SO FAR AWAY

Od bloominbomnal

35.1K 3.6K 357

Bagiku, bayangan dan kenyataan seolah hanya dibatasi seutas benang. Tipis dan nyaris tak kasat mata, sampai a... Více

TOKOH
Begin
Beautiful Night
Am I dreamt?
Who is he?
Long Trip
Caught in a Lie
Apologize
My Brother's Sin (Jungkook spin-off)
Let Go
In The End

Stay Awake

2.4K 333 26
Od bloominbomnal



Kembali pada pagi harinya. Jimin sudah rapi dengan celana panjang kain yang tak terlalu longgar, juga sweater putih turtle neck. Ia dan Taehyung berencana untuk sarapan di luar hotel, jadi pada pukul 8 pagi, ia sudah siap.

Jangan tanyakan bagaimana dengan Taehyung. Ia bangun terlambat, tanpa mandi, ia bersiap. Celana training hitam dan jaket puma senada. Penampilannya malah seperti orang yang mau jogging, bukan makan di restaurant.

Tak mau membuang banyak waktu lagi, akhirnya mereka berangkat pukul 8.15, menuju restaurant yang lagi-lagi Jimin sudah browsing tentangnya. Ia begitu memanfaatkan handphone-nya dengan baik.

"Hoaahm..."

"Tutup mulutmu jika menguap, nanti ada hewan yang masuk,"

"Jimin, itu peringatan untuk anak kecil, kau menyamakanku, ya?"

JImin menggidikkan bahu, enggan mengajak ribut di pagi hari. Taehyung memanyunkan bibirnya sembari bersedekap.

"Kapan kita ke wisata yang kamu maksud?" tampaknya, Taehyung benar-benar tak sabar untuk sekedar melihat daun yang berguguran di pegunungan nanti.

"Besok,"

"Kenapa tidak nanti sore?"

"Taehyung... hari ini kita persiapkan dulu,"

"Kau bilang tidak mau membuang waktu. Jihyun, ingat?"

"Iya aku tau. Tapi, sepertinya jangan hari ini. Aku belum membeli daya cadangan untuk handycam,"

"Itu kan hanya sebentar,"

"Nanti sore saja, kita pindah hotel dekat pegunungan. Besok pagi sekali, kita naik. Bagaimana?"

"Call!"

Jimin membelokkan stir perlahan, masuk ke tempat parkir restaurant yang menjadi tujuan mereka. Mengambil tempat di lantai kedua, dekat jendela, lagi. Itu tempat strategis untuk melihat pemandangan yang diharap dapat membuang penat.

"Aku pesan nasi goreng daging sapi, dan greentea hangat. Bagaimana denganmu, Tae?"

"Emm... aku mau nasi goreng spesial, banana milk es, waffle isi strawberry, burger medium dan... air putih biasa."

Selesai mencatat, pelayan itu pergi. Jimin hanya dapat menggeleng dengan pesanan Taehyung yang berlebih, apakah perutnya itu akan memuat semua pesanannya? Jangan tanya, itulah Kim Taehyung.

"Astaga, Tae, handphoneku tertinggal di hotel!"

"Dasar pelupa. Sudahlah, tak apa, aku bawa."

"Bagaimana jika Jihyun menelepon?"

"Nanti dia juga akan meneleponku jika punyamu tidak dijawab."

Jimin yang setengah berdiri itu kembali duduk. Perasaannya gelisah. Hey, mungkinkah Jimin termasuk orang-orang yang ketergantungan dengan handphone?

"Eo?" Tanpa sadar Jimin bergumam kala matanya menangkap sebuah mobil van hitam, yang kacanya pun hitam pekat, tak terlihat siapa pengendaranya, parkir di sebelah mobilnya.

"Ada apa, Jimin-ah?"

Jimin mengalihkan pandangannya ke Taehyung lagi, "tidak apa... aku hanya bingung dengan mobil van itu... mobilnya begitu tertutup. Apa jangan-jangan di dalamnya ada idol?"

"Mana, mana?" Taehyung mengikuti arah pandang Jimin. Sekon berikutnya, pintu mobil terbuka pada bagian belakang, dan terlihat beberapa orang mengenakan mantel hitam dan topi, mereka juga menggunakan masker. Jalan mereka tampak terburu-buru. "Jangan-jangan, memang idol?"

Jimin mengernyit serius. Entah kenapa, ia tidak suka dengan kedatangan segerombolan  berbaju hitam itu.

