Diary Nikah Muda

Galing kay user69540117

16.9M 750K 81.2K

GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Sa... Higit pa

🧸Diary Nikah Muda. o1
🧸 Diary Nikah Muda. o2
🧸Diary Nikah Muda. o3
🧸 Diary Nikah Muda. o4
🧸Diary Nikah Muda. o5
🧸 Diary Nikah Muda. o6
🧸 Diary Nikah Muda. o7
🧸 Diary Nikah Muda. o8
🧸Diary Nikah Muda. o9
🧸Diary Nikah Muda. 1o
🧸Diary Nikah Muda. 11
🧸Diary Nikah Muda. 12
🧸Diary Nikah Muda. 14
🧸Diary Nikah Muda. 15
🧸Diary Nikah Muda. 16
🧸 Diary Nikah Muda. 17
🧸Diary Nikah Muda. 18
🧸Diary Nikah Muda. 19
🧸Diary Nikah Muda. 2o
🧸Diary Nikah Muda. 21
🧸Diary Nikah Muda. 22
🧸Diary Nikah Muda. 23
🧸Diary Nikah Muda. 24
🧸Diary Nikah Muda. 25
🧸 Diary Nikah Muda. 26
🧸Diary Nikah Muda. 27
🧸Diary Nikah Muda. 28
🧸Diary Nikah Muda. 29
🧸Diary Nikah Muda. 3o
🧸Diary Nikah Muda. 31
🧸Diary Nikah Muda. 32
🧸Diary Nikah Muda. 33
🧸Diary Nikah Muda. 34
🧸Diary Nikah Muda. 35
🧸Diary Nikah Muda. 36
🧸Diary Nikah Muda. 37
🧸Diary Nikah Muda. 38
🧸Diary Nikah Muda. 39
🧸Diary Nikah Muda. 4o
🧸Diary Nikah Muda. 41
🧸Diary Nikah Muda. 42
🧸Diary Nikah Muda. 43

🧸 Diary Nikah Muda. 13

320K 18.5K 2K
Galing kay user69540117

Sudah up

Ramaikan yaa

Baca di sini gratis tapi harus kudu wajib setor absen dulu, masukin boneka ke dalam keranjang ini 🧸🗑️

ZEFMON aja bela-belain nulis panjang biar bisa update buat kalian, masa kalian cuma absen aja males

Yang sudah rajin komentar dan kasih semangat buat zefmon, semoga kebaikannya balik ke kalian ya 💖🧸

Nggak salah nih Saras menanyakan dirinya sudah makan apa belum? Malah mengajaknya makan malam bersama. Bagas yang dari kecil kurang perhatian dari orangtua, plus, tidak pernah pacaran terang saja tak terbiasa dengan sikap Saras. Sama seperti saat Saras menaruhkan makanan di piringnya. Aneh banget kan? Merinding sedikit. Mungkin begini rasanya kalau dia punya pacar, ada yang perhatian. Sayangnya dia bukan fakir butuh perhatian.

"Bagas? Halo? Kamu denger ndak sih?" Saras melambaikan tangannya di depan wajah Bagas. Yang punya wajah baru sadar dari lamunannya.

"Gimana? Kamu mau makan ini sama aku nggak? Banyak banget ternyata, aku ndak sanggup makan ini sendirian."

"Kan berdua sama gumpalan darah di perut lo."

"Yaudah sih kalau kamu ndak mau tolak aja kenapa harus ngatain anak di perut aku."

"Apasih? Nggak ngatain, orang gue cuma bilang gumpalan darah kok, faktanya emang gitu kan? Lo pernah lihat umur calon bayi berusia sebulanan nggak?"

"Ya pernah."

"Itu lo tahu. Yaudah sana makan sendiri. Ngapain juga ngajak gue? Kita nggak sedekat itu ya sampai harus makan bareng."

Saras menyerah, dia tidak ingin debat lagi. Lebih baik makan. Ia turun sendirian ke lantai bawah. Bukannya makan di meja makan keluarga Bagas, ia justru duduk di lantai dapur. Bagas yang kebetulan turun mengambil minuman di kulkas memegang dada terkejut, di dekat kulkas ada cewek berdaster putih yang semulut-mulutnya merah karena bumbu makanan. Mana timingnya pas lagi gigit tulang iga.

"Astagfirullah!"

"Kamu bisa ngucap juga ternyata? Aku kira yang keluar dari mulut kamu semuanya kalimat jahat."

