Serenade Biru Jingga (slow up...

By niamaharaniID

301K 45.6K 3.8K

Apa kamu pernah mencintai seorang gadis, hingga duniamu hanya berputar padanya? Apa kamu pernah mencintai seo... More

Prolog
Serenade #1
Serenade #2
Serenade #3
Serenade #4
Serenade #6
Serenade #7
Serenade #8
Serenade #9
Serenade #10
Serenade #11
Serenade #12
Serenade #13
Serenade #14
Serenade #15
Serenade #16
Serenade #17
Serenade #18
Serenade #19
Serenade #20
Serenade #21
Serenade #22
Serenade #23
Serenade #24
Serenade #25
Serenade #26
Serenade #27

Serenade #5

15.2K 2.1K 214
By niamaharaniID

Aira tertatih. Dia tidak peduli jika Didi kembali menyebutnya seperti siput, keong, dan sejenisnya. Kakinya benar-benar terasa berat dilangkahkan. Belum lagi juntaian jilbab yang mengganggu ayunan kakinya. Kalau saja di depan dan di belakangnya tidak ada anak buah ayahnya yang juga teman suaminya, betapa dia ingin mengangkat ujung jilbabnya sampai lutut. Toh, dia memakai celana panjang sebagai pelapis jilbab. Auratnya tetap tidak akan terlihat. Tapi keinginan tinggallah keinginan. Malu masih menguasainya.

"Tidak usah dipikir seberapa panjang dan cepat langkah kakimu, Ia. Asal kamu ayun dan tapakkan bergantian, lama-lama akan sampai puncak juga," ujar Didi memotivasinya, "Yang penting melangkah!"

Aira membenarkan dalam hati.

"Saya ada di samping kamu."

Kalimat yang manis. Aira hanya menyimak. Dia malas menanggapi. Cuaca makin terik meski jarum jam baru menunjuk angka 08.45 waktu setempat. Aira bergeming sesaat untuk menarik napas panjang. Alih-alih terasa segar, hawa yang masuk ke hidungnya terasa panas, mengalir hingga memenuhi langit-langit mulutnya yang terasa kering. Haus. Tapi dia harus menghemat air. Aira mengusap keringat di pelipisnya dengan kerudung. Hal paling jorok yang pernah dilakukannya. Dia tidak punya pilihan. Sebungkus tisu yang dibawanya telah habis tidak bersisa.

"Di, kami duluan, ya," Farhan dan istri mendahului mereka.

"Oke," sahut Didi.

Setelah Farhan, Alika dan suaminya juga menyalip mereka. Aira memandang Alika dengan heran. Teman barunya itu bertubuh melar. Memakai jilbab dan kerudung lebar, tetapi kenapa bisa bergegas.

"Yuk, Ia," ajak Didi lembut.

"Kakiku rasanya mau lepas, Kak," keluh Aira.

"Itu hanya perasaan kamu saja. Tidak ada ceritanya kaki lepas setelah naik gunung," sahut Didi diiringi senyuman.

Iya, sih, tapi bukan itu maksud kalimatnya. Dia hanya merasa sangat lelah. Seumur hidup dia belum pernah berjalan sejauh ini dengan medan ekstrim. Saat ini di sekelilingnya hanya tumpukan bebatuan coklat dan hitam. Tidak ada teteduhan. Di sisi kirinya jurang dan kanannya tebing. Tidak ada pepohonan dan rerumputan hijau. Ada satu jenis pohon menjulang dengan daunnya yang meranggas. Sementara serumpun tanaman semak di sela-sela bebatuan merah kecoklatan terbakar matahari.

"Yuk!" Didi menautkan jemarinya di sela jari-jari Aira. Setelah melihat Aira siap, Didi mulai menarik langkah diikuti Aira.

