Heartbeat⇝

By jealoucy

4.7M 92.7K 6.1K

[SUDAH TERBIT] Berbeda dari saudara kembarnya yang mendapat seluruh curahan perhatian dari keluarga, Seraphin... More

Heartbeat⇝
2ndBeats
3rdbeats
4thbeats
6thbeats
7thbeats
8thbeats
28thbeats
detak ke-31
detak ke-32
Pengumuman
Perubahan Harga PO

5thbeats

141K 7.4K 278
By jealoucy

⌣«̶··̵̭̌·̵̭̌✽̤̥̈̊ Heart✽Beat ✽̤̥̈̊·̵̭̌·̵̭̌«̶⌣

Seraphine ⇝

▔▔▔▔▔▔▔

Sesuatu menarik kakiku, mengeluarkanku dari kehangat kepompong yang menyelimutiku. Aku berusaha menendang apapun itu yang menggangguku, makhluk tersebut memang melepaskan kakiku namun hanya sejenak. Hal selanjutnya yang terjadi dia menyobek kepompongku, memamerkaku pada terangnya cahaya dunia dan makhluk itu berdiri layaknya menara didepanku.

Hal pertama yang terlintas dikepalaku saat membuaka mata adalah raksasa. Seorang raksasa datang untuk menginjakku.

"Raksasa. Jangan injak aku," gumamku setengah sadar.

Si raksasa yang anehnya berwajah mirip mama memutar bola mata. "You silly girl. Wake up." Bahkan suaranya terdengar mirip mama.

Aku memfokuskan pandanganku pada wajah raksasa itu. "Mama?" gumamku setengah lega setengah kesal.

"Bukan. Ini raksasa," kata mama kesal. "Cepat bangun! Lihat sudah jam berapa."

Aku melirik jam diatas meja belajarku, jam 07.15 pagi. "Masih pagi untuk hari minggu," gumamku kembali menutup seluruh tubuhku dengan selimut hangatku.

"Ini hari sabtu, sayang." Sedetik kemudian selimutku terbang.

"Tetep aja hari libur," gumamku dengan menengelamkan wajah ke dalam tumpukan bantal.

Aku mengangkat wajah saat mendengar sebuah barang dengan keras membentur lantai. Mama didepan lemari pakaianku dengan sebuah ransel hitam dilantai dan tanpa berhenti mulai memasukkan bajuku ke dalam sana. Seketika aku langsung bangun terduduk.

"Mama lagi ngapain?" tanyaku panik.

"Packingin baju kamu," jawabnya tanpa berhenti memasukkan barang ke dalam ransel.

"Aku bisa melihatnya. Tapi untuk apa?" Aku bangkit berdiri.

Oh God. Apa ini saatnya aku diusir dari rumah? Mengetahu ayah, dia pasti sudah memberitahu mama soal aku 'mampir' ke kantor polisi. Kesabaran mama sudah habis.

"Kita akan bermalam di rumah Eyang Ezra."

Mendengar itu aku langsung menjatuhkan diri ketempat tidur , menarik selimut dan kembali meringkuk dibawahnya. Tapi kemudian mama menarik selimutku lagi dengan paksa karna aku memeluknya dengan erat. Aku harus ingat untuk mengunci pintu sebelum tidur..

"Ayo bangun!"

"Ngga mau!" seruku sembari melilitkan selimut di badanku dengan lebih kencang. "Bertiga aja sana sama Fani. "

Kalau diusir menakutkan, bertemu Eyang Ezra lebih menkutkan. Nenek tua itu membenciku, sangat-sangat membenciku. Tidak pernah sekalipun aku dekat dengannya tanpa merasakan tongkat kayu jatinya, entah dipukul di kepala, kaki atau lengan. Terkadang kalau dia sedang sangat bad mood, dia bisa menarik rambutku sampai hampir melepaskannya dari kulit kepalaku.

"Well, ngga seperti kamu yang pemalas. Kakakmu sudah pergi rapat OSIS disekolah."

"Aku juga tadi sedang rapat, tapi mama merusaknya."

"Oh ya? Rapat dengan siapa, raja mimpi?"

Aku menggeleng. "Dengan selusin La tarte tropezienne," jawabku sambil tersenyum nikmat membayangkan creamy cake super lezat itu. "Mama, kapan kita ke St. Tropez lagi?"

"Ngga akan, dan jangan mengalihkan pembicaraan. Cepat bangun dan siap-siap."

"Ngga mau," gumamku. "Tempat tidurku melarangku pergi."

"Berhenti bersikap konyol dan sana mandi."

Sebuah handuk mendarat ke wajahku. Alih-alih bangun, aku justru menggunakan handuk itu sebagai tambahan selimut.

"Fina?" Mama mengucapkannya dengan nada mengancam.

"Fina ngga ada. Dia mati semalam ditabrak truk gandeng," gumamku dari bawah handuk.

"Hih nih anak males banget sih," ujar mama sembari menarik handukku. Kemudian mama berhenti berusaha saat mengetahui aku tidak akan melepaskan handukku. "Mama akan memberlakukan jam malam untukmu mulai sekarang."

"Jam malam?"

"Kamu harus sudah berada di rumah jam tujuh malam," jawabnya. "Mama ngga mau mendengar lagi kamu ditangkap polisi."

