Reminisce 1.5

Av mymoondust_

28.5K 2.8K 224

Reminisce 1.5 bukan merupakan lanjutan tapi side story dari cerita Reminisce, karena di story ini saya menuli... Mer

Hari Pertama Sekolah
Pot Bunga
Rapat Mading
Random
Sebuah Kehangatan
Cemburu
Study Tour
Bandung (Part 1)
Bandung (Part 2)
Ini, Retta

Salam

2.3K 266 31
Av mymoondust_

Jingga's Pov

"Khusus untuk minggu ini, Salam Dudu tanggung jawabnya di kelas X ya. Gue sendiri yang akan supervise. Jadi kalian filter salam-salam yang akan dinaikin besok di mading," ucapku memberikan penjelasan.

"Siap Kak," sahut mereka dan mulai mengerjakan yang aku minta.

Aku pun melihat pekerjaan mereka satu persatu, dan ketika aku mengecek Dhea, dia sedang menulis sesuatu.

Dari: Seniormu

Untuk: Tania (Ketan) X-2

Pesan: Kamu kalau lagi malu-malu gitu lucu deh. Terus jadi Ketan Manis ya. Love

Aku membaca tulisan Dhea di secarik kertas kecil khas ala Salam Dudu.

"Dhea?" tanyaku, dia pun terlihat kaget.

"Eh Kak Jingga," jawabnya tersentak.

"Nulis apa?"

"Eh, anu ini, emmm..." dia salah tingkah.

"Untuk Tania?" tanyaku lagi.

"Hehe, Kak please jangan kasih tau siapa-siapa," jawabnya yang kini sambil berbisik.

Aku hanya mengerutkan dahi.

"Hehe gue mau ngerjain si Ketan Kak, sumpah ini gak ada maksud apa-apa tapi emang gue mau kerjain dia aja. Mau lihat muka ogeb-nya besok di kelas, hehe boleh ya Kak?"

Aku menggelengkan kepala. "Temen macam apa nih ngejailin sohibnya sendiri."

"Hehe yaa abis dia jai-able sih Kak. Pasti kocak lihat tampang bingung dan polosnya. Tapi please Kak Jingga jangan kasih tau siapa-siapa ya ini dari gue," ucapnya memohon.

"Hemm, iyaaa," sahutku dan aku pun jadi ikut penasaran pengen lihat mukanya si Ketan.

Setelah kelas X selesai mengerjakan Salam Dudu, kami rapat sebentar untuk membahas kegiatan hunting foto yang akan dilaksanakan akhir bulan nanti. Mulai dari budget, rundown acara, pemilihan tempat, transportasi, dan lainnya harus kami persiapkan dengan baik.

Rapat mading pun selesai. Semua anak mading langsung bergegas pulang. Ketika aku sedang berjalan menuju pintu kelas, Dhea memanggilku.

"Kak Jingga."

"Iya?"

"Kak, please ya yang tadi."

"Iya Dhea."

"Hehe makasih Kak, gue balik duluan ya."

"Iya."

Aku pun kembali berjalan menuju koridor yang mengarah ke ruang OSIS.

Tiba-tiba saja Retta berlari menghampiriku.

"Dee, Dee, tunggu, huh huh huh," ucapnya sambil mengatur nafas.

"Lho, kok lo masih di sini?"

"Hehe iya, gue nungguin lo."

"Bukannya lo udah ada janji ya sama sepupu lo?"

"Gak jadi, tiba-tiba dia ada kelas pengganti di kampusnya."

"Oh gitu."

"Balik bareng gue ya," ucapnya lagi.

"Baru aja gue mau pesen ojek online."

"Gak usah, sama gue aja."

"Bukannya lo cuma bawa satu helm ya tadi pagi?"

"Gue tadi minta gojekin helm sama mama, barusan gue taro di motor terus gue samperin lo ke lab kimia tapi udah gak ada."

"Ya ampun, lo sampe gojekin helm buat gue?"

"Haha iya lah, safety first."

Aku tersenyum, Retta memang sahabat yang paling pengertian dari dulu.

"Udah gak ada urusan lagi kan di sekolah? Yuk, balik," ajaknya dan kami pulang bersama.

