Diary Nikah Muda

By user69540117

16.9M 749K 81K

GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Sa... More

🧸Diary Nikah Muda. o1
🧸 Diary Nikah Muda. o2
🧸Diary Nikah Muda. o3
🧸 Diary Nikah Muda. o4
🧸Diary Nikah Muda. o5
🧸 Diary Nikah Muda. o6
🧸 Diary Nikah Muda. o8
🧸Diary Nikah Muda. o9
🧸Diary Nikah Muda. 1o
🧸Diary Nikah Muda. 11
🧸Diary Nikah Muda. 12
🧸 Diary Nikah Muda. 13
🧸Diary Nikah Muda. 14
🧸Diary Nikah Muda. 15
🧸Diary Nikah Muda. 16
🧸 Diary Nikah Muda. 17
🧸Diary Nikah Muda. 18
🧸Diary Nikah Muda. 19
🧸Diary Nikah Muda. 2o
🧸Diary Nikah Muda. 21
🧸Diary Nikah Muda. 22
🧸Diary Nikah Muda. 23
🧸Diary Nikah Muda. 24
🧸Diary Nikah Muda. 25
🧸 Diary Nikah Muda. 26
🧸Diary Nikah Muda. 27
🧸Diary Nikah Muda. 28
🧸Diary Nikah Muda. 29
🧸Diary Nikah Muda. 3o
🧸Diary Nikah Muda. 31
🧸Diary Nikah Muda. 32
🧸Diary Nikah Muda. 33
🧸Diary Nikah Muda. 34
🧸Diary Nikah Muda. 35
🧸Diary Nikah Muda. 36
🧸Diary Nikah Muda. 37
🧸Diary Nikah Muda. 38
🧸Diary Nikah Muda. 39
🧸Diary Nikah Muda. 4o
🧸Diary Nikah Muda. 41
🧸Diary Nikah Muda. 42
🧸Diary Nikah Muda. 43

🧸 Diary Nikah Muda. o7

324K 16.4K 931
By user69540117

Ayo ramein biar cepat up

Absen dulu dong, biar kelihatan gitu loh berapa banyak yang baca 🧸🗑️

Sudah? Terima kasih 💖

Oh ya zefmon mau berbagi kabar, zefmon sudah dapat kerja, tapi masih bingung mau diambil atau enggak karena memang cuma iseng lamar ternyata diterima

Kepikiran nanti kalau kerja cerita ini bakal lanjut nggak ya? Apalagi gue tahu kerjanya capek

Doain yaa biar ketemu baiknya gimana, kalau nanti sudah jarang up berarti zefmon lagi capek kerja

Btw walaupun cerita ini sudah pernah tamat, yang sekarang zefmon tulis benar-benar beda dari versi lama. Nulis ulang kayak cerita baru

Buat siapapun yang beli karya ini versi lama secara ilegal apalagi tau uangnya nggak sampai zefmon. Udah ditulisin yang baru biar bisa baca gratis di sini padahal. Mau bilang GUE SAKIT HATI BGT!  Padahal udah dibilang jangan beliiii. Cuma dua karya yang saat ini bisa dibeli yaitu SyimbiosisAgreement dan Behind The Story

Plis, jangan bantu kasih makan orang lain pakai cara haram walau kalian niatnya nggak gitu

Gue yang capek nulis soalnya. Tau gak belakang leher sampai ngilu, kurang tidur, usaha promosi dan bangun feel.

Tarik napas, buang. Sekian.

Jangan menyerap energi negatif ini 💖🧸

Kiamat kecil-kecilan seakan mampir di hidupnya setelah mengetahui dirinya tengah mengandung di usia muda, di luar pernikahan dan mengerikannya dari benih seorang laki-laki yang tidak terpikirkan 'mungkin' olehnya.