Aku langsung bangun. "What? Mau ngapain aku jam tujuh udah dirumah?" Aku mendengus kesal. "Dan aku bukannya ditangkap, aku hanya kebetulan berada di tempat dan waktu yang salah saja."

"Ya makanya mama harus mencegah terjadinya kamu berada di tempat dan waktu yang salah lagi." Mama merebut selimut dariku dan melipatnya dengan rapih lalu meletakkannya diujung tempat tidur. "Kamu bisa nonton tv dirumah, belajar kek. Ngga malu apa kakakmu selalu juara satu tapi kamu masuk sepuluh besarpun engga."

"Bukan salahku. Fani lahir duluan dan mengambil semua gen baik dari kalian," gerutuku menutup mata.

Aku hendak menjatuhkan kepala ke bantal lagi, tapi sebelum kepalaku menyentuh bantal yang empuk itu mama menangkapnya dan mendudukkanku kembali. Mengalungkan handuk ke leherku, dia kemudian menarik kedua tanganku sampai aku berdiri.

"Orang tua itu tidak menyukaiku," protesku.

"Eyang Ezra tidak menyukai siapapun."

"Ya, tapi dia membenciku dengan cara yang 'khusus' dan 'spesial'."

Mama menarikku keluar. Saat melewati pintu , aku bertahan disana menggunakan kakiku sebagai penahan dengan bertumpu pada bingkai pintu.

"Aku ngga usah ikut deh. Pada akhirnya mama tetap menghukumku juga," ujarku, mengeluarkan alasan apapun asal bisa jauh-jauh dari nenek tua itu.

Mama menghela nafas. "Mama kasih kamu jam 8 untuk jam malammu kalau mau ikut," ujarnya sembari berkacak pinggang.

"Jam duabelas," tawarku.

"Ngga." Mama kembali menarikku ke arah kamar mandi.

"Ah.. Mamaaa. Jam sebelas deh," aku mencoba lagi. "Aku bisa mati bosan kalau lama-lama dirumah. Rumah ini penuh dengan orang-orang membosankan."

Mama melototiku. "Setengah sembilan."

"Weh nanggung banget."

"Kita akan berangkat jam berapa?!" Ayah berteriak dari bawah. "Kalau siang nanti keburu macet!"

Aku cemberut memohon pada mama.

"Jam sepuluh," kata mama. Aku membuka mulut untuk protes, tapi mama mengangkat jarinya. "Itu atau kembali ke jam tujuh. Titik."

Dengan merengut aku masuk ke kamar mandi. "Payah," gerutuku.

Ketika waktunya aku turun dengan ransel di punggungku, mama sedang membantu Bi Inah mengemasi makanan. Ah tidak ada yang lebih membuatku bahagia selain pagi-pagi melihat meja dipenuhi makanan lezat.

"Liurmu keluar tuh." Abangku yang ke-2, Jacob a.k.a Jake, datang merangkul bahuku. Dia kuliah di Bandung dan hanya pulang sebulan sekali pas akhir pekan di awal bulan.

"Bang juki ikut?" tanyaku sambil menyambar kroket yang dipegang mama.

Yup, Jacob mungkin jadi Jake untuk orang lain, tapi buatku dia bang Juki. Awal-awalnya dia kesal setiap aku memanggilnya bang Juki, tapi karena aku tidak berhenti memanggilnya begitu pada akhirnya dia terbiasa.

Dia mencibir. "Sorry yah. Kamu menderitalah sendiri disana." Dia menjulurkan lidahnya padaku.

Huh! Dasar jahat.

Perjalanan ke rumah Eyang berjalan tanpa arti, meaning aku tidur sepanjang perjalanan. Sesampainya disana semangatku semakin terkuras. Tanaman bogenfil sedang rindang-rindangnya di halaman depan. Sebenarnya ini bukan rumah eyang, tapi rumah Bude Vivian, kakaknya mama. Rumah Eyang dijual beberapa tahun lalu.

Bude muncul dimuka pintu saat ayah memasuki halaman rumah. Dandanannya masih sama seperti terakhir aku melihatnya, ala wanita gipsy. Rambut bergelombangnya tergerai tidak rapi, sebuah ikat kepala warna-warni melingkar di kepalanya, dan rok panjangnya berkibar-kibar setiap dia berjalan.

Kendati dia lebih tua dari mama 5 tahun, dia belum menikah, maksudku dia tidak menikah. Konsep menikah bukan untukku, itu katanya.

Bude segera menghampiri begitu Ayah menghentikan mobilnya. Dia memeluk mama, menciup pipi kanan kirinya kemudian mengguncangnya. Dia punya cara yang menakutkan untuk menyapa.

"Hai Fina darling," sapanya padaku.

Aku tidak beranjak dari tempatku meringkuk. "Ola Bude," balasku menyapa seraya melambai.

Sebenarnya aku baik-baik saja didalam mobil, tetapi mama mengambil inisiatif membuka pintu dan menarikku keluar. Melihat Eyang Ezra di kursi beranda sambil memandangku tajam dari beranda sudah membuatku ingin pulang.

