Disillusioned ◇

By valloria

33.2K 1.7K 661

[TAMAT] New York, 1995. Cornelia seharusnya bahagia. Ia memiliki semua hal yang konon diinginkan perempuan:... More

Epigraf
Prakata
1. Dysfunctional
2. Central Park
3. Birthday
4. Expectations
5. Lion's Den
6. Dreams
7. Flame
8. Nostalgia
10. Secret
11. Ultimatum
Akhir Kata
Analisis
Info

9. Illusion

1.4K 98 69
By valloria

/illusion/

penampilan yang menipu; kepercayaan palsu

.

.

.

"Nel, kamu mau mandi?" tanya suamiku yang bertelanjang dada duduk di tempat tidur, hanya dengan handuk mengitari pinggangnya.

Mendengar suaranya, aku buru-buru menyelipkan kartu nama Mario ke buku agendaku dan menyimpannya di laci meja. Lalu aku berbalik menghadap suamiku.

"Oh, iya," sahutku sambil menegakkan tubuhku.

"Atau kalau kamu mau satu ronde, lanjutin yang tadi, bilang saja," ungkap suamiku santai.

Aku tersenyum kecut namun menggeleng. "Udah capek, Sayang. Besok aja, ya?" bujukku. Jujur, hatiku sedang tidak niat berhubungan dengan Surya.

Suamiku mengangguk paham dan membiarkanku mengambil pakaian di lemari. Namun sebelum aku bergegas ke kamar mandi, ia menarikku dan memangkuku di atas pahanya yang masih dibungkus handuk. Lengannya melingkupi tubuhku. Aku dapat merasakan napasnya di leherku.

"Nel, aku bangga padamu," bisiknya. "Tadi aku sudah bicara dengan Pak Rudi dan Pak Triyatno, mereka akan memberikan perizinan untuk pembangunan kompleks apartemen di Sudirman. Mereka memberitahuku rencana masa depan untuk menjadikan Sudirman kawasan bisnis elit di Jakarta. Ini sangat menguntungkan bagi perusahaan kita, Nella."

Tiba-tiba tubuhku terasa dingin. Aku menarik diriku dari pangkuannya. "Jadi semua tadi hanya pura-pura? Akting supaya mendapatkan izin dari pemerintah?"

"Nel, apa-apaan, sih? Tentu saja tadi bukan pura-pura. Tapi kalau sekali mendayung dua pulau terlampaui, kenapa enggak? Lagipula aku melihat kamu lesu belakangan ini -- aku kira acara pernyataan cinta seperti tadi akan membuatmu senang."

Aku menghela napas. Kertas yang kutulis berisi perasaan frustrasiku tadi belum kubuang. Aku masih menyimpannya di agendaku. Namun aku terlalu lelah untuk berdebat dengan dia. Lagipula Surya sedang dalam perasaan baik, aku tidak ingin merusaknya.

"Aku senang, kok. Makasih, Sayang," ucapku sambil mencium pipinya. "Sekarang aku mandi dulu, ya?"

"Yakin nggak mau satu ronde dulu? Biasanya kamu sampai merayuku buat memintanya," ujar Surya dengan senyumannya yang bagiku setengah meledek.

Perasaanku semakin kacau. "Enggak."

"Tapi aku mau," tegas Surya sambil menjatuhkanku perlahan di atas tempat tidur. Tangannya piawai melepas kancing bajuku di atas dadaku, lalu bibirnya menciumi leherku. "Wangimu masih menyenangkan, Nella."

Aku hanya pasrah. Hatiku tidak menginginkan ini, namun aku bisa apa? Lama-lama, aku terbawa dalam permainannya -- Surya memang hebat memuaskanku, ia tahu gerakan dan posisi yang kusuka. Namun tidak lama. Aku menegaskan sekali lagi bahwa aku harus mandi, dan aku beranjak meninggalkannya.

