Hey! You! [TRILOGI "YOU" BOOK...

By Sa_saki

1M 8.2K 639

Trilogi "You" pindah ke Innovel/Dreame Sa_Saki ya... Insya Allah di sana ada beberapa bab tambahan yang kalia... More

Prolog
2. Seruan Perang
3. Nekat
4. Serangan Fajar

1. Ujian Hidup

68.2K 1.9K 134
By Sa_saki

"Pacar kamu pagi-pagi udah semangat aja seperti biasa ya, Llo?" kekeh pria gagah yang tak lain Ayah Zillo— ketika mendapati putranya menuruni tangga berjalan ke arahnya yang tengah duduk di sofa.

Zillo mendengus, memutar tubuhnya menduduki sofa lain di ruangan itu dengan sepatu yang dia bawa untuk dipakai.

"Apaan sih, Yah. Amit-amit deh Zillo punya pacar kayak bocah itu. Mending jomblo seumur hidup dari pada sama manusia toa kayak dia!"

Sang Ayah yang mendengar penuturan putranya itu menggelengkan kepala dengan kekehan di balik koran paginya, tetap berujar meski matanya serius membaca deretan kata yang tertera di halaman yang beliau baca. "Hati-hati ngomong kayak gitu, nanti kamu malah beneran ada hati sama anak kesayangan Om Jefan itu loh."

Zillo menghentikan gerakannya mengikat tali sepatu, menaikan pandangan ke tempat Ayah berada dengan mata menyipit enggan. "Nggak gitu juga, Yah. Ayah kan tahu sendiri semerepotkan apa dia itu, memang Ayah mau setiap hari Zillo diteriakin biar bangun? Yang ada Zillo budek beneran lama-lama."

Bahu Ayah mengendik acuh, "Itu solusi yang keren kok, Bunda kamu jadi nggak harus ribut setiap hari karena kamu ancurin jam waker-mu terus-terusan."

"Ayah..." Zillo tahu dirinya lumayan susah dibangunkan, dan benar juga kata Ayah soal jam waker yang rusak hampir setiap hari jika tidak ada terikan Nadi yang membangunkannya, tapi kan tidak seperti itu juga solusinya.

"Bunda juga nggak keberatan. Nadi manis dan baik meski agak tomboy, lebih lagi dia anak sahabatnya Bunda. Bunda kan jadi nggak harus repot-repot dan jauh-jauh kalau mau besanan." Bunda masuk dari arah dapur, membawakan secangkir kopi pagi yang diletakannya di depan Ayah.

"Bunda!"

Ya ampun, Zillo bahkan masih duduk di bangku SMA—apalagi Nadi yang baru menanggalkan seragam putih-birunya. Kenapa pula harus membahas sejauh itu sampai kata "besan" masuk ke dalam pembicaraan. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, kenapa semua orang seolah berada dipihak bocah upil itu sih?

"Loh, kenapa? Yang Bunda bilang bener, kan?"

"Ck, pagi-pagi udah ngomongin dia. Ngerusak mood Zillo aja yang ada." Cowok itu berdiri, persis setelah menyelesaikan pekerjaannya memasang dan menalikan sepatu olahraga yang sempat terjeda beberapa kali karena pembicaraan mengenai anak tetangganya itu.

"Zillo jogging dulu." Pamit cowok itu kemudian berlalu tanpa mau menghiraukan entah apa lagi yang orangtuanya katakan.

***

"Pagi, Yayang Illo..." Sapaan penuh dengan nada rayuan itu Zillo dengar setelah beberapa meter dirinya meninggalkan rumah. Dan seperti sudah menjadi rutinitas juga, jogging paginya pasti tidak akan pernah tenang selama orang ini selalu ada di sekitarnya.

Yup, Nadira sudah berlari di sampingnya, lengkap dengan pakaian olahraga juga sepatu yang cewek itu pakai. Nadi tersenyum dengan deretan gigi yang sepenuhnya terlihat, tampak terpesona dengan pria yang berada di sampingnya.

"Lo bisa kesandung kalau mata lo nggak lihat ke depan!"

Bukannya sadar karena diperingati, cewek itu malah terlihat tersipu dengan kata-kata yang Zillo tujukan untuknya. Nadi menunduk malu-malu, menyelipkan helaian rambutnya yang mengganggu ke belakang telinga—sebenarnya helaian rambut yang mengganggu itu tidak benar-benar ada, karena cewek itu jelas mengikat rambut sebahunya menjadi kuncir kuda.

