SO FAR AWAY

By bloominbomnal

35.1K 3.6K 357

Bagiku, bayangan dan kenyataan seolah hanya dibatasi seutas benang. Tipis dan nyaris tak kasat mata, sampai a... More

TOKOH
Begin
Beautiful Night
Stay Awake
Am I dreamt?
Who is he?
Caught in a Lie
Apologize
My Brother's Sin (Jungkook spin-off)
Let Go
In The End

Long Trip

2K 278 60
By bloominbomnal



Suara derit pintu dibuka memecah keheningan, selanjutnya muncul seorang lelaki disana. Ia setengah membuka mata, berjalan menyeret. Jika saja tenggorokannya tidak terasa seperti gurun sahara, ia tidak mungkin repot-repot bangun. Gerakannya lambat, mengambil gelas dan menuangkan air dari dispenser, lalu menarik kursi makan guna meminumnya dengan benar. Ia menghembuskan napas sejenak, meletakkan gelasnya ke meja, kemudian kedua mata mengantuknya bertubrukan dengan manik cokelat milik lelaki yang entah sejak kapan duduk di seberangnya.

"Ah, hyeong! Kau mengagetkanku!" protesnya, tanpa sadar mengeluarkan suara cukup keras.

"Itu karena kau belum terbiasa dengan keberadaanku, dan Jimin." Taehyung melempar kulit kacang yang baru saja dikupasnya, melemparnya tepat sasaran.

Jungkook menatap jam dinding di dapurnya, pukul 03.00 dini. Ia sudah akan berdiri, tapi tangan Taehyung menahannya.

"Hei, temani aku disini,"

"Hyeong, ini masih malam, aku masih mengantuk. Pukul 06.00 nanti kita harus berangkat."

"Sebentar saja, aku ingin bicara,"

Dan lelaki bermata bulat itupun menurut. Ia bertahan disana—terpaksa, tangannya meraup beberapa kacang rebus yang tersedia di meja, memakannya dengan kesal. Menunggu-nunggu Taehyung bicara.

"Ayolah, hyeong, aku mengantuk."

"Apa menurutmu Jimin akan tau?" suara Taehyung merendah. Matanya yang biasa berbinar, kini meredup, menatap kosong pada beberapa kulit kacang yang dibiarkan berserakan di depannya.

"Jimin hyeong akan segera mengetahuinya. Cepat atau lambat, ia pasti menyadarinya,"

"Tapi, bagaimana dengannya nanti? Apakah dia akan marah padaku?"

Jungkook diam, ia tidak tega melontarkan tanggapannya yang mungkin menyakiti Taehyung, tapi kelak kenyatan itulah yang akan dihadapi lelaki di hadapannya.

"Ia tidak akan marah padamu, tapi... ia akan sangat terluka, karenamu, hyeong."

Taehyung memejam, pelan-pelan sebelah tangannya mengusap air mata yang jatuh.

"Aku—aku hanya ingin bersamanya,"

"Tapi tidak seperti ini. Kau membohonginya,"

"Tak ada pilihan lain, Jungkook-ah,"

"Kau saja yang sudah putus asa,"

"Memang!" Taehyung sedikit menggebrak meja, lalu mengusap kasar wajahnya saat sadar yang dilakukannya salah, "maafkan aku. Aku benar-benar... ketakutan,"