Bagas pura-pura nggak nggak dengar. Sudah berupaya abai ujungnya dia tidak tahan untuk tak mengomentari perilaku Saras yang menurutnya menyimpang. Pembantunya saja tidak ada yang makan di lantai begitu.

"Lo tuh emang tabiatnya kayak rakyat jelata ya? Di rumah gue banyak kursi sama meja, tapi dari banyaknya tempat lo lebih milih duduk di lantai dapur. Gue nggak mau ya kalau anak itu lahir ngikutin sikap kampungan lo!"

Saras masih sempat-sempatnya menjilati tulang iga di sesi ceramah Bagas."Terus kenapa kalau mirip aku? Kan anak aku bukan anak kamu juga."

"Ya nggak bisa gitulah, kalau tinggal di rumah gue harus beradab, jangan barbar!"

Saras mencicit pelan, "padahal sendirinya ndak beradab." ternyata Bagas mendengarnya.

"Gue denger ya lo ngomong apa, beraninya lo ngomong gitu ke yang punya rumah. Berdiri nggak lo sekarang?"

"Kamu tuh kenapa sih Gas dari awal aku datang tingkahnya kayak bocah yang lagi main rumah-rumahan, iya aku tahu ini rumah kamu, tanpa kamu bilang juga semua orang tahu. Tapi kamu nggak usah ngurusin mau gimana aku bertingkah. Kecuali kalau kamu emang peduli sama aku."

"Dih!" Bagas mengedikkan pundaknya. "Jangan karena gue mulai melunak sama lo terus lo berpikir gue peduli sama lo, ya."

"Yaudah iya." walau harus adu urat dulu sama Bagas, Saras mau juga pindah ke kursi. Semula Bagas ingin langsung pergi namun perut sialannya malah tergoda oleh makanan Saras. Ini kejadian langka yang tak pernah terjadi sebelumnya. Ia tipe orang yang makan seperlunya, tak ada makanan yang benar-benar menggugah seleranya. Tapi melihat gadis kampungan itu makan, Bagas jadi ikutan mau.

Sadar ke mana perhatian Bagas tertuju, Saras menepuk kursi kosong di sampingnya. "Ayo sini makan, kamu pasti ngiler juga kan?"

Secapat kedipan mata, Bagas mengalihkan pandangan dari makanan. Ia memasukkan tangannya ke saku celana.

"Nggak tuh."

"Masa? Jakun kamu naik turun loh Gas lihatin makanan aku, ayo kalau mau makan sini makan bareng. Anak aku ndak keberatan kok bagi makanannya sama kamu, ya kan Dek?" Saras mengajak bicara bayinya. "Tuh kan, kata dia nggak apa-apa makan punya dia, Gas. Kenapa Dek?" Saras diam beberapa saat seolah benar-benar mendengar suara anaknya, kemudian berkata, "Kata dia, makan aja, temenin dia makan."

Bodohnya lagi Bagas beneran percaya ucapan Saras. "Dia beneran ngomong gitu?"

"Loh iya, aku sama dia kan punya ikatan batin. Kamu ndak akan tahu kalau kami sering ngomongin kamu juga."

Melupakan gengsi yang segede harapan orangtua perlahan namun pasti Bagas menarik kursi di samping Saras, ia duduk di sana. Tidak menunggu Saras menawarinya makanan, Bagas inisiatif duluan memakan jatah anak Saras.

Jangankan Saras, ia sendiri bingung kenapa dia jadi serakus ini? Saras sampai berhenti makan karena kenyang duluan menyaksikan Bagas.

Baru juga Saras mengincar dessert di meja, dia kalah cepat sama tangan Bagas. Saras jadi bingung ini yang hamil siapa tapi yang makannya banyak siapa.

Namun diam-diam terulas senyum di bibirnya. Saras menemukan sisi Bagas yang lain. Bagas makan dengan lahap saja bikin dia senang. Melupakan sejenak kemarahan di antara keduanya.

"Kok makanan dari restoran Damar bisa seenak ini ya? Selama ini perasaan biasa aja." kedua tangannya yang berminyak berada di sisi piring. Bagas baru sadar ini bukanlah jati dirinya. Saat menoleh dia menemukan Saras yang menatapnya. "Kenapa lo ngelihatin gue gitu?"

"Kamu masih mau makan Gas? Ini punya aku masih ada."

Satu alis Bagas terangkat. "Lo ngira gue serakus ini ya? Gue nggak biasanya kayak gini kok, emang kebetulan aja lagi lapar," bantah Bagas.