"Mimpi apa Nadi semalem, ya? Pagi-pagi gini udah berkali-kali dikhawatirin Yayang Illo..." Kekehnya masih dalam kondisi menunduk, menutup mulutnya untuk tidak terlalu terlihat senang meski Zillo masih bisa melihat dan mendengar ucapannya dengan jelas.

Kepala Zillo menoleh pada yang bersangkutan, menatap tidak percaya dengan kesimpulan yang baru saja dibetuk oleh otak kreatif cewek di sampingnya ini. Dari mana dia bisa menyimpulkan kalau ucapannya tadi itu bentuk perhatian? Itu jelas teguran! Jelas-jelas teguran sekaligus sindiran untuk tidak menatapnya terus menerus. Apalagi Zillo mengatakannya dengan nada ketus, jadi dari mana cewek ini bisa menarik kesimpulan seperti itu kalau bukan dari otak yang terlampau kreatif. Kreatif dan suka berimajinasi memang masih ada hubungan saudara mungkin, pikir Zillo.

Malas menanggapi terlalu jauh Zillo mempercepat tempo langkahnya, yang tentu saja akan tetap dikejar Nadi meski Zillo berlari secepat apa pun.

"Kak Il—eh, bukan!" Ekspresi Nadi yang semua memanggilnya dengan semringah berubah ketika menyadari bahwa dia baru saja melakukan kesalahan dengan panggilannya itu, buru-buru Nadi menggeleng, mengoreksi panggilannya dengan kembali memasang senyum lebar. "Yayang Illo nanti berangkat sekolahnya bareng Nadi, ya?"

Dahi Zillo berkerut, melirik cewek itu malas.

"Nggak, ngapain."

Yang ditolak cemberut, masih berusaha bersuara meski napasnya mulai tidak beraturan karena tempo langkah mereka. "Kok gitu? Kenapa? Kan akhirnya Nadi bisa satu sekolah lagi sama Yayang Illo, dan bisa berangkat sekolah sama-sama lagi kayak dulu..." Keluh cewek itu dengan tatapan memelas.

Benar, tahun ini akan dimulai lagi penderitaan Zillo dengan keberadaan cewek itu yang lagi-lagi satu sekolah dengannya. Yah, meski baik di SMP atau SMA mereka hanya akan satu sekolah selama 1 tahun, karena perbedaan tingkat dan umur mereka yang hanya selisih 2 tahun. Well, itu toh tidak merubah apa pun di dalam hidup Zillo, selain membuat semakin banyak gangguan yang akan diterima selama satu tahun yang akan datang—terlebih di masa-masa terakhir SMA-nya. Akh, bisakah Zillo mengeluh untuk ini? Masa terakhir SMA-nya yang berharga kenapa harus dihabiskan dengan ujian hidup macam Nadi?

"Kayak dulu, kayak dulu... Otak lo halu! Dari dulu juga gue nggak mau berangkat sekolah bareng lo, lo aja yang ngintilin terus! Udah sana puter balik! Banyak yang harus lo siapin buat tugas MOS, kan?"

"Aduh, aduh, aduh... senengnya diperhatiin Yayang Illo. Khawatir kalau Nadi lupa sama tugas yang dikasih buat MOS, ya? Apa ini rasanya punya pacar ketua OSIS? Dapet privilege? Kak Illo bakal belain Nadi kalau nanti ada apa-apa di sekolah, kan? Kalau diganguin sama Kakak kelas yang lain? Kalau dihukum yang nggak-nggak? Hm?" Nadi mulai merancau tidak jelas lagi, membuat Zillo memutar bola matanya malas.

"Pacar nenek moyang lo! Jangan mimpi! Nggak ada yang namanya privilege-privilege. Awas lo cari gara-gara, gue orang pertama yang bakal hukum lo!" Usir Zillo kembali mempercepat langkahnya, kali ini dengan kecepatan yang memastikan bahwa Nadi tidak bisa lagi menyusulnya.

"Loh, Kak Il... Yayang Illo!" Rengek Nadi dengan wajah yang dibuat semelas mungkin, bahkan orang yang melihatnya mungkin akan berpikir bahwa cewek itu akan menangis sebentar lagi—meski nyatanya tidak sama sekali.