"Kamu tahu, jalan setapak ini pernah dilalui oleh Asma binti Abu Bakar. Dia yang mengirim makanan untuk Rasulullah saw. dan ayahnya selama bersembunyi di gua Tsur. Saat itu Asma sedang hamil besar. Bisa kamu bayangkan perjuangannya untuk sampai di puncak. Dia menyobek bagian tengah ikat pinggangnya. Separuh dia pakai untuk mengikat bekal makanan, separuhnya lagi, dia pakai untuk mengikat perutnya. Karena dia membagi ikat pinggangnya menjadi dua itulah, Asma mendapat julukan dzatun nithaqain, pemilik dua ikat pinggang. Selama tiga hari, Asma mondar-mandir Gua Tsur –Mekah."

Hati Aira tergugah mendengarnya. Dia bayangkan andai Asma adalah dirinya. Apa sanggup? Tapi Asma adalah putri Abu Bakar, bukan Aira Jenna putri Dirgantara. Itu Asma yang sejak lahir hidup di Mekah. Dirinya tidak bisa disamakan dengan Asma.

"... Setelah Asma mengantar makanan, Abdullah bin Abu Bakar (kakak lelakinya) dan Fuhairah, penggembala kambing milik Abu Bakar, berangkat ke gua Tsur dengan gembalaannya. Tujuan mereka menghapus jejak-jejak Asma. Itu strategi yang sangat jitu, bukan? Hingga tiga hari tempat persembunyian Rasulullah tidak diketahui kafir Quraisy."

Aira melirik Didi yang bercerita dengan penuh penghayatan dan kekaguman. Tangan Didi bergerak-gerak untuk memberikan impresi atas ceritanya. Ya, Didi tidak lagi menuntunnya.

"Abu Jahal sebagai pemuka Quraisy mencari tahu keberadaan Rasulullah dan Abu Bakar melalui Asma. Namun, Asma keukeuh tidak mau membocorkan. Di puncak kemarahannya, Abu Jahal menampar wajah Asma hingga anting-antingnya patah dan jatuh. Intimidasi Abu Jahal tidak membuat Asma menyerah. Dia juga tidak menangis kesakitan akibat tamparan itu. Dia tangguh, cerdas, pantang putus asa—"

Sindiran? Sepertinya tidak juga, tapi kenapa bisa pas sekali kisah Asma binti Abu Bakar dengan dirinya. Dia dan Asma seperti langit dan bumi. Terus terang, semangatnya yang menggebu ketika keluar hotel pelahan lenyap. Dia pikir mendaki Jabal Tsur tidak sesulit ini. Letih dan haus bercampur jadi satu tidak ada habisnya. Mereka sudah sudah berjalan sekitar satu jam, tetapi belum ada tanda-tanda sampai di Gua Tsur. Akhirnya, dia kembali minta berhenti. Diusapnya keringat dengan telapak tangannya.

"Capek, Kak," ujarnya mengadu kesekian kalinya pada Didi.

Didi menghentikan ceritanya tentang Asma, kakak Aisyah, Ummul Mukminin.

"Kalau kamu sebentar-sebentar berhenti ya jatuhnya capek, Ia. Jalan saja terus, sedikit lagi sampai."

Aira masih mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Ucapan Didi bukannya menyemangatinya, tetapi justru sebaliknya. Lelahnya terasa kian menjadi. Sebentar-sebentar berhenti? Dia memang lelah bukan main. Sedikit lagi? Mungkin ini adalah kalimat dari suaminya yang kelima.

"Gimana kalau kita turun aja, Kak?" pintanya menyerah.

"Tanggung, Ia. Kita sudah setengah jalan. Alika, Fatma dan yang saja kuat. Mereka sudah jauh di depan. Masa kamu yang lebih muda kalah."

Jawaban tegas dari Didi, membuat Aira menghela napas. Dia paling tidak suka dibanding-bandingkan, pun tidak suka kekalahan. Namun, kali ini sepertinya dia benar-benar harus menyerah.

"Kalau begitu Kak Didi naik saja, biar aku turun sendiri," ujarnya pasrah.

"Saya pegangi lagi ya, kita jalan pelan-pelan. Eh, bukannya sedari tadi sudah pelan?"

