THE VOICE OF WOMEN (END)

By Authorable_ID

1.1K 55 10

Memperingati Hari Kartini Terbit setiap Senin, Selama April 2018 Penulis: Ninna Rosmina, Vina Sri, Alyra Una... More

Pengantar
Kisah Para Wanita Sukses - oleh Ninna Rosmina
Demi Airi - oleh: Vina Sri
Waiting for Menstruation - oleh: Orina Fazrina
Keputusan Sarah - Alyra Una
Kenapa Harus Kartini? - Oleh: Putu Felisia

Maraton - Oleh: Donna Widjajanto

79 4 0
By Authorable_ID


Hidupku rasanya bak maraton yang panjang. Langkah demi langkah, kaki harus terus berayun maju. Tarikan demi tarikan panjang, napas terus diembuskan.Aku harus menghemat tenaga dan memperhitungkan segalanya, sebab aku tidak tahu kapan garis finis akan menjelang.

"Dita, Arif pengin lo yang liputan acara musik klasik itu," kata Ami sambil melongok ke kubikelku. Ami dan aku bekerja di portal berita online, MyJakarta.com. Adalah tugas kami meliput berbagai kegiatan yang terjadi sepanjang hari di Ibu Kota, termasuk kegiatan budayanya.

"Duh... Nggak bisa elo aja, Mi?" keluhku.

"Dit, kalo ngeliput Chainsmokers, itu baru bagian gue," kata Ami sambil tersenyum. "Pokoknya yang jingkrak-jingkrak, gue dah yang maju. Tapi kalau musik klasik... Gue angkat tangan dah... Lagian, bukannya itu bisa nambahin referensi ngajar lo?"

"Yah, abisan undangan dadakan gitu. Kalo nggak dadakan, gue bisa ajak murid-murid gue ikut nonton," keluhku. "Abis jam kantor gue ngajar, Mi. Elo kayak nggak tau aja..."

Ami mengangkat bahu. "Bilang sendiri dah ke Arif," katanya sebelum berlalu.

Aku memejamkan mata, lalu mengusap wajahku gusar. Masih ada dua artikel yang harus kuselesaikan sebelum jam kantor usai. Begitu jam kantor selesai, aku harus langsung mengejar naik kereta ke rumah murid les pianoku di Kemayoran. Satu jam mengajar, lalu pindah ke rumah murid yang lain di daerah Kwitang. Mengajar satu jam lagi, barulah hariku bisa disebut "selesai". Saat itu terjadi, waktu sudah menunjukkan kira-kira jam sembilan malam. Sudah bagus kalau aku bisa masuk rumahku di kawasan Matraman sekitar setengah jam kemudian. Itu pun belum tentu aku bisa langsung istirahat.

Ponsel di mejaku berdering. Aku menatap nanar sejenak, sebelum tatapanku fokus pada nomor yang tertera di layar. Rumah.

"Halo?" sapaku begitu telepon tersambung.

"Mbak Dita, ini susu sama pampers habis. Ini beberapa keperluan lain juga sudah habis," kata Sus Prapti.

Aku menghela napas. "Ya sudah, Sus tolong WhatsApp-in saja daftarnya ya. Nanti pulang saya mampir ke Pramuka," kataku.

"Iya, Mbak," katanya.

"Ya sudah ya, saya masih mesti..."

"Mbak," Sus Prapti memotong ucapanku, "saya mau ambil cuti hari Sabtu nanti, soalnya suami saya minta saya pulang kampung sebentar. Ada urusan..."

"Aduh, Sus," ganti aku yang memotong ucapannya, "kok baru bilang sekarang. Terus nanti gimana? Ada yang gantiin nggak?"

"Insya Allah ada infal, Mbak. Saya sudah bilang Ibu Darmo, katanya ada yang bisa infal. Insya Allah saya cuma pulang lima hari, Mbak. Saya langsung balik lagi," kata Sus Prapti cepat.