Nadi bahkan sudah menghentikan langkahnya, sadar diri kalau kecepatannya tidak akan bisa menyetarakan Zillo. Tapi mengalah pagi ini bukan berarti mengalah dan menyerah akan perjuangan cintanya yang sudah berlangsung bertahun-tahun.

"Hm, jangan bikin gara-gara di hari pertama katanya?" Gumamnya dengan raut wajah yang sudah kembali dipenuhi tekad, hilang entah kemana raut lemahnya beberapa detik lalu. "Kak Illo lihat aja apa yang bakal Nadi lakuin buat bikin satu sekolah tahu kalau Kak Ill itu bakal jadi punya Nadi." Cewek itu tersenyum congak, dengan kepercayaan diri yang terisi penuh.

***

"Kak ILLOOOO... Ini buat kamuuuuuu... Iya, kammuuu...!" Nadi teriak menunjuk Zillo, cowok itu berdiri di pojok kerumunan para siswa-siswi peserta MOS tahun ajaran baru yang mana sebenarnya Nadi termasuk menjadi salah satunya.

Gelak tawa menyambut kalimat Nadi yang menirukan salah satu ciri khas stand up comedy-an berwajah datar yang beberapa kali dia tonton di kanal youtube. Semua mata sudah terarah pada Zillo yang menatap geram Nadi sejak kata pertama yang diucapkan cewek itu. Sementara Nadi hanya terkekeh, mulai menggerakan jemarinya pada senar gitar yang sudah manis bertengger di pangkuan. Iya, Nadi memainkan gitar sebagai latar pengiring untuk syair yang dibuatnya.

Para peserta MOS kembali memusatkan perhatiannya pada Nadi kala alunan merdu gitar itu tercipta dari melodi yang berhasil cewek itu ciptakan. Seruan-seruan penyemangat dan menggoda turut terdengar sebelum detik setelahnya menjadi hening.

Hening, benar-benar hening tepat ketika Nadi menunjukan raut wajah serius dan menghayati apa yang hendak dilantunkannya.

"Kamu adalah sesuatu yang ingin aku genggam. Kamu adalah sesuatu yang aku harapkan." Ucap Nadi kemudian diiringi dengan lantunan melodi dari gitar yang dipetiknya lagi.

"Kalau seorang putri di cerita dongeng menunggu pangeran untuk membuat akhir cerita mereka bahagia, maka aku akan menjadi putri pertama yang menjemput pangerannya untuk membuat akhir yang bahagia di cerita kita berdua."

Sorakan "Woooooo" menyambut Nadi begitu dia menyelesaikan bagian pertama dari kalimat yang diciptakannya sendiri itu. Entah itu bentuk dari sebuah protes atau dukungan atas kegigihannya mengejar Zillo di hari pertama menginjakan kaki di SMA Nusantara—yang jelas semuanya bercampur menjadi satu di sana. Antara tim yang mencemoohnya juga tim yang merasa kegigihan Nadi itu lucu hingga mendukung langkah cewek itu meski dalam bentuk bercandaan.

"Kamu tahu apa itu kesungguhan? Kesungguhan adalah aku yang memperjuangkanmu tidak peduli apa kata orang." Suara cewek itu lagi, tidak peduli berapa banyak sorakan yang sudah diterimanya. Kali ini pandangannya tertuju lurus pada Zillo yang juga tengah menatapnya dengan sorot mata garang. Namun, bukan Nadi kalau terganggu hanya karena hal macam itu, kan?

Cewek itu melanjutkan petikan gitarnya, hingga mencapai bagian akhir dari pementasannya yang sebenarnya adalah sebuah hukuman.

"Dari Nadira Adhitama, untuk Arzillo Hermawan."

JRENGGGGGG

Petikan gitar Nadi berhenti, seiring dengan tepuk tangan peserta MOS dan kakak-kakak OSIS yang merasa puas dengan syair yang dibawakan Nadi itu. Melihat antusias teman-teman angkatan barunya yang begitu riuh, Nadi bahkan menawarkan diri untuk membawakan syair lainnya jika memang ia diperkenankan, dan memang bukan Nadi kalau ia tidak menimbulkan keributan atas tingkah lakunya yang sering kali tak tahu malu itu. "Oke, oke. Sabar semuanya sabar... Melihat teman-teman sekalian yang begitu antusias, maka saya memutuskan untuk membuatkan syair lain—" Kalimat Nadi terhenti karena seseorang yang kini berdiri di sampingnya merebut gitar dalam pangkuannya kasar.

