The Half Blood Vampire

By TaniaMs

1.7M 60K 1.1K

Nicole seorang gadis biasa yang baru menginjak semester kedua di kampusnya. Dia berharap masa remajanya dapat... More

The Half Blood Vampire
The Half Blood Vampire 1-5
The Half Blood Vampire 6-10
The Half Blood Vampire 11-15
The Half Blood Vampire 16-20
The Half Blood Vampire 21-25
The Half Blood Vampire 26-30
The Half Blood Vampire 31-35
The Half Blood Vampire 36-40
The Half Blood Vampire 41-50
The Half Blood Vampire 51-60
The Half Blood Vampire 61-70
The Half Blood Vampire 71-80
The Half Blood Vampire 81-90
The Half Blood Vampire 91-100
The Half Blood Vampire 101-110
The Half Blood Vampire 111-120
The Half Blood Vampire 121-128
The Half Blood Vampire 129-139
The Half Blood Vampire 140-149
The Half Blood Vampire 150-160
The Half Blood Vampire 161-170
The Half Blood Vampire 171-180
The Half Blood Vampire 181-185
Terima Kasih
[EDISI KANGEN] 1
[Edisi Kangen] 2
[Edisi Kangen] 3

The Half Blood Vampire 186-191 [END]

68.4K 2.3K 166
By TaniaMs

The Half Blood Vampire 186

20 Januari 2013 pukul 5:21

Taylor menyikut Skandar yang tengah menonton, Begitu Skandar menoleh padanya, ia langsung mengarahkan tatapannya pada Nicole membuat Skandar mengikuti arah pandangnya.

Nicole, wanita itu tengah duduk diseberang mereka. Menatap layar televisi yang sedang menayangkan film kartun dengan tatapan kosong. Wanita itu sudah berada dirumah mereka semenjak pagi. Dan hingga sore ini masih juga belum pulang. Membuat mereka yakin, wanita itu sedang bertengkar dengan suami es-nya.

"aku tidak tahu lagi, bagaimana caranya menyuruhnya makan." bisik Taylor. "kurasa, saat dia datang kesini, dia belum sarapan."

"lihat, dia sudah pucat!" balas Skandar berbisik. "apa kalian para wanita memang seperti ini? Jika sedang patah hati atau kesal, kalian tidak mau makan?"

Taylor mengangkat bahu. "bisa jadi. Seperti kehilangan nafsu untuk makan apapun."

Skandar berdecak dramatis. "dasar bodoh!"

Taylor mendelik, lalu mencubit lengan Skandar dengan kesal. "kau ingat tidak, istrimu ini juga wanita?!"

Skandar menggeser duduknya, menjauh dari Taylor sambil terkekeh pelan.

Mereka terus saja bergurau, mengabaikan Nicole yang juga ada diruangan itu. Tapi, percuma saja menganggap keberadaan wanita itu. Karena hanya jasadnya yang disana, sedangkan rohnya sudah terbang entah kemana.

"astaga! Kalian ini, kenapa malah bergurau?!" seru Wero tak percaya.

Dia harus meninggalkan tugas kuliahnya, hanya untuk datang kerumah Skandar karena di perintah oleh Justin. Tentu saja untuk melihat keadaan Nicole. Kembarannya itu benar-benar menyebalkan. Kenapa bukan dia sendiri yang melihat keadaan istrinya?!

Skandar dan Taylor menghentikan kegiatan mereka, lalu menatap Wero salah tingkah. Terutama Taylor. Wanita itu menundukkan kepalanya. Dia merasa kekanakan di hadapan adik iparnya.

"bagaimana kau bisa masuk?" tanya Skandar.

"karena pintunya tidak terkunci, kakakku sayang." ujar Wero dengan suara disabar-sabarkan. "jadi, dimana Nicole?"

Kompak, Skandar dan Taylor melihat ke tempat Nicole duduk tadi. Kosong. Mereka berdua baru akan meneriakkan nama wanita itu ketika melihatnya datang dari arah dapur dengan segelas jus di tangan.

"Nic?"

Nicole mengangkat kepalanya begitu mendengar namanya di panggil. Dia melihat Wero tengah duduk di sofa yang tadi didudukinya. Dia pun duduk disamping Wero, lalu mengangkat sebelah alisnya. Bertanya.

