10 Reasons Why [END]

By hannfridd

90.3K 10.3K 12.5K

⚠15+⚠ Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia... More

Good Girl
Honest
Sweet Family
Friend
Friend (Part 2)
Patient
Patient (Part 2)
Patient (Part 3)
Funny
Funny (Part 2)
Princess
Princess (Part 2)
Princess (Part 3)
Princess (Part 4)
Unbreakable
Unbreakable (part 2)
Unbreakable (Part 3)
Unbreakable (Part 4)
Unbreakable (Part 5)
Brave
Brave (2)
Brave (3)
Brave (4)
Brave (5)
Let's Forget About 10 Reasons
Gossip Queen
He is Back
Ayah
Lubang Setan
Here We Are
On The Way Home
Outrageous
Suspicion
Misinterpreted
The Ugly Truth
Nightmare
Spy
Love Confession
Failed Surprise
Graduation
Farewell
Dream & Reality
A Fact
A Fact (2)
Shock
Goodbye
Another Goodbye
A New Leaf
Teach.me
The Mission (Flashback)
He!
JCW KW
A Letter to The Future + Info private
Finally (End)
Obrolan + Penjelasan Ending
The Last Reason (Extra part)
Pindah Lapak

Crazy Gavin

1.1K 125 257
By hannfridd

⚠Part ini Panjang lho ⚠

***

Sudah delapan kali aku mengecek jam tanganku. Dua puluh menit berlalu dari waktu janjian, tetapi batang hidung Gavin masih tak nampak. Aku mendesah kesal. Sia-sia aku menunggu di sini.

Saat bangkit dari kursi, mataku menangkap sosok Gavin dengan jaket hitamnya. Ketika mata kami beradu, ia segera menghampiriku. Aku pun kembali ke kursiku.

Ditariknya kursi di hadapanku. "Maaf Kei gue--"

"Udah langsung aja." Kusandarkan badanku pada punggung kursi seraya melipat tangan di dada.

Gavin mengangkat sebelah alisnya, lalu berkata, "oke."

Cowok itu menarik napas panjang. "Gue harus mulai dari mana?" Ia meletakkan kedua tangannya di atas meja. Kemudian menautkan kesepuluh jarinya.

"Dari awal lo pacaran sama Kak Dona."

Gavin membersihkan tenggorokannya sebelum mulai bercerita. "Gue tahu Dona sejak kelas satu SMA, tapi kita nggak saling kenal. Yang gue tahu dia cewek populer dan gue juga lumayan populer dulu.

"Gue punya temen, namanya Evan. Si Evan ini punya pacar yang lagi ultah. Gue sama Oza dimintai tolong buat ngasih surprise ke ceweknya si Evan. Niatnya sih kita mau ngelempari tepung ke pacarnya itu. Tapi kita salah sasaran, yang kena malah Dona. Sejak saat itu gue sama Dona jadi deket.

"Singkat cerita kita pacaran. Terus gue suka sama orang lain, ya udah kita putus. Cerita selesai."

Aku melongo ketika ia mengakhiri ceritanya. Masih banyak pertanyaan di benakku tentang masa lalunya.

"Terus gimana lo jelasin semua pengaruh buruk lo ke Kak Dona? Gara-gara lo Kak Dona ngerokok, bolos, bahkan nyolong di minimarket! Lo ngajakin cewek manis, lugu, dan baik hati buat ngikutin lo. Dan setelah Kak Dona ngikutin permainan lo, kenapa lo ninggalin dia gitu aja cuma demi cewek lain?"

Gavin tampak risau di tempat duduknya. Beberapa kali ia membenarkan posisi duduknya sembari menggaruk tengkuknya.

"Lo nggak bisa jawab?" semprotku sambil memutar bola mataku malas.

Terdengar tarikan napas panjang dari cowok itu. Ia memang sedang menatapku, tapi aku yakin pikirannya sedang mengembara.