"Lo pikir ini pertunjukan lo! Lo tuh lagi dihukum! Bukannya kapok, malah keenakkan? Berasa seleb dadakan atau gimana, hah?" Zillo yang berdiri di sana menatapnya tajam.

Riuh sorakan yang tak terima karena intrupsi Zillo menghentikan aksi Nadi bersamaan datangnya dengan siulan menggoda untuk kedua orang itu. Pasalnya, sejak pagi tadi, saat Nadi dengan hebohnya mengklaim dan mengumumkan bahwa Zillo adalah miliknya, mereka selalu dibuat tertawa oleh tingkah Nadi yang mengejar-ngejar Zillo kemana pun cowok itu pergi, bahkan hingga di depan toilet pria sekali pun. Teman-teman pria seangkatan Zillo sampai dibuat geleng kepala tak habis pikir melihat tingkat Nadi. Seolah tujuan cewek itu masuk ke sekolah Nusantara memang hanya untuk mengejar Zillo—tak peduli dengan bentakan, larangan atau penolakan berapa kali pun, cewek itu benar-benar menunjukan kegigihannya.

"Siapa yang suruh kalian sorak-sorak? Ini sekolah! Bukan tempat tauran!" Suara lantang Zillo terarah pada adik-adik kelasnya. Detik itu juga suasana berubah hening, membuat Zillo kembali mengarahkan pandangannya pada Nadi yang juga diam di sampingnya. "Udah tahu kesalahan lo? Lari keliling lampangan sepuluh kali. Sekarang!" Perintah Zillo tak terbantahkan.

Mendengar hukuman yang terdengar berlebihan itu membuat teman-teman OSIS Zillo berusaha menghentikannya. Pasalnya ketua OSIS mereka yang satu ini sebenarnya tidak terkenal sadis, tapi entah kenapa kali ini Zillo bereaksi berlebihan macam itu. Sialnya, wajah serius Zillo membuat orang-orang yang berusaha menghentikannya dibuat ciut, karena Zillo jelas tidak pernah terlihat seserius ini sebelumnya.

Mau tidak mau, suka tidak suka—dengan wajah bersungut Nadi akhirnya melangkah meninggalkan kerumunan dan mulai menjalani hukumannya. Beruntung karena Nadi adalah salah satu cewek yang tangguh dalam hal olahraga, karate dan basket yang digelutinya sejak SD dan SMP membuat daya tahan tubuh Nadi cukup baik dibanding cewek lain seusianya. Sepuluh putaran lapangan sekolah yang lumayan luas itu setidaknya bisa Nadi atasi tanpa harus masuk ruang UKS karena kelelahan atau bahkan pingsan sebelum hukuman itu tuntas dia jalani.

***

"Gila ya, Kak Zillo jadi raja tega banget gitu kalau sama lo, Di." Eril—cewek yang tak lain teman SMP Nadi yang berakhir masuk ke SMA yang sama dengannya bersungut mengingat kelakuan senior sekaligus ketua OSIS di sekolah barunya itu. "Masa gara-gara lantunin syair doang sampe dihukum segitunya."

Keduanya kini duduk berhadapan di kantin, menikmati jam istirahat untuk sejenak terbebas dari pengawasan kakak kelas yang sejak pagi tadi terus memberi arahan, mencari kesalahan yang diada-ada dengan segudang hukuman yang sudah disiapkan. Setidaknya, di jam istirahat ini mereka bisa menikmati makan siang dengan satu gelas milk shake untuk mendinginkan suasana panas terik siang itu.

Nadi masih diam meski Eril mengajaknya bicara, sesekali menyeruput milk shake pesanannya dengan mata yang sibuk mengamati sekitar. Senyum Nadi terbit begitu melihat seseorang yang dicarinya muncul, berjalan memasuki kantin dengan sejuta pesona yang dimiliki.

Kening Eril berkerut heran, mengikuti arah pandang Nadi yang tak menanggapi ucapannya sejak tadi. Cewek itu mencibir tanpa suara setelah tahu apa yang begitu menarik perhatian Nadi hingga dengan jelas mengabaikannya. "Ya ampun Di... Lo tuh ya kalo udah ngelihat Kak Zillo kayak orang yang siap nerkam mangsa aja, tahu nggak? Berasa Kak Zillo itu santapan paling menggiurkan sedunia di mata lo!"

