EGOMART!: Selamat Pagi, Selam...

Από gantistatus

1M 164K 8.3K

PERSYARATAN MELAMAR DI EGOMART! - WANITA, USIA MAKSIMAL 22 TAHUN "Cek, umur gue baru 20." - MINIMAL LULUSAN S... Περισσότερα

BLURB
Prolog
1.1 Pulsanya Sekalian?
2.1 Tukang Boker di Celana
2.2 Tukang Boker di Celana
3.1 Kekasih Kanser
3.2 Kekasih Kanser
4.1 Bos!
4.2 Bos!
5.1 Hamsternya Kanser
5.2. (Bukan) Hamsternya Kanser
6.1 Restoran Purna
6.2 Restoran Purna
7.1 Kanser K.O
7.2 Kanser K.O
8.1 Pembawa Berkah
8.2 Pembawa Berkah
9.1 PEDE KATE
9.2 PEDE KATE
10.1 Unblock
10.2 Unblock
11.1 Biasanya Irvan....
11.2 Biasanya Irvan...
12.1 Terbohongi
12.2 Terbohongi
13.1 Berakhir
13.2 Berakhir
14.1 Kabar Duka
14.2 Kabar Duka
15.1 Sebuah Usaha
15.2 Sebuah Usaha
16.1 Bukan Kesempatan
16.2 Bukan Kesempatan
17.1 Terjebak
17.2 - Terjebak
18. Udah
Epilog
Extra Part Plus-plus😂

1.2 Pulsanya Sekalian?

41.1K 5.7K 231
Από gantistatus

"Anjir, tampang gue emang kelihatan tampang orang kere?"

Irvan menggigit sedotannya melihat ekspresi kesal Purna. "Kenapa lo?"

"Lo tersinggung nggak kalau ditanyain 'pulsanya sekalian, Kak?' gitu, Van?"

"Yaelah, itu kayak pegawai di minimarket, kan? Namanya teknik pemasaran, Na. Keramahan juga. Lo pikir gampang nawarin pulsa ke setiap orang yang udah hafal bakal ditanyain begitu? Lo bahkan bisa gengsi, Na."

Purna manggut-manggut. Dia menjulurkan tangannya dan mengambil sejulur mie di mangkuk Irvan, membuat lelaki itu mendelik. "Jorok banget gue punya temen, astaga! Santai banget ngambil mie gue pake tangan!"

"Rese! Udah, sih, gue nggak berkuman, kok."

"Mana tahu. Kuman kelihatan cuma dari mikroskop. Dan mata lo nggak sejeli itu." Irvan mendorong mangkuknya ke Purna. "Abisin."

Purna menggeleng. "Kenyang. Tadi nyicip doang."

"Kan bisa pake sendok, Purna!" Irvan gemas sendiri.

"Jangan marah-marah mulu, Van." Purna mengecek jam tangannya. "Bentar lagi masuk. Ayok."

Benar, kan, Irvan menggeram kesal. Temannya yang bernama Purna itu sangat menyebalkan, benar-benar menyebalkan, setelah itu tidak mau membayar, lagi.

"Ayo cepat, ih. Lelet!"

"Bentar, bayar dulu."

Purna mengikuti langkah Irvan yang menuju kios paling timur di kantin. Dia lalu menjajari Irvan yang masih bersungut kesal padanya.

"Jangan deket-deket. Ntar cewek gue cemburu." Irvan menghindar dari Purna padahal Purna tidak menempel sama sekali padanya.

"Kalau dia nggak percaya sama lo, artinya meremehkan lo."

"Zaman sekarang bukan masalah percaya atau nggaknya. Seorang cewek kalau udah percaya itu harus dipegang erat-erat, soalnya lagi zaman tuh pelakor."

Purna berdecak. "Lo ngomong doang masalah cewek. Coba tunjukkin yang mana cewek lo, sih? Nggak pernah mau ngaku juga."

"Rahasia."

"Pelit."

Irvan tertawa. Kini malah dia yang mendekat pada Purna dan merangkul bahu cewek itu, menunjukkan ponsel dengan sebuah foto di sana. "Ini cewek gue."

Purna mengernyit menatap foto itu. Sepertinya dia mengenal seseorang di foto itu. Tapi siapa? Coba dia ingat-ingat sebentar.

Rambut hitam sebahu.

Mata cokelat.

Kulit putih.

Cantik, sih.

Manis juga.

Dan ... imut.

Pendek.

Hm, Purna benar-benar tahu siapa itu. Seseorang yang selalu dia lihat setiap hari saat sedang becermin.

"Lah, orang pendek itu," gumam Purna.

Irvan tertawa. Dia mencubit gemas pipi Purna. "Bukan pendek. Mungil. Imut."

"Apaan, tinggi gue 156 itu adalah tinggi minimal untuk pendaftaran di bidang apa pun, nggak semua, sih. Tapi kebanyakan malah minimal lebih dari itu."

"Yang penting lo cantik."

"Ngapain cantik kalau apa-apa harus pakai dingklik?"

"Jangan merendah begitu."