"Dulu gue emang nakal. Gue pikir bakalan seru kalau punya partner in crime. Dan soal cewek itu, gue udah terlanjur suka sama dia. Kalau gue masih lanjut sama Dona, itu cuma bikin dia tersiksa." Ketika mengucapkan kalimat terakhir, ia sedikit menunduk.

Jawaban Gavin membuatku merasa semakin kesal pada cowok itu. Dia menceritakan semua itu seolah-olah dengan ia menyatakan diri sebagai cowok nakal maka kesalahannya harus dimaklumi. Namun, hati kecilku mengatakan bahwa alasannya melakukan hal bodoh itu lebih dari yang ia katakan. Ia menyembunyikan sesuatu.

Walaupun begitu, aku tidak langsung menuduhnya berbohong. Sebaliknya, aku lebih memilih mengeluarkan kegundahan hatiku.

Aku tersenyum sinis. "Gue nggak nyangka lo gila! Bisa-bisanya lo putus sama Kak Dona cuma gara-gara lo suka sama cewek lain. Dan setelah Kak Dona meninggal, berani-beraninya lo deketin gue! Sekarang gue pengen tahu kenapa lo deketin gue. Lo ngerasa bersalah dan jadiin gue sebagai penebus rasa bersalah lo?"

Gavin menggeleng cepat. Wajahnya tampak semakin gusar. "Bukan gitu." Cowok itu menyisipkan jari-jarinya ke rambutnya yang sedikit berantakan. Sepertinya ia ragu untuk mengeluarkan isi pikirannya. 

Selang beberapa menit, ia pun berkata, "Dona yang minta gue jagain lo."

Tanpa sadar, aku mulai menahan napas ketika Gavin menyebut nama Dona.

"Lo pernah denger kalau orang yang mau meninggal biasanya punya firasat? Mungkin itu juga yang terjadi sama Dona. Tiga tahun ini kita udah nggak saling kontak, tapi tiba-tiba aja dia nelpon gue dan minta ketemuan. Pas ketemuan itu, dia minta sama gue supaya jagain lo selama dia pergi. Dia juga banyak cerita tentang lo."

"Kenapa lo nggak bilang dari dulu?" Nada suaraku mulai melembut.

"Gue nggak mau lo mikir kalau gue deketin lo cuma karena Dona. Gue juga takut lo tahu tentang masa lalu gue dan Dona yang suram." Gavin menatap bola mataku dalam. "Gue beneran tulus sama lo."

Belum pernah ada orang yang mengatakan hal semanis itu sebelumnya padaku. Selama beberapa detik aku terbuai. Selanjutnya, aku mulai menyadari sebuah kejanggalan.

"Gue mencium kebohongan di cerita lo. Lo bohong kalau Kak Dona nitipin gue ke lo. Kak Dona nggak mungkin nitipin gue ke cowok nakal kayak lo. Sekalipun sekarang lo udah berubah, mengembalikan kepercayaan itu sulit. Kak Dona pasti bakal pilih cowok lain untuk jagain gue, Andre misalnya."

Sadar jika nada suaraku terlalu tinggi, aku mulai menurunkan oktafku. Mengingat bahwa tatapan intimidasi tak mempan padanya maka sekarang kutatap matanya lembut agar ia merasa nyaman. Jika ia merasa nyaman maka ada kemungkinan ia akan berkata jujur.

"Kalau Dona emang nitipin gue ke lo, itu artinya dia percaya lo cowok baik. Gue pengen tanya lagi, lo pasti punya alasan lain kan di balik kelakuan lo itu, selain mengikrarkan diri sebagai cowok nakal? Lo ngelakuin itu semua karena suatu alasan kan? Kelihatan banget kalau ada sesuatu yang nggak beres dari kalian berdua, entah itu dari lo atau Kak Dona. Kalian punya masalah?"

Asumsi dan pertayaanku yang tak ada habisnya itu membungkam Gavin. Mulutnya sedikit membuka, mungkin karena terkejut dengan apa yang kukatakan.