Semoga ia menyadari sikap menjauh-ku dan bertanya kenapa. Jika ia tak bertanya, berarti ia tak peduli padaku -- buat apa aku repot-repot melampiaskan emosiku padanya? Melelahkan dan buang-buang tenaga.

***

Hari Minggu pagi, Surya mengajak kami berjalan-jalan dengan keluarga Londa, sebelum mereka kembali ke Manado sore harinya. Seharusnya aku bahagia, kan? Ini yang kuinginkan? Suamiku menghabiskan waktu luangnya dengan keluarga, apalagi dengan keluarga besarku yang terang-terangan memujanya sebagai suami idaman. Namun aku masih merasa hampa karena aku tahu ini hanyalah salah satu adegan pencitraannya di mata keluargaku.

Aku merasa diriku menyebalkan. Entahlah. Sebagai manusia yang diombang-ambingkan emosi, aku sering mengingatkan diriku sendiri untuk tidak selalu mengikuti perasaanku. Secara sadar, aku tahu itu bodoh. Namun apa boleh buat, aku tidak bisa mengontrol perasaanku. Aku mengingatkan diriku untuk bahagia, tapi hatiku tidak berkata demikian, dan aku tidak bisa berpura-pura.

Acara jalan-jalan kami berakhir di bandara, di mana Surya sampai menggunakan jet pribadinya untuk mengantar mereka -- limabelas orang anggota keluargaku -- ke Manado. Tangan kirinya menggendong Tiara, dan tangan kanannya merangkulku, kami menyaksikan pesawat lepas landas. Benar-benar potret keluarga sempurna. Beberapa kali Detta memujiku sangat beruntung, punya suami kaya, tampan, dan sayang keluarga. Jika saja ia tahu kebenarannya, mungkin ia takkan berkata demikian.

Seharusnya aku tersentuh dengan tingkah suamiku. Karena itu, aku memaksakan diriku untuk tampil ceria di matanya.

"Sayang, makasih banyak udah perhatiin keluargaku," ujarku saat kami berjalan kembali ke mobil kami untuk pulang ke rumah.

"No big deal. Keluargamu kan keluargaku juga," sahut Surya.

"Kalau saja kamu terus bersikap seperti ini ..." tuturku.

"I will try, darling."

***

Senin pagi, setelah mengantar Tiara ke sekolahnya, aku tidak langsung pulang ke rumah, melainkan mampir ke Kebayoran Baru. Aku bilang pada supirku ingin mengatur les piano untuk Tiara, meskipun aku sebenarnya tak perlu bersusah payah -- tinggal telepon Alfred dan minta dia mengaturnya -- semua beres.

"Jemput aku di tempat yang sama setengah jam sebelum sekolah Tiara bubar," ucapku pada supirku.

Agak repot memang menjadi istri konglomerat. Aku tak pernah bebas dari pengawalan. Untungnya supirku yang ini tidak banyak membantah dan menurut. Begitu aku yakin dia sudah pergi dari pandangan, aku berbelok dan mencari alamat di tanganku. Kantor Mario juga terletak di Kebayoran Baru. Aku sudah meneleponnya dan mengatakan akan mampir ke kantornya pukul sepuluh pagi untuk melanjutkan obrolanku yang kemarin. Ia terdengar terkejut, namun mengizinkanku datang.

Sebuah ruko bercat putih dengan pintu kaca dengan plang Mario Gerungan Architecture menarik perhatianku. Aku tersenyum kecil. Ternyata ia sudah sangat sukses sampai dapat memiliki studio arsitektur sendiri. Aku mendorong pintu kaca dan masuk ke dalam. Dekorasi serba putih bergaya modern menyambut mataku. Suamiku memang berselera tinggi. Tak salah ia menunjuk Mario sebagai kepala arsitek pembangunan gedungnya yang baru.

Mario muncul dari ruangannya beberapa detik kemudian. Ia mengenakan pakaian kasual, kaos dan celana jins robek -- sesuatu yang takkan dikenakan Surya. Namun sekali lirik aku melihat bahwa celananya bermerek Gucci dan kaosnya berlambang Louis Vuitton.