Aku hanya bisa memijat pelipisku. Infal artinya aku harus menyediakan biaya ekstra. Tapi marah berkepanjangan pada Sus Prapti tidak ada gunanya. Dia bisa saja malah sakit hati, dan memutuskan tidak kembali kerja di rumah kami, padahal dia sudah sangat cocok dengan kami.

Aku menghela napas lagi, "Ya sudah, tapi pastikan kamu balik dalam lima hari ya. Artinya hari Rabu sudah harus balik ke sini. Jangan molor di kampung!"

"Ya, Mbak," jawab Sus Prapti riang.

"Lain kali, bilang jauh-jauh hari, biar saya bisa urus cuti atau menyiapkan biaya infalnya," kataku lagi.

"Ya, Mbak," jawab Sus Prapti lagi.

"Nanti saya pulang malam, ngajar dulu. Jangan lupa WhatsApp apa saja yang habis," kataku mengingatkan.

***

Di saat-saat seperti ini, aku merindukan Ibu. Ibu sepertinya selalu bisa mengatur segala hal dengan rapi. Bisa dibilang sepanjang masa tumbuh kembang, aku tidak pernah mengalami gejolak yang berarti. Tentu ada riak-riak kecil, jatuh dari sepeda, bertengkar dengan teman, menabrak pagar saat belajar naik sepeda motor. Tapi, semua itu dapat diselesaikan dengan cepat dan mulus, tidak meninggalkan bekas.

Ibu selalu hadir sebagai penyokong hidupku. Menyediakan obat merah dan pelukan saat aku jatuh di masa kecil. Telinga untuk mendengar keluh-kesahku saat bertengkar dengan teman atau jatuh cinta pada cowok tetangga. Ibu menyediakan bolu kukus dan teh manis untuk menemani belajarku saat aku kuliah.

Lebih luas lagi, Ibu adalah ibu rumah tangga jempolan, yang berhasil mempertahankan rumah selalu rapi jali, dan dua asisten rumah tangganya bekerja sampai puluhan tahun. Ibu berhasil jadi pendamping sempurna bagi Bapak, mengelola gaji Bapak yang tidak seberapa sebagai pegawai menengah hingga cukup mengantarku jadi sarjana. Dan selalu dapat memanjakan Bapak dengan makanan-makanan kesukaannya.

Tapi, kemudian peristiwa itu terjadi, membuat Ibu ambruk. Dan aku jadi tertatih-tatih sendiri.

***

Aku tak pernah melupakan telepon yang mengubah hidupku itu.

"Ditaaa... Ditaaa... cepat pulang! Bapak jatuh!" jerit Ibu di telepon.

Aku sedang menghadiri konferensi pers rilis film terbaru Mira Lesmana dan Riri Riza. Di panggung, kedua sineas itu bersama para bintang film masih bicara mempresentasikan film mereka. Aku mendekap ponsel ke telinga kiriku, sementara tangan kanan kutangkupkan ke mulut supaya suaraku tidak mengganggu orang yang duduk di sebelahku.

"Jatuh gimana, Bu?" tanyaku setengah berbisik. "Kondisinya Bapak gimana?"

"Jatuh di kamar mandi! Pingsan ini!" jerit Ibu histeris. "Cepat pulang! Kamu di mana?"

"Di TIM, Bu. Aku dekat kok, ya aku cepat pulang," kataku. Tidak mungkin mendapat keterangan lebih banyak dari Ibu yang sedang histeris. Aku segera berdiri dan melipir ke luar ruangan. Di luar, aku menelepon Ami supaya cepat datang dan menggantikanku menghadiri konferensi pers itu karena berita tentang film Mira Lesmana tentu tidak dapat lolos tayang di portal berita kami.

Baru setelahnya, aku mencegat taksi untuk pulang dan membawa Bapak ke rumah sakit.

