Love, lost, And, Found (Ci...

By titisanaria

2.2M 260K 18.2K

Kara menikmati hidupnya yang sekarang. Dia punya pekerjaan yang dia sukai dan tinggal di luar rumah setelah m... More

Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Bukan Update-an
Bukan Update
Bukan Update-an
Numpang Promo DSJ
Open PO

Enam Belas

50.1K 9.4K 453
By titisanaria

Tengkiu untuk responsnya yang bagus di part kemaren, ya. Lope-lope yu ol, Gaesss...

**

"Saya beneran minta maaf, Kara," lanjut Atharwa. "Saya sama sekali nggak tahu kalau kamu mendengar saya mengatakan hal seperti itu. Sekarang semuanya jadi masuk akal. Nggak heran kamu menjauh dari saya. Apa yang saya lakukan itu memang buruk dan nggak bisa dimaafkan."

Aku masih diam, mencoba mencerna apa yang dibicarakan Atharwa. Ini seperti menggali kenangan, dan membongkar timbunan peristiwa yang pernah membuat hati terluka tidak pernah menyenangkan.

"Hanya saja, waktu itu saya masih sangat muda. Di masa seperti itu, kebanyakan orang masih labil dan cenderung melakukan apa pun untuk mendapatkan keinginannya. Apa pun. Dan sayangnya saya termasuk kebanyakan orang itu. Saya melakukan hal buruk untuk membuat kamu jauh dari jangkauan Remmy. Permintaan maaf saya mungkin nggak akan mengubah kenyataan kalau apa yang saya katakan itu mengerikan, dan apa pun yang akan saya lakukan untuk memperbaikinya nggak lantas bisa menghapus sakit hati kamu. Tapi saya beneran menyesal. Sungguh. Saya melakukannya semata-mata karena saya dulu suka sama kamu dan nggak mau Remmy memotong jalan saya, meskipun pada akhirnya saya kehilangan kesempatan untuk lebih dekat sama kamu." Suara Atharwa terdengar jelas, tetapi apa yang dikatakannya itu terasa tidak nyata.

Halo... panggilan kepada Kara... panggilan kepada untuk kembali ke bumi. Kara... Kara... Kara memonitor? Kembali ke bumi sekarang! ASAP! Aku mengerjap. Oke, baiklah, DULU. Ya, kami memang sedang bicara soal masa lalu yang sudah kami tinggalkan berabad-abad lalu. Tentang perasaan konyol bernama cinta monyet. Cinta yang hadir untuk menegaskan kalau hormon yang ada di dalam tubuh memang berfungsi sebagaimana mestinya, dan wussss... sekejap kemudian lantas menguap. Hilang. Lenyap tak bersisa. Cinta yang terkikis sakit hati yang dibumbui jarak dan waktu, lalu terlupa.

Kami membicarakan soal ini sekarang untuk meluruskan apa yang menjadi kesalahpahaman di masa lalu, tidak lebih. Ya, masa lalu.

"Kara?"

Aku mengembuskan napas pelan-pelan. Masih mencoba mencari kalimat untuk merespons. Apa yang dikatakan Atharwa memang sempat membuatku kehilangan fokus karena sama sekali tidak menduga dia akan mengemukakan alasan seperti itu untuk menjelaskan ejekannya yang tidak sengaja kudengar. Dia suka padaku? Maksudku, dia DULU suka padaku? Dia semestinya mengatakannya, bukan malah membuatku harus mendengar dia mengolok dan membuat aku merasa semakin tidak percaya diri dengan bentuk tubuhku

"Saya nggak suka dianggap makanan anjing, walaupun bentuk tubuh saya seperti ini." Aku mundur sehingga Atharwa lepaskan lenganku yang dipegangnya. Sedikit jarak membuatku merasa lebih nyaman.

"Saya sungguh-sunggu menyesal. Saya minta maaf." Atharwa kembali mengulang permohonan maafnya untuk yang kesekian kali. "Saya sudah bilang kalau sama sekali nggak bermaksud seperti itu."

Kali ini aku tidak menjawab karena tidak tahu harus berkata apa lagi.

"Apa terlalu berlebihan kalau saya berharap dimaafkan dan kita bisa berteman seperti dulu lagi?"

