SAUDADE (Fly Me High) - BACA...

By SophieAntoni

169K 16.3K 709

Kisah tentang dua orang yang masih punya harapan untuk cinta More

Intro
PROLOG
CAST-SAUDADE
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
33
34
35
36
37
38
39
40
41 (EPILOG)

32

4.5K 433 32
By SophieAntoni

***Warning: Typo

***Slow update

***Thank u buat kalian yang masih setia nungguin...loveeee banget

Erick Leitner

Langit di balik barisan pohon kelapa di bawah sana sudah berubah jingga. Barisan lampu solar cell yang berbentuk seperti obor di sekitar kolam renang ini mulai bercahaya dan suara-suara serangga malam mulai terdengar di kejauhan namun sosoknya masih bertahan duduk di tepi gazebo di bawah sana. Aku menahan langkahku untuk menghampirinya, bersender di antara pintu kaca ini dan terus mengamatinya.

Aku tidak berhasil mendapatkan tiket penerbangan malam ini. Aku juga tidak tahu kenapa begitu banyak orang yang sepertinya harus keluar dari Bali hari ini juga. Kami baru aka berangkat besok pagi-pagi sekali. Aku menegakkan tubuhku saat melihat sosoknya melangkah naik menghampiriku.

"Kamu baik-baik saja?"

Dia mengangguk dan aku langsung membawanya kepelukanku.

"Maaf aku nggak berhasil mendapat tiket malam ini."

"Nggak apa-apa."

"Kamu sudah menghubungi Tania?"

Dia mengangguk. Aku merenggangkan dekapannya dan memandang wajah sayunya.

"Mama masih belum keluar dari ICU." Dia terdiam sebentar seperti sedang berpikir. "Tania hanya bilang seperti itu." Sambungnya lagi dan kembali membenamkan kepalanya di dadaku. Aku tidak tahu makna di balik diamnya dan wajah sedihnya saat menyebut nama Tania. Ava belum mengatakan padaku apakah Tania sudah tahu dengan hubungan kami. Namun aku sedkit menyimpukan bahwa bisa jadi Tania sudah mengetahuinya dan hal itu yang sedikit mempengaruhi hubungaan mereka. Ada sedikit rasa bersalah dalam hatiku seandainya memang benar Tania menyukaiku. Tapi kembali lagi aku tidak pernah dengan sengaja mengatur pertemuanku dengan Tania yang ternyata adalah kakak dari perempuan yang aku cintai. Takdir telah mengikat kami tanpa kami sadari. Dan siapa aku yang bisa menyalahkan takdir. Satu-satunya yang penting bagiku adalah membuat Ava terus berada dalam pelukanku ini, sesakit dan sesulit apapun hal-hal yang akan muncul di hadapan kami nantinya.

"Okey." Aku mengelus rambutnya kemudian menggandengnya ke dalam kamar. "Kamu makan dulu ya."

Dia sekali lagi menjawabku dengan anggukan kemudian ia merebah menyamping di atas ranjang, sedikit melengkungkan tubuhnya dengan pandangan yang terarah padaku.

"Entah kenapa aku punya feeling nggak enak tentang Mama."

Aku membawakan sebotol air untuknya kemudian duduk di tepi ranjang.

"Sepertinya Mama menyembunyikan sesuatu dari kami." Keningku berkerut tidak mengerti. "Tentang sakitnya." Jelasnya dan membuatku paham.

"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?"

"Entahlah...ketika aku kembali ke Jakarta, wajah Mama tidak seperti saat aku terakhir kali melihatnya. Wajahnya lebih kuyu, lebih terlihat lelah, dan aku berpikir bahwa itu karena Mama memang lelah harus mengurusi perusahaannya dan menghadapi Kak Tania dan segala persoalannya. Belum lagi Bang Aldo dan..." Ia menghela napas. "aku tentunya." Ia mengakhiri kalimatnya dengan sebuah decakan kecil seperti sebuah penyelasan.

"Tapi Mama kamu sebelum ini pernah masuk Rumah sakit karena hipertensi dan jantung kan?" aku mencoba mengingatkannya.

"Iya. Aku saja yang terlalu berpikir jauh." Dia menggeleng mencoba mengusir semua yang ada dalam pikirannya.

