Pandora Boss

By pinetreeforest

1.4M 160K 9.2K

Menjadi model pengganti sebuah pemotretan majalah dadakan membuat identitas Rafka sebagai cucu pemilik hotel... More

-00- Announcement
Prolog
-1- Masquerade
-2- Beginning
-3- Problem
-4- Constraint
-5- Flutter
-6- Rumor
-7- Bombshell
-9- Lion and Cheetah
-10- Encounter
-11- Friendship
-12- Surprise
-13- Warfare
-14- Disaster
-15- Human
-16- Offense
-17- Calamity
-18- Disadvantage
-19- Deliberate
- 20 - Oasis
- 21 - Leakage
- 22 - Responsibility
- 23 - Invention
- 24 - First Pandora
- 25 - Jogja
- 26 - Second Pandora
- 27 - Annoyance
- 28 - Confusion
- 29 - Cognition
- 30 - Helpless
- 31 - Truth or Bomb
- 32 - Bomb
- 33 - Panic
- 34 - Avoidance
- 35 - Confession
- 36 - Irony
- 37 - Third Pandora
- 38 - Ambiguity
- 39 - Chat
- 40 - Distraction
- 41 - Nervousness
- 42 - Thought
- 43 - Ask
- 44 - Judgment
- 45 - Trauma
- 46 - Completion
- 47 - Closure
- 48 - New Step
- 49 - Relationship
- 50 - Acceptance
EPILOG

-8- Ingenuity

24.5K 2.9K 42
By pinetreeforest

Telepon dari Melly sudah terputus dua menit lalu, tapi Meta masih butuh untuk mengumpulkan nyawa. Ia melihat langit-langit ruang istirahat studio yang sudah menjelma menjadi kamarnya ini dengan tatapan kosong. Bermodalkan ingatan yang cuma separuh tentang isi teleponnya dengan Melly, Meta membuka Instagramnya. Ia ingat Melly sempat menyebutkan untuk membuka akun instagram Lambe Tumpah. Karena tidak tahu gambar yang mana, Meta mengurutkannya dari yang paling atas dan membaca caption-nya satu per satu.

Dua postingan terbaru, Meta sama sekali tidak kenal siapa. Beranjak ke postingan ketiga, tiba-tiba ia merasa kenal. Wajahnya familier, yang bagi Meta sungguh mengherankan karena biasanya ia tidak mengenali artis pendatang baru. Kali pertama membaca caption, Meta masih santai saja. Mungkin otaknya memang sudah melambat karena terlalu banyak begadang, butuh dua kali membaca untuk Meta memahami maksud postingan si admin Lambe Tumpah itu.

"Wait..." Meta bangun dari posisi tidurnya, kemudian menggosok matanya, berharap apa yang dibacanya adalah sebuah kesalahan. Namun, ketika membaca untuk ketiga kalinya, tulisan itu masih sama. "What? Syiiiiiiittt!" teriaknya. Segala sumpah serapah yang bisa diucapkan, meluncur lolos dari bibirnya.

Meta berdiri dan berlari. Hampir-hampir ia terjerembab karena terjerat selimutnya sendiri. Ia memanggil Fiki yang ia yakin sedang berada di lantai dua dengan suara melengking karena panik. "Fiiiiiikkk! Fikiiiii?!" Dituruninya tangga dengan setengah berlari.

"Kenapa Mbak?" tanya Fiki ikut panik. Ia yang masih mengatur jadwal pemotretan Meta langsung melompat berdiri.

"Tolong bilang ke gue kalo ini cuma hoax!" ucap Meta sambil menyerahkan ponselnya pada Fiki, menatapnya sungguh-sungguh dengan tatapan memohon.

Dengan dahi berkerut bingung, Fiki menerima ponsel Meta dan melihatnya. Ia ingin tahu apa yang telah membuat Meta tiba-tiba freak out setelah tadi terlihat tidur dengan pulasnya. Bahkan ia sempat berpikir Meta kesurupan hantu penunggu studio karena berteriak seperti orang kesetanan. Namun, setelah membaca, mata Fiki membelalak, memandang Meta dan ponsel yang ia pegang bergantian. Ia kemudian mencari berita lainnya menggunakan hashtag Evelyn. "Gila! Jadi yang kita foto itu yang punya hotel? Terus ngapain dia bersih-bersih hotel kalo dia bosnya?"

