Short Story Collections

By Didi_Girl

452 105 0

Random things I wrote when I'm bored ❤ Every story in this book will be written in Bahasa Indonesia More

In Your Darkest Mind
Hide and Seek
Kereta Malam
Hantu Penunggu Hutan
Vission
Teror
Penyusup
When Everyone Care

The Demon Inside

99 17 0
By Didi_Girl

Aku menatap datar pada kedua adikku yang sedang cekikikan diam-diam di depanku. Keduanya terlihat saling berbisik dan akan tertawa sesekali membuatku menggelengkan kepala karena tingkah konyol mereka.

"Oke, mama harus pergi sekarang," adalah hal pertama yang diucapkan mama begitu dia keluar dari kamarnya, "kalian berjanji tidak akan melakukan hal-hal aneh?" Dia bertanya pada dua monster di depanku itu.

"Ma!" protes Molly sambil berkacak pinggang, "kami selalu bersikap baik." Ashlee mengangguk setuju membuatku memutar bola mata.

"Tentu saja, kalian malaikat kecil mama." Mama tertawa sambil mencium kening mereka satu persatu.

Aku hanya diam saat mama memelukku dari belakang.

"Terimakasih sudah setuju menjaga mereka, mama bakalan telpon begitu pesawatnya mendarat." Aku menoleh kearahnya dan tersenyum.

"Ma, ini bukan pertama kalinya mama harus pergi keluar kota, ga pernah ada apa-apa, dan hari ini pun kita bakalan baik-baik aja." Aku mencoba meyakinkan. Mama mendesah pelan dan melepaskan pelukannya.

"Ugh ... mama cuma ga suka ninggalin kalian gini."

Mama selalu seperti ini setiap kali dia harus pergi meninggalkan kami untuk lebih dari satu hari. Dia tidak pernah suka meninggalkan kami, tapi pekerjaannya mengharuskan mama untuk sering berpergian. Dan sejak ayah meninggal dua tahun lalu, mama harus bekerja lebih keras dan semakin jarang dirumah.

Aku selalu berusaha meyakinkan kalau aku tidak keberatan membantu mama menjaga adik-adik, tapi mama selalu saja merasa bersalah tiap kali dia harus pergi.

"You are the best," akunya sambil mencubit pipiku. Aku tertawa dan menepiskan tangannya.

"Oke, mana Justin?" Mama mencari-cari dan tersenyum saat matanya menemukan adik laki-lakiku yang segera berlari dan memeluknya seolah mereka akan terpisah bertahun-tahun.

"I'll be back soon, yang nurut sama kakak yah," pesannya sambil memegang wajah Justin.

"Iya, Ma." Dia mengangguk.

Mama lalu mengambil tasnya dan keluar setelah berpamitan sekali lagi.

"Well, tunggu apalagi? cepat tidur sana," perintahku sambil beranjak berdiri dari tempat duduk.

"Tapi, Shy ...." Justin mengerang. "Sekarang baru pukul sembilan," protesnya, diikuti oleh si kembar yang juga belum mau tidur.

"Kalian sudah dengar apa kata mama tadi." Aku menatap mereka satu persatu dan mengisyaratkan mereka untuk segera ke kamar masing-masing. Meski tidak setuju, tapi mereka pun pergi sambil menggerutu.

Aku pun segera ke kamarku dan memutuskan untuk beristirahat. Sebuah ketukan halus terdengar sebelum seseorang membuka pintu kamarku.

"Shy, boleh aku tidur disini?" tanya Moly pelan.

"Dan aku?" Timpal Ashlee sambil mengintip dari belakang Moly.

Aku tidak menjawab dan hanya membuka sebagian selimut di sisi kananku. Mereka tersenyum dan segera melompat keatas tempat tidur.

"Terimakasih, Shy."

"Selamat malam."

Mereka berbisik bersamaan.

"Malam," jawabku sebelum menutup mata.

Tidurku terganggu oleh sebuah suara aneh, aku terbangun dan mencoba melihat dari kegelapan kamar. Aneh, aku bahkan tidak Ingan sudah mematikan lampu.

Aku menatap sisi tempat tidur ku yang kosong, kemana Moly dan Ashlee malam-malam begini? melihat pintu kamar yang renggang pikiranku sedikit tenang, mungkin mereka sedang ke toilet atau mengambil minum didapur.

Suara tadi masih juga terdengar, aku mencoba memperhatikannya, suaranya terdengar seperti dengkuran, tapi terdengar sangat aneh dan tidak normal. Aku berdiri dan menyalakan lampu.

Tubuhku mendadak lemas melihat apa yang ada di depanku. Ashlee terbaring dengan mata terbelalak lebar, tangannya memegangi lehernya yang mengeluarkan banyak darah, suara aneh yang kudengar, ternyata berasal darinya.

"Oh Tuhan." Aku terduduk lemas, apa yang harus kulakukan. Ashlee melihat ke arahku, matanya dipenuhi rasa takut dan keputus asahan, seolah dia memohon agar aku menolongnya. Darah segar terus mengalir dari luka sayatan cukup dalam di lehernya.

Aku mendekatinya dengan tubuh gemetar, ada apa ini? di mana kedua adikku yang lain?

"A--Ash-Ashlee ... te--tenang, aku akan ... a-aku akan mencari bantuan."

Aku mengambil ponsel dan menelpon layanan darurat.

"Halo, 911 apa keadaan darurat Anda?" Seorang menjawab pada deringan kedua.

"T-- ak--"

"Halo? nona, saya minta anda mencoba untuk tenang dan beritahukan posisi Anda." Aku menangis, wanita ditelpon mencoba menenangkanku.