Uluran tangan di depannya membuat semangat Aira akhirnya kembali muncul. Diraihnya tangan itu dan mereka kembali mendaki, "Awalnya, sih, begitu. Lama-lama langkah Kakak tambah cepat."

Benar saja. Hanya sebentar Didi mengikuti langkah kecil Aira. Selanjutnya justru Aira yang kesulitan menyamakan langkah dan tenaganya terasa semakin terkuras. Dia menarik tangannya, dari genggaman Didi.

"Aku nyerah, Kak. Aku udah nggak sanggup lagi."

Aira berkata sambil duduk di tempatnya semula berdiri. Air mineral yang dibawanya seperti tidak bisa meredakan rasa haus yang ada.

"Tanggung, Ia. Dikit lagi."

Ucapan dari Didi dihiraukannya.

"Nanti takutnya sampai bawah menyesal karena turun."

Aira tetap diam, mulai lelah menghadapi tuntutan yang tiada henti. Sudah cukup dia menuruti keinginan suaminya, termasuk masalah pakaian yang tadi sempat diperdebatkan sebelum berangkat. Sekarang, dia sudah benar-benar lelah dan tidak sanggup lagi. Kakinya benar-benar terasa patah.

"Kalau Kak Didi takut nyesel, ya udah sana ke atas. Biar aku tunggu di sini. Aku tuh beneran capek, Kak. Kakiku nggak bisa buat naik lagi. Aku—"

"Ia ...," potong Didi dengan suara penuh penekanan.

"Aku... A—"

Aira tidak bisa menyelesaikan kalimatnya. Dadanya seolah disesaki gumpalan padat dan berat. Genangan air di pelupuk matanya mengalir pelan. Isaknya pecah. Sejauh ini, dia selalu berusaha mengikuti kemauan suaminya, meski kerap didahului perdebatan. Aira berusaha mematuhinya sebagaimana pesan ibunya. Sampai-sampai Aira merasa tidak lagi menjadi dirinya. Dia kehilangan identitasnya. Akan tetapi, nyatanya semua terasa belum cukup bagi Didi. Aira masih saja salah dan kurang di mata suaminya. Sesabar-sabarnya Aira, dia juga manusia. Dia lelah dan butuh waktu menjalani semuanya karena hidup bukan sulap-menyulap. Hidup adalah berproses menjadi lebih baik.

Tidak bisakah sekali saja Didi mencoba melihatnya sebagai Aira? Dia bukan Fatma dan Alika. Apalagi Asma binti Abu Bakar. Dia adalah Aira.

**

Didi tergugu melihat Aira menangis hebat. Apakah dia terlalu keras pada gadis yang dinikahinya seminggu ini? Padahal dia hanya mengatakan hal-hal untuk menyemangatinya. Yah, walaupun terselip sedikit kekesalan. Beberapa orang yang melintas, menatap dengan penasaran. Aira menangis sambil memeluk lututnya. Tangisnya memang tak bersuara, tetapi punggungnya yang bergetar menandakan kalau air mata masih berlinangan di pipinya.

Pemandangan yang di hadapannya mengingatkan Didi pada Masha, keponakannya. Masha seperti Aira yang manja dan ceria. Namun, Masha masih suka menangis kalau keinginannya tidak dituruti. Bahkan, hingga napasnya tersengal dan muntah. Aira tidak akan seperti Masha, bukan? Uhm, bisa-bisanya di saat begini dia mengingat keponakannya dan membandingkan Aira dengan Masha.

Didi ikut duduk di samping Aira. Dia mengusap punggung istrinya, tepatnya meniru, Daffa, kakak iparnya ketika menenangkan Masha.

"Ia," panggilnya pelan.

Tidak ada jawaban.

"Baiklah. Kalau kamu capek, kita tidak usah memaksa. Kita turun," ujarnya lagi sambil berdiri.

Aira bergeming.