Meta menjentikkan tangannya setuju, kemudian menunjuk Fiki. "Makanya itu, Fik!"

"Tapi bukannya elo kan udah terlanjur janji buat nggak ngeliatin muka, juga nggak muat identitas dia di majalah, Mbak?"

"MAKANYAAAA!!!" teriak Meta panik, kemudian memekik dengan sedikit tertahan, "gue udah ngelakuin semuanya, kan?"

"Terus ini akun tahu dari mana?"

"Ya mana gue tahu?!" Meta sudah ingin mengantuk-antukkan kepalanya ke dinding saking gemasnya. "Plis plis bilang ke gue kalo semua bakal baik-baik aja."

"Elo udah ngelakuin semua yang lo janjiin kok, jadi secara teknis elo nggak salah Mbak," hibur Fiki. Padahal dalam hati dirinya sendiri agak ketar-ketir mengingat lawan main bosnya itu ternyata bos juga. Bos dari jaringan hotel ternama pula. "Tenang. Tenang."

"Oke. Gue nggak salah," ucap Meta sambil mengangguk kecil dan memejamkan mata, berusaha menanamkan sugesti di kepalanya kuat-kuat. "Gue nggak salah."

Tiba-tiba sebuah pesan suara dari Melly terkirim ke ponselnya. Ketika Meta mendengarnya, Meta merasa dirinya baru saja ditampar di pipi bolak balik.

"Bukan, bukan dari portofolio yang elo kirim. Nggak usah pakai model-model itu, gue nemu yang lebih cocok."

"Bentar, perasaan gue jadi nggak enak. Lo nggak usah macem-macem, Ta."

"Gue serius. Lo siapin aja honornya, gue untuk detailnya bakal dijelasin sama Sarah sepuluh menit lagi. Oke?"

"Beneran perfect?"

"Ninety eight percent!"

"Dua persennya?"

"Dua persennya baru akan keliatan kalo fotonya udah gue kirim dan lo liat sendiri."

"Kalo ada apa-apa, elo yang tanggung jawab ya pokoknya? Gue rekam nih, teleponnya!"

"Deal! Udah, percaya sama gue!"

Suara rekaman itu sangat jelas. Kenapa juga saat mereka menelepon, tak ada gangguan sama sekali? Meta berharap kemarin ia menjawab 'Tidak' saja kalau tahu buntutnya akan seperti ini. Lagi pula bos mana yang bersih-bersih hotelnya sendiri? Pakai seragam pegawai hotel pula. Mana Meta tahu kalau pria bernama Rafka-Rafka itu pemiliknya. Yah, milik keluarganya berarti miliknya juga, kan?

Kalau benar dia bos besar, orang-orang seperti itu biasanya hanya memiliki dua kemungkinan kalau—yah, rencana apa pun yang mereka miliki itu diusik. Yang pertama hanya menganggap semua ini angin lalu, dan yang kedua—yang paling Meta takuti—membalaskan dendam mereka tanpa ampun. Bisa saja mereka akan menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh Meta karena Meta telah mengusik ketenangan mereka.

"Ngapain sih teriak-teriak lo berdua?" tanya Gale pada Fiki. Ia yang baru saja datang ke studio mendadak bingung ketika mendengar teriakan heboh Fiki dan Meta.

"Bukan gue Mas, tapi..." adu Fiki sambil diam-diam tangannya menunjuk Meta, membuat Gale mengalihkan perhatiannya dari Fiki ke Meta.

"Ngapain lo?" tanya Gale ingin tahu.

"Le, gue mau dibunuh. Bisa jadi mereka nyewa pembunuh bayaran buat ngebunuh gue!"

Gale menaikkan satu alisnya ketika mendengar jawaban ngawur Meta. "Apaan sih lo, Met. Ngebunuh elo nggak ada untungnya. Daging lo udah pait, alot pula."

"Le, gue serius?!"

"Kenapa sih bos lo, Fik?"

"Ehm... Jadi gini Mas..." Fiki menceritakan kejadian sesungguhnya yang terjadi saat mereka di Batu, dari awal hingga akhir, tanpa kecuali. Mungkin sedikit ditambah bumbu agar lebih heboh.

Begitu mendengarnya, mata Gale membelalak tak percaya. "Hah? Yang bener?"

"Bener, Mas. Itu yang di akun Lambe Tumpah. Waktu gue buka akun dia, udah diprivat," adu Fiki lagi. "Tapi kayaknya sih bener, gue masih inget banget gimana mukanya."

