EGOMART!: Selamat Pagi, Selam...

By gantistatus

1M 164K 8.3K

PERSYARATAN MELAMAR DI EGOMART! - WANITA, USIA MAKSIMAL 22 TAHUN "Cek, umur gue baru 20." - MINIMAL LULUSAN S... More

BLURB
Prolog
1.1 Pulsanya Sekalian?
1.2 Pulsanya Sekalian?
2.1 Tukang Boker di Celana
2.2 Tukang Boker di Celana
3.1 Kekasih Kanser
3.2 Kekasih Kanser
4.1 Bos!
4.2 Bos!
5.1 Hamsternya Kanser
5.2. (Bukan) Hamsternya Kanser
6.1 Restoran Purna
6.2 Restoran Purna
7.1 Kanser K.O
7.2 Kanser K.O
8.1 Pembawa Berkah
8.2 Pembawa Berkah
9.1 PEDE KATE
9.2 PEDE KATE
10.1 Unblock
10.2 Unblock
11.1 Biasanya Irvan....
11.2 Biasanya Irvan...
12.1 Terbohongi
12.2 Terbohongi
13.1 Berakhir
13.2 Berakhir
14.1 Kabar Duka
15.1 Sebuah Usaha
15.2 Sebuah Usaha
16.1 Bukan Kesempatan
16.2 Bukan Kesempatan
17.1 Terjebak
17.2 - Terjebak
18. Udah
Epilog
Extra Part Plus-plus😂

14.2 Kabar Duka

19.7K 3.4K 166
By gantistatus

Jangan lupa 🌟 dulu
Selamat membaca💃
***

Walau mendengar jelas teriakan itu, namun Purna tidak sanggup beranjak. Kepulan asap dan hawa panas seakan membakarnya. Pandangannya mulai mengabur saat dia merangkak seperti anak kecil. Di tengah usahanya yang sepertinya sia-sia, Purna masih berpikir satu kemungkinan. Seharusnya dia bisa membuka pintu ruangannya sendiri dengan kunci yang masih tergantung di pintu. Tapi seingatnya tadi tidak ada di sana. Dia benar-benar akan habis dilalap api sebelum mengucapkan apa pun untuk berpamitan kepada orang tuanya.

Tubuhnya yang meluruh tiba-tiba terangkat. Dia tidak bisa melihat dengan jelas wajah itu. Hanya bisa memejamkan mata memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi padanya beberapa saat lagi. Dia bahkan mulai mendengar suara barang-barang terjatuh yang dia yakini adalah benda yang mulai terbakar. Dia meyakini itu karena tidak berani membuka mata. Tubuhnya terombang-ambing sebelum tiba-tiba terdengar teriakan dari orang yang menggendongnya.

Purna memberanikan diri membuka mata dan berteriak keras saat tubuhnya terbanting ke lantai. Saat itu dia melihat Endra sedang menghalau benda terbakar yang mengganggu jalannya. Purna benar-benar putus asa sekarang, api semakin menyulut ke mana-mana, bahkan di cekalan tangga yang kini digenggamnya erat-erat.

Dia kembali menjerit saat telapak tangannya terasa panas terbakar. Tatapannya menerawang ke bagian bawah restoran. Api belum sampai ke sana dan dia berharap memiliki kemampuan untuk berlari secepat kilat. Nyatanya tidak berhasil, gerakannya yang limbung lantas membuat tubuhnya justru terjerembab ke tangga, terguling sampai ke lantai dasar.

Endra menyusul ke bawah mengetahui bahwa Purna tergeletak di lantai satu dengan mengenaskan. Dengan tangan bergetar, dia mencoba membangunkan Purna, menepuk pipi itu berkali-kali. Tidak adanya respons membuat Endra mengangkat tubuh Purna dengan sigap.

"Maafin gue, Na. Maaf."

***

"Kamu jangan gegabah, Kanser!" Berkali-kali Leo menarik tubuh adiknya agar tidak mengumpankan diri pada api yang menyala di depannya. Dalam radius mereka yang cukup jauh saja rasa panas itu sudah sangat terasa. "Biarkan petugas saja."

"Tapi, Purna—"

"Memangnya kamu yakin dia ada di sana?!"

"Dia di sana, Le! Endra menghubungiku. Dia di sana!"

Leo tertegun mendengar itu. Wajahnya mengeras. Dia sangat mengenal Endra. Teman Kanser yang sering ditugaskan menjaga Cheryl di Jerman sebelum ditarik mundur oleh Kanser. Apakah ini alasannya? Kali ini untuk menjaga atau mematai-matai Purna?

"Kamu gila!" Leo tidak bisa meredam emosinya. "Buat apa kamu mengirim dia?"

Kanser tidak peduli. Dia berniat kembali berlari menerjang api kalau saja Leo tidak bisa membaca gerak-geriknya. Kembali tubuhnya diempaskan oleh Leo ke tanah. Kanser sangat tahu bahwa ego membuatnya lemah sendiri, bukannya terlihat kuat.