Selama di perjalanan pulang, Retta banyak cerita tentang junior-juniornya di basket. Gak cuma itu, dia juga bercerita kalau Adrian suka deketin Tania pas mereka lagi latihan. Aku jadi semakin sadar kenapa Retta sebegitu protektifnya terhadap aku kalau lagi berdua sama Adrian. Ya, Adrian memang playboy. Bodohnya aku sempat termakan sama kata-katanya yang manis itu.

Sesampainya di depan rumahku, Retta langsung memarkirkan motornya.

"Gak ditaro di rumah lo aja Ta?" tanyaku.

"Yailah Dee, rumah gue cuma 10 langkah dari rumah lo. Sans aja lah, lagian juga kan gue mau main hehe," jawabnya cengengesan sambil berjalan mendahuluiku masuk ke rumah.

Ck, rumah siapa, yang masuk duluan siapa.

"Asssalamu'alaikum, Retta dan Jingga pulaaaang," salamnya membuat seisi rumahku pasti langsung mendengarnya.

"Walaikumsalam. Eh anak Mama dua-duanya udah pulang," sahut Mama ku langsung disambut cium tangan oleh Retta.

Mama memang sudah menganggap Retta seperti anaknya sendiri, sama kayak Tante Vera yang juga menganggapku anak.

"Hehe iya Ibunda," ucap Retta dan aku menghampiri Mama dan mencium tangannya. Oh ya, cuma Retta yang panggil Mamaku dengan sebutan Ibunda dari kecil.

"Adek-adek pada ke mana Ma?"

"Oh tadi dijemput sama Bang Leo mau diajakin main Timezone katanya," jawab Mama.

"Yah tau gitu tadi aku cepet-cepet pulangnya Bun biar diajakin main juga sama si Abang. Ini sih Jingga ngajakin mampir makan bakso dulu," gerutu si Retta.

"Apaan? Lo ya yang tadi tiba-tiba berhenti di bakso Bang Juned, enak aja gue yang ngajakin. Ngarang nih Ma si Retta."

"Haha sudah-sudah, kalian berdua ini dari kecil hobinya beranteeeem terus. Udah sana gih ke kamar Jingga, nanti Mama minta si Bibi bikinin minum ya. Retta mau susu cokelat kayak biasa?" 

"Iyaaa, mau Ibundaaaa," sahut Retta dengan cengirannya.

"Siap sayaaaaang, udah sana gih ke atas."

Kami pun berjalan ke kamarku yang ada terletak di lantai 2. Baru saja aku membuka pintu, Retta langsung merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurku.

"Ih Retta cuci kaki tangan dulu, kebiasaan!"

"Ah mager, udah sini tiduran di samping gue. Anggep aja kamar sendiri."

"Yeee emang ini kamar gue."

"Hehehe."

"Gue mau ganti baju dulu sekalian cuci kaki, pokoknya pas gue selesei lo harus cuci kaki juga."

"Iya baweeeel," gumamnya.

Ketika aku masuk ke dalam kamar mandi yang memang letaknya ada di dalam kamar tidurku, tiba-tiba terdengar suara musik keras. Ini pasti kelakuannya si Retta deh ah.

"Bisa gak sih volume-nya kecil aja?" teriakku dari dalam.

"Gak kedengeraaan," sahutnya.

Apanya gak kedengeran sih, dia aja bisa nyautin gue.

Aku buru-buru bersih-bersih dan mengganti pakaianku, lalu langsung menghampirinya.

"Retta ih, kenceng banget tau gak," gerutuku.

"Engga ah, biasa aja. Lagian juga kan gak bakal kedengeran ke luar, kan kamar lo kedap suara," sahutnya santai.

"Ya tetep aja telinga gue pengeng dengernya. Kecilin gak."

"Gak."

"Yaudah gue matiin nih ya speaker bluetooth-nya."

"Hehe iya iyaaa, nih gue kecilin."

"Yaudah, terus cuci kaki gih sana."

"Males ah," ucapnya masih sambil tidur-tiduran.

Aku menarik lengannya. "Retta ih, banguuuun."

Retta menahan tubuhnya. "Males Adeevaaaaa."

Aku kembali menarik lengannya. "Buruan gak bangun."

