dies and for some strange reason, reincarnates as a ...
1M 43.1K 51
Being a single dad is difficult. Being a Formula 1 driver is also tricky. Charles Leclerc is living both situations and it's hard, especially since h...
235K 5.8K 52
โŽฏโŽฏโŽฏโŽฏโŽฏโŽฏโŽฏ เชœโ€โžด ๐…๐„๐„๐‹๐’ ๐‹๐ˆ๐Š๐„ .แŸ โ› & i need you sometimes, we'll be alright. โœ IN WHICH; kate martin's crush on the basketball photographer is...
131K 4.8K 87
Ahsoka Velaryon. Unlike her brothers Jacaerys, Lucaerys, and Joffery. Ahsoka was born with stark white hair that was incredibly thick and coarse, eye...