Bagas Anjar Leksamana. Teman satu kelas yang tidak akrab juga. Dunia mereka terhalang oleh sekat bernama status sosial namun hanya butuh waktu dua minggu dirinya kini menampung calon bayi milik Bagas.

Tidak mudah bagi Saras untuk menerima kehamilannya, bayangkan saja, ia masih duduk di bangku sekolah dan punya harapan besar untuk terbang ke luar negeri. Mimpi yang sangat besar. Saras menyadari ada yang mulai tak beres dari dirinya, bukan hanya tidak haid sesuai siklus, ia juga merasakan mual terus-terusan sampai harus membawa minyak kayu putih kemana pun.

Ia menolak untuk mempercayai ketakutan pikirannya. Saras masih membiarkan gejala itu hilang berharap memang hanya sedang tidak enak badan. Hingga di suatu pagi ketika terbangun untuk pipis, ia menemukan bercak darah di pakaian dalamnya. Ia tidak bodoh, ini jelas bukan bercak menstruasi. Menutupi dirinya dengan jaket dan masker, ia nekat ke apotek untuk membeli alat tes kehamilan. Keesokan harinya dia memakai alat itu.

Ia berulang kali berdoa agar hasil tes itu negatif namun apa daya takdir berkata lain. Saras hampir terjatuh di kamar mandi karena dua garis merah pada alat tes di tangannya.

Ia benar-benar takut sampai hampir hilang akal. Seharian itu ia mencoba untuk meminum banyak soda kalengan, makan buah nanas sebanyak lima buah dengan harapan apa yang di kandungannnya itu meluruh keluar dengan sendirinya.

Usahanya gagal. Ia menemui keputusasaan hingga nyaris berpikir mengakhiri hidup saja dengan obat nyamuk semprot. Ia tidak sanggup membayangkan senyum di wajah ibunya yang menghilang setelah tahu dirinya gagal menggapai mimpi, lalu takut mengecewakan Papa Ninda yang sudah begitu baik membiayai sekolahnya.

Malam itu Saras terduduk menangis memeluki dirinya sendiri di lantai. Dinginnya lantai tak lagi menyakiti tubuhnya. Dengan mengetahui ada nyawa lain di dalam tubuhnya saja itu jauh lebih membunuhnya.

Lelah menangis, dirinya seolah ditampar, ia tersadar apa yang ia lakukan ini salah. Ia tak seharusnya menghukum anak di perutnya, ini bukan salah anaknya. Ia boleh marah pada Bagas tapi anak ini tidak ikut andil menyakitinya.

"Sar, kok lo pucat gitu? Lo sakit?" Fani mengecek pipi Saras. Sahabatnya itu sedikit hangat. Pada jam olahraga, Saras memilih tetap di kelas, memakai jaketnya.

"Lo mau ke UKS aja? Gue anter ya?"

"Boleh. Tolong temenin aku ya, Fan."

Setibanya di UKS, alih-alih berbaring, Saras justru duduk meremas tangannya.

"Sar? Lo kenapa deh? Ada sesuatu yang lo sembunyiin ya?"

"Fani, kayaknya aku mau berhenti sekolah deh. Aku mau balik ke kampung aja."

Fani kaget tentu saja. "Kepala lo kebentur tiang listrik ya? Manusia pintar dan beruntung dapat beasiswa ke luar malah milih mau berhenti?!"

Air matanya terjatuh hingga menyentuh rok seragamnya. "Aku hamil, Fan. Aku..." Saras mengangkat wajahnya, menatap Fani yang kini membelalak tak percaya. "Aku nggak mungkin buang anak ini."

Siapapun tolong tampar Fani bolak balik. Karena tak ada yang melakukannya, Fani manampar dirinya sendiri. Sakit. Nyata.

Dia melihat ke sekeliling, UKS sepi hanya ada mereka berdua. Fani segera menutup tirai. Ia memegangi tangan sahabatnya.