"Sebagai seorang dokter wajar kamu berpikir seperti itu. Tapi berharap saja feeling kamu itu nggak benar, khusus untuk Mama."

Kata-kataku berhasil menciptakan senyum di sudut bibirnya.

***

Ava Argani

Aku terus mengecek ponselku, memastikan apakah ada pesan dari Tania, sejak dari bandara Ngurah Rai hingga ponselku kembali diaktifkan saat kami sudah berada dalam taksi menuju Rumah Sakit di Jakarta. Aku selalu menarik napas lega setiap kali melihat tidak ada pesan atau bahkan telepon yang masuk. No news is a good news, rite?

Aku melirik Erick yang masih setia menemaniku menyusuri lobi Rumah sakit besar ini menuju ruang ICU. Namun kami tidak mendapati Mama di sana dan salah satu perawat mengabarkan bahwa Mama baru saja dipindahkan ke kamar perawatan. Aku kembali menarik napas lega.

"Ava." Aku menoleh dan mendapati Tania sudah berdiri tidak jauh dari kami. Ia memandangku dan Erick bergantian. Tidak ada ekspresi berarti tergambar di wajahnya jadi aku tidak bisa menerjemahkan apa yang sedang ia pikirkan saat ini, saat melihat kami bersama untuk pertama kalinya.

"Bagaimana Mama?" aku mendekatinya. Saat ini aku sama sekali tidak punya rasa lain selain raa khawatirku pada keadaan Mama, meskipun detik ini yang sedang kuhadapi adalah Tania, orang yang saat ini kuharapkan tidak melihatku bersama Erick.

"Ikut aku." Katanya. Aku mengiringi langkahnya sedang Erick berjalan sedikit di belakang kami. "Masih ada dokter di dalam." Tania menghentikan langkahnya di depan sebuah pavilion perawatan. Aku mencoba mengintip di antara sela pintu yang sedikit terbuka. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan di dalam namun aku bisa menangkap satu kata yang sedang dibahas dokter-dokter di dalam, yang sedikit membuat perasaanku tidak enak. Terapi target? Aku mengerutkan keningku untuk berpikir. Bukankah terapi itu untuk pasien kanker? Mama mengidap kanker?

"Mama kenapa sebenarnya Kak?"

"Pasti jantungnya lagi kan?" jawab Tania ketus tanpa melihat ke arahku.

"Kakak nggak tanya dokternya?"

"Dokter bilang serangannya sama kayak terakhir waktu mama masuk Rumah Sakit." Jelasnya lagi dengan nada sedikit meninggi. Aku paham. Aku sedikit melangkah mundur saat tiga orang berseragam putih itu keluar dari kamar. Mereka hanya mengangguk kecil pada kami.

"Masuklah." Kata Tania. Aku mengela napas dalam-dalam sebelum melangkah masuk. Aku melihat Mama sedang memejamkan mata dan aku yakin dia tidak sedang tidur.

"Ava." Sapanya dengan mata yang masih mengatup. Dia tahu kehadiranku.

"Iya, Ma." Perlahan aku mendekatinya dan kelopak matanya pun membuka. Beberapa detik ia habiskan untuk memandangku tanpa mengatakan apapun. Aku sedikit menunduk.

"Kenapa kamu pergi dari rumah? Itu rumah Papa dan Mama bukan rumah Aldo jadi dia nggak berhak mengusir kamu dari sana." Aku mengangkat wajahku menatapnya namun lidahku kelu untuk sekedar mengiyakan semua kata-katanya.

"Saat itu Mama diam dan pergi bukan karena Mama percaya pada kata-kata Aldo dan menyalahkan kamu." Dia terbatuk kecil. "Ya, Mama akui rasa trauma itu ada dan kata-kata yang keluar saat itu hanya imbas."

"Ava tahu, Ma." Aku mengangguk. "Ava mengerti perasaan Mama."

"Ava..." perlahan tangannya mendekatiku dan meraih tanganku. Jantungku berdesir sesaat. "Mama sakit." Ada getar dalam suaranya. Kami berpandangan dan aku bisa membaca apa yang tergambar di wajahnya. Kali ini jantungku seperti melesak turun dan membuat napasku sedikit tak beraturan. Aku kini tahu apa yang kuduga tadi memang benar.