Suara langkah tergesa membuat Kanser meradang. Terlebih melihat Endra menggendong seorang perempuan yang dia yakin adalah Purna. Entah kekuatan dari mana, dia segera menghampiri Endra namun lelaki itu menatapnya tajam, penuh intimidasi.

"Lo akan mendekam di penjara selamanya, Kan."

Kanser tertegun dengan pernyataan itu. Tubuhnya masih terpaku di tempatnya berdiri, menatap nanar pada Purna yang sudah masuk mobil ambulance. Sebelum benar-benar pergi, Endra memberi tatapan menghunus padanya, lengkap dengan acungan jari tengah yang membuat Kanser lepas kendali.

Kanser berlari cepat dan meraih bahu Endra, memberi pukulan keras pada wajah lelaki itu bertubi-tubi. "Berengsek lo! Berengsek!"

"Lo yang bego, Kan!"

"Berengsek!"

Kanser sudah membuat Endra terjerembap di lantai, namun tidak berusaha menghentikan pukulannya yang membabi buta sebelum seorang polisi memisahkan mereka.

"Kalian bisa tenang? Kalau masih membuat keributan di sini, ikut kami ke kantor polisi."

Itu pilihan terakhir Kanser. Yang diingankannya sekarang hanya mengikuti ke mana Purna dibawa. Bukan membuat Endra tertawa karena dibawa ke kantor polisi. Jadi dengan keterpaksaan, dia melepas cekalannya pada Endra. Dilihatnya lelaki itu menyeringai seakan mengancamnya.

"Saya ikut mobil ambulans, Pak." Kanser kehabisan cara untuk meminta dengan baik.

"Anda tidak akan membuat keributan?"

Kanser menggeleng cepat. Dia lalu melompat ke dalam ambulans dan segera menutup pintu, mengantisipasi jika Endra ikut masuk ke dalam mobil walau itu tidak mungkin. Lelaki itu punya banyak cara dan bisa jadi akan sampai di rumah sakit terlebih dulu sebelum Kanser.

Untuk kali terakhir, Kanser melirik kobaran api yang mulai padam dan memejamkan mata, menghalau perasaan bersalah yang terus merayap, tidak memberinya ruang untuk sekadar bernapas dengan baik-baik saja.

Tatapannya tertuju pada Purna. Terakhir kali dia melihat Purna menangis karenanya. Gadis yang terbiasa ceria itu kini terbaring tidak berdaya dengan kondisi yang mengenaskan. Selang oksigen yang membantu pernapasan Purna membuat Kanser kembali merenung, lama. Sebelum tangannya meraih jemari Purna dengan sangat hati-hati. Dia sangat takut membuat Purna lebih sakit dari ini.

Beribu maaf tidak bisa dia utarakan. Nanar, ditatapnya tangan Purna yang terasa kasar, bekas luka bakar. Dengan ketidaksadaran lagi akan sekelilingnya, Kanser mengusap-usap tangan Purna yang tidak terluka, dengan senyum miris yang tidak juga hilang.

Endra benar, Kanser akan mendekam di penjara tidak lama lagi.

***

Purna sudah sadar sejak satu jam yang lalu namun masih setia menatap kosong pada jendela di sudut kiri ruang rawatnya. Dia tahu sedari tadi Kusni ada di sebelahnya namun dia menolak untuk menatap.

"Makan dulu, ya, Na. Orang tua lo juga udah dalam perjalanan ke sini waktu gue ngabarin tadi."

Masih tanpa jawaban. Kusni menghela napas sabar. Sahabatnya itu sama sekali tidak menangis sejak sadar tadi, hanya mengernyit saat menyadari kakinya yang patah terasa sangat nyeri. Juga telapak tangan kanannya panas karena luka bakar. Setelah itu tidak ada suara apa pun lagi.

Purna sempat membuka ponsel, mencari berita tentang restorannya. Foto yang muncul di sana sangat mengerikan. Restorannya sudah rata tanah dengan sisa puing yang berhamburan. Terlebih korban jiwa yang menyentuh angka 60 orang ke atas itu membuat Purna seakan dikurung keremangan.

Dirinya seorang pembunuh.

Berita terbaru yang didapatnya juga merenggut kesadarannya kembali. Kanser mengakui mengirim orang suruhan ke restorannya. Dan Endra adalah orang itu, yang membakar restoran Purna dengan sengaja.

Ternyata semudah itu Kanser menghancurkannya. Hanya dengan membuatnya menangis semalaman lalu meratakan gedung restoran milik mamanya. Purna harus apa kalau sudah mengecewakan mamanya dan pelanggan-pelanggan di berbagai cabang?

