Mentari

By wulansari12

134K 12.4K 662

Ini bukan tentang kisah cinta yang tak terbalas. Ini hanya tentang seseorang yang tak bisa lepas dari cinta m... More

Untuk kamu
Prolog
01
02
03
04
05
07
08
09
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
Epilog

06

3.7K 266 14
By wulansari12

Menangislah jika ingin menangis, jangan terus berpura-pura untuk baik-baik saja.

Karena masih ada bahu yang disediakan untuk sandaran ketika kamu membutuhkannya.

-HKS-

Mentari memegang tali tas jinjingnya, sesekali meyampirkan sebagian rambutnya di belakang telinga menggunakan tangan sebelahnya. Dia sudah menunggu sejak lama tapi tidak ada taksi yang lewat. Sekalinya lewat sudah terisi dengan penumpang. Menyebalkan ketika dia sudah mempunyai janji tapi kendaraan tidak ada satu pun yang memihaknya.

Terlebih dengan sinar matahari yang mulai menyengat. Dia paling malas pergi ketika mentari sudah berada di puncak ditambah lagi ini adalah hari libur, di mana ia bisa tidur sepuasnya, melemaskan otot yang begitu kaku selama bekerja.

"Ah, lama bener, tau gini naik ojek aja," Mentari mengeluh, sembari masih melihat ke arah kendaraan yang berlalu lalang. Tangannya terurai ketika sebuah taksi putih terlihat. Beruntung tidak ada penumpang, sehingga taksi itu mendekat.

"Pak, ke Epicentrum," kata Mentari ketika dia sudah berada di dalam taksi. Kesejukan langsung menimpanya, dia selalu berterima kasih kepada sang penemu AC, karena dengan alatnya itu rasa panas yang dideranya menghilang.

Taksi melaju dengan kecepatan sedang, berbaur dengan kendaraan lainnya. Dia sudah lama tidak bersama teman-temannya. Lebih tepatnya sahabat dirinya.Sejak dia pergi, mereka hanya saling bertukar kabar melewati chat, Line, WA, messenger, telpon, sms, bahkan surat, dan e-mail. Ketidak ada kerjaan yang membuat mereka mengirim banyak surat untuk Mentari. Ia menyenderkan punggungnya disandaran kursi, sembari menatap jalan.

Mentari membuka lembar per lembar novel yang sekarang berada dipangkuannya. Ia tenggelam dalam kisah yang ada di dalam novel itu sebelum akhirnya suara yang begitu ribut keluar dari ponselnya, saling berdatangan tanpa berhenti, membuat ia akhirnya menutup novelnya dan mengambil ponselnya. Grup dia dan sahabatnya mulai ribut.

"Ada kabar apa?" Mentari menyilangkan kedua kakinya, membuka grup yang bertulisan: Grup pencinta dirimu. Tangannya bergerak, menarik layar agar bisa melihat

Grup pecinta dirimu

Airy : Mentari! Kamu udah di Lombok ya?! Ah kamu mah, gitu nggak bilang-bilang! Mentari! Ih, saya kutuk lo jadi capung ya! Bales.

Amaya : Ha? Tuh Anak pulang? Sumpah? Shit. Mentari! Kamu dih, gitu banget, balik-balik nggak ngabarin. Lo tahu dari mana Ry?

Airy : Dari emak. Kan emaknya si Matahari temenan sama emak gue.

Amaya :Tuh anak emang minta dibejek ya, dulu sewaktu dia pergi nggak bilang, sekarang dia pulang nggak bilang. Cih, udah kayak sperm aja.

Airy : Dih, Amaya, tuh mulut dikontrol dikit napa. Ada anak kecil di sini.

Amaya : Siapa? Anak kecil yang udah punyak anak maksud kamu? Pfft.

Loveya: Matahari? Memang Matahari punya ibu ya?

Airy : Anaknya akhirnya nongol. 'Kan Mentari emang punya emak Love. Gimana dia lahir kalau nggak dari emaknya?

Loveya: Ehm... bukannya Matahari udah diciptakan ya sama planet lain? Perasaan aku belajar dulu, nggak ada yang bilang Matahari punya ibu.

Amaya : Kamu nangkepnya, Matahari yang mana sih Love! Ih, lama-lama kesel juga aku sama kamu, Love.

Loveya : Matahari, tata surya. Emang lagi ngomongin Matahari yang mana?

Airy : Astaga Loveya! Ih, geregetan tahu nggak sih, ini tangan gatal pingin cubit pipimu!

Amaya :Kalau bukan sohib, udahku jambak tuh rambut!