"Sejak kapan Mama tahu?" tanyaku dengan suara parau. Ia sedikit memalingkan wajahnya seperti sedang mencoba menahan suatu perasaan.

"Jadi kamu memang mendengar kata-kata dokter tadi?"

"Sedikit."

"Kamu memang seorang dokter." Ia berkata tanpa memandangku. Aku melihatnya menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab pertanyaanku.

"Terakhir kali Mama masuk Rumah Sakit. Saat itulah Mama mendengar vonis itu." Dia kembali memandangku. "Kanker ovarium. Waktu itu Mama sangat marah karena Mama merasa ini sangat tidak adil. Mama menyalahkan semua orang termasuk kamu dan Papamu. Dan saat melihat kedatanganmu saat itu, jujur itulah perasaan Mama yang sebenar-benarnya." Kulihat matanya kini berkaca-kaca.

"Kenapa Mama nggak bilang pada Kak Tania dan Bang Aldo?"

Dia hanya menggeleng lemah. "Kanker bukan kata yang mudah diucapkan di depan orang-orang yang kamu sayang. Apalagi Tania saat itu..." ia mendesah pelan. "Dan Aldo." Ia kembali membuang napas berat.

Kepalaku mendadak pening.

"Tania beberapa bulan terakhir sudah berubah dan Mama perlahan mencoba melatihnya untuk menjadi pengganti Mama." Kini ia melihatku dengan sorot mata yang jauh lebih teduh. "Mama tahu kamu ada andil dalam perubahan Tania meski Mama tidak tahu bagaimana caramu." Aku termenung mendengar semua penilaian Mama melalui kata-katanya. Tania berubah bukan karena aku tapi karena rasa cintanya pada seseorang, kataku dalam hati. Dan sekarang apakah aku harus merasa bersalah bila aku yang kemudian menjadi alasan Tania kembali pada kebiasaan buruknya? Kali ini perasaanku pun terbagi.

"Ava..."

"Iya, Ma."

"Kalau Mama mati hari ini, Mama hanya ingin kamu tahu bahwa setiap saat Mama berdoa untuk bisa memaafkan semua masa lalu dan menyayangimu seperti Mama menyayangi Tania dan Aldo. Maafkan Mama." Ia meremas tanganku pelan. "Itulah keinginian Mama sejak kembali ke Rumah Sakit ini."

Aku meneguk ludah untuk melawan rasa perih yang tercipta di hatiku. Mama adalah definisi wanita yang sangat baik dan tegar. Wanita mana yang mampu hidup dengan dosa suaminya bertahun-tahun kalau bukan karena dia punya hati yang baik dan jiwa yang tegar?

Seorang perawat masuk dan memberi suntikan pada Mama dan memintanya untuk istirahat. Aku melangkah mundur dan keluar dari ruangan itu dengan perasaan yang tidak menentu.

***

Tania Kirana

Lega rasanya melihat Mama akhirnya dipindahkan ke ruang perawatan. Dua hari terakhir ini hidupku terasa seperti di neraka. Menakutkan. Mama tiba-tiba pingsan di ruang kerjanya dan tidak sadarkan diri hampir seharian. Dokter hanya mengatakan bahwa Mama terkena serangan yang sama seperti terakhir kali ia masuk ICU. Aldo menemaniku semalaman dan setelah itu ia tidak muncul hingga detik ini. Aku tahu dia sedang stres berat dengan masalahnya sendiri dan sakitnya Mama ini pasti membuat dia semaikin kalut. Aku berharap ia tidak bunuh diri saja. Abangku itu bukan laki-laki yang bisa diandalkan, tak sedikitpun ia memiliki kesamaan dengan Papa. Aku berharap dia bukan anak Mama dari laki-laki lain.

"Ah..." aku mengeluh sendiri karena lelah ini membuat aku berpikir ngaco. Ya, aku lelah. Jiwa dan raga. Sedang orang yang kuharapkan ada di sini untuk menemaniku, entah sekarang berada di mana. Kepergian Ava mematahkan semangatku. Aku kehilangan satu malaikatku. Ah tidak...aku kehilangan dua-duanya. Aku tidak pernah menyangka bahwa mereka saling jatuh cinta. Ini sangat absurd. Ya, absurd bagiku. Bagaimana bisa? Sampai detik ini aku masih tidak paham dari mana cinta itu bisa hadir di antara mereka.