Ia menghela napas panjang. "Sekali lagi gue tekankan. Pertama, Dona memang nitipin lo ke gue. Kedua, gue nggak ada masalah apapun sebelumnya sama Dona. Kebetulan aja dulu dia pacar gue dan dia jadi kena getahnya. Gue emang nakal tanpa alasan yang berarti. Naluriah. Alamiah. Apalah itu. Itu hal yang wajar."

Aku tak terima dengan jawaban Gavin itu. 

"Lo kelainan! Lo nggak bisa mewajarkan hal yang nggak wajar. Kelakuan lo itu nggak bisa dimaklumi. Lo udah mengubah anak manis jadi anak nakal dan habis itu ninggalin dia gitu aja. Lo juga punya kakak cewek kan? Gimana perasaan lo kalau kakak lo di posisi Kak Dona? Lo pasti mau nonjok cowok nggak tahu diri itu kan?"

Mengucapkan kalimat panjang bernada emosi itu ternyata cukup menguras tenaga. Sejenak, kuatur napasku yang tidak beraturan.

Gavin menggeser maju kursinya. "Keikei," panggilnya lembut. "Udah ya, itu kan masa lalu. Gue udah berubah, semua yang terjadi di masa lalu bener-bener gue sesali. Gue ngaku dulu gue salah. Lo nggak mau ngasih gue kesempatan?"

Setuju atau tidak, terkadang aku tidak suka jika seseorang berlindung di balik kata 'masa lalu'. Hanya karena hal itu sudah berlalu bukan berarti bisa dilupakan begitu saja. Kadang kala membahas masa lalu perlu dilakukan demi kebaikan di masa kini. Buktinya, pelajaran sejarah saja belum dihapuskan sampai saat ini.

"Everything happens for a reason. Kelakuan lo di masa lalu juga terjadi karena sebuah alasan. Sekali lagi gue mau tanya apa alasan lo ngelakuin itu? Dari sumber yang gue dapet,  sebelumnya lo itu nggak nakal dan lo baru nakal setelah pacaran sama Kak Dona. Kalau lo jadiin nakal sebagai alasan lo, harusnya lo udah nakal dari awal, bukan cuma waktu pacaran sama Kak Dona dan setelah putus lo jadi baik lagi.

"Vin, seenggaknya kalau lo mau cerita jujur, gue nggak akan sebenci ini sama lo. Dan gue bisa bilang ke Ayah kalau lo nggak seburuk yang dia pikirkan. Asal lo tahu, sikap lo ke Kak Dona bikin beliau kecewa berat. Miris bukan, kecewa sama orang yang bahkan Ayah sendiri nggak kenal."

Dengan harap-harap cemas, aku menunggunya membuka mulut. Kuharap ia akan mengatakan hal jujur.

"Sorry," ia mengangkat kedua bahunya. "Gue nggak punya alasan lain. Gue emang nakal dan nggak tahu diri." 

Gavin berdiri, lalu menghempaskan pantatnya di kursi yang ada di sebelahku. Badannya ia hadapkan ke arahku. "Kenapa sih lo pengen tahu banget soal masa lalu gue? Lo nggak percaya kalau sekarang gue udah berubah? Lo takut?"

Aku menoleh ke samping, menatap wajahnya. "Gue percaya lo udah berubah. Gue bahkan percaya kalau lo nggak pernah nakal sebelumnya. Kalaupun yang gue denger tentang lo itu bener, gue percaya lo ngelakuin itu semua bukan atas kehendak lo sendiri. Ada hal yang memaksa lo untuk ngelakuin itu. Gue cuma pengen lo jujur.

