15 September 2007
"Ayah datang!" Hyesun memekik riang tatkala ia mendengar suara Ayahnya yang samar-samar, ia yang tengah berada di lantai dua langsung bergegas keluar kamar dan menuruni tangga.
Namun belum sempat ia sampai di pertengahan anak tangga, suara pekikan yang diiringi suara tangis adiknya Hyejin yang masih berumur satu tahun membuat Hyesun menghentikan langkahnya seketika.
Hyesun mengintip dari balik sisi pegangan tangga, matanya tiba-tiba berlinang saat ia melihat Ayah dan Ibunya tengah berhadapan.
Nyonya Kim tengah menggendong Hyejin kecil yang masih menangis, namun ia sepertinya tidak peduli tentang Hyejin yang menangis. Hyesun bisa melihat punggung Ibunya yang gemetar hebat, dan Ayahnya yang tengah menatap Ibunya.
Hyesun yang kala itu masih berumur tujuh tahun tentu tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sana, mengapa kedua orangtuanya terlihat tidak bahagia seperti biasanya.
Posisi Hyesun yang agak jauh dari keduanya membuat ia tidak bisa mendengar apapun, hanya suara tangisan Hyejin yang menggema di telinganya.
Saat ia mencoba kembali melihat keduanya, ia hampir memekik tatkala Nyonya Kim mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan menampar Tuan Kim tanpa ragu.
Ia menangis. Ia menangis karena melihat Ayahnya ditampar, karena ia lebih menyukai Ayahnya dibandingkan Ibunya yang sibuk mengurus Hyejin kecil hingga melupakan dirinya yang juga membutuhkan perhatian.
Menurut Hyesun, hanya Ayahnyalah yang peduli pada dirinya. Ayah selalu membawakannya sebotol susu setiap harinya walaupun dirinya selalu pulang malam.
Setelah Nyonya Kim pergi ke kamar dan membanting pintu dengan kasar, Tuan Kim mengalihkan perhatiannya pada Hyesun yang berada di pertengahan tangga.
Hyesun kecil tengah menangis, dan ia tahu bahwa anak sulungnya itu menonton pertengkarannya barusan.
"Hyesun sayang, berhenti menangis. Ayah membawa banyak susu kesukaanmu." Kalimat tersebutlah yang diucapkan Tuan Kim saat menggendong Hyesun dan membawanya ke kamarnya.
"Mengapa Ibu menampar Ayah?" tanya Hyesun masih terisak.
"Karena Ayah sudah berbohong." Tuan Kim tersenyum miris, ia menurunkan Hyesun di atas ranjangnya.
"Mengapa Ayah berbohong?"
Tuan Kim mendesah pelan, "karena Ayah malu bila mengatakan hal sebenarnya."
"Ibu jahat, Ibu menampar Ayah!" pekik Hyesun tanpa peduli tentang tamparan tersebut adalah hukuman karena Ayahnya telah berbohong. Tangis Hyesun makin kencang, membuat Tuan Kim buru-buru membawa gadis kecil tersebut ke dekapannya.
Hyesun akhirnya berangsur-angsur berhenti menangis, ia memeluk Ayahnya semakin erat. Ia menyukai aroma Ayahnya yang sangat manis setiap kali Ayahnya pulang bekerja.
Aromanya seperti bunga yang baru saja mekar, sangat manis.
Hyesun akhirnya berangsur-angsur tertidur di dekapan Tuan Kim yang mengusapi punggungnya tanpa henti. Namun kalau tidak salah ingat, Hyesun sempat dibisikkan satu kata oleh Tuan Kim sebelum ia benar-benar jatuh tertidur.
"Maaf."
Ya, tanpa alasan dan sebab yang jelas.
Ayahnya meminta maaf pada dirinya yang kala itu masih berumur tujuh tahun dan sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi.
---
Paginya, Hyesun terbangun dengan senyuman di wajahnya. Ia bermimpi indah, sangat indah. Ia bermimpi bahwa ia berada di sebuah taman penuh bunga dengan bermain bersama Ayahnya.
Namun hanya dalam hitungan detik saja, senyuman di wajahnya memudar. Ia keluar kamar dan mendapati rumahnya kosong tanpa seorang pun. Ia ditinggal sendirian.