Jadi, misiku selama disini adalah menghindari hanya berdua saja dengan eyang, atau lebih efektifnya menghindari eyang sama sekali sampai waktunya pulang besok.

Aku berhasil melakukannya di banyak kesempatan. Makan siang dan makan malam aku selalu memilih tempat yang jauh dari eyang dan tidak bisa tanpa sengaja menatap mata penuh kebencian itu. Sewaktu santai , sementara yang lain mengobrol di beranda depan aku lebih memilih menonton film di laptop atau ngobrol dengan Vee dan Rally ,yang berakhir sengan dimarahi mama.

Jam sebelas malam semuanya sudah masuk kamar masing-masing serta lampu-lampu sudah dimatikan. Terbiasa tidur diatas tengah malam , jam sebelas mataku masih terbuka lebar. Bosan didalam kamar yang semakin lama terasa pengap, aku menyambar jaketku dan bermaksud menghirup udar segar diluar.

Tidak perlu bersusah payah untuk membuka pintu, karena pintu dirumah ini tidak pernah dikunci. Bude manganut faham Que Sera Sera. Kalau ada maling masuk, ya sudahlah.

Sesampainya di beranda aku langsung menghirup udara sejuk pegunungan yang rasanya ibarat meminung air es dipadang pasir. Melegakan. Tidak terlalu banyak bintang di langit, tapi aku masih bisa melihat beberapa.

Mungkin karena udaranya yang dingin dan suara-suara dari serangga disekitarku yang terdengar layaknya lagu pengantar tidur aku jadi terbawa suasana. Rasa kantuk sudah mulai datang menghampiriku. Aku menguap sambil menggeliatkan badan.

"Tutup mulutmu yang lebar itu!"

Aku memutar badan sembari menelpelkan tangan pada dada kiriku dimana jantungku berdetak lebih cepat dari pada waktu berada diatas motor kemaren malam.

Sebuah siluet duduk di kursi beranda. Dari suaranya saja aku sudah tahu siapa dia.

"Sejak kapan eyang disitu?" kataku setengah berseru.

Eyang tidak menjawab, dia hanya menghentakkan tongkatnya ke lantai. Setelah menatapku lama tanpa mengeluarkan suara, dia mengelihkan pandangannya ke arah kolam ikan dimana pantulan bulan terlihat sangat nyata.

Merasa canggung sekaligus takut, aku memutuskan untuk masuk saja. Tapi melihat nenek tua itu hanya mengenakan daster tidurnya aku berinisiatif mengambil selimut yang tersampir pada kursi goyangnya di ruang tamu.

"Sudah tua sadarlah sedikit kondisi badan yang sudah rapuh," candaku sembari melingkarkan selimut pada bahunya.

Aku tidak melihatnya datang. Ujung tongkat eyang mendarat dibelakang telapak tanganku dengan sangat kerasnya sampai membuat tanganku mati rasa. Aku memekik kesakitan. Sambil memegangi tanganku yang sakit, aku segera menjauhi Eyang.

"Belum puas membunuh suamiku, kau berharap aku mati juga?!" bentaknya sembari melotot padaku.

Mulutku menganga sambil menatapnya. Membunuh eyang kakung? Aku? Yang benar saja.

"Aku cuma bercanda , Eyang!" kataku kesal. Aduh, tanganku nyut-nyutan dan sakit untuk digerakan. "Kenapa sih eyang sangat tidak menyukaiku? Apa salahku pada eyang?"

"Kenapa aku harus menyukai seorang pembunuh?"

"Aku tidak membunuh eyang kakung! Beliau meninggaal karena serangan jantung!"

"Tidak! Kau yang membunuhnya! Kau juga yang membunuh Remy!"

Siapa juga Si Remy?

Nenek ini pasti sudah pikun.

Eyang kakung meninggal 4 tahun lalu karena serangan jantung sementara aku sedang tergeletak dirumah sakit karena kecelakaan ketika meluncur dengan sepatu rodaku dan menabrak mobil. Beberapa tulang rusukku patah dan kepalaku bocor serta mendapat 16 jahitan.

Apa aku harus menunjukan bekas jahitan dikepalaku yang tidak bisa menumbuhkan rambut ini sebagai bukti dan pengingat? Ah tidak! Yang ada dia akan memukul kepalaku.

Merasa percuma dan hanya akan membuatku stres kalau bertengkar dengan nenek-nenek, aku memilih masuk. Melangkah masuk rumah dengan kaki berhentak, aku kemudian langsung mengambil es batu dari dalam freezer untuk mengompres tanganku. Aku tidak akan terkejut kalau ternyata tulangku ada yang retak.

Dasar nenek-nenek si-

Okeh, sebaiknya aku tidak memakinya walau dalam hati. Bagaimanapun dia masih nenekku. Aku hanya bisa berdoa seandainya dia kena pikun, dia tidak akan menularinya padaku.

Esok paginya aku terkesiap begitu melihat tangan ku yang biru hitam seperti dipukul berkali-kali.

That's it! Sudah cukup. Aku mau pulang! Entah sama orang tuaku atau naik bus. Pokoknya aku keluar dari rumah ini dan menjauh dari nenek bar-bar ini.

'Ngga ada yang namanya keadilan dalam ke-ilegal-an, Miss Barbar." Omongan Elang terngiang ditelingaku lagi.