"Lo tahu nggak, sekarang gue lagi sebel banget sama lo. Gue nggak suka sama masa lalu lo. Banyak orang yang bilang: masa lalu biarlah berlalu. Tapi buat gue, kalimat itu nggak berlaku. Kalau masa lalu lo nggak berpengaruh ke orang lain, lo bisa dengan mudah bilang gitu. Tapi masa lalu lo ini ngaruh ke orang lain, termasuk ke gue. Jangan egois, jangan bikin gue benci sama lo hanya karna masa lalu lo. Kalau lo nggak salah, lo bisa jujur ke gue."  

Gavin mengembuskan napas kasar, ia menatap ke depan. "Kalau kejujuran gue malah buat lo kecewa sama orang yang lo sayang, kenapa gue harus jujur?" gumamnya pelan. Namun, aku masih bisa mendengarnya. Sepertinya ia keceplosan.

"Maksud lo?"

Cowok itu menoleh cepat. Ia mengangkat sebelah alisnya. "Apa?"

"Apa maksud lo bilang kalau kejujuran lo bakal bikin gue kecewa sama orang yang gue sayang?"

Gavin melongo, sepertinya ia menyadari kesalahannya. "Enggak apa-apa. Gue cuma lagi nggumam nggak jelas."

"Bohong!"

"Enggak!"

"Gue kasih satu kesempatan lagi buat lo untuk ngomong jujur. Kalau sampai hitungan ketiga lo nggak ngomong, gue pergi dan jangan harap gue mau ketemu lagi sama lo."

Aku mulai menghitung, hingga sampailah pada hitungan ketiga.

"Gue rasa semuanya udah jelas, gue dari tadi ngomong jujur."    

Sudah cukup! Aku bangkit dari kursi, lalu berjalan menuju pintu keluar rumah makan berkonsep outdoor itu. Sebenarnya aku berharap Gavin akan memanggilku dan menghentikanku, lalu mengatakan yang sejujurnya. Namun, itu semua hanyalah anganku karena ia tetap diam di tempat. Harusnya aku sudah tahu: mengorek informasi dari Gavin tak semudah mengorek upil!

Sejatinya, aku adalah tipe orang yang lebih suka mengandalkan logika dibandingkan perasaan. Namun, setiap kali bersama Gavin, perasaanku selalu mengalahkan logika. Dan feelingku mengatakan bahwa ia sedang berbohong. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. Bahkan aku merasa alasan putusnya cowok itu dengan Kak Dona bukan karena perempuan lain.

Hari itu aku benar-benar merasa kecewa. Di hari itu juga aku mulai mempertanyakan perasaanku pada Gavin.

***

"Keira, ada Gavin tuh."

Aku mengalihkan pandanganku dari buku latihan SBMPTN ke sumber suara. Ini bukan pertama kali atau kedua kalinya Mbak Ayu mengucapkan hal itu. Dan untuk kesekian kalinya aku menjawab, "suruh pulang aja. Aku udah mau tidur."

Katanya, tidur sore dapat menurunkan daya ingat dan meningkatkan kadar kolesterol. Namun, demi menghindari Gavin, aku menyimpan bukuku dan membaringkan tubuhku di kasur, lalu menarik selimut hingga menutupi hampir seluruh tubuhku.

Mbak Ayu menggelengkan kepala melihat kelakuanku. "Oke." Ia menutup kembali pintu kamarku.

Sepeninggal Mbak Ayu, aku sibuk dengan pikiranku. Pertemuan terakhirku dengan Gavin membuatku malas bertemu dengannya lagi. Aku tidak ingin mendengar kebohongan lain yang akan dia ucapkan.

"Keikei!" Bersamaan dengan teriakan itu, kudengar suara batu kecil yang terantuk jendela.

Kududukkan secara otomatis tubuhku ketika kudengar teriakan Gavin. Aku mendekat ke jendela, lalu membuka tirainya kecil untuk mengintip apa yang cowok itu lakukan di bawah.

Kulihat Gavin tengah berdiri di bawah sana sambil mendongakkan kepalanya. Ia menangkupkan tangannya di depan mulut dan sekali lagi berteriak memanggil namaku.