"Hai, Nel, udah datang, toh, ternyata?" sapanya sambil menarik kursi putih di depan meja bundar. "Mari, silakan duduk. Mau minum apa?"

"Apa aja," sahutku klise.

"Kamu minum kopi, nggak?"

"Minum, kok," ujarku. "Di New York aku biasa ngopi jam segini."

"Baiklah, aku buatkan kopi untukmu sebentar, ya. Kopi luwak berkualitas tinggi, dan aku bereksperimen dengan racikannya sehingga rasanya nggak akan kamu temukan di kafe manapun."

Aku tersenyum. "Makasih, Mar."

***

Kami mengobrol soal banyak hal, mulanya soal teman-teman SMA kami yang lama sekali tak kudengar kabarnya setelah pergi ke Amerika. Awalnya aku masih bersurat-suratan dengan mereka dan sesekali menelepon, namun lama-kelamaan kami kehilangan kontak. Hanya yang benar-benar dekat denganku saja yang masih kudengar kabarnya. Namun tidak demikian dengan Mario. Beberapa teman SMA kami pergi ke universitas yang sama dengannya di Melbourne, sehingga ia masih mendengar kabar teman-teman lainnya dari mereka.

Lambat laun kami membicarakan tentang kehidupan kami masing-masing. Aku bercerita mengenai kisah-kisah lucu pengalamanku di New York bersama Tiara. Ia menuturkan perjuangannya menjadi arsitek ternama, mulai dari magang di kantor arsitek di Australia setelah lulus S1 tahun 1987, hingga akhirnya membuka kantor sendiri di Jakarta dua tahun yang lalu.

"Gimana ceritanya suamiku bisa pakai jasamu?" tanyaku penasaran.

"Kamu kenal Alfred Darmadi?" balas Mario.

Aku mengangguk. "Dia orang kepercayaan Surya."

"Ya, Alfred datang ke pameran arsitektur di JHCC dan tertarik dengan karyaku. Lalu dua minggu kemudian dia menghubungiku, katanya ada tawaran kerja sama dengan Grup Jati yang ingin membangun kompleks apartemen di Sudirman."

"Oh, gitu, toh," sahutku sambil menyeruput kopi buatannya yang memang nikmat. "Lalu kenapa kamu datang ke anniversary-ku?"

Mario tertawa. "Nel, Nel, masa kamu nggak ngerti cara hubungan bisnis berjalan?"

"Kamu ngeledek aku?" aku pura-pura marah.

"Aku datang karena diundang. Kalau aku nggak datang, berarti aku nggak menghormati suamimu yang mengundangku. Bisa-bisa kerja samaku diputus olehnya," jelasnya sambil tertawa lagi.

"Ya, makanya Surya selalu datang ke acara-acara bisnis," tuturku sambil memutar bola mata.

Mario menghela napas. "Begitulah. Aku tahu, sih, kamu istri Surya Jati. Tapi kupikir lebih penting menjaga hubungan baik dengan klienku -- toh, kita juga udah lama nggak ada apa-apa, kan?"

Aku mengangguk lagi.

"Dan sebenarnya," lanjut Mario dengan senyum kecut, "aku ingin melihatmu lagi, Nel."

***

Aku hampir lupa menjemput Tiara apabila Mario tidak mengingatkanku. Ketika kutanya, supirku bilang sudah menunggu selama duapuluh menit. Kubilang aku mengunjungi beberapa tempat kursus piano untuk membandingkan kurikulum dan harga. Supirku tidak mengatakan apa-apa, meskipun mungkin ia berpikir kenapa si nyonya senang berepot-repot.

Setibanya di sekolah, tentu saja Tiara memarahiku karena terlambat menjemputnya.

"Mama, why are you late?" Ia melipat tangan pendeknya walaupun ia tak benar-benar bisa melakukannya dan hanya memeluk sikunya. Wajah imutnya ditekuk.