"Tapi menurut gue, seharusnya nggak masalah sih, Met. Lo bayangin, lebih heboh mana kalau ketahuan Evelyn foto sama cleaning service hotel sama yang punya hotel. Gue yakin fansnya nggak bakal rela lo sandingin dia sama mas-mas cleaning service." Ucapan Gale kali ini setidaknya bisa diterima oleh akal sehat Meta. Ada benarnya juga, dan hal itu memberikan sedikit ketenangan untuknya. "Paling-paling bentar lagi beritanya juga ilang."

Meta benar-benar berharap kalau apa yang Gale ucapkan itu benar. Seiring berjalannya waktu, pasti berita ini akan menghilang begitu saja.

"Pokoknya kalo gue yang ilang, lo harus cari mayat gue sampe ketemu."

***

Beberapa hari ini Rafka benar-benar tidak bisa melepaskan diri dari ponselnya. Ia telah mencoba berbagai cara untuk bisa terhubung dengan kedua orang penghancur rencananya itu. Pak Kamal diam-diam membantunya mencarikan kontak agar ia dapat menghubungi Evelyn, sedangkan ia sendiri mencari informasi tentang si medusa sialan itu.

"Gimana? Elo jadi ngelakuin rencana lo kemarin?"

Rafka mengalihkan pandangannya dari ponsel ke Bian yang sedang telentang di atas kasurnya kemudian mengangguk. "Cuma itu yang bisa gue pikirin. Menurut gue itu satu-satunya cara agar mereka mau mempertanggungjawabkan perbuatan mereka tanpa kita harus rugi ataupun ngeluarin duit buat sewa pengacara."

"Gimana kalo mereka malah milih buat bawa ini ke jalur hukum aja?" tanya Bian.

"Ya, mau gimana lagi. Gue kan juga menuntut keadilan. Di sini yang dapet ketidakadilan adalah gue, gue yang jadi korban di sini atas perbuatan reckless mereka." Rafka kemudian menatap titik imajiner di dinding kamarnya dengan pandangan menerawang. "Yang jelas gue tahu fotografer itu nggak mungkin mau bawa masalah ini ke pengadilan."

"Kenapa?"

"Karena gue udah tahu kalau si fotografer itu ternyata bukan bagian dari Cosmolite Indonesia. Dia cuma freelancer di sana sehingga Cosmolite angkat tangan tentang masalah ini. Kerjaan utamanya sebenernya di salah satu studio foto di daerah Kemang, namanya Imagen Studio. Cosmolite udah nyerahin semua tanggung jawab ke dia, jadi mereka nggak mau ikut campur. Kemarin gue nyari Imagen Studio itu di mana dan ketemu. Studionya belum sepenuhnya jadi kalo gue liat. Masih banyak pasir sama semen di luarnya. Gue nggak yakin mereka mau keluarin duit ekstra untuk nyewa pengacara dan tetek-bengeknya."

Bian menyipit melihat Rafka. "Sampe segitunya lo?"

"Gue kan harus pelajari karakteristik lawan kalo mau semuanya berjalan sesuai rencana gue," balas Rafka dengan nada songong. Harusnya Bian tidak melupakan trik lawas seperti ini.

Bian hanya berdecih. "Terus kapan elo mau ketemu mereka?"

"Nunggu Master. Kalo dia ngomong iya, gue baru jalan."

Ketukan pintu kamar Rafka tiba-tiba terdengar, membuat keduanya menoleh. Ketika pintu terbuka, menampilkan kepala Bu Ginah yang melongok.

"Kenapa, Bu?"

"Mas Rafka dipanggil Pak Pramoe, Mas," ucapnya dengan logat ngapak yang tidak bisa hilang walaupun sudah bertahun-tahun di sini.

"Oke, makasih, Bu. Sebentar lagi saya ke sana," balas Rafka. Bu Ginah mengangguk dan menghilang dari balik pintu. Rafka beranjak dari kursi santai di kamarnya, kemudian berjalan meninggalkan Bian sendirian di kamar.

Ketika sampai di ruangan kakeknya, Rafka mendapati ruangan itu kosong. Ia melompat ke dalam ketika mendengar suara deheman di balik punggungnya. Dengan melepaskan nafas dan memegang dadanya, Rafka menggerutu, "Ngagetin aja."