"Eril, please deh! Semua cewek juga kalo ngelihat Kak Illo pasti sama kayak gue. Orang Kak Illo itu gantengnya nggak ketulungan, luar biasa, tak terhingga gitu." Seru Nadi dengan ekspresi dramatis yang terpasang di wajahnya.

Eril tertawa mendengar pembelaan Nadi, entah sudah berapa kali dia mendengar alasan yang sama dari mulut cewek itu, dan bodohnya Eril juga masih saja mengatakan hal yang sama, padahal dia tahu persis bagaimana sahabatnya itu memandang Zillo. "Sayangnya gue nggak tuh!"

Melengos tak peduli, Nadi menanggapi komentar Eril tak acuh. "Jelaslah, buat lo buku kan lebih menarik dari cowok manapun!" Pandangan cewek itu sudah kembali pada Zillo, pria itu terlihat sibuk mencari tempat kosong, dengan semangkuk bakso yang akan dia santap di jeda istirahat makan siang itu.

"Kak Illo! Sini Kak, sini...! Di sebalah Nadi tempat duduknya masih kosong nih!"

Zillo jelas mendengar teriakan Nadi yang bahkan menarik perhatian seisi kantin, namun cowok itu memilih mengabaikannya, berpura-pura tak melihat cewek yang kini sibuk melambai-lambai demi mendapatkan perhatian. Di depannya Eril meringis melihat kelakuan sahabatnya yang semakin menjadi. Cewek itu hanya bisa geleng-geleng kepala pasrah karena tahu Nadi tidak akan bisa dihentikan kecuali atas kehendaknya sendiri.

Berlalunya Zillo dari pandangan yang mengambil tempat tak jauh dari posisinya tadi akhirnya membuat Nadi menyerah. Cewek itu kembali duduk dengan tenang dengan wajah ditekuk kecewa. Sialnya, di mata Eril melihat penolakan yang Nadi terima jelas menggelikan, berkali-kali dilihat pun Eril tidak akan bosan karenanya.

"Rese lo! Temen dicuekin sama gebetan malah diketawain!" Nadi mengeluh tidak terima.

"Bodo, memang enak? Mending gue, seenggaknya baca buku nggak bakal bikin gue malu-maluin kayak lo gini."

"Terserah Yangmulia Eril deh. Makan tuh buku-buku pelajaran lo!"

Eril mengangkat bahu tak acuh, menghabiskan jus alpukatnya yang tinggal setengah gelas. Begitu suasana kembali kondusif seperti semula, suara yang sayup-sayup memanggil nama Nadi dari jauh perlahan semakin terdengar jelas, mendekat dan menampilkan sosok teman SMP lain yang juga kini memilih SMA yang sama dengannya dan Eril.

"Di... Nadiii..." Cowok itu terengah, mencoba mengatur napasnya yang berantakan begitu berdiri di antara Nadi dan Eril.

Kening Nadi berkerut, melempar sorot tanya dan heran melihat cowok itu. "Apaan sih Cup teriak-teriak? Ganggu kedamaian orang lagi makan aja." Timpal Nadi malas, lupa bahwa beberapa menit lalu dirinya juga melakukan hal yang sama di tengah rutinitas istirahat siang orang-orang.

Cowok yang bernama asli Yusuf namun sudah terlalu akrab dipanggil Ucup itu menarik napas panjang, menyampaikan pesan yang membuatnya dibuat tergesa menghampiri Nadi di kantin. "Lo disuruh ke halaman belakang sekolah sama Kakak kelas."

Kedua cewek yang duduk berseberangan itu berpandangan. Saling melempar tanya satu sama lain yang dibalas dengan gerak dua bahu terangkat bersamaan, tanda mereka sama-sama tidak tahu siapa dan apa keperluan kakak kelas yang dimaksud Ucup barusan.

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 37.9K 39
[SUDAH TERBIT] Kisah tentang dua kakak beradik yang lingkaran cintanya selalu berpusat pada laki-laki yang sama. Mereka saling melepaskan, mengorbank...
727K 49.4K 41
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
12K 1.7K 10
Kisah ini dimulai setelah Angkasa dan Gisha lulus SMA. *** Klise, tapi Gishara Aluna tahu benar kalau mempertahankan itu jauh lebih sulit dibanding m...
Our Years By fly

Teen Fiction

482K 29.9K 14
TERBIT 📖 - [Spin-Off True Stalker] Selama berada di kelas X, Agatha hampir tak pernah bertegur sapa dengan seorang cowok yang duduk di bangku palin...