"Entahlah, Tae... penampilannya mencurigakan."

"Ada apa sih denganmu? Kau itu, jangan berpikiran yang tidak-tidak. Bisa jadi mereka memang—"

PRANG!!

"SEMUANYA DIAM DI TEMPAT!"

DEG!

Jimin dan Taehyung sontak saling tatap begitu indera pendengaran mereka mendengar suara teriakan dan pecahan di lantai 1. Jimin lantas menggenggam erat tangan Taehyung, firasatnya benar-benar buruk hingga jantungnya berdegup kencang.

""Saat ini, polisi masih menyelidiki jejak kejahatan. Sedikitnya ada 6 orang. Untuk saat ini, diharapkan pada seluruh warga Jeju untuk berhati-hati karena pelaku masih belum tertangkap.""

Jimin membeku, seketika mengingat berita yang sayup didengarnya kemarin malam. Apakah, apakah yang dimaksud mereka semalam adalah...

"Taehyung, kita harus segera—"

Drap. Drap. Drap.

"SEMUANYA DIAM DI TEMPAT!!"

Jimin baru saja hendak melangkah, namun suara derap diikuti teriakan kencang, lalu 3 orang berpakaian serba hitam dengan membawa pistol, telah mendahuluinya sebelum sempat berlari sembunyi. Tangannya semakin erat menggenggam Taehyung.

"JANGAN SEKALI-KALI BERGERAK! MERUNDUK! CEPAT MERUNDUK DAN ANGKAT TANGAN!"

"Jimin," Taehyung berbisik pelan.

"Turuti saja," Jimin perlahan menurunkan tubuhnya, diikuti Taehyung juga.

3 orang itu, berjalan layaknya yang paling berkuasa. Mereka terus menodongkan senjata api, seraya mengumpulkan satu per satu tas, dompet, dan menyita seluruh handphone. Tiba salah satunya berdiri dihadapan Jimin, ia menjulurkan tangan, mengisyaratkan 'serahkan barang berhargamu'. Jimin merogoh saku dan menyerahkan dompet, tentu saja, dan lagi-lagi Taehyung hanya mengikutinya. Orang itu berjalan lagi menyita lainnya.

"KALIAN! SEMUANYA BERDIRI! BERBARIS MEMANJANG!"

"CEPAT!"

Tak ada yang berani melawan seseorang—ah 3 orang yang membawa senjata api, walaupun dalam jumlah, tentu mereka kalah banyak. Tapi, pertanyaannya, memang siapa yang rela ditembak oleh mereka? Bahkan mereka bisa saja membunuhnya.

"TURUN, BERURUTAN!"

Jimin masih menggenggam tangan Taehyung, tak membiarkan sepupunya itu berpisah darinya. Wajah Taehyung menunduk, enggan memandang mereka.

"Cih, apa-apaan, kalian sepasang kekasih ya?" salah satu dari mereka mengatakannya saat Taehyung-Jimin lewat. Matanya menatap remeh ke genggaman tangan Jimin.

Taehyung melepasnya, lalu mengangkat wajah, berganti memandang tajam si pengejek. Tatapannya tajam, sampai Jimin bergidik karena Taehyung yang dikenalnya tidak pernah seperti ini.

"Apa? Kau marah karena kubilang gay?"

"Jaga mulutmu, b*jing*n,"

PLAK!

"Ya! Jangan menyakitinya!" Jimin langsung menengahi saat orang itu maju selangkah, hendak memberi hadiah lebih pada Taehyung yang barusan ditamparnya.

"Ou! Jangan mengacau!" temannya berseru, memanggilnya dengan sebutan Ou.

Disinilah sekarang Taehyung, Jimin, semua pelanggan dan pekerja restaurant. Berbaris rapi layaknya anak-anak yang mengadakan upacara. Restaurant sudah ditutup rapat, dibuat seakan tutup. Memang, restaurant itu memiliki jalan masuk sendiri, dan bangunannya tak terlalu kelihatan dari jalan raya. Wajar jika tak banyak yang berkunjung.

"Dimana freezer-nya?" tanya lelaki kekar yang tertinggi diantara lainnya, pada seorang koki.

"Di-di dekat dapur,"

"Tolong, tolong jangan sakiti kami... kalian boleh mengambil uang kami dan semuanya... jangan sakiti pelanggan kami..." barusan yang memohon adalah seorang pelayan wanita. Cukup berani walau kentara sekali raut takutnya.