Loveya : Salah ya? Terus ngomongin Matahari mana? Hehe

Amaya :Mentari! Cithra Mentari! Sahabat kita! Perlu aku capslokin biar kamu baca! Panas nih panas.

Airy : Haha sabar May sabar, ku ini udah bejek guling gantiin si Love.

Loveya : Wah, Mentari pulang? Kenapa nggak bilang-bilang? Ini Mentari sohib kita kan?

Amaya :Bukan Love! Bukan! Anaknya si sperm! Dih, yaiyalah. Kalau bukan ngapain ngomongin di sini.

Loveya : Ehm belajar?

Amaya : Mati aja sana!

Tak tahan dengan perdebatan yang timbul Mentari mengetik balasan, sembari tertawa memang sahabatnya itu punya sifat macam-macam terutama Loveya yang polos dan lemot, yang sukses membuat mereka semua menahan diri untuk tidak marah pada wanita itu.

Mentari :Aku udah pulang.

Amaya : Besok ketemuan, nggak mau tahu. Aku mau chat lebih lama udah emosi dulu gara-gara Love.

Airy : Aku kangen kamu Mentari! Astaga! Apa kabar? Kenapa nggak bilang bilang pulang?Akhirnya ya kamu balik, kangen kumpul. Banyak hal yang perlu kita tahu tentang kamu? Jawab ih malah diem!

Mentari : Ya aku juga kangen kalian.

Loveya : Mentari! Aku kangen hehe.

Emang salah aku apa Amaya? Maaf ya, jangan marah sama aku L

Amaya : BESOK KUMPUL DI TEMPAT BIASA NGGAK USAH NGARET! Jam 11 pagi! Nggak ada kata tidak, besok hari libur.

Buat Loveya sayang, lupakan saja. Jangan spam line! Aku nggak marah sama kamu, cuman kesel.

Airy : Iya harus kudu ketemu Mentari. Dih ngilang lagi.

Amaya nggak marah kok Love, beneran, jangan dipikirin, mending jahit aja.

Amaya : Aku mau cabut, mau cari pasangan buat ONS-an.

Airy : AMAYA! Kata-kata lo!

Loveya : ONS itu apa?

*****

Mentari sudah berada di LG Epicentrum, chat yang dia baca terakhir berbunyi: ketemu di TKP. Ia terus melangkah sembari memperhatikan apa saja yang ada di sekliling. Terdapat satu outlite jualan parfum, jam dan ikat pinggang, ada tulisan serba 50 ribu yang ditulis di sebuah karton. Ditolehkan kepalanya ke samping, ada sebuah outlite yang menjual motor, hanya satu buah dan itu adalah produk baru, sepertinya.

Mentari terus berjalan, tanpa berniat untuk diam, hanya matanya terkadang bergulir, menjalajah toko atau apa saja yang ia lewati. Minimal melihat nama toko. Ia mendekat ke ke orang-orang yang kini tengah mengantri untuk bergantian naik eskalator. Tak membutuhkan waktu lama, Mentari sudah berada di sana. Membiarkan dirinya otomatis ke lantai selanjutnya.

Bagaimana ya keadaan mereka sekarang? Jujur dia begitu merindukan keakraban mereka. Bersama mereka mampu membuat apa yang menjadi bebannya saat itu menghilang. Iya bebannya, keresahannya, kecuali pada topik Aska. Mereka tidak mampu membuat Mentari kembali baik-baik saja.

Kakinya terangkat mulai beranjak dari eskalator dan buru-buru belok ke kiri. Sebenarnya ia malas untuk keluar dari rumah. Terlebih lagi jika berkeliling seperti ini. Semua kenangan satu per satu menyambutnya. Bahkan dia seakan bisa melihat masa lalu saat dirinya dan Aksa ke sini, tertawa dan saling bermesraan. Saling bergandengan tangan, seperti pasangan yang di depannya ini.

Ia bisa melihat mereka berdua begitu serasi, begitu saling menyanyangi, dan itu membuat dirinya iri.

"Mentari!"

Mentari mengalihkan pandangannya lalu mengangkat tangannya, melambai pada sahabatnya. Ia berjalan cepat, senyum yang belum ia tunjukan mulai tampil menghiasi wajahnya. "Hai.."

Airy langsung menarik tangan Mentari, bergabung bersama dengan yang lain.

"Lama!" kata Amaya dengan pelototan.

Mentari menarik kursi di samping Loveya. Menaruh tasnya di belakang tubuhnya. Ia melihat satu per satu temannya. "Macet," katanya sembari menurunkan pandangannya. Sudah banyak makanan yang tersaji di meja makan, beserta makanan. Membuat dirinya heran.