"Sar, bilang ke gue lo lagi bercanda atau mau kasih gue kejutan? Kan? Lo anak baik-baik, pacaran aja nggak pernah, dekat sama cowok juga enggak terus siapa yang mau hamilin lo sih? Nggak, semakin gue pikir ini nggak masuk akal!"

"Yang hamilin aku bukan orang yang suka sama aku Fan. Aku dan dia nggak pacaran."

Fani berkacak pinggang, ia membuang napas panjang. "Gue nggak percaya, Sar. Kalau emang bener-" Fani berhenti denial tatkala Saras menunjukan alat tes kehamilan yang dikantonginya.

Fani membekap mulutnya. "Sar? Jadi lo beneran lagi hamil? Siapa gila orangnya?!"

"Dia teman sekelas kita."

"Virgo?" Fani langsung terpikirkan satu orang. "Emang brengsek tuh cowok, gue kira selama ini dia cuma playboy, ternyata dia baikin lo karena emang mau badan lo doang. Lo diam di sini, biar gue yang mampusin dia!" terbawa emosi, Fani hampir melabrak Virgo sungguhan.

"Bukan Virgo, Fan." Fani tak jadi membuka tirai. "Bagas ayah dari bayi di perut aku," tutup Saras. Ia memegangi perutnya.

Nama yang Saras katakan jauh lebih bikin Fani terkena mental. Ia terduduk di kursi, pandangannya kosong. "Bagas? Bagas yang rangking satu dan dari keluarga donatur di sekolah kita? Sar, lo nggak salah sebut orang kan? Kalau Virgo orangnya gue masih percaya mereka mungkin hamilin lo tapi kalau Bagas? Dia tertarik sama cewek aja enggak woy!"

"Kami melakukannya dalam keadaan setengah sadar di ulang tahun Virgo, makanya malam itu kamu nyariin aku tapi aku bohong bilang pulang duluan. Sebenarnya malam itu..., aku dan Bagas berhubungan badan." Cerita dan air matanya berlomba, sama-sama menyanyat hati Fani.

Detik selanjutnya Fani ikut menangis. Ia tahu sahabatnya anak baik yang berusaha mencoba peruntungan di kota ini namun semuanya kandas sekarang.

"Sar, Bagas harus tahu. Gimana pun yang di perut lo itu anaknya. Dia yang taruh itu di sana."

Saras menggeleng ragu. "Nggak usah Fan, aku yakin dia nggak mau nerima juga. Pagi itu aja dia marah besar. Lagian ini bukan sepenuhnya salah dia, kami sama-sama mau."

"Ya mana bisa gitu lah! Kalian bikinnya bareng, dia juga harus tahu dan tanggung jawab! Kenapa? Lo takut karena dia dari keluarga terpandang? Kalau lo setakut itu ntar gue bawa keluarga gue deh, biar Papa gue yang samperin keluarga Bagas. Lo nggak lupa kan jabatan Papa gue?"

Saras menggeleng cepat."Jangan, aku nggak mau libatin keluarga kamu, Fan." itu bukan ide yang bagus. Papa Fani memang seorang abdi negara dengan jabatan tinggi. Namun Saras tidak mau menyeret banyak orang ke masalahnya.

"Terus mau lo apa? Pulang kampung dan lahirin anak ini sendirian? Jangan bego! Gue tahu lo baik tapi kadangkala lo tuh naif, Sar. Lo selalu ngeiyain hal yang sebenarnya nggak pengin lakuin. Pilihan cuma dua, lo mau kasih tahu Bagas sendiri atau biar gue yang kasih tahu dia hari ini?"

Benar yang Fani bilang, ia tidak punya keberanian besar. Orang-orang menganggapnya kelewat baik. Sebenarnya tidak, ia juga ingin melawan, ia ingin sedikit dihormati tapi dia menahan itu semua karena sadar harus tahu diri.

"Aku bakal coba ngomong sendiri ke dia, kalaupun pada akhirnya dia menolak anaknya sendiri, aku udah siap, Fan."