Pertemuannya kembali dengan Kanser esok mungkin lebih menyakitkan daripada kebersamaan yang terpenggal beberapa minggu lalu. Nyatanya Purna bukan hanya marah, benci, tetapi lebih dari sekadar itu. Dia tidak akan bisa menghadapi Kanser dengan cara yang sama. Lelaki itu sudah nyaris menghilangkan nyawanya.

"Na, orang tua lo bentar lagi nyampe." Kusni tertegun sendiri setelah mengatakan itu, mendapati kenyataan bahwa kabar yang baru saja diucapkannya tidak mampu menghancurkan beku yang membentengi Purna.

"Kalau mau nangis, nangis aja ....," Kusni berpindah ke sisi di mana Purna terus menatap.

Purna terdiam sejenak. Tatapannya terus terpaku pada jendela. Ucapan getirnya hampir tertelan isaknya yang ditahannya sendiri. "Gimana caranya balikin nyawa?"

"Maksud lo apa, sih?" Kusni ketar-ketir mendengar itu. Dia tidak menyangka Purna yang berkutat dengan psikologi setiap harinya, kini justru terlihat tidak bisa mengendalikan kejiwaannya sendiri.

"Biar mereka balik, dan gue yang mati."

"Ya Tuhan, Purna. Jangan ngomong begitu. Ini bukan salah lo sama sekali."

Purna mengeluarkan tawanya. Kini dia menatap Kusni. Keadaan Purna sangat berantakan. Kusni tidak pernah melihat Purna yang seperti ini.

"Kanser di mana, ya, Ni?" Pertanyaan lemah Purna membuat Kusni mengernyit. "Udah di penjara belum?"

Diam di antara keduanya.

"Biar gue yang antar dia ke penjara." Purna lalu tertawa lagi. "Harusnya gue sama dia yang mati, ya? Dia jahat banget sampe nyuruh orang bakar restoran gue."

"Semua belum tuntas diselidiki, Na. Jangan ambil kesimpulan sendiri." Kusni tahu pikiran Purna kini harus diisi hal yang positif tentang apa pun.

"Dia nggak nemuin gue? Pengecut. Kok gue bisa pernah suka sama cowok pengecut itu, ya? Nggak ada nyali sama sekali."

Itu bukan bentakan kemarahan. Purna mengatakannya dengan nada sindiran yang kental. Kusni diam. Tidak memberitahukan sesuatu apa pun. Bukan karena tidak punya nyali, tetapi polisi terlebih dulu menyeret Kanser sebelum Purna sadar.

"Bokap nyokap gue masih lama?"

Kusni bersyukur, semoga pertanyaan Purna menandakan bahwa sahabatnya itu sudah baik-baik saja. "Sekitar 10 menitan lagi kayaknya. Setengah jam lalu udah sampai bandara."

Purna mengangguk. "Gue siap-siap mau pamitan."

"Pamit? Ke mana?"

Purna memandang geli pada Kusni, seakan menertawakan pertanyaan itu. "Mati?"

***

"Cukup jawab 'ya' atau 'tidak'. Jangan bertele-tele."

Berkali-kali Kanser mendapat teguran saat akan menjelaskan lebih lanjut. Katanya, ada waktu tersendiri untuk membuat pengakuan, nanti, bukan sekarang.

"Apakah Saudara Kanser menyuruh Anda bekerja di Trust Seafood, Saudara Endra?"

"Iya, Pak."

"Benar begitu, Saudara Kanser?"

"Ya."

"Apakah Anda, Saudara Kanser, melakukan itu untuk mematai-matai pemilik restoran?"

"Ya."

"Dan Anda melakukannya, Saudara Endra?"

"Tentu saja iya, Pak. Saya dibayar."

Kanser memberi tatapan tidak bersahabat pada Endra dan dibalas dengan kekehan.

"Apakah semua yang Anda lakukan atas suruhan Saudara Kanser?"

"Iya, Pak."

"Termasuk membakar restoran itu?"

Endra tertawa. "Secara silogisme, ya. Saya suruhannya. Apa pun yang saya lakukan adalah atas instruksi darinya."

"Benar begitu, Saudara Kanser?"

Kanser kembali menatap Endra sangat lama, menyimpan baik-baik kemarahannya untuk dia umpankan nanti. Lalu dia menatap polisi di depannya dengan tatapan tajam serupa. "Ya."

Continue Reading

You'll Also Like

365K 40.7K 30
- kookmin - lokal au - harsh words - end Jungkook sama Jimin itu pacaran, tapi pacaran mereka anti mainstream! Beda sama yang lain.
1.6M 182K 41
Di usia yang nyaris kepala tiga, Terra masih tidak mengerti tujuan hidupnya apa. Selama lima tahun terakhir, dia merasa tidak ada yang berubah, waktu...
36.1K 2.1K 40
[ COMPLETED ] [ REVISI ] "Why am I so afraid of losing you when we aren't even mine" ----- 🥀 ----- Laluna Bella terjebak masa lalunya yang menyesakk...
16.6M 707K 41
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...