"Gue emang udah rendah jadi buat apa merendah. Jatuh entar gue terus diinjek kayak taik."

Irvan kembali tertawa. Dia merangkul bahu Purna semakin erat dan berjalan menuju kelas.

"Gue, sih ragu lo mau kerja."

Purna memutar bola matanya kesal. Dosen sedang mengajar di depan tapi siapa pun yang mengobrol tidak akan dipedulikan. Bagi dosen yang satu itu, kewajibannya hanya mengajar dan menularkan ilmu. Urusan mahasiswa yang memperhatikan, jadi urusan pribadi para mahasiswa.

"Cuma lo yang meragukan gue, Van. Gue sedikit sakit hati ini." Purna memegang dadanya.

"Gue lebih ke khawatir, sih. Takutnya lo kecapekan aja."

"Tenang, gue udah terbiasa capek nungguin lo dari dulu, kan?" Purna tertawa.

Irvan berdecak. "Jangan dibahas terus, deh. Sekarang gue yang ngejar, lo yang lari."

"Butuh usaha ekstra karena lo udah nolak seorang Purnama."

Irvan mengedipkan mata. "Apa pun."

"Yang di pojok, silakan keluar dari perkuliahan saya sekarang juga!"

Oow. Sepertinya dosen itu sudah bertaubat dari dosen-tidak-peduli menjadi dosen-yang-memperhatikan-mahasiswanya. Karena sekarang Purna dan Irvan benar-benar diusir dari kelas.

"Lo, sih." Purna menyalahkan Irvan.

Irvan tidak peduli. Dia menatap Purna dengan intens. "Jalan, yuk."

"Capek. Naik mobil mau."

"Ya itu maksud gue!"

Purna tertawa melihat kejengkelan Irvan. "Jangan marah-marah mulu kenapa, cepat tua nanti, Van."

"Tuanya kan nanti, bukan sekarang."

"Ngomong aja sana sama tembok. Datar banget omongan lo," cibir Purna.

Mereka terus berjalan. Irvan tidak melepas rangkulannya, tidak lagi sekarang. "Purnama," ejanya.

"Apa panggil-panggil nama gue? Mau bilang nama gue kayak cowok? Yang lebih kayak cowok itu nama Purnomo. Untung aja nama gue Purnama."

Irvan tergelak. Sungguh, Purna adalah gadis paling menggemaskan yang pernah dia kenal selama ini. Hasutan dari mana sampai dulu dia menyia-nyiakan perasaan gadis itu padanya hingga kini dia yang berbalik menyimpan rasa.

Irvan tidak tahu apakah kini perasaan Purna masih sama, dia hanya ingin kedekatan mereka tetap seperti ini. Purna bukan pendendam, itulah yang membuat mereka masih berjalan bersama kini meskipun Irvan terhitung sudah menyakiti hati Purna.

"Duduk dulu sebentar." Irvan membimbing Purna duduk di kursi taman.

Seperti biasa, Purna tidak terbawa suasana dengan sekitar, malah asyik bermain ponselnya. Entah Irvan harus melakukan apa untuk membuat Purna mengerti akan perasaannya. Purna seperti menutup diri dan menutup hati darinya.

"Lo suka cokelat, kan? Ini gue kasih buat lo."

Mata Purna berbinar. Dia meraih cokelat Tambalronnn putih pemberian Irvan. "Makasih, Van ...."

Melihat itu, Irvan ikut tersenyum. "Menurut lo, gimana kalo gue suka sama lo?"

"Derita lo." Purna membuka bungkusan cokelat.

"Kok gitu?"

"Lo kayak terpaksa gitu suka sama gue."

Irvan berdecak. Dia tidak habis pikir dengan gadis macam Purna.

"Sori, Van." Purna tahu itu bukan saat untuk bercanda. "Gue tahu, kok. Apa yang lo tunjukkin ke gue selama ini."

"Gue juga nggak maksa lo buat ngerti. Salah gue juga."

"Kita bisa berteman baik. Kayak gini." Purna menautkan tangannya pada Irvan.

Irvan tersenyum. "Gitu, kek. Biar jelas."

Purna bersyukur memiliki teman sebaik Irvan. "Kalo cuma temen, lo tetep mau ngasih gue cokelat Tambalronn?"

"Catburny, Silver King, atau cokelat asli dari luar gue bisa kasih kalo ada."

Purna tertawa. Dia memotong satu lekukan cokelat dan menyodorkannya pada mulut Irvan yang diterima dengan tawa.

Getaran ponsel dari saku Purna mengalihkannya dari obrolan dengan Irvan. Dia meraih ponsel dan seketika berteriak senang.

"Kenapa?" Irvan bingung sendiri.

"Ini, gue dipanggil buat psikotes dan wawancara, Van."

"Di Egomart!?"

Purna mengangguk antusias. "Sekarang. Coba lo baca, ya. Ini disuruh sekarang, kan?"

Irvan mendekat, dibacanya pesan itu baik-baik. "Iya. Sekarang."