🧸

"Aku hamil anak kamu, Gas." Saras akhirnya punya keberanian menunjukan testpack itu ke Bagas. Meski yang dituju tetap berdiri ponggah, Saras tetap menyodorkan benda tipis tersebut.

"Kamu ayahnya, aku pengen kamu tahu ini duluan karena jujur aku benar-benar nggak tahu harus gimana, kita masih sekolah. Aku takut."

Bagas melirik testpack. Sedikit pun nggak ada niatan untuk menyentuh benda mengerikan di tangannya. Matahari di atas sana seolah ikut jatuh ke kepalanya hari ini. Namun Bagas tidak ingin terlihat panik.

Malahan ia merogoh saku celananya, mengeluarkan kartu hitam dari dompetnya. Meniru apa yang biasa papanya lakukan dengan kekuasaan yang beliau miliki.

"Ambil, di dalam kartu ini ada uang dalam jumlah besar."

Saras masih tak bergeming.

"Itu bukan anak gue. Gue nggak mau tahu lo mau apain anak lo itu tapi gue udah ngasih uang, uang ini lebih dari cukup untuk gugurin kandungan lo. Atau kalau lo mau pertahanin juga, lo yang harus berhenti sekolah."

"Bagas... Aku nggak minta uang kamu kok. Tanpa kamu suruh pun aku bisa aja berhenti, tapi aku cuma mau kamu tahu kalau ini anak kamu. Anak yang lahir dari dosa kita."

"Enggak. Gimana mungkin itu anak gue? Siapa yang tahu ayah biologisnya kan? Bisa aja lo udah dipake banyak cowok sebelum gue. Malam itu anggap aja gue nyewa badan lo."

Tak kunjung mengambil kartu pemberiannya, Bagas membuang kartu itu ke dekat kaki Saras.

"Masalah selesai. Lo dan anak lo itu jangan usik hidup gue lagi."

Saras membungkuk memungut kartu Bagas, air matanya ikut terjatuh bersama kartu itu. Setelah mengelap kartu di seragamnya agar bersih kembali, Saras mengembalikannya ke Bagas.

"Ambil kembali uang kamu. Aku nggak minta kamu bayar. Anak ini nggak sebanding sama isi kartu berharga kamu ini. Aku emang miskin tapi bukan berarti aku menjual tubuhku."

Sudut bibir Bagas terangkat naik. "Lagak lo nggak mau duit gue. Asal lo tahu, gue kenal banyak cewek modal selangkangan kayak lo, deketin orang kaya biar dapat banyak duit. Berharap naik level, susah sih ya kalau jadi orang miskin, sampai bingung mau jual apa jadi jual diri sendiri deh."

Jahat. Ucapan Bagas begitu menyakiti hati Saras. Ia tak terima jika dirinya dianggap sudah tidur dengan banyak lelaki sebelumnya. Sedangkan mereka sama-sama tahu malam itu adalah yang pertama untuknya.

"Gas, tapi ini benar-benar anak kamu. Aku nggak pernah tidur sama siapapun selain kamu."

"Halah! Nggak usah sok polos lo! Semua ada dalam rencana lo kan? Kamera dan minuman, semuanya udah jelas, lo jebak gue!"

Mata Bagas menyalak, ia menyoroti dengan jijik ke perut Saras.

"Oy gumpalan darah, Mama lo aja nggak tahu udah tidur sama berapa banyak lelaki sebelumnya. Masa nunjuk gue gitu aja? Semoga kalau lo lahir ke dunia nanti, lo mirip sama Papa kandung lo biar Mama lo yang rendahan ini tahu kalau lo bukan anak gue!"