Retta masih bergumam dan lalu dia balik menarik tanganku sampai aku kehilangan keseimbangan dan terjatuh di atas tubuhnya. Ah, udah kayak ftv aja, sebel.

"Tuh kan ih," aku menghujani tubuhnya dengan pukulan.

"Hahaa, aduh-aduh," gumamnya masih memeluk tubuhku.

"Lepasiiiin."

"Gak, lo kalo dilepasin jadi liar dan bringas."

"Yeee, emang gue hewan buas apa. Lepasin gak, emang lo gak engap apa ditindihin sama badan gue? Retta, ih."

"Emmmm..." dia malah bergumam dan gak mau ngelepasin pelukannya.

"Retta gue jambak rambut lo yaaa," ancamku.

"Tuh kan, lo lebih buas."

"Ya abis lo nyebelin, lepasin gak?!"

"Entar dulu."

"Ih ngapain sih, udah kayak di ftv-ftv aja deh ah, Retta!!"

Retta terdengar menghela nafas. "Tenang dulu, jangan banyak gerak."

"Lo mau ngapain deh?" aku masih menggerutu sambil berusaha melepaskan tubuhku.

"Sstttt, sebentar aja. Tenang yaaa," ucapnya dengan nada pelan dan berhasil membuatku mulai tenang.

Ia kembali mengatur nafasnya kemudian memejamkan matanya.

"Gonna miss this moment," bisiknya perlahan.

"Maksudnya?" tanyaku bingung.

Lalu ia membuka kembali matanya dan tersenyum menyeringai. Lalu tak lama kemudian ia menggigit lenganku.

"Aaahhh, Clarettaaaaaa!" teriakku dan dia berlari keluar lalu menuruni anak tangga.

"Haha see you tomorrow Jinggaaaaa," teriaknya.

"Ibundaaa, susunya aku bawa pulang yaaaa,"teriaknya lagi masih terdengar dari depan kamarku.

Ah dasar Retta nyebelin!!!

***



Keesokan harinya

Pagi ini aku ke sekolah diboncengi lagi oleh Retta. Aku juga sudah membalas perlakuannya  yang kemarin sore. Tadi pagi-pagi sekali aku sengaja ke rumahnya dan masuk ke kamarnya. Ketika Retta masih tertidur, aku membangunkannya dengan mengagetkannya. Aku gigit tangan Retta dan sukses membuat dia terbangun dan tidak bisa tidur lagi, padahal itu masih jam 5 pagi. Cuma sama Retta doang aku bisa sangat ekspresif dan benar-benar jadi apa adanya aku.

"Dee, gue mau ketemu dulu sama Kak Intan di depan kelasnya. Lo tunggu depan mading atau depan tangga ya," ucapnya sambil melepaskan helm dari kepalaku.

"Iyaa," sahutku lalu berjalan ke arah mading.

Dari kejauhan aku melihat Tania sedang berdiri di depan papan mading dengan tampangnya yang melongo. Pasti dia lagi baca Salam Dudu hari ini. Aku samperin ah.

"Ngapain lo?" tanyaku membuatnya kaget.

"Eh, eng-enggak ngapa-ngapain kok Kak Jingga. Baca aja," jawabnya salah tingkah seperti biasa.

Aku pun memajukan langkahku dan berdiri di sampingnya sambil membaca Salam Dudu.

"Haha pasti si Ketan udah baca salam yang Dhea tulis. Aku kerjain lagi ah," batinku.

"Oh, secret admire lo," ucapku berusaha sedatar mungkin.

"Hah? Emmm, paling itu orang iseng," sahutnya menoleh ke arahku tapi kemudian ia menundukkan kepalanya.

"Gue tahu siapa orangnya," ucapku lagi menahan tawa.

"Siapa Kak?" tanya Tania polos. Duh benar kata Dhea, tampangnya si Ketan kocak banget kalau lagi dikerjain kayak gini.

Aku pun sampai tidak bisa menahan tawa lagi. Aku berusaha sekeras mungkin agar tidak tertawa di depannya, jadi aku hanya tersenyum sedikit.

"Rahasia," sahutku dan sukses membuat Tania langsung cemberut. Hahaha lucu sekali tampangnya.