Patah hati? Tentu. Aku punya harapan besar pada laki-laki itu. Dia laki-laki pertama yang membuatku menjadi diriku sendiri. Aku bahkan tidak ragu menunjukan sisiku yang selalu kusembunyikan di depan laki-laki yang aku sukai. Aku buruk dan rapuh di depannya tapi dia tetap memandangku tepat di mataku saat ia berbicara denganku atau hanya sekadar mendengarkanku. Bagaimana kamu tidak jatuh cinta padanya? Aku pernah begitu rela ketika aku melihatnya bersama dengan perempuan lain, namun sektika hatiku berubah membuncah saat dia memastikan bahwa tak ada rasa untuknya. Harapan itu kembali namun seketika harapan itu jadi berkeping saat aku tahu tentang mereka. Kedua malaikatku.

Aku memijit pelan pelipisku dan melirik pergelangan tanganku. Sudah hampir pukul sembilan dan perutku belum diisi sejak kemarin. Aku sedikit terhuyung saat membawa tubuhku berdiri dan saat itu juga pandanganku terkunci pada dua sosok yang berjalan tergesa ke arah ruang ICU. Aku mendesah pelan karena tiba-tiba sisa tenaga ditubuhku tersedot habis. Aku kembali terduduk. Mencoba menenangkan perasaanku dan memupuk sedikit kekuatan untuk menghadapi mereka.

***

Erick Leitner

Ava memasuki ruangan itu dan meninggalkanku bersama Tania. Untuk beberapa saat tak ada yang biacara di antara kami. Kecanggungan kental terasa. Aku hendak melangkah ke barisan kursi yang tersedia di lorong paviliun itu namun langkahku terhenti saat suara itu terdengar memanggil namaku.

"Bisa kita bicara?" Aku bukannya takut untuk mengajaknya bicara tentang hubunganku dengan Ava namun saat ini rasanya bukan waktu yang tepat bagiku yang memulainya. Aku memutar tubuhku dan memandangnya. Aku bisa melihat betapa pucatnya wajah itu. Kelelahan tergambar jelas.

"Kamu sudah makan? Kamu nggak sakit kan?" matanya yang tadi redup seketika berubah tegas memandangku.

"Jangan lakukan itu. Perhatian lo yang selalu membuat gue nggak rela. Jangan membuat gue ingin terus marah sama Ava."

"Aku yang salah. Jangan marah pada Ava."

"Justru gue nggak marah sama lo. Ava-lah yang bersalah."

"Tania..."

"Ava bersalah karena dia nggak ngasih tau gue. Dia selalu sama-sama gue tapi kenapa dia nggak cerita tentang semua yang terjadi sama lo berdua."

"Itu karena..."

"Gue tahu. Karena dia nggak mau nyakitin gue kan? Karena dia nggak mau hubungan kami rusak? Tapi bukankah pada akhirnya semua sama saja. Hubungan kami buruk. Gue terluka. Dan dia ninggalin gue. Dia membuat gue terus menebak dan menduga. Dia membuat gue tenggelam dalam patah hati sendirian padahal dia yang paling gue butuhkan. Seandainya dia cerita. Seandainya dia membiarkan gue marah-marah, diemin dia, gue nggak akan selelah ini."

Aku terdiam.

"Maafkan kami." Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku sesaat kemudian.

Napas Tania naik turun karena baru saja melepas emosinya. Dia tidak memandangku namun aku bisa melihat air mukanya yang turun dan matanya berkaca-kaca saat ia mendongak ke arahku.

"Gue memang egois. Gue hanya mau mikirin perasaan gue sendiri, gue memang seperti itu. Ava yang selalu bisa ngerti gue. Dan gue kehilangan dia sekarang." Ia menyeka dengan cepat matanya seperti takut membiarkan air mata itu jatuh. "Dan gue percaya sama pilihannya. Jaga dia baik-baik, Rick." "Kamu nggak kehilangan Ava." Namun dia hanya menggelengkan kepalanya menanggapi ucapanku, kemudian berdecak pelan sebelum meninggalkanku.

"Kak Tania." Aku berbalik dan melihat Ava berlari kecil keluar dari pavilion. "Kak." Panggilnya sekali lagi saat melihat Tania urung menghentikan langkahnya.