Pundak Saras bergetar, isak tangisnya terbawa desiran angin di atap sekolah. "Gas, aku nggak ada maksud kayak gitu. Malam itu aku juga dijebak, aku nggak pernah-"

"Jebak?" sudut bibir Bagas terangkat naik, berucap dengan nada merendahkan. "Lo duluan yang buka baju dan godain gue, lo lupa?! Itu yang lo bilang nggak sengaja? Gue inget semuanya, emang lo aja yang pengen anak lo diakuin sama gue!"

"Terus kamu mau apa?!" suara Saras meninggi. Habis sudah batas kesabarannya menghadapi Bagas.

"Gugurin anak itu. Gue nggak mau suatu hari dia jadi penghalang bagi gue."

"Gugurin?" suara Saras kian parau. "Kalau kamu seyakin itu anak di kandungan aku bukan punya kamu kenapa harus setakut itu dia hancurin masa depan kamu? Atau sebenarnya kamu tahu ini anak kamu cuma kamu takut mengakuinya? Iya, Gas?"

"Jalan gue masih panjang, gue nggak mau anak itu ngerusak semua rencana masa depan gue. Kalau lo berkeyakinan itu anak gue, yaudah gue sebagai 'ayahnya' kasih solusi buat gugurin."

Bagas tidak tahu bagaimana hancurnya hati Saras siang itu. Ia tidak bisa menaruh simpati sedikit pun. Baginya Saras bukan gadis yang harus ia kasihani.

"Oke, kalau kamu ingin kamu membuang darah daging kamu." matanya yang sarat akan pedih itu menuju mata Bagas. "Tapi, kamu harus ikut menyaksikan saat-saat di mana anak ini disingkirkan, aku nggak mau berdosa sendirian. Kamu ayahnya, kamu harus lihat dengan mata kamu sendiri dosa yang kamu buat."

"Ok. Gue bakal ikut."

🧸

Sebelum benar-benar mengambil langkah aborsi, Bagas ingin meyakinkan lagi bahwa keputusannya ini tidak salah. Dirinya butuh validasi lebih, karenanya dia berpura-pura bertanya mengenai topik ini pada ketiga temannya. Bertanya ke orangtuanya tak mungkin.

"Kalau misalnya kalian ngehamilin cewek tanpa sengaja di usia segini, kira-kira kalian bakal ngapain? Digugurin aja nggak sih?"

Pertanyaannya bukan seperti pertanyaan, lebih ke kalimat minta didukung.

Suasana yang tadinya biasa saja mendadak hening ketika Bagas mengajukan pertanyaan. Ketiganya kompak masang ekspresi keheranan.

Ilham lebih dulu merespon. "Gas, lo tumben nanya gituan, maksud gue seorang Bagas yang nggak pernah terlibat sama cewek tiba-tiba nanya hal kayak gini?"

"Kecuali Virgo, mungkin kita nggak bakal heran," sahut Damar. Virgo geleng-geleng kepala dinistain terus.

"Gue lagi, gue lagi."

Bagas menggoyangkan satu kakinya di kolong meja, sedikit gugup. "Ya emang kenapa? Gue kan nanya doang. Lo pada tahu sendiri pemikiran gue kadang terlalu kritis dan mau tahu banyak hal."

"Nongkrong mah nongkrong aja kali nggak usah bawa pikiran kritis lo itu," kata Virgo. "Tapi kalo lo mau tahu jawaban gue sih, gue bakal--"

"Gugurin kan Go?" tebak Damar sebelum Virgo menyampaikan pendapatnya. Disambut sama lemparan kulit kacang ke muka Damar.

"Weithhs! Sembarangan aja tuduhan lo." Virgo balik fokus ke gue. "Gini ya Gas, kalau gue hamilin anak orang sih nggak bakal gue gugurin. Ya emang kayak kata lo tadi kita masih di usia muda gini, cuma mau di apain lagi? Masa kita yang berbuat dosa terus anak nggak bersalah yang kita bunuh. Sebrengsek-brengseknya gue, nggak bakal gue bunuh anak sendiri. Sekalipun gue bakal diusir dari rumah, yaudah gue bakal lakuin apapun biar anak gue bisa hidup."