Well, setidaknya sekarang aku tahu darimana asal ke-barbar-anku.

Dasar DNA sialan! Kenapa aku hanya dapat yang buruknya saja sih.

Aku melirik jam dinding yang tergantung diatas pintu kamar, pukul 06.30, mama dan ayah pasti masih tidur. Aku bisa mencium aroma masakan Bude yang bikin ngiler itu. Setelah memasukkan semua barang-barang bawaanku dan memastikan tidak ada yang tertinggal, aku kemudian berganti baju tidurku dengan jeans hitam dan crop tee serta jaket merahku sebelum pergi ke dapur.

"Morning, fifin darling," sapanya Bude tanpe menoleh. Dia tersenyum lebar pada masakannya.

"Aku mau pulang," cetusku.

Bude menoleh padaku dan senyum lebarnya tidak menghilang walau setelah dia melihat penampilanku dengan ransel bergelayut di punggung.

Bude mengibaskan tangannya. "Sarapan dulu. Bude masak banyaaak tuh. Mama sama ayah juga belum bangun." Ujarnya dengan santai.

Ini bukan pertama kalinya aku menenteng ranselku dan mengatakan mau pulang selama menginap disini, jadi bude tidak menganggapku serius. Seluruh keluargaku tahu kalau aku suka makan, dan mereka hanya perlu menyajikan makanan semeja untuk membujukku agar menurut.

"Nafsu makanku hilang," ujarku. Bohong sih. Sebenarnya aku sangat lapar.

Bude melirikku dengan seringaian. "Benarkah?"

Aku mengangguk pasti. "Bilangin ke mama sama ayah aku pulang duluan," ujarku sambil berlalu keluar dapur.

"Tunggu! Fina!" seru Bude. Ketika aku tidak juga berhenti sampai keluar rumah, Bude mulai memanggil namaku dengan cemas. "Fina! Tunggu, Sayang." Bude menahan lenganku.

"Ada apa? Cerita donk sama Bude."

Aku tidak menjawab.

"Dimarahin mama?" tanya Bude lembut. Aku menggeleng. "Atau Eyang lagi?" Aku mengangguk.

"Okeh atas nama Eyang, bude minta maaf," ujarnya penuh sesal. "Bude pernah bilang bukan kalau orang tua itu semakin tua semakin mirip anak kecil?"

"Tapi kenapa tenaganya lebih mirip pegulat ,Bude?"

Bude menghela nafas. "Eyang mukul kamu lagi?" Bude segera meraih belakang kepalaku dan mengelusnya.

Aku menyingkirkan tangannya dengan pelan kemudian aku menyingsing lengan jaketku sampai siku dan menunjukan pada Bude memar hitam ditanganku.

"Oh my," guman Bude terkejut. "Bagaimana ini bisa terjadi?"

Aku kemudian menceritakan kejadian semalam. "Masa dia menuduhku membunuh Eyang kakung. Yang benar saja..." gerutuku dengan cemberut.

Suatu ekspresi melintas diwajah Bude. Tapi secepat hal itu melintas, secepat itu pula hal tersebut menghilang. Aku memandang Bude curiga saat melihatnya gugup.

"Fina? Mbak Vi? Kalian sedang apa disana?!" Mama berteriak dari ambang pintu. Keningnya berkerut saat matanya menemukan ransel dipunggungku.

"Ngga sedang apa-apa," jawab Bude.

Dia melingkarkan lengannya pada lenganku dan menarikku ke arah rumah. Tapi aku memaku kakiku di tanah, tidak mau bergerak mengikutinya. Bude melirikku.

"Ayo masuk, sayang."

Aku menggeleng. "Nggak mau," jawabku sambil melepaskan tanganku dari Bude.

Mengetahui ada yang tidak beres, mama mulai menuruni anak tangga di teras dan mendekati kami. Mama menaruh kedua tangannya di pinggang begitu sampai didepanku. Dia mengamatiku kemudian ransel dipunggungku.

"Ada apa ini?" tanyanya.

"Aku mau pulang," jawabku.

Mama memutar bola matanya. Seperti yang sudah aku bilang, ini bukan pertama kalinya aku ingin kabur dari rumah ini.

"Kita akan pulang nanti siang. Sekarang ayo masuk," kata mama sambil menarik ranselku, aku segera menariknya balik.

Aku menggeleng saat mama melototiku. "Aku akan pulang sendiri."

Mama menghembuskan nafas kesal. "Berhenti bersikap keras kepala. Mama sedang ngga mood untuk mentolerir sikapmu itu," ujar mama.

"Kalau begitu biarkan aku pulang," balasku tidak kalah kesalnya sambil menarik ranselku.

Ayah sering bilang bahwa kalau soal temperamen aku lebih cocok kembaran sama mama. Kalau mama sedang marah biasanya kemarahanku akan tersulut juga. Makanya kalau keadaan sudah memanas begini biasanya ayah akan memisahkan kami, entah mengirimku keluar main atau mengajak mama masuk kamar. Tapi sekarang Ayah masih tidur.

Mama menarik ranselku kearahnya dengan hentakkan yang cukup kuat membuatku hampir menabraknya.