Dan Jungkook hanya menatap iba pada lelaki di hadapannya. Tanpa disadari keduanya, ada seseorang yang mendengar semua pembicaraan itu dalam pejaman matanya.


~~~


Pukul 06.00, ketiganya berangkat ke wisata pegunungan Hallasan, membawa perlengkapan yang diperlukan untuk bermalam—jika perlu. Jimin sedari tadi berjalan dalam diam, biasanya ia akan cerewet jika Taehyung bertingkah kelewat riang, apalagi di tempat umum, tapi kali ini ia tak bereaksi. Jungkook juga diam, ia sendiri tak punya topik pembicaaran.

Taehyung? Jangan tanyakan dia. Ia bersenandung sepanjang jalan. Begitu sampai di pegunungan Hallasan, ia menganga kagum.

Jimin benar, banyak anak tangga, lebih tepatnya hiking trail

"Hahh..." Jimin menghela napas, lalu menatap Jungkook, "tolong, nyalakan kameranya. Kita akan mulai merekam dari sini,"

Jungkook mengangguk, ia segera menyalakan kameranya dan mengarahkannya pada Jimin.

"Tae, kau naik duluan, jangan terburu-buru,"

"Okay!"

Jungkook berjalan paling belakang, merekam punggung kedua. Sesekali Jimin menoleh seraya menjelaskan sekitarnya—mirip seperti vlog, sengaja untuk dokumentasinya. Ia menjelaskannya dengan wajah biasa saja, malah terkesan dingin. Jungkook tak menyadarinya, ia tak tau bagaimana Jimin yang biasanya, jadi tak mempermasalahkan apapun.

Mereka masih berjalan, kira-kira sudah menghabiskan waktu 20 menit. Sementara awan kelabu mendadak menggantungi langit biru, membuat mentari pagi yang seharusnya menyinari, berubah jadi mendung yang tak diharapkan.

"Sepertinya akan turun hujan, kita harus cepat, setidaknya sampai di perkemahannya," intruksi Jungkook.

Ketiganya jadi mempercepat jalan, meskipun lelah kian merambati sepanjang otot kaki. Jimin menggeram sesekali, ia jengkel, kakinya berdenyut tidak nyaman, belum lagi ia tak tahu seberapa jauhnya lagi harus menaiki tangga-tangga ini. Ia merutuki ide bodoh Taehyung, wisata pegunungan benar-benar pilihan buruk untuk seorang yang kurang menyukai hiking.

Duk!

Jimin tersandung satu anak tangga, kemudian jatuh berdebam agak keras. Jungkook yang dibelakangnya buru-buru membantunya berdiri, tapi Jimin seolah enggan, ia malah duduk bersikukuh.

"Hyeong, langitnya sudah mendung, tidak ada waktu untuk istirahat,"

Taehyung turun lagi guna mendatangi sepupunya yang terjatuh.

"Kenapa, Jimin?"

Jimin menatap kesal pada Taehyung, rautnya seperti Jihyun yang merengut jengkel. Ia mendorong kecil kaki Taehyung agar menjauh darinya.

"Aku lelah, Tae! Aku ini bukan jiwa pendaki!"

"Hei, ayolah, mungkin tinggal sedikit lagi," Taehyung mencoba membujuk.

"Memangnya kau tau seberapa jauhnya hah? Jungkook-ah, aku tanya padamu, seberapa jauh lagi?"

"Emm... sekitar 500 meter lagi," jawab Jungkook, sedikit merasa bersalah pada Taehyung karena ia mengatakan fakta yang jauh berbeda pada dugaannya tadi.

"Tidak! Aku tidak mau meneruskan! Aku mau istirahat," Jimin berdiri dan keluar jalur pendakian, menginjaki rumput kering yang bercampur guguran daun. Ia kemudian duduk bersandar pada salah satu pohon disana, meletakkan ranselnya di depan lalu membuka zippernya. Ia mengeluarkan air mineral, meneguknya rakus.

Taehyung mengalah, pada akhirnya menyusul Jimin, diikuti Jungkook. Langit semakin mendung, walau Jungkook enggan sekali hujan-hujanan, tapi mau bagaimana lagi, orang yang mengajaknya kini malah merajuk karena lelah. Ia tak menyangka, Jimin rupanya tipe yang tidak suka diajak hiking, padahal dilihat dari postur tubuhnya, ia lebih atletis dibanding Taehyung yang cenderung kurus.

"Jimin-ah, maaf ya,"

"..."

"Jimin-ah~"

Jungkook menatap ke Taehyung yang kini tampak sekali memohon. Ia yang belum mematikan kameranya, diam-diam menyorotnya kesana. Jimin jelas terlihat kekesalannya, dari jawabannya yang pendek dan ketus, meski beberapa kali Taehyung membujuknya untuk meneruskan perjalanan lagi. Sedangkan suasana mulai ramai pengunjung, kebanyakan naik keatas ketimbang yang turun, dan mereka menatap aneh pada ketiganya, Jungkook sadar itu, dan ia hanya bisa menghela napas.

"Jimin,"

"Cukup, Taehyung! Aku sudah menuruti kemauanmu kemari, aku rela menaiki tangga demi tangga—padahal kau tau aku tak menyukainya! Sekarang, biarkan aku menenangkan diriku, dan diamlah atau aku tak segan untuk turun, meninggalkanmu!" Jimin berteriak cukup keras, cukup menarik perhatian yang lewat, sampai seorang gadis dengan polosnya mengomentari, suaranya sama sekali tak dipelankan.

"Bu, apa oppa itu gila? Kenapa dia berteriak sendiri?"

Dan cukup membuat Jimin semakin kesal mendengarnya. Ia hanya menatap gadis yang sekarang buru-buru digendong ibunya, lalu meneruskan jalan seolah tak punya salah apapun. Bahkan ibunya tidak meminta maaf.

"Jimin hyeong, sudahlah, jangan membuat mereka menatap aneh pada kita. Kau juga, Taehyung hyeong, biarkan Jimin hyeong istirahat dulu."

15 menit berlalu. Jimin akhirnya berdiri, menyerahkan jas hujan transparan pada mereka, karena memang mulai rintik. Ia merapihkan miliknya, lalu melihat Taehyung yang hanya memakai tudungnya asal, ia pun membenahinya juga, mengeratkan bagian tudung milik Taehyung hingga sepupu wajahnya itu terlihat bulat. Jika saja ia tidak dalam mode 'kesal', pastilah suara tawanya menggelegar.

"Jangan biarkan airnya membasahi rambut dan telingamu, nanti kau kedinginan," ucapnya, lalu memimpin jalan.

Jungkook tersenyum singkat, melihat betapa penyayangnya seorang Jimin, bahkan hanya pada sepupu. Ia jadi merindukan kasih sayang kakaknya.

"Jungkook," Taehyung memanggilnya.

"Apa, hyeong?"

"Kau merekamnya?"

"Bagian mana?"

"Tadi, saat Jimin—ah lupakan, dia itu memang overprotective,"

Jungkook terkekeh, "aku merekam semuanya,"

Taehyung yang berjalan mendahuluinya itu ikut terkekeh, kemudian menatap punggung Jimin yang berjarak beberapa anak tangga di depannya, seketika binarnya meredup, kekehannya tadi berganti dengan senyuman pedih.

'Maafkan aku, Jimin,'