Didi bingung. Didi telah memilih mengalah, walau kalimat yang diucapkan berlawanan dengan kata hatinya. Sesungguhnya, dia masih ingin melanjutkan perjalanan. Masih ingin menapaktilasi sebagian rute Rasulullah saat hijrah. Masih ingin melihat penampakan Gua Tsur dan masuk ke dalamnya. Masih ingin mengira-ngira di mana laba-laba membentangkan rumahnya dan burung mengerami telurnya. Masih ingin membayangkan Abu Bakar yang terdiam menahan sakit digigit ular, karena tidak mau Rasulullah terbangun oleh rintihannya. Dia masih ingin menikmati semuanya agar kadar kecintaannya pada Rasulullah bertambah.

Namun, dia tidak mungkin meninggalkan Aira. Dia dan Aira satu paket kini. Turun pilihan terbaiknya. Jika Allah berkehendak, niscaya suatu saat dia akan kembali ke sini.

"Saya minta maaf. Maaf karena tidak bisa mengerti kalau kamu lelah. Sudah, ya? Jangan nangis lagi," lanjutnya dengan harapan Aira berhenti mengeluarkan air mata dan berjalan turun.

Kata maaf dari Didi diabaikannya. Aira masih sesenggukan dan menyembunyikan wajah di antara lututnya.

"Baiklah. Kalau begitu, saya akan temani kamu nangis sampai puas, tapi jangan di tengah jalan begini. Mengganggu peziarah lainnya," ucap Didi sambil menekan kekesalannya.

Punggung Aira makin bergetar. Didi mengepalkan tangan kanannya. Dia kehabisan cara menghadapi Aira.

Huft! Didi membuang napas. Dulu, dia pikir dengan menikah maka semua akan baik-baik saja seperti doa yang selalu dipintanya. Dulu, dia selalu memohon agar bisa seperti pasangan halal lainnya: bahagia tanpa cela. Namun, semua berbeda. Menikah yang Didi pikir akan mudah, ternyata salah. Ada banyak hal yang belum dia ketahui, bahwa menikah adalah tentang hal berbagi ego, hati, juga waktu.

Setelah hampir setengah jam, akhirnya tangis Aira reda. Tanpa aba-aba, dia langsung bangkit dan bergegas menuju kaki gunung. Entah mendapatkan kekuatan dari mana langkah Aira sangat cepat. Dia bahkan nyaris tergelincir. Meski demikian, tidak sekalipun Aira mengurangi kecepatan langkahnya.

Didi bersyukur bisa menyamai langkahnya. Memastikan Aira aman bersamanya.

Tiba di area parkir, Aira langsung masuk ke kendaraan mereka begitu saja, menghempaskan tubuhnya di jok yang didudukinya tadi saat berangkat. Dia tidak memedulikan hawa panas cenderung menyesakkan di dalam bus.

"Ia...," panggil Didi pelan. Dia telah duduk tepat di samping Aira.

"Kita bisa mati dehidrasi di dalam sini," lanjut Didi.

"Aku ngantuk," jawab Aira dingin. Dia menelengkan kepalanya, bersandar pada kaca jendela. Peluh bercucuran di pelipisnya.

Didi menghela napas menghadapi sikap keras kepala Aira.

"Kamu nggak akan kuat terus-terusan di sini," ujar Didi logis, "Kalau menunggu teman-teman juga masih lama. Kita naik taksi ya?" tawar Didi, "aku akan menyampaikan pesan pada Farhan."

Dengan kasar Aira beranjak dan melewati Didi begitu saja. Karena tidak berhati-hati, dia malah terduduk di ribaan suaminya.

Didi yang sedang menulis pesan, ponselnya terpental tersenggol Aira. Dasar Didi tidak peka! Dia malah lebih memilih menangkap ponselnya sebelum membentur lantai daripada mendekap tubuh Aira di pangkuannya.

Aira buru-buru berdiri dan keluar dari bus.

Ck!

Didi melewatkan satu kesempatan emas untuk meraih hati Aira.

Kalau sudah begini bagaimana?