Entahlah. Aku tidak pernah berpikir akan kembali berteman dengan Atharwa sejak mendengarnya menjadikan aku lelucon. Jujur, aku tidak mengira akan kembali bertemu dengan dia seperti sekarang. Seandainya boleh memilih, aku lebih suka dia tidak berada dalam lingkar hari-hariku. Ya, dia memang terlihat menyesal dengan apa yang dia lakukan di masa lalu, tetapi aku juga bukan orang suci yang akan serta-merta bisa memaafkan hanya karena penjelasannya terdengar masuk akal.

"Mungkin nggak sekarang." Atharwa seperti bisa membaca keraguanku. "Kamu pasti butuh waktu untuk menerima penjelasan saya. Kamu sudah menyimpan sakit hati selama lebih dari sepuluh tahun, dan satu pembelaan diri saya nggak bisa langsung menghapusnya."

Aku masih tercenung saat Pajero Genta berhenti di depan kami. Kacanya diturunkan, dan keningnya lantas berkerut saat melihatku tidak sendiri. Jiwa bodyguard-nya pasti langsung bekerja.

"Saya harus pergi sekarang," kataku kepada Atharwa. "Jemputan saya sudah datang." Menjelaskan hal seperti itu saat mobil Genta sudah di depan hidung rasanya seperti orang bodoh. Aku hanya tidak bisa menemukan kalimat lain yang lebih baik.

"Oke. Kita bicara lagi besok?"

Aku tidak menjawab dan buru-buru masuk mobil Genta. Memangnya apa lagi yang harus kami bicarakan besok? Dia mau memintaku menjawab permintaan maafnya secara formal? Aku mungkin bisa memaafkannya, tetapi berteman kembali setelah ini rasanya malah aneh. Sebaiknya tidak usah.

"Itu tadi siapa?" tanya Genta setelah memacu mobil di jalan raya.

"Manajer di kantor." Pikiranku masih tertinggal di depan gedung kantor. Apa yang barusan terjadi benar-benar seperti mimpi. Memang bukan mimpi buruk yang membuat keringat dingin mengucur, tetapi juga bukan mimpi indah. Hanya seperti sesuatu yang tidak nyata.

"Bukannya manajer lo sudah agak tua gitu?" Genta mulai menginterogasi.

"Manajer marketing."

"Ngapain nemanin kamu menunggu di situ? Dia kebanyakan waktu luang atau PDKT?"

Aku melirik Genta sebal. "PDKT sama aku?"

Genta ikut menoleh sehingga tatapan kami bertemu. Dia menyeringai jail. "Bukan, PDKT sama pilar yang ada di dekat lo. Pake nanya lagi! Wajar kan kalau ada yang PDKT sama lo?"

Aku mendesah dan mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil. Ya tentu saja, di mata Genta dan Mama, aku sangat cantik sehingga bisa mendapatkan laki-laki manapun yang aku inginkan. Aku hanya perlu mengangkat telunjuk dan orang yang beruntung itu akan menghampiriku dengan tatapan berlumur cinta. Ya, itu bisa saja terjadi. Dalam mimpi indah!

**

Wajah Jingga tampak semringah menghadapi makanan di depannya. Aku sengaja membungkus sebagian makanan yang tidak kami sentuh di restoran untuknya. Mama memesan terlalu banyak makanan untuk kami berempat.

"Siapa yang peduli sama berat badan kalau disuguhin makanan enak kayak gini." Dia menggosok-gosokkan kedua belah tangannya sebelum mulai makan. "Gue beneran nggak salah orang saat mengajak lo ikut kos di sini."

Aku kos di tempat ini atas rekomendasi Jingga, meskipun Mama awalnya tidak setuju saat melihat tempatnya yang tidak sesuai standarnya. Aku tidak akan mendapatkan kamar kos di dekat kantor kalau mencari yang luas dan fasilitasnya sama dengan yang ada di dalam kamarku di rumah. Kalaupun ada, harganya pasti akan menghabiskan sebagian besar gajiku. Aku akan mendapat gelar akuntan gagal kalau bekerja membanting tulang hanya untuk membayar sewa kamar.

"Lo masih berutang makan siang sama gue besok."

Aku berdecak. Makanan yang ada di depannya saja entah kapan bisa habis, Jingga sudah berpikir soal besok. Bagaimana mau kurus? Aku sungguh iri dengan kemampuannya menimbun lemak. Seandainya kapasitas lambungku menerima makanan bisa seperti Jingga, aku tidak perlu menerima olok-olok sejak usia belasan. "Iya, gue nggak lupa. Kayak yang nggak pernah gue bayarin makan saja, sampai harus diingatin gitu."