"Cih, tidak, tidak. Kalian akan kubebaskan setelah aku puas mengambil semua. Sekarang, cepat berbaris memanjang dan ikuti dia," Ia menunjuk pada salah satu temannya yang sudah berdiri di depan pintu dapur.

Benar, mereka semua, jumlahnya sekitar 20 orang, masuk ke dalam freezer besar—lebih tepatnya ruangan yang khusus pembekuan. Banyak bongkah es batu berukuran besar di dalamnya. Udaranya pun sangat dingin.

"Tidak," Jimin berbalik sebelum menginjakkan kaki ke dalam. "Kumohon, jangan lakukan ini pada kami."

"Ya! Siapa yang menyuruhmu berbalik?!"

PLAK!

"Kep*r*t!!"

BUGH!!

Taehyung, bercampur dengan emosi dan tak terima melihat Jimin ditampar keras itu akhirnya nekat memukul salah satunya, seseorang yang menampar Jimin barusan.

"YA! KAU BERANI PADAKU HAH?!"

Ujung pistol itu menghadap kepala Taehyung, dekat, hingga membuat Jimin menahan napasnya.

"KUBILANG MASUK!" Ia menodongnya lebih dekat, mau-tidak-mau keduanya melangkah mundur, dan berakhir di dalam ruangan freezer bersuhu 5" bersama yang lainnya.

"Astaga, Taehyung," Jimin sudah memancarkan khawatir berlebih, mengingat jika sepupunya tak tahan dingin. Akan berapa lama mereka dikurung didalam?

"Tak apa, Jimin-ah... aku sudah memakai baju hangat dibalik jaketku. Aku akan baik-baik saja." ucapnya seraya tersenyum, walau baru saja beberapa menit, bibirnya sudah cukup menggigil samar.

Keduanya mencari tempat yang sekiranya tak terkena terpaan pendingin, namun tetap saja, suhu ruangannya tak akan mengubahnya menjadi hangat.

Jimin terus menggenggam tangan Taehyung, keduanya berjongkok di sudut ruangan. Ruangan yang tadinya berkabut perlahan menipis. Entah karena banyaknya manusia didalam atau 'mereka' menaikkan suhunya.

"Hahh... Hahh... Uhuk, uhuk," Taehyung menutup mulut dengan satu tangannya. Napasnya sudah memberat sampai membuatnya terbatuk beberapa kali.

"Tae," Jimin agak panik, ia bahkan tak punya sapu tangan untuk menutup mulut dan hidung Taehyung. Tangan sepupunya itu sudah sangat dingin, juga agak basah oleh keringat.

"Astaga, berapa lama mereka mengurung kita disini," suara salah seorang pelaggan memecah keheningan.

"Ini sudah 15 menit." Balas lainnya.

Sang kepala koki memutuskan berdiri, melihat keadaan melalui kaca persegi pada pintu ruang freezer itu. Suasana dapur tampak sunyi, seperti tak ada tanda dari mereka.

"Kurasa, kita ditinggalkan oleh mereka." Ucapnya dengan suara berat, juga menahan gigilan yang kentara.

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Mereka menyita ponsel kita."

"Tidak adakah yang bisa kita lakukan?"

Diam. Tidak ada apapun selain bongkahan es. Pintunya pun tebal dengan kaca yang sulit dipecah. Berteriak? Mereka tau itu juga sia-sia. Teriakan mereka tak akan sampai ke jalan utama. Ruangan ini benar-benar dibuat kedap, tanpa udara, tanpa ventilasi, guna menjaga es tetap beku.

Lambat laun, suara batuk saling bersahutan, napas berat terdengar jelas, beberapa dari mereka memilih diam menahan dingin yang semakin menjadi-jadi. Bayangkan saja, kalian terkurung dalam ruangan berukuran 3m x 4m yang bersuhu kurang lebih 5 derajat, dimuati 20 orang, dalam durasi yang terlewati sudah 1 jam.

"Jim... min..." suara Taehyung terdengar lirih, menyerupai bisikan. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Jimin.

"Eo, gwenchana?" Jimin pun sepertinya kedinginan, ia sedari tadi diam seraya terus bersedekap.

Mata Taehyung tampak meredup, ia menatap ke orang-orang sekitar, yang beberapa dari mereka terkulai, seperti tidur, atau entahlah.