Saat kami tiba di UGD, Bapak sudah pingsan selama sejam lebih. Tanda-tanda vitalnya sangat lemah. Masa kritis pertolongan pertama bagi serangan stroke telah lewat lama.

***

Bapak dioperasi lalu masuk ICU. Stroke menyerang banyak fungsi di otaknya, tapi yang paling parah adalah fungsi napasnya. Bisa dibilang Bapak tidak bisa bernapas secara mandiri lagi. Setelah tiga hari menggunakan alat bantu napas, trakea Bapak dilubangi, sehingga Bapak tidak lagi bernapas melalui hidung, tapi langsung melalui saluran napas di dasar leher.

Hari demi hari berlalu. Kondisi Bapak kadang membaik, kadang memburuk. Ibu berjaga di rumah sakit. Sementara aku kalang kabut antara liputan, mengurus rumah, dan menengok ke rumah sakit.

Tapi yang paling membuatku sakit kepala adalah angka tagihan rumah sakit yang terus membengkak. Bodohnya kami, kami belum mendaftar BPJS. Tentu ini menjadi salah satu PR yang harus segera aku selesaikan. Tapi, sementara itu, tagihan yang ada tetap harus dilunasi.

Kantorku membantu, kerabat juga memberi sekadarnya. Tapi, angka itu terus membengkak.

"Kapan Bapak bisa keluar ICU, Dok? Terus terang, kami sudah tidak sanggup lagi membayar," kataku tanpa tedeng aling-aling. Mumpung Ibu tidak ikut menemui dokter kali ini. Kalau ada Ibu, aku pasti dilarang bicara begitu, pamali. Tidak boleh bilang tidak sanggup melakukan sesuatu. Nanti jadi tidak sanggup sungguhan. Self fulfilling prophecy sebenarnya.

Dokter menatapku. "Sudah berapa hari sih di ICU?" tanyanya.

"Dua puluh delapan, Dok," kataku.

"Begini, Bapak masih di ICU karena tidak bisa bernapas dengan mandiri," kata Dokter.

"Tapi, apa tidak bisa di kamar rawat biasa dengan tetap ada bantuan oksigen?" tanyaku. Suaraku penuh nada permohonan, aku tahu.

Dokter mengerutkan kening. "Begini, kita lihat dua hari ini. Kalau kondisi stabil, bisa pindah ke kamar rawat," katanya akhirnya.

Aku mengembuskan napas lega. Biaya rawat di ICU setiap harinya bisa mencapai sepuluh juta rupiah setiap harinya, sementara di kamar rawat biasa sepertiganya.

Tapi ternyata Bapak masih belum keluar dari rumah sakit itu dalam dua bulan berikutnya.

***

Aku tidak ingat di titik mana, Ibu yang selama ini jadi penyelenggara hidup kami berubah harus aku topang. Sekarang aku yang harus mengurus rumah, meskipun sekadar meninggalkan uang belanja bagi Bi Sum, sementara Bi Narsih sudah pulang kampung. Aku yang harus menemui dokter untuk menanyakan kemajuan Bapak. Aku juga yang lintang pukang mencari biaya rumah sakit, bahkan menguatkan hati untuk mengemis minta pinjaman dari para om dan tanteku.

Ibu hanya bisa duduk di samping ranjang rumah sakit Bapak. Ibu menerima tamu yang menjenguk. Ibu bisa mengobrol dan makan penganan yang dibawakan pembezuk. Tapi, Ibu tidak pernah meninggalkan Bapak.

"Bu, Bapak harus keluar dari rumah sakit. Kita sudah tidak ada biaya untuk rumah sakit," kataku pelan. Hari itu melelahkan. Aku menghadiri tiga konferensi pers sepanjang hari, untung lokasinya berdekatan dan temannya menyenangkan bagiku; launching novel baru seorang pengarang, pernyataan sikap koalisi perempuan, dan acara apresiasi budaya.