Memangnya dia pikir dia itu Romeo? Aku menutup tirai jendelaku dengan kasar, lalu kembali ke kasurku.

"Keira!"

Pintu terbuka, menampakkan Ibu yang segera menghambur masuk.

"Itu teman kamu kenapa?" Ibu duduk di pinggir kasur.

"Dia memang aneh, Bu. Nggak usah dipikirkan."

Ibu mengerutkan keningnya. "Kenapa nggak kamu temui?"

"Nggak papa, Bu. Dia nyebelin. Keira males ketemu dia."

Ibu menganggukkan kepalanya paham. Lalu ia bertanya lagi, "kerjaanmu di rumah makan lancar?"

Aku mengangkat sebelah alisku. Ini benar-benar sebuah kemajuan! Tidak biasanya Ibu menanyakan tentang diriku. Terapi yang dijalaninya ternyata membawa dampak besar.

Dan ngomong-ngomong soal pekerjaanku, Ibu memang belum tahu jika aku sudah lama berhenti bekerja. Aku juga tidak mau memberi tahunya karena itu akan semakin membuatnya bingung. Bingung dari mana aku mendapat uang untuk membayar Mbak Ayu.

Sekarang aku sedikit menyesal telah keluar dari pekerjaanku. Cepat atau lambat aku harus mencari pekerjaan baru. Bahkan jika keadaannya masih seperti ini, mungkin aku harus menunda kuliahku setahun. Tidak perlu bersedih, toh Ayah yang lebih pintar saja tidak pernah mengenyam bangku kuliah. Pria itu lebih memilih mencari pengalaman dari satu tempat ke tempat lainnya hingga akhirnya berhasil membangun bisnisnya. Yah, meskipun sekarang bisnisnya telah bangkrut.

Teringat kembali di kepalaku ketika pertama kali mendaftar sebagai pelayan di Kejora. Setelah Dona meninggal, pekerjaan Ibu menjadi berantakan. Alhasil, ia menjadi salah satu di antara karyawan-karyawan yang terkena PHK. Karena Ibu tidak dapat bekerja lagi maka akulah yang harus menjadi tulang punggung.

Kembali ke pertanyaan Ibu, aku tersenyum, "lancar, Bu."

Ibu balas tersenyum. "Kamu anak yang baik. Makasih ya kamu udah mau kerja keras demi Ibu."

Aku memeluknya erat. Aku percaya bahwa pujiannya tadi tulus, bukan sekadar sindiran seperti dulu. "Semuanya akan kembali normal, Bu," bisikku.

Sayangnya, momen ibu dan anak itu harus terjeda karena suara ponselku. Melihat nama Ayah di layar, aku segera pamit keluar pada Ibu.

"Halo, Yah?" aku menoleh ke belakang, memastikan Ibu tidak mengikutiku. "Sekarang? Iya Keira ke sana sekarang."

***

Masih bingung ya? Tapi perlahan akan terkuak semuanya. Ini part tersulit 😩

Jadi, menurut kalian, siapa yang salah di sini? Gavin? Dona? Keira yang terlalu maksa? Atau apa?

Kalau ada yang mau ditanyakan, tanya aja. Aku tahu kalian bingung. Jangankan yang baca, yg nulis aja bingung :(

Continue Reading

You'll Also Like

7.6K 1.1K 35
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun...
1.6K 121 14
pernahkah kalian mendengar plastic Surgery atau dikenal dengan istilah operasi plastik? ya, operasi plastik untuk mempercantik diri. Dan ini dialami...
4.2K 371 65
Works ini berisi cerita-cerita dari para karakter sampingan/cameo di SERI PANDORA yang tak dapat banyak spotlight. Bakal diusahakan lebih ringan sih...
1M 41.1K 10
TERSEDIA EBOOK di KUBACA APP Jika satu hati pernah menyakiti, akankah hati yang lain mampu melupakan? Jika satu hati pernah tersakiti, akankah dia b...