Saras malah senyum-senyum, dia memindahkan iga sapi bakarnya ke piring Bagas. "Kata anak di perut aku, dia suka lihat kamu makan lahap. Dia udah kenyang jadi tolong kamu habisin makanannya."

Dengan tidak tahu malu, Bagas masih bisa-bisanya menginginkan daging pemberian Saras. Ini benar-benar memalukan dan ingin ia hapus dari sejarah hidupnya.

🧸

"Aneh banget kan?"

"Nggak aneh sih Gas, dia cuma ngajak lo makan malam bareng bukan membina rumah tangga sampai kakek nenek," kilah Virgo. Pakarnya hubungan asmara. Di pelajaran olahraga, ia dan kedua temannya mendengarkan curhatan Bagas di pinggir lapangan.

"Anehlah, apa coba niatnya ngajakin gue makan bareng kalau dia nggak ada tujuan dapetin hati gue? Ck, dia kira setelah apa yang dia perbuat bakal bikin gue naruh hati kali."

"Ya mungkin aja Saras ajak lo makan karena dia anggap lo temen." Ilham mematahkan anggapan tentang Saras yang ada di kepala Bagas. "Wajar gak sih kalian udah serumah juga, kenapa enggak ngajakin makan bareng sekalian. Nggak ada yang aneh."

Tidak mau di cap terlalu percaya diri, Bagas memilih diam.

"Tapi sampai sekarang gue masih penasaran deh kenapa dia nargetin gue? Maksud gue, tuh cewek naksir gue nggak sih sebenernya tapi dapetnya malah lo, Gas?" Damar masih tidak paham semua ini. Ia ingat betul pernah melihat Saras menaruh surat dan coklat di lokernya. "Tapi kalau dia naksir gue, harusnya dia nggak ngotot minta tanggung jawab ke Bagas sih."

"Namanya aji mumpung. Mungkin nggak dapet lo tapi dia ngerasa nggak rugi juga dapet gue. Semua cewek dari keluarga susah tuh pemikirannya emang kayak gini apa ya? Maksud gue selingkuhan Papa gue rata-rata orang susah, mereka nggak peduli usia Papa gue yang lebih tua asal rutin ditransferin duit semuanya aman."

"Lo negatif mulu, Gas." Virgo menabok Bagas.

Pucuk dicinta bulan pun tiba, orang yang digibah muncul juga. Dari jauh terlihat Fani dan Saras yang berjalan ke pinggir lapangan.

Virgo sudah berdiri duluan, dia mengeluarkan parfum yang sengaja dia bawa pas pelajaran olahraga. Badannya sampai kayak toko parfum berjalan setelah disemprot berulang kali.

"Hai, Fan, cantik banget hari ini. Dari jauh gue kira siapa, ternyata pas dilihat lebih jelas calon ibu dari anak-anak gue." Virgo mengeluarkan jurus mautnya.

Yang digodain memutar bola mata geli. "Ibu dari anak-anak lo? Amit-amit, kasihan anak gue punya bapak kayak lo. Orang gue sukanya sama-" Fani menjeda omongannya tepat ketika matanya dan Damar tak sengaja bertatapan. "Sar, ayo kita balik ke kelas aja yuk, males di sini ada buayanya."Fani mengapit lengan Saras."

Namun sebelum benar-benar pergi, Saras berhenti. Dia mengajak ngobrol Virgo.

"Virgo,"

"Ya? Kenapa Sar?"

"Aku mau bilang makasih untuk makanan yang kamu kasih buat aku semalam, maaf ya aku pesanannya banyak banget, pasti mahal ya? Nanti kalau ada rejeki gantian biar aku yang beliin kamu makanan enak."

Pengakuan Saras tentunya bikin Bagas yang lagi bersandar di pembatas besi pinggir lapangan jadi auto duduk tegap. Teman-temannya ikut bingung, apalagi Virgo yang nggak tahu menahu. Ia sampai menoleh ke Bagas, meminta penjelasan.

Namun tanpa Bagas jelaskan, Virgo cepat tanggap.

"Sama-sama Sar, nggak apa-apa elah, gue emang lagi mau beliin lo makanan aja. Hitung-hitung nyenengin anak di perut lo."

Punya temen jago ngeles kayak Virgo ternyata ada untungnya. Bagas tak menyangka Saras akan berterima kasih langsung ke Virgo. Dia ketar ketir ketahuan membelikan Saras makanan atas inisiatifnya sendiri.