"Mama cari les piano buat kamu, Tiara. Kamu mau, kan, les piano?" Aku mulai menjawabnya dalam bahasa Indonesia. Kalau ia tinggal di Jakarta, ia harus bisa berbahasa Indonesia dengan baik.

Bagus. Sekarang aku bohong pada anakku juga, gerutuku dalam hati.

Tiara menggeleng kuat-kuat. "I don't like piano," ujarnya.

"Terus kamu mau belajar apa?" tanyaku.

"I wanna learn this," sahutnya sambil meninju udara dengan kepalannya.

"Fighting?" Aku terkejut. Pikiranku terbayang Tiara kecil mengenakan seragam bela diri, lalu dibanting di atas matras. Tidak, tidak boleh. "Tapi biasanya anak perempuan nggak belajar fighting, Tiara. Biasanya balet, piano, atau ..."

"But I want to, Mama. Boleh, ya? Boleh, ya?" rengeknya.

"Kita lihat nanti, ya, Sayang," ujarku sambil mengusap kepalanya.

***

Bertemu dengan Mario menjadi ritualku. Tentu saja tidak setiap hari, melainkan seminggu tiga kali, dalam waktu dan tempat yang berbeda. Aku mengizinkan Tiara les taekwondo di daerah Pondok Indah sore hari seminggu sekali. Kadang-kadang Diandra yang menungguinya sementara aku main ke Mal Pondok Indah -- ya, sesekali bertemu Mario di sana.

Sejauh ini kami hanya mengobrol saja, tidak sampai masuk ke ranah kehidupan pribadi apalagi perasaan. Itu sudah cukup buatku. Aku juga tidak berniat mengkhianati suamiku. Hanya saja, dengan bertambahnya kesibukan Surya mengurus pembangunan kompleks Suryajati Tower di Sudirman, ia semakin menjauh dariku. Malah aku lebih banyak mendengar perkembangan proyeknya dari Mario daripada Surya. Untunglah Surya bukan pencuriga. Ia senang melihatku kembali bersemangat meskipun sering ditinggal olehnya, pergi pagi pulang malam.

Namun bertemu orang lain di luar keluarga sendiri, lawan jenis, pernah memiliki sejarah hubungan romantis, dan tidak diketahui suami, bukanlah perbuatan yang pantas dilakukan. Tapi kenapa aku masih melanjutkannya?

Pertama, aku kesepian, dan Mario terasa begitu ramah dan menyenangkan.

Kedua, ternyata kami memiliki banyak kesamaan. Sama-sama menyukai seni, novel, dan memiliki pandangan yang sama tentang kehidupan.

Terakhir, rasanya menakjubkan apabila ada seseorang yang memahami diriku, apabila aku dapat bebas berekspresi dan mencurahkan pikiran dan isi hatiku, tanpa takut direndahkan atau disalahpahami.

Aku semakin pintar bersiasat, semakin pintar menyembunyikan perasaanku, semakin pintar bermain peran di hadapan suamiku dan keluargaku. Termasuk Tiara.

Dan ini menjauhkanku dari mereka. Bukan secara fisik, namun secara psikis.

.

.

.

Bersambung.

(6 Juni 2018)

1600++ kata

.

.

.

*JHCC: Jakarta Hilton Convention Center, sekarang berganti nama menjadi Jakarta Convention Center (JCC)

Oya gak mungkin bab depan tamat, mungkin abisnya bab 12.

Continue Reading

You'll Also Like

1.6M 135K 64
RATHOD In a broken family, every person suffers from his insecurities and guilt. Successful in every field but a big failure when it comes to emotio...
434K 27.2K 39
Let's see how different personalities mends with each other to form a beautifull bond together. Where the Eldest is calm and cold, Second is aggress...
191M 4.5M 100
[COMPLETE][EDITING] Ace Hernandez, the Mafia King, known as the Devil. Sofia Diaz, known as an angel. The two are arranged to be married, forced by...
413K 16.4K 48
Vikram, a senior officer, prioritizes his duty above all else, much like his father, ACP Rajendra. He has three siblings: one is an officer, and the...