Aku mencoba menjelaskan keadaan disini sebisaku disela tangis, berharap dia mengerti penjelasan yang aku berikan.

"Nona? apa ada orang lain bersama anda?"

"Ashlee? Ashlee!" aku berteriak histeris, wanita itu mencoba bicara padaku, tapi aku tidak mendengar apa yang dia katakan dibalik teriakan histeris ku. "Adikku sudah meninggal, aku tidak bisa merasakan dia bernafas!" Aku semakin histeris.

"Tenanglah, Nona, apa ada orang lain bersama anda?"

"A--adik-adikku, aku tidak tau mereka dimana! aku akan mencari mereka!" Ucapku sambil berlari keluar.

"Nona, dengar, beberapa petugas sedang menuju lokasi Anda, saya minta anda tetap berada di ruangan tersebut dan mengunci pintunya!"

Apa wanita ini sudah gila? Adikku mungkin sedang dalam bahaya dan dia memintaku sembunyi?

"Nona apa kau masih disitu?" aku menjauhkan ponselku dari telinga dan mencoba untuk mencari kedua adikku.

Aku mengendap kebawah, keadaan yang gelap sedikit membuatku kesulitan untuk melihat, tapi aku tidak bisa menyalakan lampu dan beresiko membongkar posisiku jika si penjahat itu masih di sini.

Jantungku berdegup tak beraturan, napasku pun tersengal-sengal karena rasa takut yang luar biasa.

PRAANNGGG

Aku terlonjak saat mendengar suara keras dari arah dapur, kakiku seolah bergerak secara otomatis kesana. Aku berhenti tepat didepan pintu dapur dan mengintip kedalam.

Jantungku seolah berhenti saat kulihat Moly tergeletak didepan kulkas yang masih terbuka, darah segar mengalir dari arah kepalanya membentuk genangan di lantai, matanya terbuka dan menatap kosong ke arahku, aku menekan telapak tanganku ke mulut agar teriakan ku tidak terdengar.

Tuhan, apa yang sebenarnya terjadi?

"Ju--Justin!" Aku berlari ke kamar Justin, kali ini, aku tidak terlalu peduli untuk sembunyi-sembunyi.

Aku membuka pintu kamarnya dan tersentak.

"Justin." Aku berlari mendekat. Justin terbaring diatas tempat tidurnya, puluhan luka tusuk melobangi dada dan perutnya. Matanya terbuka dan menunjukkan ketakutan yang dirasakannya saat serangan terjadi.

Aku berjalan mundur dan berlari ke arah kamar mandi dan mengunci diriku didalam.

Aku menangis histeris, berteriak dan melempar semua yang ada di hadapanku. Tangisanku terhenti saat aku berdiri didepan cermin, mataku beradu dengan bayanganku dan aku melihatnya dengan penuh kebencian. Pakaian yang ku kenakan dipenuhi darah yang mulai mengering, dan hal yang sama juga pada kedua lengan ku, bahkan sebagian juga terlihat pada wajah dan rambutku.

"Kau ... kenapa kau melakukannya? KENAPA?" aku berteriak. Dia tidak menjawab, hanya menatapku saja.

Aku menangis dan berteriak histeris, suara sirine terdengar nyaring diluar tapi aku tidak peduli. Aku tidak tau kapan mereka membawaku keluar dan memasukkanku ke mobil polisi. Aku juga tidak tau kapan mereka menjebloskanku kedalam sel tahanan. Aku juga tidak tau kapan tepatnya aku di kirim ketempat terkutuk ini.

Yang aku tau, wanita di depanku ini terus mengajakku berbicara setiap hari Rabu sore, seolah aku orang normal. Kecuali sebuah kaca sebagai pembatas diantara kami.

"Apakah hari ini kau akan bicara?" Tanyanya, seperti biasa, aku hanya menatap datar padanya dan mencuekkan semua pertanyaannya.

"Ayolah, Shy. Sudah empat tahun berlalu, apakah kau tidak akan mengatakan apa yang terjadi malam itu?"

Wanita itu terus mengutarakan pertanyaan demi pertanyaan padaku, dan aku hanya menjawabnya dengan diam.

Dia terus berbicara sampai waktu satu setengah jamnya berlalu, sebelum kemudian pergi meninggalkanku.

Dua orang petugas mendatangiku dan membawaku kembali ke kamarku. Sebuah kamar berwarna putih, tanpa jendela yang menghubungkan ku dengan dunia luar.

Aku hanya menatap kosong ruangan putih yang kini menjadi tempat tinggalku.

Dimana semua orang meninggalkanku.

Mataku menatap pada pulpen ditangan yang berhasil ku curi dari salah satu perawat yang membawaku tadi, bibirku sedikit terangkat ke satu sisi.

Setidaknya ... untuk pertama kalinya setelah empat tahun, akhirnya aku mempunyai rencana.

End

+++

Continue Reading

You'll Also Like

116K 235 7
ISINYA NGENTOT NGENTOT DAN NGENTOT
1.7M 77.2K 43
Di satukan oleh keponakan crush Kisah seorang gadis sederhana, yang telah lama menyukai salah satu cowo seangkatannya waktu sekolah dulu, hingga samp...
Selingkuh By Benz

Short Story

1.8M 10.6K 32
cerita pendek bahkan cerita bersambung dari sumber asli dan terpercaya, cerita nyata, normal, perselingkuhan dan sex, nama disamarkan ya.
341K 10.3K 38
⚠️TERDAPAT ADEGAN 18+ 🚫HANYA FIKSI TIDAK NYATA