Aku duduk di sebelah Ibu dan mengelus punggungnya. "Aku siapkan rumah ya, biar Bapak bisa pulang," kataku lagi.

"Kalau pulang, terus gimana? Ini makan sudah pakai sonde, napas pakai alat begini," gumam Ibu. "Bagaimana bisa di rumah?"

"Aku carikan semua ya, Bu...," kataku.

Ibu hanya menggeleng-geleng. Tapi, tekadku sudah tetap. Kami tak sanggup membayar biaya rumah sakit lebih lama lagi.

***

Aku mulai mengambil murid les piano begitu Bapak dibawa pulang ke rumah. Untung dulu aku sempat les piano sampai tamat di Yamaha. Dengan Bapak rawat di rumah, aku menyediakan keperluan semaksimal mungkin. Perawat yang bukan sekadar perawat orang tua, tapi juga punya latar belakang medis. Aku juga menyewa dua perawat, supaya mereka bisa bergantian beristirahat. Peralatan medis seperti ranjang rumah sakit, kasur khusus supaya punggung Bapak tidak kena decubitus, tabung oksigen, alat-alat penunjang seperti stetoskop, alat tensi, dan sebagainya. Tentu juga printilan seperti pospak dewasa, kapas, kasa, baskom, obat-obatan, dan sebagainya.

Biayanya tidak sebesar biaya rumah sakit, tapi tetap saja lebih besar daripada gajiku sebagai reporter. Selain itu, aku juga harus mencicil pinjaman-pinjaman kami dari keluarga dan teman-teman. Hatiku sesak. Saat itu, aku ingin Ibu yang dulu. Ibu yang membubuhkan obat merah saat aku jatuh dulu. Ibu yang mendengarkan curhatku tentang cowok yang kutaksir di sekolah. Ibu yang selalu ada.

Tapi, lagi-lagi Ibu hanya duduk di sisi ranjang Bapak. Kadang-kadang berdoa. Kadang-kadang mengajak Bapak mengobrol. Tapi, sering kali, terutama kalau tidak ada tamu yang menjenguk, hanya diam nanar.

Sepertinya aku tidak hanya kehilangan Bapak, tapi juga Ibu.

***

Tahun berganti. Pada awal masa sakitnya Bapak, aku masih berharap Bapak akan sembuh lagi suatu hari nanti. Aku akan mengajak Bapak ke mall dengan kursi roda, seperti yang dilakukan banyak keluarga yang sering kutemui di mall. Tapi, perlahan harapan itu pupus. Bapak tidak pernah keluar kamar setelah pulang ke rumah. Demikian pula Ibu.

Pelan-pelan, aku juga mengurangi kebutuhan yang "diada-adakan". Merek pospak, aku turunkan ke yang lebih murah. Obat-obatan aku cari yang generik. Tapi, pukulan terbesar bagiku adalah saat aku tidak lagi sanggup membayar dua perawat medis untuk Bapak. Terpaksa aku memberhentikan seorang. Sekarang perawat Bapak tinggal Sus Prapti.

Tetap saja, biaya bulan terus terasa tak terjangkau. Obat-obatan terus dikonsumsi. Gaji Bi Sum dan Sus Prapti. Kebutuhan harian. Aku dan Ibu juga masih harus makan. Lupakan saja kebutuhan mewah seperti ngopi di mall atau nonton bioskop.

Aku terus serabutan sebagai reporter dan guru piano. Aku tahu, seperti pelari maraton seharusnya aku mengatur napasku. Menarik napas panjang dan dalam, menyimpan energinya. Melangkah dengan ayunan kaki yang mantap, supaya tidak membuang tenaga. Tapi, maraton yang kujalani ini seolah tanpa akhir.

Dan aku merasa tenggelam. Makin lama, makin dalam. Aku merasa berdiri pada pasir isap. Tiap gerakan, tiap upayaku untuk keluar justru membelitku dan menarikku makin rapat. Menolak melepaskanku.