Ketiganya tercengang oleh penjelasan Virgo. Tidak menyangka Virgo bisa kayak orang benar perkataannya.

"Kalo lo Dam?" Bagas melempar pertanyaan ke Damar.

Jawaban Damar cukup kontras dengan Virgo. "Tergantung sih. Kalau gue sih nggak pengen ya punya anak di usia semuda ini jadi solusi terbaik ya gugurin aja. Tapi balik ke ceweknya lagi, dia mau pertahanin atau nggak. Sebagai gantinya gue juga bakal kasih biaya dengan uang yang lebih dari cukup lah. Tapi amit-amit sih, makanya pacaran tuh yang baik-baik aja."

Giliran Ilham yang ngasih pendapat. Dia melipat tangannya di antara kakinya yang terbuka lebar. "Keluarga gue agamis banget, secara logika untuk punya anak di usia segini aja udah mustahil sih. Cuma kalau dimisalkan sih gue tentunya omongin ke keluarga dan tanggung jawab. Gitu. Eh, kalau lo sendiri gimana Gas? Lo bakal ngapain?"

"Gue?"

"Pikiran lo kan kritis tuh," sindir Virgo. "Ngomong lah lo mau ngapain?"

"Gue... Sorry, kayaknya gue harus balik deh. Nyokap Bokap balik cepat hari ini. Ntar gue yang bayarin ya."

Butuh waktu seminggu lagi untuk Bagas membulatlan niatnya. Pada akhirnya ia sudah berkeputusan menggugurkan calon bayi di perut Saras. Sepulang sekolah, Bagas menunggu Saras di depan kelas setelah Saras selesai membantu tugas dari wali kelas.

Begitu Saras keluar menggendong tas di pundaknya, tangan Bagas menghalangi pintu.

Saras sempat terkejut tentunya, ia kira semua teman sekelasnya sudah pulang duluan.

"Bagas?"

"Gue udah buat keputusan soal bayi di perut lo."

"Oh ya?" Saras sempat mengira mungkin doanya telah mengubah pemikiran Bagas.

"Hari ini gue bakal anterin lo ke klinik aborsi, lo tenang aja, semua biaya gue yang tanggung. Gue juga udah cari tahu soal klinik itu, risiko membahayakan nyawa lo lebih kecil. Kliniknya udah praktik puluhan tahun."

Saras memegang kuat tali tasnya. Ia kira Bagas akan berubah pikiran menerima bayi di rahimnya. Tempo hari di rooftop sekolah ia hanya terbawa emosi dan menantang Bagas melakukan aborsi namun tak pernah mengira jika Bagas sungguh tak punya hati.

"Gue tunggu di mobil. Hari ini, anak itu harus lenyap dari hidup gue. Tck, siapa juga yang mau anaknya terlahir dari rahim lo."

Komentarnya untuk part ini?

Salam waras, salam sehat. Kalau penulis kasih note DIBACA!

ZEFMON jarang banget nih keluarin kekesalan kayak gini, soalnya capek juga udah ditulis di note tapi suka di SKIP, kudu ottoke biar dibaca 😬

Babay, salam sayang
ZEFMON 💖

Continue Reading

You'll Also Like

2.8K 203 2
"Lagi dimana sayang?" "Emang ada pesan barang?" tanya kurir itu lewat telepon. "Engga, cuma kangen aja" jawab Feolla tanpa rasa berdosa. "Gila!" ump...
1.8M 87.7K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
132K 14.6K 21
Banyak yang bilang, mantan itu tempatnya di tong sampah. Sudahlah, buat apa dikenang lagi, mending move on dan cari pengganti. Itu menurut orang, buk...
2.2K 94 10
Earth adalah musuh terbesar bagi Mix semenjak sekolah. Pasalnya, earth telah membuat mix mengalami kejadian yang membuat ia trauma jika berada di tem...