"Masuk sekarang atau mama ngga ngasih kamu ijin keluar lagi begitu jam sekolah usai!"

Itu sebenarnya sudah termasuk ancaman basi. Mama berhenti mengancam untuk memotong uang jajan dan mengambil semua kartu kreditku sejak aku kelas 2 SMP. Dia tidak tahu darimana aku mendapatkan uang , yang pasti aku tidak pernah berhenti jajan dan selalu memastikan kalau mama mengetahui itu. Mama juga tidak pernah menggunakan trik tidak boleh belanja baju di butik-butik mahal seperti yang dia lakukan pada Fani karena kepedulianku soal fashion tidaklah sebesar saudariku itu. Jadi yah, hanya ancaman dilarang main diluarlah yang dilemparnya berkali-kali.

"Masa bodo'. Itu lebih baik daripada serumah lama-lama sama eyang pikun."

Mama memandangku tajam. "Jaga kata-katamu," ancamnya.

Mama membuka mulut tapi bude memilih saat itu untuk memberitahunya penyebab keinginanku untuk pulang.

Mama memutar bola matanya. "Oh demi Tuhan! Ngga perlu sampai jadi drama queen begitu. Bukan pertama kalinya eyang melakukannya, bukan hanya padamu juga. Bukan masalah besar," ujar mama.

Ouch!

Untung hatiku sudak pecah berkeping-keping sejak lama, kalau belum pasti sekaranglah waktunya.

"Ini bukan masalah besar, tentu." Aku menunjukan belakang telapak tanganku.

Mata mama terbelalak terkejut. Mulutnya terbuka dan tertutup namun tidak ada kata yang keluar seperti ikan kekurangan oksigen.

Aku menarik ranselku dan kali ini mama melepaskannya. "Lain kali kalau mama ingin menghajarku, tolong lakukan dengan tangan mama sendiri." Aku menyampirkan ranselku di punggung. "Mama tahu aku tidak akan pernah membenci mama apapun yang mama lakukan."

Aku langsung lari dari sana. Meninggalkan mama yang masih tertegun dan Bude yang panik memanggil namaku berkali kali. Aku tidak berhenti berlari sampai aku mencapai jalan besar.

Dari luar aku memang selau bersikap tegar dan tidak peduli. Tetapi didalam hati aku masihlah seorang anak perempuan yang selalu ingin merajuk dan minta perhatian serta gampang menangis. Satu tetes air mata jatuh bebarengan dengan tetsan air dari langit.

"Oh crap! Could this day get any better!?!" seruku kesal, menengadahkan wajahku ke langit. Kilatan petir menjawabku. Aku langsung menunduk dan melindungi kepalaku. "Okay! Sorry!" seruku lagi.

Jadilah aku berdiri dibawah hujan dengan hanya tudung dari jaket yang melindungi kepalaku. Well, untungnya tidak terlalu lama aku harus berada disana. Aku melihat titik hitam menembus kabut mendekatiku, sebuah pick-up hitam. Aku langsung ke tengah jalan dan menggerak-gerakkan tanganku seperti sayap. Mobil itu berhenti tidak jauh dariku. Akupun mendekatinya.

Jendela disisi pengemudi terbuka sebelum aku mengetuknya. "Ada yang bisa saya bantu?" tanya si pengemudi, seorang pria bertubuh besar dengan brewok dan kumis tebal. Suaranya menggelegar ditengah bunyi rintik hujan.

"Boleh saya menumpang?" tanyaku.

Si pengemudi menoleh kearah istrinya. Aku menengok kursi disebelahnya yang sudah diduduki dua anak kecil tertidur pulas dan seorang perempuan kecil yang sedang memangku bayi yang tengah terlelap pula. Wanita itu tersenyum padaku.

"Gimana ya Neng, sudah penuh." Dia memberiku senyum sesal.

Aku melirik pick-up yang menjulang tinggi ditutupi terpal. "Apa dibelakang ngga ada ruang pak? Saya bayar deh."

"Memang Neng mau kemana?"

"Sampai ke tempat ada bus yang bakal nganterin saya ke kota," jawabku sembari membawa ranselku keatas kepala.

"Saya juga mau ke kota," kata Pak pengemudi dengan ceria.

Dia lalu berbicara pada istrinya dengan bahasa yang tidak aku mengerti. Aku hanya berharap apapun yang mereka bicarakan cepat selesai dan nasibku ditentukan.

Kemudian tanpa bicara apapun Pak pengemudi membuka pintu dan turun dari mobil. Dia lalu menyuruhku mengikutinya berjalan ke belakang mobil , dia berjalan dengan santainya seperti hujan bukanlah hal besar dan membiarkan air membasahinya.

"Cuma bisa disini, neng."

Dia membuka terpal dan menunjukan apa yang berada dibawah lindungannya. Berkeranjang-keranjang besar buah-buahan seperti apel, stroberi, wortel dan tomat juga ada. Celah yang tersedia tidaklah terlalu luas, tapi sepertinya sih cukup untukku duduk.

"Boleh deh Pak ," jawabku ceria.