Masalah baru muncul ketika Saras tak terlihat lagi, Bagas harus menghadapi pertanyaan dari teman-temannya.

"Oh jadi makanan yang lo beli malam itu buat Saras toh? Ohhhhh gituuuuuu! Mana pakai jual nama gue, kalau sayang mah sayang aja kali Gas segala bawa nama gue." Virgo ambil giliran pertama meledeknya.

Justru Ilham sudah menaruh curiga di restoran sejak semalam."Udah gue duga sih, cuma nggak nyangka aja dugaan gue benar. Kalau emang lo nggak suka sama Saras harusnya lo konsisten sama sikap lo kan, Gas? Kenapa mendadak lo perhatian ke dia? Udah mulai ada rasa padahal belum genap sebulan kalian nikah?"

Entah mengapa Ilham lebih terdengar menghakiminya dibanding meledek."Katanya gue bisa ambil Saras kalau lo udah pisah sama dia. Kok sekarang sikap sama omongan lo kontras gitu?"

Bagas mengusap belakang kepalanya. Ngeles. "Ya apa salahnya sih peduli. Nggak konsisten dari mana? Gue nggak peduli sama Saras kok tapi ke anak di perut dia, walaupun kita belum tahu pasti itu anak gue apa bukan, apa salahnya kalau gue beliin anak itu makanan?"

Damar geleng-geleng kepala. Dia berdiri menasihati Bagas."Kata orang terbiasa bersama bisa bikin jatuh cinta, kalau lo emang nggak mau jatuh cinta sama cewek kabupaten itu bertingkah sewajarnya aja, Gas. Lo nggak yakin anak di perut dia punya lo tapi lo sepeduli itu beliin dia banyak makanan?" Damar tersenyum miring."Hari ini anaknya, besok siapa tahu ibunya yang lo treat like a queen. Gue harap lo nggak lupa sih kalau lo dijebak sama dia. Dia nggak sebaik yang terlihat."

"Kayak lo kenal dekat sama Saras aja." Ilham berucap ketus, dia ikut berdiri.

"Kok lo ngegas gitu Ham?" tanya Virgo.

"Nggak suka aja gue kalau Bagas sama Damar terus jelek-jelekin Saras. Lo bilang anak di perut dia belum tentu anak lo, Gas? Yakin? Padahal lo jelas-jelas cerita ke kita kalau ada noda darah di ranjang. Harusnya lo mikir, Saras nggak serendah itu sampai mau menukar keperawanannya biar dapetin cowok modelan kayak lo berdua," tegas Ilham sebelum meninggalkan lapangan dulu.

"Ham tunggu! Gue ikut!" Virgo berlari menyusul Ilham. Dia tim netral. Nggak membela Saras tapi nggak juga membenarkan perlakuan Bagas ke Saras. Lagian menurutnya Bagas juga korban di sini, dia kenal betul temannya itu menjaga diri baik-baik lalu mendadak rusak dalam semalam di luar kehendaknya. Ya jelas saja ngamuk.

Bagas menenggak habis air dari botol minumannya. "Ilham ngeselin banget gila!"

"Biarin aja Gas, gue tetap di pihak lo. Lagian kita nggak pernah tahu gimana sikap asli tuh cewek, gue masih meyakini dia sengaja jebak lo sih. Logikanya aja masa bisa nyambung banget ada yang SMS gue ngajakin ketemuan di kamar itu terus elo kebetulan tidurin dia di sana."

Bagas ngangguk-nganggukin kepala. Dia setuju pendapat Damar. Logika mereka sama dalam hal ini.

"Tapi bukan berarti gue nggak boleh ngasih perhatian kecil-kecilan ke anak di perut dia kan Dam? Apa ya? Gue berusaha banget untuk benci anak itu karena ngeberantakin tatanan hidup gue, tapi ternyata nggak segampang itu."

"Kalau dia beneran anak lo mungkin itu yang namanya ikatan batin, Gas."

🧸

Akhir pekan tiba, jadwalnya bagi mereka untuk tidur satu kamar. Berpura-pura menjalani kehidupan pernikahan baik-baik saja di depan orangtuanya.

Saras sudah menempati posisinya, berbaring beralaskan selimut di depan lemari.

"Bagas, boleh ndak nanti malam AC-nya jangan dingin-dingin. Aku nggak kuat, Gas."