"Mama mau bicara." Langkah Tania terhenti. "Mama mau bicara sama kita." Kata Ava sekali lagi. Tania akhirnya berbalik arah dan melewati Ava dan aku begitu saja. Aku meremas pundak Ava pelan saat melihat ekspresi wajahnya yang sedikit berubah karena sikap dingin Tania padanya.

"Kamu pulang aja. Kan nanti sore kamu harus terbang."

Aku membuang napas sebagai ekspresi bahwa aku tidak ingin meninggalkannya di sini apalagi dengan sikap dingin Tania padanya.

"Kamu baik-baik saja?"

Dia mengangguk.

"Pulanglah. Nanti aku cerita semua setelah kamu kembali ke Jakarta."

"Okay. Nanti aku telepon." Aku menarik tangannya dan mendaratkan sebuah ciuman di keningnya. "Tania sangat menyayangimu. Dia marah dan bersikap dingin karena dia menyayangimu. Kamu bersabar ya."

Dia kembali mengangguk dan memberikan senyum kecil.

"Ah...seharusnya kamu yang paling tahu tentang kakakmu itu." Aku menghela napas dikarena masih berat meninggalkannya. Ava seorang perempuan yang kuat dia pasti bisa melewati ini semua. Aku sesekali menoleh ke belakang hingga bayangan Ava hilang di balik pintu pavilion.

***

Ava Argani

Aku melangkah perlahan masuk ke dalam kamar perawatan Mama. Aku bisa mendengar isak tangis Kak Tania. Mama pasti sudah memberitahukannya.

"Ava tahu karena dia mendengar kata-kata dokternya." Kata-kata Mama membuat Tania mengangkat wajahnya memandangku, namun tidak ada kata yang keluar dari mulutnya. Ia justru menangis semakin keras.

"Tania! Berhenti menangis." Suara Mama kembali terdengar. "Mama pengen kamu kuat." Tania berusaha keras menghentikan isaknya.

"Maafin Tania, Ma." Katanya di sela tangisannya.

"Aldo dimana?"

"Aku juga nggak tahu. Udah berkali-kali ditelepon tapi nggak dijawab. Aku telepon Mbak Mitha juga nggak diangkat." Sungut Tania sambil menyeka kedua matanya yang basah.

"Ya sudah kamu nggak usah bilang dulu sama abangmu itu tentang sakit Mama."

"Kok?" protes Tania.

"Mama tahu di sedang kalut tentang hutangnya. Dia bahkan sudah dilaporkan ke polisi." Beritahu Mama dan membuat aku berdecak sedih.

"Tan, kamu tolong kontak Om Ardi dan suruh dia ke sini." Kata Mama pada Tania. Om Ardi adalah pengacara perusahaan dan aku yakin sekali Mama pada akhirnya mengalah untuk menyelesaikan masalah Aldo.

"Ma..." Tania berkata lirih.

"Mama hanya ingin anak-anak Mama ada di sini tanpa masalah yang membebani. Dan Tania..."

"Ya."

"Siapa laki-laki yang selalu membuat kamu semangat belakangan ini?"

"Ha?" Tania tampak sedikit terkejut dan secara refleks ia membuang pandangannya ke arahku. Jantungku pun ikut berdebar pelan.

"Mama nggak bodoh. Mama tahu kamu sedang menyukai seseorang dan Mama yakin orang itu nggak sama dengan beberapa laki-laki yang dekat sama kamu sebelumnya. Siapa dia? Kenalkan sama Mama."

Aku menelan ludahku berkali-kali untuk membasahi kerongkonganku yang tiba-tiba kering. Aku bisa melihat Tania sedang tertawa menutupi kegugupanya atas pertanyaan Mama yang tiba-tiba.

"Nggak ada Ma. Tania hanya pengen berubah karena sebentar lagi Tania udah 30. Umm...Ava..." Tania menunjuk ke arahku. "Ava punya andil membuat Tania berubah seperti sekarang." Kami berpandangan dan aku bisa melihat kembali sinar mata Tania seperti sebelum-sebelumnya saat memandangku. Sinar mata itu kembali menghangat.