Bapak itu membuka terpalnya lebih lebar. Aku melempar ranselku lebih dulu lalu aku menyusulnya. Setelah terpal ditutup kegelapan menyelingkupiku. Setelah yakin aku tidak berada ditempat yang bocor aku menyenderkkan punggungku pada keranjang pepaya dan mengeluarkan laptopku. Dan itulah yang aku lakukan sepanjang perjalanan, fokus pada laptop dan berusaha tidak peduli dengan aroma buah-buahan disekitarku.

Ini adalah cobaan paling berat. Dikelilingi makanan segar namun hanya bisa menyentuh dan menghirup aromanya tanpa bisa memakannya.

Akhirnya saat mobil berhenti untuk mengisi bahan bakar aku berbicara pada bapak pengemudi, Pak Upik, kalau aku ingin membeli buah-buahannya. Dan sisa perjalanan sampai ke Jakarta moodku berada di level yang lebih baik. Terpalpun digulung karena hujan juga telah berhenti dan aku memasukkan laptopku untuk menikmati angin berhembus mengacak-acak rambutku sambil menyantap segala macam buah yang ada disekitarku.

Ah~ life is beautiful where you can eat.

Alih-alih pulang ke rumahku sendiri, aku justru pulang ke apartemen tante Sachi, adiknya mama. Tidak perlu menekan bel, tante memberikan kode pintunya padaku agar aku bisa datang kapanpun aku merasa sesak dirumah. Setelah menekan kombinasi kode pintu dan membukanya, aku langsung masuk dan melemparkan diri ke sofa empuk didepan tivi. Samar-samar aku mendengar suara tante Sachi yang lembut namun tegas berasal dari kamar.

Aku menjatuhkan anselku ke lantai dengan bunyi 'thud' yang cukup keras. Saat itu tante keluar kamar dengan handphone menempel ditelinga kirinya.

"Iya dia sudah sampai disini," jawab tante pada lawan bicaranya sambil memandangku.

Tebakanku dia bicara dengan salah satu orang tuaku.

"Ngga. Dia baru sampai," sambung tante lagi. Setelah beberapa saat mendengarkan , tante kemudian menyodorkan handphonenya padaku. "Ayah."

Aku menggeleng dan merebahkan diri pada sofa lalu menutup mata.

"Katanya capek, dia mau tidur." Aku mendengar tante berbicara sambil menjauh dariku.

Dari semua orang yang aku kenal, tante Sachi merupakan orang yang paling aku favoritkan. Dia dan mama hanya merupakan saudara satu ayah dan keluarga kami baru mengetahui keberadaannya sekitar 5 tahun lalu saat eyang kakung mendapat serangan jantung pertamanya.

Eyang Ezra sampai pingsang saat mengetahui siapa wanita muda nan cantik ini yang muncul didepan pintu rumahnya. Beliau sangat terkejut. Tidak menyangka suami yang begitu dicintainya ternyata punya anak dengan wanita lain. Dia bilang dia bisa lebih mentolerir kalau tante Sachi adalah selingkuhan Eyang Kakung.

Hah! Gila. Tante sachi sangat tidak nampak seperti mahasiswa yang ngejar kakek-kakek deh. Saat itu aku dipukul Om Anton karena tertawa.

Tidak semua saudara mama dan anggota keluarga yang lain menerima tante Sachi dengan tangan terbuka. Sebagian karena takut jatah warisan mereka akan berkurang karena munculnya tante Sachi. Dan mereka tidak berubah walau sudah tahu bahwa tente punya cukup harta warisan dari almarhum ibunya sendiri.

Kalau cerita bagaimana aku bisa dekat dengannya itu sebenarnya didasari jiwa tidak mau kalahku. Aku langsung menyukainya saat tahu dia suka main game dan menjadi dekat karena Tante Sachi satu-satunya orang yang bisa mengimbangi dan mengalahkanku dalam beberapa permainan. Tante Sachi juga yang mengajariku bahasa isyarat. Lalu bertambah sangat dekat setelah tante Sachi menyaksikan salah satu drama dalam keluargaku yang mengucilkanku. Dia menjadi tempat pelarianku sejak saat itu. Aku tidak peduli walau mama tidak menyukainya.

Dan tante mempunyai kemampuan luar biasa yang membuatku iri. Dia tidak pernah lupa. Sebutkan sebua tanggal dan tahun padanya dan dia akan memberitahumu bagaimana cuaca hari itu, apa yang dia makan, apa saja berita yang menjadi headline di koran-koran dan kejadian-kejadian lain yang ia saksikan atau diketahuinya pada tanggal tersebut.

Ngomong-ngomong soal kemampuan luar biasa membuat otakku memikirkan seseorang dengan sorot mata tajam dan motor besar yang membuatku merasa konyol karena tiba-tiba aku merindukan bagaimana adrenalinku yang memuncak dengan excitednya saat berada diatas motor itu.

"Sachi," aku memulai. Tante menolak dipanggil tante walau umur kami terpaut 10 tahun. Dia kemudian meletakkan semangkuk kismis dipangkuanku. Alasan lain kenapa aku sangat menyukainya, kami berdua cinta makan.

"Hm?" gumam tante sambil menyalakan tv.

"Mungkin ngga ,seseorang mempunyai kemampuan mendengar yang sangat hebat seperti kemampuan mengingat milikmu?"