"Ini semua kalian yang pada mesen?" Mentari menunjuk semua makanan itu ketika dia menengadahkan kepalanya. Pertanyaannya memang terdengar sangat retorik, tapi tidak ada salahnya bertanya.

Amaya memutar bola matanya, menegakan tubuhnya hingga dekat dengan meja, "Nggak usah kayak Loveya deh. Cukup satu orang aja bikin gue naik darah," celetuknya mengambil sumpit dan memilih makanan yang akan di makan.

"Kok aku lagi? Emang aku kenapa?" Loveya menoleh ke arah Amaya dengan pandangan bertanya, mata hitamnya mengerjap lucu. "Maya, masih marah?"

Amaya menggigit ujung sumpit, menahan diri dari pertanyaan Loveya. "Nggak, nggak apa-apa. Udah kamu makan aja, biar otaknya cepet jalannya."

"Emang kenapa sama otak aku?"

Airy menahan tawa, ia mengusap pundak Loveya hingga gadis itu malah gantian menatapnya bingung, "Otak kamu nggak apa-apa, makan aja," katanya. Airy langsung tersenyum lebar ketika melihat ke arah Mentari.

"Tari, astaga, akhirnya ya, lo balik lagi ke Lombok. Aku kira kamu bakal balik lagi, udah betah di sana." Airy tampak bahagia, terlihat dari binar matanya yang begitu menyilaukan.

"Buktinya balik 'kan?" Mentari menyunggingkan sedikit senyuman seolah menjawab kalimat yang sebenarnya bukan bentuk pertanyaan. Ia mengambil sumpit lalu mengambil makanan yang tak jauh dari sana.

"Balik tapi lama," keluh Airy.

"Namanya kerja, kan lama Airy." Loveaya menyahut. Wanita dengan jilbab itu tersenyum sembari menggulirkan pandangannya ketika ketiga sahabatnya melihat ke arahnya. "Kenapa?" tanyanya polos, tak mengerti dengan sorot mata yang diarahkan padanya, terutama Airy dan Amaya yang seakan hendak mau memakannya.

Amaya terlebih dulu membuang muka, dia menunjuk Loveya dengan sumpit. "Nih anak kalau punya pacar harus kita seleksi dulu. Polosnya minta ampun. Ya kali dia nggak sadar alasan kamu kerja di sana karena apa?"

"Emang karena apa?"

Mentari menaruh satu sushi di piring Loveya, "Ini makan aja, Love. Aku beneran kerja kok, nggak usah didengerin mereka," katanya. Dia sendiri takjub dengan tingkat kepercayaan Loveya. Dulu, dia pernah kata dia pergi karena ingin mencari pengalaman baru. Tentu itu hanya bualan belaka karena alasan sebenarnya dia ingin menghilangkan rasa sakit yang saat itu ia rasakan, karena kehilangan Aska. Dia tidak menyangka bahwa Loveya akan percaya dengan alasan itu, mungkin hanya gadis berwajah polos itu yang percaya dengan alasannya.

Biar Mentari jelaskan, pertama gadis yang sejak tadi menjadi korban amukan Amaya. Loveya Andini. Mereka memanggilnya dengan sebutan Love, gadis berjilbab pink itu memang terkenal polos, belum pernah pacaran, dan belum jatuh cinta. Dia seperti menjaga jarak dengan laki-laki, malu tepatnya. Kedua, Airy, yang berada di samping Amaya. Gadis dengan rambut sebahu, kulit putih, iris mata cokelat gelap, dia ramah, tapi sangat cerewet. Terakhir ada Amaya, gadis yang dengan rambut hitam dengan warna ungu yang menjadi pelengkap. Bisa dibilang gadis itu baik, tapi kalau dia sudah tidak menyukai sesuatu sikap aslinya keluar. Begitu tegas, dan sadis, satu lagi pikirannya sangat liar.

Mentari memasukan potongan sushi ke dalam mulutnya sembari mengamati dan mendengarkan celotehan sahabatnya. Sudah bertahun-tahun mereka bersahabat, dan mereka sudah terbuka satu sama lain. Tidak ada alasan untuk tidak menyukai sahabat sendiri bukan? Menerima setiap kekurangan yang ada menjadi salah satu alasan mereka bisa bersahabat seperti ini.

"Dan kamu, kenapa ngelamun terus!" seru Amaya.

Mentari tersentak, ia menggelengkan kepala lalu menyomot makanan lain. "Nggak ngelamun, kenapa?" Dia menatap Amaya dengan mata kelabu yang terfokus. Mulutnya terbuka menerima suapan dirinya sendiri. "Kenapa?"