Dia tidak pernah menghadapi seorang gadis merajuk. Satu-satunya yang diingatnya adalah saat mengatasi Masha. Keponakannya itu akan kembali tersenyum ceria begitu diiming-imingi sesuatu yang disukainya: ayam krispi, es krim atau piknik.

**

Didi dan Aira tiba di hotel menjelang Duhur. Aira segera memutuskan untuk mandi. Segarnya air mungkin bisa membantunya untuk menurunkan amarah. Dia masih kesal bukan main pada Didi. Didi yang tidak bisa memahaminya, yang tidak perhatian padanya, yang cuek, yang ... Bahkan sekarang, suaminya itu sudah pergi lagi tanpa pamit.

Sampai Aira selesai salat Duhur, Didi belum kembali. Aira yang masih kesal, bukannya makan siang malah berbaring dengan posisi tidur miring, memunggungi kemunculan Didi nantinya.

"Ia ..." ucap Didi pelan, "hampir Magrib. Kamu belum salat Asar." Didi mengguncang tubuhnya halus.

Aira tersentak, tidak menyangka tidur siangnya bakal lama. Padahal tadi maunya pura-pura tidur.

"Kamu juga melewatkan makan siang." Didi duduk di tepi tempat tidur.

Hening.

Aira masih sebal dengan sikap Didi yang tidak bisa ditebaknya. Dia bangun dari posisi berbaringnya. Kini berhadapan.

"Kamu nyuruh aku salat, makan, karena ayah kan? Kalau aku sampai sakit, kamu nggak enak hati sama ayah. Semua yang kamu lakukan demi menyenangkan ayah karena kamu pegawai terbaiknya ayah," serang Aira tiba-tiba.

"Kelamaan tidur, omonganmu jadi ngawur. Gih, salat!" Didi memilih mengabaikan.

"Aku nggak ngawur! Faktanya begitu. Ayah lebih sering meneleponmu daripada aku. Jadi kusimpulkan, apa yang kamu lakukan karena ayah. Jangan-jangan kamu ngincer perusahaan ayah!"

"Omongan kamu nggak beralasan dan itu fitnah! Kalau hanya perusahaan, aku penerus usaha Batik Kentjana Wungu, asal kamu tahu!" kecam Didi. Didi terbawa emosi yang disulut Aira.

Deg!

Aira tahu nama besar produsen batik yang disebut Didi. Konon presiden pun memakai batik produk Kentjana Wungu.

"Aku memang hanya pegawai rendahan. Salahku menerima lamaran ayahmu. Harusnya aku tidak perlu kasihan anak gadisnya batal umroh, padahal seluruh jagad maya telah mengetahuinya!" sindir Didi telak.

Aira mematung. Wajahnya pias. Sesuatu yang tidak enak menyusupi hatinya.

"Setelah dari Masjidil Haram barusan, aku mampir membeli cincin yang kamu pilih semalam. Ini!" Didi meletakkan satu kotak perhiasan di atas tempat tidur, "Kalau berkenan bisa kamu pakai. Kalau tidak, kamu simpan saja."

Didi berdiri dan meninggalkan Aira yang masih membeku.

Continue Reading

You'll Also Like

601K 45.2K 51
Irish ragu dengan apa yang ia lihat kali ini. Ia tidak minus. Seratus persen ia yakin pandangannya tidak bermasalah. Dia juga tidak punya kemampuan u...
521K 49.1K 114
Gadis Sekarwangi, tidak pernah menyangka jika rumahtangga yang ia bangun bersama suaminya, Pradipta harus berakhir ditengah jalan karena sang suami k...
114K 20.7K 25
Swipe right. Dua kata yang tidak asing untuk pengguna dating apps. Bermula saat Liora merasa iri dengan teman-temannya yang sudah punya pacar, akhirn...
550K 37.6K 46
Lyla tidak berminat menikah. Namun, siapa sangka ia harus terjebak dalam pernikahan dengan sahabatnya sendiri? "You're a jerk, Hanan." "And you're tr...