~~~


Pukul 09.00 pagi, seharusnya mentari sudah bersinar cukup terang, seharusnya mereka dapat melihat langit biru, dan seharusnya pemandangan di sekitarnya akan berwarna terang. Namun, yang didapat ketiga pemuda ini adalah serba kelabu, dengan rintik masih setia jatuh, langit yang digantungi awan abu, dan udara yang dingin. Cukup membuat seorang Park Jimin semakin merengut kesal.

"Oh ayolah, Jimin-ah, bahkan wajahmu sudah menyerupai semua yang di sini, suram sekali," Taehyung mencibir, melipat kedua tangannya di perut.

Kini ketiganya berada di naungan tenda berukuran sedang, yang dibangun mereka sendiri. Jungkook sudah tak punya pekerjaan apapun—ia berhenti merekam sejak membangun tenda ini—dan kini tak tau harus berbuat apa. Ia sepertinya sudah terbiasa dengan kedua sepupu itu, pertengkarannya yang terkesan kekanakan, rasanya ia ingin terus tertawa bila benar-benar sudah mengenalnya. Tidak sopan kan jika menertawai mereka, padahal baru mengenalnya?

"Ah, Jungkook, mana handcamnya, biar kurekam wajah Jimin sekarang untuk dokumentasi."

Jungkook mengerjap, bermaksud menyerahkan handcam pada Taehyung, tapi langsung direbut Jimin.

"Jangan menambah daftar sebab kekesalanku, Kim Taehyung!" Jimin menaikkan intonasi bicaranya, tapi, tidak ada kesan ngeri sekalipun. Tentu saja, Jimin tidak benar-benar marah.

"Memang apa saja yang membuatmu kesal? Banyak tidak?"

"Grrh, aku kesal karena aku telah menghabiskan waktu dan tenagaku demi sampai disini, dan apa? Semua tidak ada indahnya, tidak sesuai gambar yang tertera di web! Di sini mendung, lembab, dingin, kakiku berdenyut, dan belum lagi kau bisa terkena hipotermia jika sampai nanti malam hujan tidak kunjung reda! Itu semua sebabnya aku sangat kesal!"