"Habis ini kita jalan."

"Nggak bisa, aku mau pulang." Mentari memang hanya ingin berkumpul, sebatas makan dan langsung pulang, merebahkan diri di atas ranjangnya. Ia sekarang lebih ingin untuk menyendiri.

"Kamu berubah tahu nggak sih."

Berubah?

"Berubah apa?" Mentari meletkaan sumpitnya. Ia mulai tidak suka suasana saat ini. Dirinya tahu, topik yang akan dibahas, setelah mereka mengajaknya bertemu, dia sudah berpikir bahwa mereka akan mengungkitnya. Tapi, tidak tahu kalau cepat ini. Mentari mencoba untuk bersikap biasa.

"Berubah, nggak asik. Biasanya nimpalin perkataan kita, sedangkan sekarang lebih banyak diem." Airy menimpali, ia sama dengan Amaya yang begitu tidak suka dengan Amaya yang terkesan pendiam. "Apa sih yang terjadi di sana sampai bisa buat kamu berubah gini?" desak Airy. "Ada cowok baru? Kamu baru putus sama pacar kamu? Atau kamu berubah karena pacar baru kamu?"

Mentari tertawa dalam hati, pacar baru? Bahkan dia belum bisa melupakan Aksa, dan mendapatkan pacar baru bahkan tidak ada dalam otaknya. Sekarang dia masih dalam dunia berkabung, hanya itu alasan kenapa tidak bisa seceria dulu.

Seakan tahu apa yang dipikirkan oleh Mentari, Amaya kembali berujar, "Mana bisa dia dapetin cowok baru. Dia itu masih cinta Aska. Kamu berubah karena Aska 'kan?"

Mentari hanya menaikan pandangannya sejenak, menatap Amaya lalu menurunkannya. Memilih untuk melihat makanan yang tersaji. Perkataan Amaya benar, karenanya dia memilih untuk diam, tidak menyanggah.

"Serius?" pekik Airy kaget. "Aku rasa kamu udah ngelupain dia. Ayolah Mentari, ini udah lebih dari saat dia pergi, kamu harus move on. Emangnya kam.."

"Emang mudah ya mengatakan kata move on?" Mentari mengarahkan pandangannya ke Airy, ia begitu sakit ketika mendengar kalimat kamu harus move on seperti apa yang dilakukannya ini salah, seperti apa yang dirasakannya ini salah. "Kamu nggak akan ngerti, ini nggak sesederhana buat ngelupain dia. Kalian mungkin bisa melihat orang yang kalian cinta sewaktu kalian putus, aku?" Mentari menunjuk dirinya sendiri, suaranya mulai bergetar. "Aku sudah nggak bisa ngelihat dia. Ngerti nggak sih." Dia sudah lelah dengan pertanyaan itu semua. Rasa sesak kembali hadir dalam dirinya.

"Emang move on itu artinya melupakan?"

Amaya menghela napas ketika suara Loveaya terdengar, bibirnya terbuka siap melontarkan perkataan protes tepat ketika suara Airy terdengar mendahuluinya, membuat ia menutup mulut.

"Bener kata, Love. Emang move on itu artinya melupakan?" Airy menaikan kedua alisnya, ia meminta pendapat dari temannya, terutama Mentari, lalu ia menggeleng. "Nggak Mentari. Aku dan lainnya minta kamu move on, bukan karena ingin kamu ngelupain Aksa, nggak. Tapi, kami ingin kamu bergerak, bergerak dari semua kesedihan kamu terhadap Aksa. Terhadap rasa kehilangan kamu. Kalau bukan kamu sendiri yang mau bergerak dari posisi itu, kamu nggak akan pernah bisa keluar dari sana."

"Bener." Amaya mengiyakan, membuat Mentari menunduk sambil menggigit bibirnya. Menahan tangis yang siap untuk keluar. "Kita ini peduli sama kamu, kalau nggak, kamu mau berlarut-larut kesedihan kek, mau guling-guling, mau bunuh diri juga kita nggak peduli. Aku tahu, kalau berpindah hati itu memang sangat sulit, terlebih hati kita sudah sepenuhnya kita kasih pada dia, cuman sekarang, bayangin, bagaimana perasaan dia, kalau tahu kamu kayak gini. Begitu terpuruk, begitu menyedihkan. Inget nggak sih, alasan kenapa dia nggak mau ngasih tahu kamu itu, karena nggak mau ngelihat kayak gini, Mentari."