"Oke. Gue ke sana sekarang. Ada faedahnya juga dikeluarin dari kelas."

"Gue anter."

Purna mengangguk. Tentu saja.

***

"Bener di Egomart! yang ini?" tanya Irvan sangsi. Pasalnya, dia tahu ada dua minimarket Egomart! yang pernah dia jumpai. Sama besarnya, jadi tidak ada yang tahu di mana pusat dan di mana cabang.

"Katanya di Simanjuntak. Bener yang ini."

Dua minimarket itu hanya berbeda nama jalan saja. Itu pun tidak terlalu jauh satu sama lain. "Gue masuk dulu, deh," ujar Purna.

"Hati-hati."

"Thanks, Van."

"Gue tungguin."

"Nggak apa-apa? Agak lama, deh."

"Ya udah, gue ke perpusnas dulu. Lo bisa hubungi gue kalo udah selesai."

Purna menengok ke sebelah kanan. Perpusnas memang hanya di sebelah. Tidak terlalu jauh. "Oke deh."

Purna melangkah memasuki Egomart! dan seperti biasa, disambut dengan ucapan selamat siang. Diam-diam Purna terkikik. Besok kalau dia bekerja di sana, asyik sepertinya memberi ucapan seperti itu. Tetapi dia tidak boleh mimpi dulu. Tes dan wawancara saja belum.

Terhitung baru satu kali dia pernah berkunjung ke tempat itu. Seringnya, sih, yang di cabang sebelah karena lebih dekat dengan indekosnya. Ternyata di sini sama besarnya, hanya saja dia tertegun saat dibukakan pintu paling belakang minimarket.

Ada sebuah ruangan yang sangat sejuk. Hawa dingin menerpa kulitnya setelah dia memasuki ruangan itu. Bisa jadi itu sebuah gedung besar yang bagian depannya dibuat sebuah minimarket. Benar-benar tidak terlihat bahwa ruangan itu adalah bagian dari minimarket.

Purna dibawa melewati satu pintu lagi. Penuh komputer dan peralatan elektronik lainnya. Tempatnya juga bagus. Banyak tumbler warna-warni lucu. Buat karaokean sepertinya asyik tempat itu.

Tetapi tidak seenak itu. Di sana, Purna disuruh mengerjakan soal-soal psikotes di komputer. Tenang saja, jurusannya psikologi. Tidak sampai satu setengah jam dia sudah selesai. Hasil langsung terpampang dan ....

Gotcha!

Lulus, kan?

Purna tersenyum bangga, lalu dia kembali dibawa keluar ruangan karaoke-asyik-itu menuju ruangan utama tadi. Semakin ke belakang, ruangan itu justru tampak seperti rumah. Luar biasa sekali si empunya minimarket itu.

"Nah, silakan masuk, Kak. Di dalam sudah ada orang yang akan mewawancarai."

Purna mengerjap. Biasanya, di perusahaan-perusahaan, kan pasti ada tulisan nama dan jabatan di bagian pintu. Di situ tidak ada. Jadi Purna benar-benar tidak tahu apakah yang akan meawancarainya lelaki atau perempuan.

Setelah pintu diketuk pelan oleh pramuniaga yang mengantar Purna, terdengar teriakan dari dalam yang menyuruh agar dia masuk. Suara laki-laki. Itu lebih baik. Baginya, pewawancara lelaki lebih bisa dia hadapi. Seperti kata pepatah, wanita sulit dimengerti, maka itulah kadang pertanyaan yang terlontar dan ekspresinya sangat sulit Purna tafsirkan, apalagi untuk dijawab.

"Saya permisi, Kak."

Purna mengangguk. Tinggal dia sendirian. Perlahan dia mengembuskan napas, hati-hati, lalu menyentuh kenop dengan perlahan, diusap sebentar. Lalu membuka pintu.

Ada dua lelaki yang memasang tampang menyeramkan!

Sudah terbiasa dia menghadapi raut menyebalkan dari lelaki sok jual maihal seperti itu.

Tapi yang membuatnya sebal hanya satu;

Lelaki yang duduk di sebelah kiri, menatapnya dengan seringai menyebalkan, persis seperti saat lelaki itu baru saja mengadu pada guru kelas 2 bahwa Purna boker di celana.    

Συνέχεια Ανάγνωσης

Θα σας αρέσει επίσης

16.6M 708K 41
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
Free Zone (Tamat) Από Daisya

Γενικό Φαντασίας

1.2M 79.7K 46
[DISARANKAN FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA⚠] Highest rank #1 dalam Fiksi Umum #2 Romcom #1 Comedy #1 Komedi #1 Horor #1 Hantu (Romance-Komedi-Horor) ___...
365K 40.7K 30
- kookmin - lokal au - harsh words - end Jungkook sama Jimin itu pacaran, tapi pacaran mereka anti mainstream! Beda sama yang lain.
2M 193K 56
Bagi sebagian orang, mungkin proses interview melamar pekerjaan merupakan sesuatu yang menyenangkan. Tapi tidak bagiku, aku yang kadar paniknya suka...