"Tergantung,"

"Tergantung apa?"

"Sikap lo. Kalau lo nyebelin, gue dinginin AC-nya."

"Ok, aku ndak bakal bikin kamu kesal malam ini." Saras seolah menutup resleting bibirnya. Ia membalikkan tubuhnya menghadap ke lemari.

Nggak lama, dia bangun lagi. "Bagas, lampunya boleh kamu matiin ndak? Aku susah tidur kalau lampu nyala."

Bagas yang tengah belajar menutup bukunya kasar. "Lo nggak lihat gue lagi belajar? Ini kan kamar gue, sebelum ada lo di kamar ini gue nyalain lampu sampai tengah malam kok. Bukannya udah gue bilang jangan bikin gue kesal ya?"

"Ya maaf." Saras balik rebahan lagi, namun susah payah memejamkan mata rasa kantuk tak kunjung datang. Mendadak Bagas dikejutkan oleh kedatangan Saras yang menarik kursi di sampingnya.

"Lo ngapain? Jauh-jauh dari gue."

Apa dia mau godain gue ya? Dia pikir gue bakal kejebak kayak malam itu lagi?

"Aku ndak bisa tidur. Jadi boleh nggak aku lihat kamu belajar aja, sekalian aku pelajari cara cepat kamu mengerjakan soal. Selama ini aku lihat metode kamu selesaiin soal tuh nggak diajarin sama guru."

"Jelaslah, itu metode yang guru les gue ajarin. Lo beneran mau belajar?"

Saras mengangguk antusias. "Ya udah sana ambil buku sama alat tulis lo, tapi inget ya lo nggak boleh ganggu gue pas ngerjain soal. Lo cuma boleh nanya kalau gue kasih kesempatan."

"Ok deh."

Malam itu keduanya belajar bersama, sementara Bagas mengerjakan, Saras menyalin cara kerjanya. Bagas juga memberinya contoh soal untuk dikerjakan lalu kemudian dikoreksi nantinya.

Malam kian larut, Bagas sama sekali belum kelihatan mau tidur. Mata Saras sudah lima watt, dia menjatuhkan kepalanya ke atas buku sementara tangannya masih corat coret jawaban. Tanpa sepengetahuan Bagas, Saras memperhatikan wajah serius Bagas yang tengah belajar.

Selama ini ia duduk di depan sementara Bagas di bangku tengah. Ia hampir tak berani menoleh untuk memperhatikan cowok rangking satu ini. Tidak munafik, dulu Saras sempat kagum pada kepintaran Bagas. Jarang sekali cowok yang serba bisa dalam segala bidang pelajaran.

Anak aku nanti bakal sepintar apa ya? Bapaknya aja sepintar ini.

Di bawah kolong meja, Saras mengelus perutnya. Melantunkan harapan dalam hati.

Dek, lihat deh bapakmu. Pintar banget ya? Nanti pas lahir semisal kamu kesusahan tugas sekolah, kamu bisa tanya Bapak.

Tiba-tiba Saras teringat ucapan di mobil Damar pagi itu. Bagas bilang akan menceraikannya ketika anak ini sudah lahir ke dunia, dengan begitu Bagas hanya ingin meminjamkan namanya sebagai Ayah dari anaknya.

"Bagas, aku boleh tanya?"

"Bagian yang mana yang lo nggak paham?" Bagas masih fokus ke bukunya.

"Ini bukan soal pelajaran. Tapi tentang kita."

Ucapan Saras menghentikan gerakan tangannya. Bagas memandang Saras yang kini merebahkan wajah di atas meja.

"Kalau nanti anak ini lahir, kamu cuma mau pinjamin nama kamu sebagai ayahnya di surat-surat negara atau nanti kamu akan menganggap dia anak kamu juga?"

"Bukannya udah jelas ya?"

"Kamu bakal buang dia dari hidup kamu?"

"Bukannya lo yang bilang bakal bawa dia jauh dari hidup gue. Harusnya hal kayak gitu lo udah tahu jawabannya tanpa nanya."

"Kamu mau tes DNA?" Saras menyadari ada harapan di kalimatnya agar Bagas mau menerima anak ini di kemudian hari.

"Ngapain lagi tes DNA? Kalau ntar ternyata anak itu bukan anak gue bukannya itu bakal bahayain posisi lo?"

Saras mengangkat wajahnya. Ia menatap Bagas dengan tatapan sendu. "Karena aku yakin ini memang anak kamu, aku yang lebih tahu tubuh aku sendiri. Cuma kamu yang pernah melakukannya."