Amaya menghentikan perkataannya sejenak, menghirup napas sebanyak-banyaknya. Berbicara pada Mentari yang tengah seperti ini memang sulit, apalagi terkait dengan cinta Dia dulu juga pernah tidak move on sebelum perkataan Airy menamparnya telak.

Kamu menangisinya sekarang, kamu meraung karena ditinggalkanya, karena diputuskannya, kamu bersedih. Tapi, apa kamu bisa yakin, kalau dia juga ngelakuin hal yang sama ketika kalian putus, seperti yang kamu lakukan saat ini? Untuk apa menangisi seseorang yang menjauhkan kita dari hidupnya, menghapus semua kebersamaan yang ada. Kalau memang berjodoh, pasti bakal balik. Kalau dia memang mencintai, dia tidak akan pergi.

Kalau keadaannya sama seperti itu, mungkin dirinya atau Airy akan mengeluarkan kalimat itu. Tapi sayang, kasus Mentari berbeda. Mereka tidak putus, tapi mereka harus berpisah karena kematian.

Mentari memejamkan matanya, ia bisa rasakan tangannya digenggam oleh seseorang, namun ia lebih memilih untuk menunduk, menyembunyikan air mata yang hendak keluar dari tempatnya. Begitu sakit ketika dia diminta untuk bergerak. Bagi Mentari, bergerak dari waktunya seakan sama seperti melupakan Aksa, membiarkan seseorang untuk menggantikan Aksa. Dia..tidak mau. Atau dia tidak sanggup.

"Tari.." suara Airy terdengar. "Aku nggak minta kamu buat kamu ngelupain Aksa. Nggak, nggak ada niatan kayak gitu. Kami cuman nggak mau kayak gini. Tari, nggak ada salahnya untuk bergerak dari waktu yang sudah membeku, membiarkan orang lain masuk ke dalam dunia kamu. Terkadang, ketika seseorang sudah jatuh cinta mereka hanya fokus pada satu titik, pada apa yang mereka sukai. Tanpa tahu bahwa ada titik lain yang begitu dekat, begitu indah bahkan keindahannya sama seperti titik di masa lalu. Percaya, kalau Aksa masih hidup, dia akan menyalahkan dirinya karena buat orang yang dicintainya bersedih. Kamu mencintai dia, dia mencintai kamu, bukankah itu cukup? Kamu seperti ini, tidak ada gunanya Mentari, kematian tidak bisa ditahu kapan datangnya.

Sekali lagi aku bilang, move on itu bukan perilah melupakan, karena kenangan tidak akan pernah terhapus, sebesar apa pun yang kita mau. Kamu hanya bangun dari kesedihan kamu, buktiin ke dia, ke Aksa yang kini sudah berpulang, bahwa kamu bisa berbahagia, meski tanpa dia, seperti yang dia inginkan. Jahat memang, tapi, itu yang dia mau kan. Melihat kamu bahagia, melihat kamu tersenyum, Mentari."

Mentari tidak berujar apa pun, dia hanya menunduk, bibirnya ia tekan begitu dalam. Hanya pundaknya bergetar, memberi pertanda bahwa ia tengah menangis.

"Mentari, akhirnya kamu nangis dihadapan kita. Aku udah lama nunggu, di mana kamu meluapkan perasaan kamu. Menangislah, karena di sini masih ada pundak untukmu bersandar. Kami, Aku, Amaya dan Loveya, akan ada kamu Mentari, kalau kamu butuh bantuan bilang, jangan hanya memendam diri dan berkabung dalam kesedihanmu sendiri, itu gunanya sahabat."

Cukup lama keterdiaman yang terjadi, mereka membiarkan Mentari untuk menangis. Amaya bahkan berulang kali menyentak pengunjung lain karena melihat ke meja mereka dengan keingintahuan. Airy bahkan nyinyir tak jelas, sedangkan Loveya mengelus punggung Mentari dengan telaten, sorot matanya menunjukan kekhawatiran.

"Mentari, belum bisa gerak ya? Kakinya sakit? Mau dipanggilin dokter?"

"Loveya Andini!" sentak Amaya dan Airy yang sudah kehilangan kesabaran karena tingkah Loveya.

-HKS-

Memang kalau sudah berkaitan dengan move on itu susah ya. Btw aku masih bingung Move on itu kan artinya bergerak kenapa ya lebih dominasi arti melupakan dibandingkan bergerak dari fase yang menyedihkan ke fase selanjutnya?

Hem

Btw, follow ig: wulan_elf12 ya

Continue Reading

You'll Also Like

480K 39.6K 31
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...
16.6M 707K 41
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
481K 34.6K 36
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...
1.1M 16K 23
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...