Jingga terkekeh. "Oh ya, gue belum cerita kalau tadi gue ketemu Agrata Oppa di lobi waktu mau ke pabrik, kan? Ya Tuhan, kok ada orang bening kayak gitu, ya? Gue rasanya bisa bercermin di jidatnya." Pandanganya menerawang, membayangkan. "Putih, bersih, dan mulus gitu. Dia kalau minum sirop coco pandan, warna merahnya pasti kelihatan jelas di lehernya saat minumannya ditelan."

Aku mengarahkan bola mata ke atas. Lebay! "Terus, dia senyum sama lo gitu?"

Jingga berdecak mencela. "Cinta gue sama Oppa itu nggak butuh balasan senyum. Seperti fans Oppa yang lain, cinta gue juga tulus. Setelah move on dari Jong Suk Oppa, gue baru nge-bias lagi sama Agrata Oppa."

"Dia bukan orang Korea!" Jingga benar-benar sudah teracuni oleh para Oppa dan Ahjussi Korea-nya.

Jingga mengibas dan menjawab dengan mulut masih penuh, "Nggak masalah. Gue kalau sudah nge-fans sangat berdedikasi."

Percuma bicara sama Jingga kalau sudah urusan Oppa-Oppa-an itu. "Terserah lo saja. Asal lo bahagia, itu urusan lo. Gue nggak ikutan."

"Kok muka Agrata Oppa dan Pak Atharwa beda banget, ya? Iya, Pak Atharwa memang keren juga sih, tapi kulitnya rada gelap gitu. Agrata Oppa kan kayak porselin pesanan khusus gitu. Limited edition. Beuuhh... bibirnya merah banget. Cipokable. Dia rajin pakai masker khusus bibir kali, ya? Gue penggemar cowok kulit putih, jadi di mata gue, Agrata Oppa levelnya lebih tinggi dibandingkan Pak Atharwa."

"Kok jadi bandingin mereka sih?" Mungkin karena sering bertemu mamaku, Jingga mulai mengadopsi gaya bicaranya yang tidak fokus dan melompat-lompat.

Jingga menatapku, seolah melihat orang bodoh yang tidak bisa memahami penjelasannya. "Ya, harus dibandingin dong. Biasanya kalau saudara kan mirip. Lo sama Genta kan mirip banget gitu. Sama-sama ada lesung pipinya. Yang lihat juga langsung tahu kalau kalian bersaudara. Gen mah nggak pernah bohong."

Aku sekantor dan satu kos dengan Jingga, tetapi hubungan kami tidak cukup dekat untuk memberitahunya soal silsilah keluargaku. Kecuali keluargaku, aku memilih untuk tidak terlalu percaya kepada orang lain lagi. "Maksud kamu, Atharwa dan Pak Agrata bersaudara?" Aku memperjelas.

Jingga membelalak. "Bukannya gue sudah bilang kalau Agrata Oppa dan Pak Atharwa itu anak Pak Wisesa? Gimana sih, lo kok bisa lupa info penting kayak gitu? Atau gue yang belum pernah cerita, ya? Duh, jadi bingung kan gue kalau gini."

Aku merasa telingaku berdenging. "Apa?" Jangan bilang kalau aku sebenarnya bekerja di perusahaan keluarga Atharwa. Oh, tidak!

**

Buat yang sudah lama nongkrong di lapakku tahu persis kalau aku jarang balas komen karena di watty ini hanya hit  en run. Naroh cerita dan langsung kabur buat ngantor. Pulangnya suka baca komen, tapi lantas bingung mau jawab yang mana karena udah banyak. Dan waktunya mending dipakai buat nulis update-an. Jadi kalau pengin direspons, bisa ke Instagram dan nanya di sana karena aku aktif di situ. Follow :  @titisanaria 

Tengkiu, Gaesss...

Continue Reading

You'll Also Like

467K 68.9K 33
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...
446K 39.8K 53
[COMPLETED] Beleaguered : Terkepung Meisya seorang jomlo menaun yang sedang dilanda kebingungan dengan perubahan hidupnya akhir-akhir ini. Dia mendap...
148K 8.2K 51
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
108K 5.3K 29
π™π™Šπ™‡π™‡π™Šπ™’ π™Žπ™€π˜½π™€π™‡π™π™ˆ 𝘽𝘼𝘾𝘼~ ____________πŸ•³οΈ____________ Jika ditanya apakah perpindahan jiwa keraga lain, kalian percaya? Menurut saya perc...