***

"Dit... Biar gue aja yang..."

Aku mendongak dan suara itu terputus. Arif terdiam. Kepala redaksi kami itu sebenarnya usianya tidak jauh dari para reporternya. Mungkin sebagai atasan ini pertama kalinya dia melihat anak buahnya menangis.

Arif berdeham. "Dit, biar gue saja yang ke konser musik klasik itu," katanya nyaris bergumam.

Aku mengangguk, lalu meraih tisu dari kotak di mejaku untuk menyusut air mataku.

Arif berdeham lagi. "Gue... mm... ya udah, elo bisa..."

Mendadak aku merasa tidak tahan lagi. Tangisku kembali meledak. Memalukan sekali menangis di depan bos. Tapi, aku benar-benar tak bisa menahan diri. Aku lelah. Aku capek. Aku sudah luluh lantak, dan tak sanggup lagi.

"Duh, Dit...," Arif salah tingkah, tapi lalu mendekatiku, "ssst... Dit... tenang ya..." Arif menepuk pundakku. Tapi, aku malah meraih dan memeluknya. Aku butuh pelukan. Aku butuh sandaran. Tak peduli siapa yang bisa dipeluk dan jadi sandaranku sekarang. Aku ingin Ibu. Aku ingin Bapak. Tapi, mereka justru bersandar padaku sekarang. Dan aku lelah.

Arif balas memelukku. Ragu, pada awalnya. Tapi akhirnya dia berani mengeratkan pelukan, mengelus-elus punggungku. Aku masih tersedu-sedu, tapi akhirnya makin tenang.

"Dit, gimana rumah... baik-baik aja, kan?" tanya Arif hati-hati, sambil merenggangkan pelukan. "Bokap lo nggak..."

Aku menggeleng. "Bokap gue yah, gitu aja, Rif... Nggak ada kemajuan... Gitu aja...," kataku.

"Oh," komentar Arif, sepertinya masih bingung harus melakukan apa.

Aku tersenyum getir, kembali meraih tisu untuk membersihkan air mataku. "Sori... Sori ya, Rif..."

"Nggak papa, Dit... Kami tau kok, apa yang lo hadapi itu pasti nggak mudah," kata Arif lirih.

Aku menggeleng. "Gue... gue merasa capek dan putus asa, Rif," aku memutuskan jujur padanya.

Arif kaget. "Waduh, jangan dong, Dit!" katanya cepat.

"Tapi, gue kayaknya udah kerja keras kayak apa, tetap aja biayanya nggak nutup!" kataku dengan suara tercekik. "Gue juga mesti ngurus ini-itu semuanya. Nggak ada yang bantu. Nggak ada yang bisa diandelin!" Air mataku mengalir lagi.

Arif duduk di meja kerjaku. Dia tidak menawarkan pelukan lagi. Aku menunduk, tahu diri, meraih tisu lagi.

"Dit," kata Arif lirih. "Lo tau kan, gue juga nggak bijaksana amat. Tapi, sebagai bos lo, sebenernya gue salut sama lo. Yah, kalau pakai ukuran kantor, sebenernya sih penginnya elo bisa lembur kayak teman-teman yang lain. Atau bisa penugasan ke luar kota. Tapi, sebenernya, elo itu reporter yang tangguh lho. Dalam keterbatasan lo, lo bisa ngeliput tiga acara begitu dalam sehari. Dan itu cukup sering lo lakukan..."

Aku diam saja, tidak mengerti maksud kata-kata Arif. Apa dia mau bilang aku seharusnya ikut lembur seperti teman-teman lain? Kerja di bidang jurnalistik sebenarnya identik dengan jam kerja yang tidak pasti. Dulu itu juga aku jalani, tapi sejak Bapak sakit, aku selalu pulang begitu jam kerja usai.

"Gue tau, habis pulang kantor elo masih ngasih les musik. Nggak tau deh berapa banyak lo ngasih les," kata Arif.