"Kenapa? Sebel? Lo cari tahu sendiri lah siapa orangnya," aku kembali jutek.

Tiba-tiba saja Retta datang menghampiri kami. "Hey, kalian lagi ngapain?"

"Gak ngapa-ngapain. Naik yuk ah," sahutku.

Retta menatap kami berdua bingung. 

"Hahaha yaudah, yuk naik. Lo mau bareng gak Dek?" tanya Retta ke Tania.

"Dek?" aku mengulang kata terakhirnya dengan nada bingung.

"Iya Dek. Kan Tania adik junior kita, gak apa-apa dong gue panggil Dek?" jawab Retta menjelaskan.

Aku hanya menatapnya malas. 

"Terserah deh. Udah ah gue mau naik," sambil berlalu meninggalkan mereka.

Tak lama kemudian, Retta memanggilku. "Jingga, tungguuuuu."

"Sejak kapan lo panggil si Tania dengan sebutan 'dek'?"

"Hehe kenapa sih?"

"So cheesy," dumelku.

Retta malah tersenyum. "Cieee, jealous."

"Apaan deh? Norak tau gak."

"Haha jangan jealous gitu ah, makin jutek lho nanti," sahut Retta.

"Bodooo. Udah sampe kelas gue nih, sana gih lo masuk udah bel tuh," ucapku dengan nada sebal, entah kenapa.

"Iyaaa juteeek. Nanti istirahat bareng yaaa, daaah," sahutnya.

Pelajaran hari ini semuanya berjalan seperti biasa. Aku juga menghabiskan dua jam istirahatku bareng Retta. Saat bel pulang berbunyi, Retta langsung ke kelasku dan minta ijin untuk pulang duluan karena harus mengantar Mamanya. Aku pun masih ada agedna dengan anak-anak OSIS.

Ketika aku menunggu semua berkumpul, tiba-tiba saja ponselku berbunyi dan ada panggilan masuk dari Mama.

"Halo Jingga, kamu masih di sekolah Nak?" suara Mama terdengar sedikit tidak jelas.

"I-iya Ma masih. Sebentar, aku naik ke lantai 3 dulu biar suara mama jelas," ucapku sambil menaiki anak tangga ke kelas X-6 yang ada di pojokan. 

Lantai 3 pasti udah sepi karena anak kelas X sudah pada pulang sejak tadi. Lagi pula kelas ini ialah kelasku dulu bersama Retta.

"Sudah belum?" tanya Mama lagi.

"Iya udah Ma, kenapa?" 

"Kamu lagi bareng Retta?"

"Engga Ma, tadi dia pulang duluan katanya mau anterin Tante Vera."

"Hemm gitu."

"Ada apa sih Ma?"

"Engga sayang, Mama mau tanya aja. Retta ada pernah ngomong sesuatu ke kamu?"

"Hah? Ngomong apa Ma? Gak ada tuh."

"Hemmm, bener?"

"Iya bener. Ada apa sih?"

"Dia gak cerita tentang pekerjaan Papanya?"

"Engga Mamaaa. Kenapa emang?"

"Duh, yaudah deh tunggu Retta yang bilang aja ya."

"Ah gak mau, aku mau tau sekarang. Kenapa sama kerjaan Papanya Retta?"

Mama sempat terdiam sejenak.

"Sepertinya kamu kuliah gak akan bareng Retta."

"Maksudnya?"

"Iya, tadi Tante Vera abis dari rumah cerita sama Mama."

"Cerita apa?"

"Papanya Retta kemungkinan besar akan dimutasi ke Belgia, dan Retta mau diajak ke sana juga."

Jantungku langsung berdebar ketika mendengar ucapan Mama.

"Kapan Ma?"

"Ya 2 tahun lagi, pas kalian lulus SMA."

"Terus rencana aku sama Retta mau kuliah ke US gimana?"

"Ya itu, Mama pikir Retta udah cerita ke kamu."

Setetes air mata pun jatuh di pipiku tanpa bisa aku menahannya.

"Retta gak cerita apa-apa."

"Ya mungkin nanti kali sayang. Yaudah, kamu jangan pulang terlalu sore ya Nak udah mendung ini."

"Iya Ma."

"Mama tutup ya, daaah sayaaang."