"Aku... sangat... mengantuk..."

"Taehyung... kita... tidak boleh tertidur. Tidak-boleh."

"Aku lelah..."

Jimin mengubah duduknya, menghadap ke Taehyung yang sudah sangat lemas. Ia memeluk temannya itu, menepuk-nepuk tubuhnya agak keras, berharap mengusir kantuk Taehyung. Namun, tepukannya pun terasa pelan. Hey, Jimin juga merasa tubuhnya berat. Ia juga ingin sekali tidur.

"Tetap jaga kesadaranmu... kau lelah, aku lelah... kita semua lelah... tapi... jangan-tertidur. Mengerti?" Jimin mencengkram bahu Taehyung, menatap sorot mata temannya yang redup. Taehyung mengangguk pelan. Ia kembali bersandar pada bahu Jimin.

"Apakah... menurutmu... kita... bisa selamat?"

"Taehyung, apa... maksudmu, eo? Kita... pasti selamat."

"Siapa... siapa yang tau kita disini? Mereka... mengunci semua... tak ada yang tau... tak ada... yang tau kita disini..." Taehyung mulai meracau, air matanya pun ikut turun perlahan. Kentara sekali ia nyaris putus asa, atau memang sudah putus asa.

"Taehyung, cukup,"

"Seharusnya... seharusnya kita di hotel saja... seharusnya kita tidak kemari..."

Jimin terdiam. Sarapan di luar hotel adalah rencana Taehyung, namun yang sebelumnya mencari tau dimana tempat sarapan mereka adalah Jimin. Lalu siapa yang patut disalahkan?

"Apa... yang harus... kita lakukan... Kita harus keluar... Jimin-ah... kita harus pergi... Ayo... ayo ke hotel dan tidur... aku tidak mau melakukan apapun... ayo, kita harus pergi... tugas kita... Jihyun menunggu di r-rum-ah... Jimin..."

"Sst..." Jimin menenangkan Taehyung yang sedari tadi bergumam tak jelas. "Kita pasti keluar dari sini... Kau dan aku... akan ada yang menyelamatkan kita semua... Jadi... jangan tertidur... bertahanlah... bukankah besok... kita akan pergi bersama-sama...?"

Bibirnya yang semakin membiru itu mengulas senyum samar, air matanya belum berhenti menetes dan membasahi bahu Jimin. Matanya menerawang lurus, entah kemana. Ada binar disana, kala pikirannya membayangkan kebahagiaan akan hari esok. Kim Taehyung, suka sekali dengan wisata.

"Jimin..."

"Hm..."

"Berjanjilah... padaku..."

"Em?"

"Liburan... mu-musim dingin... B-ber...janjilah... Kita akan... ke Jeju l-lagi... bersama... Ji-hyun... N-nam-namjoon hyeong..." Napas Taehyung mulai terdengar cepat dan pendek. Tangannya diam-diam mencengkram erat ujung jaketnya. Ia merasakan sensasi aneh, tubuhnya serasa melayang-layang seiring kesadarannya juga menipis.

"Eo... aku janji..."

"Hahh... hahh... baiklah... hahh... kita... harus... bertahan..."


><><><


'Jimin!'

Perlahan-lahan, mata itu kembali membuka. Pandangannya buram, juga berbayang. Ia berkedip pelan, samar-samar pendengarannya menangkap sebuah suara yang berteriak.

"Ada orang di dalam?"

"Polisi disini!"

'Tolong...' mulutnya serasa beku hingga tak mampu mengucapkan apapun. Tenggorokannya terasa kering, padahal ia berada di ruangan freezer. Ia melirik ke kanannya, seorang pria berpakaian koki bergerak pelan dari duduknya.

Pria itu tertatih menuju pintu. Sebisa mungkin ia mengangkat tangannya dan menggedor pintu semampunya. Disusul lagi pria berbadan tambun. Dua orang yang sama-sama hampir membeku itu berusaha membuat suara gaduh yang sekiranya dapat mengundang perhatian polisi.

Dak! Dak! Dak!

Jimin, yang dilakukannya hanya duduk. Tubuhnya serasa lemas, menoleh saja tidak mampu, padahal ia ingin sekali menyadarkan Taehyung yang bersandar pada bahunya.

"Astaga! Disini! Tolong aku! Mereka disini!" suara seorang polisi tampak dekat, sepertinya ia sudah tau keberadaan mereka semua.