"Ngapain kamu berdiri di situ?" tanya kakeknya sambil menunjuk tempat Rafka berdiri dengan dagu. Keriput di bawah dagunya sampai terlihat.

"Lah Kakek katanya manggil?"

"Ya, memang. Tapi kan Kakek harus minum obat dulu. Nggak boleh minum obat?" Pak Pramoe melangkahi Rafka dengan tongkatnya, memasuki ruang kerjanya.

Rafka lagi-lagi hanya memutar matanya. Seandainya saja ngelawan orang tua itu nggak dosa, sudah ia ajak adu mulut kakeknya itu dari dulu-dulu. Sudah sepuh, tapi masih aja ngeselin.

Pak Pramoe duduk di kursi kebesarannya sambil menatap Rafka yang masih berdiri di ambang pintu. "Ngapain lagi? Yo cepet mlebu."

Sambil memberengut, Rafka menutup pintu kemudian duduk di kursi yang berlawanan dengan kakeknya. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat terintimidasi di bawah tatapan mata kakeknya.

"Ceritakan sejak awal," pinta Pak Pramoe dengan suara rendah. "Tanpa kecuali."

Rafka menelan ludahnya. Secara perlahan ia menceritakan seluruh kejadian yang ada di hotel waktu itu. Bagaimana paksaan Meta, kemudian bagaimana identitasnya bisa diketahui oleh banyak orang. Selain dari berita dan asumsinya sendiri, Rafka masih gagal mencari tahu dari mana Lambe Tumpah itu mendapatkan identitasnya. "Maka dari itu, aku mau minta mereka tanggung jawab dengan memaksa mereka membantu promosi hotel kita secara cuma-cuma, yah atau dengan deal yang ditentukan oleh pihak kita. Daripada tuntutan ke pengadilan, aku rasa itu lebih menguntungkan. Evelyn bisa menjadi ikon atau model yang bisa kita pasang di papan iklan dan meng-endorse hotel kita di akun Instagram-nya karena dia public figure yang lumayan punya pengaruh. Dan Meta, dia yang akan membantu divisi pemasaran kita dengan foto, membuatkan video dan foto-foto untuk iklan videotron di Jogja nanti. Dengan begitu, Rafka pastikan akan kita akan mendapatkan keuntungan yang lebih besar daripada kerugian kita sekarang ini."

"Hmm..." Pak Pramoe bergumam. Mata kakek Rafka itu terpejam, seperti sedang berpikir untuk beberapa saat. "Yo wes."

Sudut-sudut bibir Rafka terangkat mendengar dua kata itu terucap dari bibir kakeknya. Namun, belum sampai bibirnya mengembang sempurna menjadi senyuman, kakeknya sudah kembali bersuara.

"Tapi..." ucap Pak Pramoe dengan nada sengaja digantung. "Pastikan mereka bener-bener gelem. Kalau perlu, buat kontrak untuk mengikat mereka. Jangan sampai hal ini akan menimbulkan masalah yang lebih gedhe lagi nanti."

"GM di Jogja? Bagaimana?"

"Dua minggu lagi kamu berangkat ke Jogja. Pak Kamal akan temani kamu. Kamu punya usulan untuk format tim hotel di Jogja?"

Mendengar kata-kata yang diucapkan kakeknya barusan, rasanya seperti lagu yang mendayu-dayu di telinganya. Rafka meminjam iPad milik kakeknya, melakukan presentasi singkat profil pegawai-pegawai yang ia sukai untuk diajukan. 

Continue Reading

You'll Also Like

1.3M 16.5K 5
Setelah gadis yang dicintainya memilih untuk meninggalkannya dan menikah dengan pria lain. Erwin Ivander memilih untuk kembali ke tanah air. Hingga a...
6M 48.4K 5
Pertemuan pertama tak menyenangkan membawa Laticia Armelia pada takdir barunya. Melarikan diri karena perjodohan yang tak ia kehendaki dan mulai memb...
194K 18.6K 44
Anna, wanita karir yang begitu mendambakan kehadiran seorang anak di usia pernikahannya yang ke-5 dengan Axelle, pada akhirnya harus merelakan suamin...
3.1M 290K 46
Vira dan Laksa sudah saling mengenal sejak lama, keduanya harus menikah karena sebuah insiden. Pekerjaan Laksa yang seorang artis membuat keduanya ha...