Sesaat setelah Mama menutup telponnya, air mataku kembali turun. Semua kenangan itu langsung menyeruak di benakku satu persatu. Tanpa aku sadari, aku sekarang sedang duduk di bangku kami dulu. Aku jadi teringat ketika masa-masa MOS di mana Retta dikerjai senior karena membelaku. Aku juga ingat ketika Retta dihukum menulis 100 kali 'Saya Tidak Akan Lupa Lagi Mengerjakan Tugas' karena tugasnya ia berikan padaku yang kala itu tertinggal di rumah. Aku juga kembali mengingat masa-masa menyenangkan kami dengan anak kelas X-6 pada saat lomba 17-an.

Semuanya masih terekam di benakku, bahkan kenangan-kenangan kecilku bareng Retta. Aku dan dia sudah sama-sama memiliki rencana untuk kuliah bersama di Brooklyn nanti. Tapi kenapa tiba-tiba Retta harus pindah ke Belgia? Kenapa?

Aku menangis tersedu membayangkan bagaimana rasanya akan pisah dari Retta. Tiba-tiba saja terdengar suara seperti orang jatuh dari depan kelas. Aku buru-buru mengelap air mata di wajahku.

"Lo, lo lagi ngapain?" tanya ku ke Tania yang sedang tersungkur di lantai.

Ia kemudian membangunkan tubuhnya. "Ma-maaf Kak, tadi saya gak sengaja ke sini. Te-terus denger orang nangis. Sa-saya pikir apaan eh gak taunya Kak Jingga."

"Lihat gue," ucapku yang melihatnya sedang menundukkan kepala.

Aku berjalan ke arahnya lalu menghela nafas. Kemudian aku menyentuh dagunya agar ia mau menatapku.

"Gue mohon sama lo, apa yang lo lihat barusan please jangan lo kasih tahu ke siapapun. Lo bisa lakuin itu?" tanyaku.

Ia menganggukkan kepala terlihat ragu. "Bi-bisa Kak."

Aku menatapnya dengan lekat.

"Makasih," ucapku sambil berjalan meninggalkannya.

Tania kemudian memanggilku. "Kak Jingga..."

Aku menghentikan langkah dan menoleh. "Apa?"

"Ini Kak, air mata Kakak masih kelihatan," ucap Tania sambil memberikan tisu padaku.

Aku menatap tisu itu sejenak, lalu mengambilnya. "Makasih."

"Kak," panggilnya lagi.

"Apa lagi sih?"

"Emmm, emmm.." gumam si Tania.

"Apa? Lo mau ngejek gue?"

"Bu-bukan gitu. Hemmm..."

"Apa? Jangan Hahem hahem terus."

"Sa-saya gak tahu apa yang ngebuat Kak Jingga nangis, ta-tapi saya yakin kok kalo Kak Jingga kuat."

Aku kembali menatap matanya dengan lekat, lalu entah kenapa aku tersenyum. "Thanks yaaa. Gue akan selalu inget kejadian hari ini."

Aku menuruni anak tangga dengan perasaan yang campur aduk. Nanti pas pulang aku harus langsung menanyakan hal ini ke Retta. Aku ingin mendengarkan penjelasannya.



*NOTE

Finally, update ini juga.

Nanti di chapter berikutnya atau berikutnya lagi akan ada penjelasan mengapa akhirnya Retta tetap jadi kuliah di Brooklyn bareng Jingga.

So, tungguin terus ya!

Happy holiday.

Selamat Hari Raya Idulfitri. Mohon maaf lahir dan batin guys.



Salam, 

Mo

Fortsett å les

You'll Also Like

3.6M 152K 61
The story of Abeer Singh Rathore and Chandni Sharma continue.............. when Destiny bond two strangers in holy bond accidentally ❣️ Cover credit...
5.1K 270 16
In a weird way, your heart would ache whenever you saw Sebastian smile, or whenever you'd hear him laugh. His joy wasn't real. He was clearly confuse...
3.3M 207K 90
What will happen when an innocent girl gets trapped in the clutches of a devil mafia? This is the story of Rishabh and Anokhi. Anokhi's life is as...
5.1K 316 7
Have you ever felt like , you have met someone before , like you have some strong connection with someone as if you have been made for each other...