Berkali-kali ia kembali ke lantai atas dan berlari ke lantai bawah untuk memastikan bahwa ia tidak sendirian di rumah. Namun faktanya, ia ditinggal sendirian di rumahnya.
Ke mana Ayah, Ibu, serta Hyejin?
Mengapa ia ditinggal sendirian?
Hyesun memilih untuk mengunci kamarnya dan menangis di sana, ia tidak peduli ia lapar atau pun nantinya ia akan jatuh sakit.
Hyesun meringkuk di sudut ruangan, ia membayangkan bahwa ia akan menjadi pengemis di jalanan tanpa ada satu pun yang menjaganya.
Kejadian tadi malam kembali terputar di benaknya, ia ingat persis bagaimana orangtuanya bertengkar dan berakhir dengan Ibunya menampar Ayah lalu menutup pintu kamar dengan kencang.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Apa kebohongan yang Ayahnya ucapkan hingga ia mendapatkan tamparan yang begitu menyakitkan?
"Ibu jahat, Ibu yang terjahat." Hyesun masih terisak tatkala ia tiba-tiba mendengar ketukan di pintu kamarnya.
"Apa ada orang di dalam?"
Hyesun menghapus air mata yang membasahi pipinya, ia bingung karena ia sungguh tidak mengenali suara wanita paruh baya yang berada di depan kamarnya.
"Nak, apa kau di dalam? Hyesun?" Kalimat tersebut menggema di kepala Hyesun, akhirnya Hyesun memutuskan untuk membuka pintu kamarnya.
Seorang wanita paruh baya beserta beberapa wanita lain berada di depan pintu kamarnya, Hyesun kecil tampak bingung dengan situasi tersebut.
"Syukurlah, ayo ke mari. Kau sudah makan? Bibi akan buatkan makanan untukmu, kau belum makan dari tadi pagi, bukan?" seloroh wanita paruh baya tersebut yang langsung meraih tangan Hyesun dan mengajaknya menuruni tangga.
Seingat Hyesun, ia sering berjumpa dengan wanita paruh baya ini di luar rumah. Ya, wanita ini adalah tetangganya yang tinggal di depan rumahnya.
"Maaf tiba-tiba kau harus ikut dengan bibi, kau pasti bingung." Ada jeda sebelum wanita paruh baya tersebut melanjutkan, "Ayahmu meninggal karena kecelakaan jam tiga pagi tadi."
Hyesun spontan menghentikan langkahnya. Ia merasa pikirannya kosong tiba-tiba. Hanya kalimat bibi tersebut yang terngiang di benaknya.
Ayahmu meninggal.
Ia tahu apa makna meninggal, itu berarti ia tidak bisa menemui Ayahnya lagi karena Ayahnya akan dikubur di bawah tanah. Ia tentu tidak terima.
Hyesun mulai menangis. Ia akhirnya di luar kendali, ia memekik dan menangis. Berkali-kali dirinya memohon agar ia bisa bertemu dengan Ayahnya.
Beberapa wanita yang berada di belakangnya sedari tadi mulai berbisik-bisik satu sama lain kala melihat Hyesun yang tampak menyedihkan.
Mereka menatap kasihan pada Hyesun kecil, namun kalimat yang mereka lontarkan kala itu sungguh menambah sakit yang dirasakan Hyesun.
"Dasar gila, bagaimana bisa dia melakukan hal gila dan berselingkuh dengan tenang saat ia mempunyai anak seperti ini?"
Setelahnya Hyesun benar-benar kehilangan kesadaran, ia tidak benar-benar mengharapkan ia akan bangun setelah ini. Lebih baik ia tidur selamanya dibandingkan harus bangun dan menghadiri pemakaman Ayahnya.
Setelah mendengar apa yang diucapkan wanita tadi, ia tahu bahwa tindakan ia selama ini tidak menyukai Ibunya adalah benar. Bahkan ia yakin, besok ia akan membenci Ibunya mati-matian.
Di pikiran Hyesun yang kala itu berumur tujuh tahun dengan perhatian minim dari Ibunya, ia tahu siapa yang dibicarakan wanita tersebut.
Bukankah itu, Ibunya? []