"Delapan," kataku lirih.

"Hah?"

"Delapan anak. Senin satu, Selasa, Rabu, Jumat masing-masing dua. Kamis satu anak," kataku dengan nada datar.

"Buset! Terus elo pulang jam berapa?" sergah Arif.

Aku menghela napas. "Yah, rata-rata gue masuk rumah jam sepuluh malam lah. Sebenarnya sama lah dengan kalau ngendon di sini," kataku. "Sebenarnya gue pengin juga nongkrong di kantor... tapi, orang tua gue..."

Arif memegang pundakku. "Dit... Perjuangan lo buat orang tua lo hebat banget. Gila banget... Anak lain mungkin nggak bisa. Gue aja mungkin nggak bisa, nggak sanggup..."

Aku menatapnya. "Soalnya, bokap-nyokap gue nggak punya anak lain, Rif. Gue kan anak tunggal... Kalo elo kan punya adik-adik..."

"Justru itu, Dit. Justru itu yang membuat perjuangan lo jadi hebat banget. Elo menopang keluarga lo sendirian. Gila!"

Aku menggeleng-geleng. "Tapi, gue capek banget, Rif...," kataku lirih. "Kalo bisa, gue pengin kabur aja..."

"Capek itu wajar, Dit," kata Arif. "Gue... Nggak tau deh... Gue nggak bisa bantu apa-apa sih. Yah, sebagai bos lo mungkin gue bisa tanya apa ada peraturan kantor yang bisa diperlunak buat elo, mungkin tunjangan kesehatan atau apa... Mungkin, any time, lo butuh teman... Butuh, ehm," Arif berdeham, "mau pinjam uang... bisa tanya gue, seadanya gue..."

Aku menggeleng lagi. "Gue berusaha nggak pinjam lagi, Rif. Biaya rumah sakit aja belum lunas gue cicil. Thanks anyway. Thanks banget ya..."

"Baik-baik ya, Dit. Kalo ada apa-apa, bilang ya..." Arif berdiri dari sandarannya pada meja kerjaku dan melangkah keluar kubikelku.

"Thanks ya, mau nge-cover gue ke konser musik klasik itu," kataku sebelum Arif benar-benar keluar kubikelku.

Arif berbalik. "Dit, elo cewek paling tangguh yang gue kenal," dia mengangkat tangan dan memberi hormat. Aku tertawa.

Selepas kepergian Arif, aku kembali termangu. Senyum sisa tawaku masih menggantung di bibir. Tangguh ya? Aku? Tangguh? Aku tersenyum lagi. Ada-ada aja si Arif.

Aku tidak tangguh. Manusia tangguh tidak akan pecah menangis seperti tadi. Manusia tangguh tidak akan capek dan putus asa seperti aku tadi.

Aku cuma manusia biasa. Tapi, aku anak Bapak dan Ibu satu-satunya. Jadi, aku mesti mengatur napasku, mengatur langkahku. Aku mesti meneruskan maraton ini sampai garis finis nanti.

Donna Widjajanto

Donna adalah seorang penulis, penyunting buku, dan penerjemah. Karya-karyanya di antaranya: Sott'er Celo de Roma, Stalker,  Travelling with Tots, dan lain-lain. Donna bisa dihubungi di facebook, Twitter, dan LinkedIn.

Continue Reading

You'll Also Like

8.6M 525K 33
"Tidur sama gue, dengan itu gue percaya lo beneran suka sama gue." Jeyra tidak menyangka jika rasa cintanya pada pria yang ia sukai diam-diam membuat...
STRANGER By yanjah

General Fiction

629K 71.2K 51
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
6.6M 496K 57
Menceritakan tentang gadis SMA yang dijodohkan dengan CEO muda, dia adalah Queenza Xiarra Narvadez dan Erlan Davilan Lergan. Bagaimana jadinya jika...
5M 921K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...