"Sangat mungkin," jawab tante disertai dengan anggukan. "Kenapa?"

"Aku mengenal seseorang yang bisa mendengar detak jantungku dan dengungan nyanyianku dari dalam helm ditengah deru balapan motor."

Sachi menolehkan kepalanya dengan cepat kearahku. "Kamu ikut balapan motor?" tanyanya terkejut. "Emang vespanya Arga bisa buat balapan?" tambahnya dengan sorot mata jahil.

Aku mendorong bahunya sambil tertawa sebelum berubah serius lagi. "Tante, fokus."

"Right. Sorry." Sachi nampak berpikir. "Hm. Aku pernah baca di internet bahwa ada beberapa orang yang bahkan bisa mendengar suara listrik mengalir didalam kabel di rumahnya."

"Benarkah?" tanyaku tertarik.

Sachi mengangguk. Lalu dia menghela nafas. "Aku merasa kasihan pada orang-orang dengan kemampuan superhearing."

"Kenapa? Kan enak. Kita bisa mendengar orang membisikan rahasia-rahasia mereka dan kalau mereka macam-macam kita bisa menggunakan itu sebagai senjata," ujarku sambil menaik turunkan kedua alisku.

Sachi memutar bola matanya. "Diluar 'keuntungan' itu sebenarnya mereka cukup menderita."

"How so?" tanyaku heran. Selain sakit hati karena mendengar gunjingan orang atau hal-hal yang tidak seharus didengar, aku rasa tidak ada sesuatu yang membuat menderita seandainya aku memiliki kemampuan super hearing.

"Itu berbeda jauh dengan kemampuan mengingatku yang akan muncul jika kamu menyebutkan 'kata kunci'. Dengan kata lain aku bisa mengontrolnya."

"Sedangkan superhearing itu diibaratkan seperti memiliki sebuah jam weker didalam kepalamu yang tidak mempunyai tombol on and off. Kamu tidak bisa mengontrolnya. Suara-suara yang begitu banyaknya disekitarmu akan menyerangmu secara bersamaan sepanjang waktu. Bisa kamu bayangkan jam wekermu tidak mau berhenti dan mustahil untuk dilempar?"

Aku mengangguk. Sepenuhnya mengerti.

Ah.

Tiba-tiba aku tersadar. Sebelum kejadian 'menyiram Elang dengan air pel' itu aku memang selalu melihatnya dengan Headphone menutupi kedua telinganya. Aku mengerutkan dahi saat ingat bahwa beberapa kali berhadapan langsung dengannya setelah kejadian itu dia tidak mengenakan headphonenya.

"Kebanyakan dari mereka biasanya mengalami insomnia akut parah bahkan kerusakan gendang telinga."

Elang tidak nampak seperti orang yang kekurangan tidur. "Apa headphone membantu?"

Sachi menghendikan bahu. "Pada beberapa kasus, iya. Tapi kalau pendengarannya luar biasa tidak. Terlalu berpengaruh."

"Dia bisa mendengarku berbisik di rumah walau dia sedang di pos satpam depan komplek," cetusku sebelum aku bisa menghentikannya. Aku langsung mengatupkan mulutku, menyesal.

"Wow. Kalau sebegitu hebatnya sepertinya headphone doang ngga bisa membantu," ujarnya. Kemudian dia memberiku tatapan menilai. "Siapakah 'Dia' ini?"

"Bukan siapa-siapa," jawabku santai.

Dia melihatku tidak percaya dengan senyum di bibirnya. "Beneran?"

"Beneran." Aku menyembunyikan wajahku dari tatapan matanya dengan menundukkan kepala dan merogoh kantung dalam ranselku mencari handphone yang sejak semalam aku matikan.

Telfon apartemen berbunyi ,begitu juga dengan handphone ku begitu aku menghidupkannya. Notifikasi yang datang bertubi-tubi memberitahuku bahwa ayah mencoba menghubungiku puluhan kali namun selalu voice-mail yang menjawabnya. Aku sedang menghapus satu-persatu voicemail ayah -tanpa mendengarkannya lebih dulu- saat handphone ku menyala dan nama bang Juki muncul di layar.

Aku mengerutkan dahi. Setelah melirik tante yang sedang bicara formal di telpon, aku menekan tombol jawab.

"Pusat pelayanan gigolo-gigolo cantik dan dijamin memuaskan, ada yang bisa dibantu?" sapaku.

"Dek! Ngga bisa yah ngejawab telpon hanya dengan 'hello'?"

"Tck. Dimana keseruannya kalau begitu?" Aku bisa membayangkan dia memutar bola matanya. "Btw, wasap?"

"Tolongin gue dong," ujarnya tanpa basa-basi.

"Ngapain?" tanyaku curiga. Terakhir kali dia minta tolong padaku aku mendapati diriku berhadapan dengan 20 pria telanjang. Dan aku mengalami trauma setiap kali melihat cowok walau hanya telanjang dada.

Bang Juki tertawa. "Ngga usah ketakutan begitu. Cuma minta tolong ambilin mobil di bengkel kok."

"Kenapa ngga ambil sendiri sih? Nganggur 'kan?"

"Gue udah balik ke bandung. Gue udah bilangkan profesor yang ngurusin skripsi gue semacam hantu pain in the arse?" Aku mendengarnya menghembuskan nafas kesal.