"Sudah Mama duga." Mama melihat ke arahku dan menggerakkan tangannya memintaku untuk mendekatinya. "Va, mungkin Mama nggak pantas meminta ini dari kamu." Ia menggenggam tanganku. "Tapi kalau Mama nggak ada nanti, Mama titip Tania. Kalian harus selalu sama-sama." Mama menggerakan sebelah tangannya meminta tangan Tania yang kali ini sudah kembali terisak.

"Menikahlah dengan laki-laki yang mencintai kalian." Aku bisa melihat bibir Mama sedikit bergetar saat mengatakannya. Aku tahu itu bukan berarti Mama ingin mengatakan bahwa Papa tidak mencintainya. Mereka saling mencintai dan Papa membuat kesalahan. Perlahan air mata mengalir dari kedua sudut mataku.

"Dan jangan pernah menyimpan dendam bila ada yang berbuat salah. Karena dendam hanya akan membuatmu menderita."

Kami bertiga tak bisa menghindari tangisan ini. Tania bahkan harus memanggil dokter untuk menenangkan Mama yang diliputi gelisah karena tangisannya. Hatiku hancur melihat pemandangan ini. Aku bukan satu-satunya korban di tengah kemelut keluarga kami. Mama adalah orang yang paling tersakiti selama ini. Hal itu yang terus tertanam di otakku dan membuatku tidak akan pernah bisa marah padanya.

"Gue nggak perah bayangin keluarga kita akan berakhir seperti ini. Gue menyesal karena sudah menyiakan-nyiakan waktu bertahun-tahun menghindari Mama dan berbuat ulah yang membuatnya marah dan sakit hati." Tania menggigit bibirnya mencoba menahan perasaan sedih yang membuncah di dadanya.

"Va, apa kanker ovarium ini penyakit turunan?"

Aku terdiam. Dan membuat Tania berdecak perih karena paham dengan diamku itu.

"Tapi kita bisa mencegahnya Kak. Banyak hal yang bisa dicoba untuk mencegahnya." Tania hanya tertawa perih.

"Kamu dan Erick..." Tania tiba-tiba mengubah topik pembicaraannya. "Kalian..." dia memandangku dan seperti kehilangan kata-kata untuk melanjutkannya.

"Aku minta maaf, Kak. Aku minta maaf karena nggak berani bilang sama Kak Tania." Potongku cepat. "Aku...aku mencintainya."

"Aku tahu. Dia laki-laki yang baik. Sangat baik. Akan sangat mudah untuk jatuh cinta sama dia." Dia berkata tanpa memandangku. "I am fine now. Maybe better." Dia memandangku dan memaksa tersenyum meski kedua bola matanya berkabut. "Karena aku punya dua malaikat sekarang." Dia menarik napas panjang mencoba menelan kembali kesedihannya.

"Kak..."

"Jangan tinggalin kami lagi Va. Aku dan Mama membutuhkan kamu saat ini."

Aku mengangguk sambil berusaha keras menahan air mataku jatuh. Aku mendekatinya dan memeluknya erat. Kami kembali ke kamar setelah dokter dan perawatnya pergi. Mama sedang tertidur. Aku pun berinisiatif untuk bertemu dokter dan bicara tentang tindak lanjut perawatan yang harus Mama jalani. Saat kembali aku melihat Tania menungguku di depan pintu.

"Ada telepon buat lo." Tania menyodorkan ponsel yang sejak tadi kutinggalkan bersama tasku di atas sofa kamar Mama. Aku menerima ponselku dan mengerutkan kening saat melihat tidak ada panggilan yang tertera di layarnya.

"Tadi gue angkat karena udah bunyi berkali-kali. Gue pikir pasti penting. Dan lagian gue takut mengganggu Mama tidur." Aku memang sudah tidak membiarkan ponselku dalam mode diam sejak berita Mama masuk Rumah Sakit.

"Siapa yang telepon?"

"Kakekmu."

Kami berpandangan beberapa detik. Aku memang perlu menceritakan tentang keluargaku yang lain pada Tania. Semoga keberadaan mereka tidak akan menyakiti Mama dan Tania. Semoga.

Continue Reading

You'll Also Like

6.9M 47.8K 60
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
3.5M 251K 30
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
518K 26.7K 46
Bagi Elena, pernikahan bersama Kaisar hanyalah sebuah pengorbanan untuk balas budi.
1.8M 59.4K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...