"Daripada lo kebanyakan ngomong ganggu fokus belajar gue, mending lo tidur deh."

Bagas malas meladeni obrolan begini. Ia masih tak terima jika anak itu sungguh miliknya.

Saras menutup buku, dia pergi ke tempatnya. Setengah jam berlalu, Bagas menoleh ke lemari. Di sana Saras sudah tidur pulas.

Katanya nggak bisa tidur kalau lampu nyala. Buktinya malah nyenyak.

Ia rasa sudah cukup belajar malam ini. Bagas pergi mematikan lampu. Kebetulan melewati lemari tempat Saras berbaring. Rasa penasaran menggelitiknya, ia tak langsung pergi ke kasurnya. Bagas masih sempat-sempatnya berjongkok di lantai, mengamati perut Saras yang sedang tidur.

Berbalut baju terusan selutut, perut Saras terlihat mulai membesar. Padahal kalau lagi pakai seragam sama sekali tak terlihat.

Apa ini beneran anak gue ya? Masa sih? Gimana bisa cuma sekali lakuin terus jadi anak?

Bagas kian penasaran, rasa ini mendorong tangannya untuk menyentuh perut Saras. Ia ingin tahu bagaimana menyentuh perut perempuan hamil. Agak random memang pemikirannya.

Pelan-pelan telunjuknya memencet perut Saras. Ini di dalem beneran ada bayinya? Bayi hasil bikinan gue? Kok bisa anjir?

"Ungh..." terdengar lenguhan dari bibir Saras. Belum sempat Bagas menjauhkan tangannya, mata Saras sudah terbuka. Ia menangkap basah Bagas yang tengah berjongkok di depannya.

"Bagas?"

"Itu... Ini... Gue cuma penasaran aja sama perut lo. Bukan ada maksud gimana-gimana." Bagas bermaksud segera berdiri tetapi jempolnya dipegang oleh Saras.

Ukuran tangan Saras yang jauh lebih mungil membuat jempolnya berada dalam genggamam tangan Saras. Saras menempelkan tangannya ke perut.

"Kamu penasaran kan? Kamu boleh sentuh perut aku kalau memang kamu mau nyapa anak aku. Ndak apa-apa, kalau tujuan itu aku izinin."

"Nggak, gue-"

Saras menekan tangan Bagas ke perutnya lalu mengajak ngobrol bayinya. "Adek, tebak ini tangan siapa? Ini tangan Bapak loh. Nanti kalau sudah lahir kamu digandeng ya sama Bapak?"

Segala makian kasar hendak terucap dari bibir Bagas, namun entah mengapa ketika mendengar Saras mengobrol dengan bayinya, Bagas ikut anteng.

"Sar, coba tanya, kalau nanti dia lahir bakal sayang nggak sama gue? Atau malah benci karena gue mau gugurin dia?"

Nggak nyangka bgt kan Bagas tiba-tiba begini?

Menurut kalian apa yang akan terjadi selanjutnya?

A. Bagas ngelak

B. Bagas lanjutin pertanyaannya

Tulis komentar perasaan kalian gimana baca part ini

Kita lanjut lagi nggak nih? Komen di sini

Salam sayang,
Dari istri orang baik, setia, tajir, berbudi pekerti, tampan, berkarisma di masa depan 💖🧸

Ipagpatuloy ang Pagbabasa

Magugustuhan mo rin

16.7K 2K 30
WARNING⚠ CERITA INI MENGANDUNG VIRUS KEBUCINAN, AWAS BAPER KARNA HAMPIR SEMUA PART MENGANDUNG KEROMANTISAN. !!- BIJAK DALAM MEMBACA -!! KESAL SAMA TO...
6.4M 330K 60
[SEBAGIAN DIPRIVATE, FOLLOW AUTHOR DULU SEBELUM BACA] Tanpa Cleo sadari, lelaki yang menjaganya itu adalah stalker gila yang bermimpi ingin merusakny...
333K 2K 1
[UPDATE SETIAP HARI JUMAT] "Aku akan memperbaiki semuanya," kata Bima. Terdengar seperti orang tua yang menghilangkan tangis sang anak dengan memenuh...
59.3K 2K 6
Aluna dan Refan melakukan kesalahan saat masih kecil dengan sebab itu Refan di kirim ayah nya ke luar kota. Delapan tahun kemudian mereka di pesendir...