"Tolongin dong , dek. Bengkel itu laris banget. Kalau mobil gue ngga segera diambil , mereka bakal menelantarkannya di jalan."

"Aku ngantuk dan aku lapar."

" Kamu ambilin mobil dan gue transfer 10% biaya bengkel ke rekeningmu. Gimana?"

Aku melirik tante yang sudah berganti baju rapi dan menenteng tas serta beberapa map siap untuk pergi.

"Fine. 10% yah," jawabku sambil bangkit berdiri. Kalau Jeep tuanya masuk bengkel biasanya menguras banyak biaya, jadi aku setuju.

Bang juki berseru gembira lalu memberiku alamat bengkel yang namanya Kitchen. Tante tidak bisa mengantarku karena dia sendiri sedang buru-buru sehingga terpaksa aku memanggil taksi. Setelah mandi dan ganti baju , akupun berangkat.

Tiga puluh menit kemudian aku sampai. Setelah membayar taksi aku keluar dan langsung disambut panas dan terangnya matahari. Ah sial! Aku tidak membawa topi.

Melindungi mata dari sinar matahari dengan telapak tanganku, aku menengadah membaca tanda pada papan besar diatasku. KITCHEN SETTER terbaca disana dengan letak huruf-hurufnya yang sudah mulai berantakkan.

Aku kemudian memandangi bangunan besar didepanku yang nampak usang dan lebih cocok seperti gudang tak berpenghuni seandainya saja tidak ada berbagai macam mobil dan motor yang berjajar rapi didepan bangunan itu. Akupun melangkah mendatangi bangunan itu.

Seseorang bersiul saat aku melewati sekumpulan cowok yang tengah duduk diatas truk pick-up sambil makan. Disamping truk itu beberapa motor besar terparkir disana. Sepertinya selain sebagai bengkel, tempat ini juga merupakan tempat hang-out anak-anak muda dan geng motor.

Langkahku langsung terhenti.

Aku mengedarkan pandanganku kesegala arah. Jumlah motor lebih mendominasi. Samar-samar aku mendengar deru motor yang lebih mirip auman singa marah saling bersahutan.

Tempat ini seperti markas geng motor.

Bagaimana kalau ini markasnya si Hulk?

Mataku membelalak lebar akan kemungkinan itu.

Mungkin saja ini markasnya Elang?

Aku mempertimbangkannya. Sedikit berharap kalau memang kemungkinan inilah yang terjadi.

Kemungkinan yang sangat kecil!.

Aku segera menaikkan tudung jaketku menutupi kepala dan dan segera berbalik badan, siap untuk pergi. Tidak mau mengambil resiku. Masa bodo dengan 10% yang tidak pasti itu. Aku lebih sayang nyawaku.

Sayangnya kesialan masih mengikutiku.

Ketika aku membalikkan badan aku langsung betubrukan dengan seseatu, atau lebih tepatnya seseorang. Aku memejamkan mata, menunggu geraman atau bentakan orang yang ku tabrak itu, tetapi orang ini tidak mengatakan apapun.

"Maaf. Aku tidak sengaja," gumamku sambil terus menunduk. Dia masih tidak bergerak atau mengatakan apapun selain berdiri mematung ditempatnya. Aku mengambil kesempatan itu untuk melarikan diri. "Permisi," ujarku cepat-cepat.

Aku segera berjalan menyamping, menghindarinya yang tidak juga bergerak. Kalian pasti bertanya-tanya kemana keberanianku dari malam itu? Well, keberanianku kabur lebih cepat dariku karena istingnya lebih tajam dariku. Dia sudah tahu bahwa tidak ada yang akan memihakku, jadi dia menjadiakanku pengecut dengan kabur lebih dulu.

"Lara Croft." Suara datar namun lembut yang tidak ku kenali itu menghentikan langkahku.

Sial!

Aku baru satu langkah melewatinya, apakah aku bisa lari tanpa tertangkap olehnya? Peluangku memang mungkin kecil, tapi tidak ada salahnya mencobah.

Aku baru mengangkat kaki kananku saat orang itu menarik tudung kepalaku dan menarikku. Aku memekik takut dan kaget.

Mama, maafkan aku karena tadi melawanmu, batinku sambil memejamkan mata.

↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭↭

Sorry for any typos and errors.

Selamat berpuasa bagi yang menjalankannya. Mau bilang 'semoga ngga bolong' tapi mustahilkan bagi perempuan. Menyebalkan yah? -_-

1107'14

-jealoucy

Continue Reading

You'll Also Like

3.4M 173K 27
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
461K 32.5K 9
The Rules Series One-Shot Story: Juna, Matt, Mika, Julian, Seth, & Alvaro
8.2K 945 40
SEKUEL THE DARK DESIRE : Kinara 'Ara' Hartono. 21.Agen muda Badan Intelijen Indonesia yang memiliki senyum cantik dan secerah matahari. Bertekad menj...
269K 8.4K 10
"Kita adalah kisah yang diijinkan takdir." Namanya Cherish Rivery, si Ratu Pematah Hati kaum cowok di SMA Gradixa. Dewi kecantikan yang selalu bisa m...