Dan omelan Jimin mengundang Taehyung, bahkan Jungkook—tak bisa menahannya lagi—tertawa keras. Jimin terlihat menggemaskan, belum lagi tone suaranya yang lebih ke cempreng, membuat keduanya kini berguling saking terpingkalnya. Jimin? Ah, dia juga terbawa suasana, ikut tertawa. Ada kelegaan setelah mengeluarkan semua kekesalannya.

"Hahh... astaga, seharusnya kau merekamnya tadi, Jungkook-ah," ucap Taehyung, mengusap sudut matanya yang berair.

"Maaf, hyeong, aku pun sibuk tertawa. Tak kusangka, ternyata begini lah wujud Jimin hyeong saat marah, tak seseram saat pertama kali bertemu."

Jimin tersenyum, ia mengusak rambut Jungkook layaknya adik, "senang bisa mengenalmu, Jeon,"

Seketika panggilan itu membuat Jungkook terdiam, benar-benar diam seolah tak pernah tertawa sebelumnya. Jimin menyadari perubahan raut Jungkook yang menyendu, buru-buru meminta maaf karena telah merusak mood bahagianya.

"Astaga, maaf, Jungkook-ah. Aku tidak bermaksud memanggilmu—emm, maaf jika itu mengingatkanmu pada mendiang ayah dan ibumu,"

Jungkook tersenyum, pahit sekali, "ah tidak apa, hyeong. Aku hanya... jadi teringat pada hyeongku."

"Sebenarnya, apa yang terjadi pada hyeong—aduh!" Taehyung mengusap pinggang kanannya yang dicubit keras-keras oleh Jimin.

"Maaf, sepupuku ini memang menyebalkan," sahut Jimin.

"Namanya Jeon Sungjin," Jungkook memutuskan untuk menceritakannya pada dua lelaki di hadapannya itu, "dia 5 tahun lebih tua dariku. Ia tidak kuliah, demi membiayai hidup kami bersama. Jeon Sungjin adalah kakak yang baik, sebelum... masuk pada jalan yang salah,"

"Awalnya, aku mencurigai kepulangannya setiap dini hari. Setiap aku bertanya, ia hanya menjawab 'pekerjaan sekarang lebih sibuk, tapi kita akan cepat kaya', dan puncaknya adalah bulan yang lalu. Ia... tidak pernah pulang. Tak memberi kabar apapun, meninggalkanku begitu saja. Aku pun tak tau dimana keberadaannya sekarang,"

Jimin bergerak maju, mendekati Jungkook, kemudian membawanya ke dalam dekapan. Jungkook terisak di pelukannya, dan ia mencoba menepuk punggungnya lembut guna menenangkan.

"Sssh, maaf ya, maaf kami membuatmu harus mengingat kenangan pahit itu," ucap Jimin lirih. Taehyung juga ikut mendekat dan memeluk pemuda itu.

Sejenak, Jungkook dapat merasakan lagi bagaimana hatinya menghangat oleh kehadiran dua lelaki itu. Mereka itu punya sifat kakak yang penyayang, wajar jika Jungkook cepat akrab karena dia sendiri merindukan kehadiran sosok itu.

Dan tangis Jungkook seolah menambah suasana semakin kelabu. Namun, kali ini Jimin tidak membencinya.


~~~


"Jungkook-ah,"

"Ne?"

"Boleh kupinjam handphonemu?"

"Tentu, hyeong,"

"Terimakasih. Oh, di mana anak itu?"

"Mungkin sedang ke toilet, kenapa?"

"Jika dia mencariku, katakan aku sedang berkeliling ya,"

"Memangnya, hyeong mau pergi kemana?"

Senyum itu mengembang, membuat matanya melengkung sabit, "aku ingin memastikan sesuatu. Bye!"

Dan Jungkook terdiam tanpa tau apa maksudnya.




TBC

Continue Reading

You'll Also Like

17.8K 2.7K 12
❝No matter what they said, you're still the definition of my perfect.❞ ××× Rafka ingin menuli. Berusaha tak peduli dengan pandangan orang pada Xavie...
439K 4.6K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
381K 38.9K 38
"Yang ku tau mereka membenciku dan tak pernah menganggapku sebagai saudara mereka.. Bukan kah menjadi keluarga tidak harus dengan darah yang sama? Ak...
37.4K 4.8K 32
[ follow sebelum baca] Brothership✓ VMIN✓ Sebuah dinding besar telah terbangun di kehidupannya sejak awal. Bukan tanpa dasar, keberadaannya yang dira...