"Cepat! Buka pintu ini!"

BRAK


><><><


"Tarik napas perlahan... ayo, nak... kau pasti bisa..."

Jimin berusaha melakukan apa yang dikatakan paramedic. Tubuhnya kini berbaring pada ambulan stretcer, tubuhnya sudah dibabat oleh warming blanket, membuat kedinginannya berangsur berkurang. Namun, tetap saja, Jimin masih lemas dan jantungnya berdegup lambat. Sepanjang perjalanan, dipikirannya hanya satu, Taehyung.

Ia ingat walaupun dalam pengelihatan samar, ia melihat Taehyung yang terkulai lemas dalam gendongan paramedic. Bahkan Taehyung tak membuka matanya. Taehyung tak sedikitpun menunjukkan kesadarannya. Jimin takut sekali melihat itu. Ia takut, takut terjadi sesuatu buruk pada sepupunya.

Ia ingin sekali cepat pulih dan menemui Taehyung.

Puk. Puk.

Jimin hampir saja memejamkan matanya lagi, tapi segera sadar ketika paramedic disebelahnya menepuk pipinya agak keras.

"Tidak boleh tertidur. Jaga kesadaranmu, nak... sebentar lagi kita sampai. Bertahanlah." Polisi itu tersenyum, tangannya mencengkram erat tangan Jimin, menjaga kesadarannya.

Ambulans yang ditumpanginya dirasa berhenti, dan pintu terbuka lebar. Jimin menuruti apa yang diminta, yakni tetap terjaga. Ia menatap kosong setiap lampu di langit-langit sepanjang lorong. Pikirannya terus melayang ke Taehyung, Taehyung dan Taehyung. Ia tidak bisa tenang.

Sementara pikirannya melayang ke sepupunya, tubuhnya tengah diberi penanganan yang lebih lengkap. Ia sudah berbaring diranjang IGD, dan mereka, perawat serta 1 dokter sibuk memeriksa denyut, tekanan darah, juga responnya. Ia diminta mengedipkan mata untuk respon ya atau tidak disetiap pertanyaan.

Kebisingan di sekitar IGD sama sekali tak dapat didengar, telinganya seolah tuli. Ia berkali-kali memejamkan mata, menetralisasikan pandangannya yang berbayang.

"Jantungnya berhenti berdetak! Siapkan alat kejut!"

Samar, ia mendengar teriakan panik ditengah keramaian.

"Clear!"

"Lagi!"

"Clear!"

Jimin bergerak gelisah, ia mencoba melepas masker oksigennya dan menggerakkan tubuhnya untuk turun. Ia benar-benar mengkhawatirkan Taehyung.

"Hey, hey, tidak, nak, tubuhmu masih lemah. Berbaringlah." Seorang dokter memegang lengannya, mencoba membuatnya berbaring lagi.

Jimin menggeleng, ia tetap memaksa. Entah kekuatannya darimana, ia berhasil mendorong dokter itu, kemudian melepas paksa infusnya. Langkahnya terasa mengambang, beberapa kali ia oleng. Matanya yang kabur mencoba membelah hiruk pikuk orang berlalu lalang.

"Ayolah, nak, jangan menyerah!"

"Clear!"

Jimin menoleh, atensinya beralih pada seorang dokter yang sibuk dengan alat kejutnya. Ia berjalan kesana. Perasaannya jadi semakin campur aduk seiring ia mendekat.

"Tidak, kita sudah kehilangan dia."

DEG!

Jimin membelalak, sekilas ia melihat wajah orang yang kini ditutup seluruhnya dengan selimut. Sekilas. Namun cukup membuat dunianya seketika berhenti. Ia mencoba mengambil selangkah lagi, tapi pandangannya semakin redup, dan sekon berikutnya, ia tidak merasakan tubuhnya jatuh terbanting di lantai.

'Kumohon. Katakan jika ini hanya mimpi.'



TBC



Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

37.4K 4.8K 32
[ follow sebelum baca] Brothership✓ VMIN✓ Sebuah dinding besar telah terbangun di kehidupannya sejak awal. Bukan tanpa dasar, keberadaannya yang dira...
1M 84.3K 29
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...
1M 63.2K 36
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
240K 21.8K 18
'Besok' adalah satu kata yang paling menakutkan bagi Taehyung. Kim Taehyung, Byun Baekhyun, Jung Daehyun Brothership fanfic