"ceritakan!" ujar Wero pelan. Namun tegas.

Nicole meletakkan gelas jusnya di atas meja, lalu mendesah. "apa yang harus kuceritakan?"

Skandar ikut ambil suara. "kau. Justin. Keluarga kalian."

Nicole tersenyum miris. "keluarga? Semuanya akan berakhir."

Taylor, Skandar, dan Wero kontan melotot. "apa?!"

Nicole mendesah. Lalu kembali teringat kejadian tadi pagi. Beberapa menit sebelum dia datang ke rumah Taylor dan Skandar.

"Saat sudah waktunya, kau pasti akan tahu." gumam Justin. "dan bertahanlah sampai saat itu tiba." ujar Justin terdengar setengah memohon.

Ia merasakan pelukan Justin semakin mengerat. Namun anehnya, kepala laki-laki itu semakin turun dan berhenti di lehernya. Ia bahkan dapat merasakan nafas pria itu tidak beraturan.

Tubuhnya menegang saat dia merasa ada yang aneh dilehernya. Laki-laki itu seperti mengendus sesuatu, tak lama setelah itu dia merasakan dua benda runcing berusaha menekan permukaan kulitnya.

Bugh!

Dia meninju perut Justin, sehingga laki-laki itu terhuyung dan dia memundurkan tubuhnya hingga membentur pintu kamar mandi. Dan disanalah dia bisa melihat mata laki-laki itu berwarna kuning, seperti mata kucing. Membuat tubuhnya semakin gemetar.

"cepat pergi!!" Justin membentaknya.

Karena ia tak kunjung bergerak, akhirnya laki-laki itu yang segera keluar dari kamar melalui pintu balkon.

"Nicole!" bentakan Wero membuatnya kembali pada kenyataan.

"kami menunggu jawabanmu." ujar Skandar.

Nicole menunduk. "memang harus berakhir."

"kau tidak boleh mengakhirnya dengan Justin. Kau hanya salah paham." ujar Skandar.

Nicole mendengus. "Justin juga bilang begitu. Tapi aku sudah tidak tahan lagi. Sudah cukup."

Nicole mengikat rambutnya yang sedari tadi hanya digerai. Saat itulah, mereka melihat ada dua titik biru keunguan disana. Membuat mereka syok.

"bahkan, dia tidak menjelaskan kenapa dia hampir menggigitku."

Taylor menggeleng tak percaya. "separah itukah efek...auw!" Taylor mendelik karena Skandar menginjak kakinya.

Nicole tersenyum sinis. "lihat, Taylor juga tahu tentang ritual itu."

"tidak ada ritual apapun, Nic."

"aku bukan anak kecil yang bisa kalian bodohi!!" bentak Nicole.

Dengan hati-hati Skandar berucap, "oke. Memang ada ritual. Dan ini hanya masalah waktu. Nanti kau pasti akan tahu dengan sendirinya. Jika ritual itu telah berakhir, kau tidak boleh melarang Justin, karena ada sesuatu yang harus dia lakukan. Pengorbanannya selama ritual ini, akan terbayar jika kau mendukungnya."

Nicole memijit kepalanya. Sekarang, kepalanya malah bertambah sakit, begitu tahu sedikit informasi dari Skandar. Tapi Setidaknya itu membuatnya membatalkan niatnya untuk bercerai dari laki-laki itu.

The half Blood Vampire 187

8 Februari 2013 pukul 16:38

Nicole menatap Leander dan Leandra yang tengah tertidur pulas. Beberapa menit yang lalu, dia baru saja selesai menyusui kedua bayinya tersebut. Wajah mereka terlihat tenang dan damai. Tidak ada yang perlu mereka pikirkan sama sekali, hingga membuatnya iri.

Dia mengelus pipi Leander dan Leandra bersamaan. Merasakan tekstur halus kulitnya, khas bayi. Menyukai wajah keduanya yang sangat mirip dengan Justin.

Nicole mendesah begitu nama Justin kembali terlintas dipikirannya. Lagi, ucapan Skandar sore kemarin berputar dikepalanya bagaikan rekaman.

“oke, memang ada ritual. Dan ini hanya masalah waktu. Nanti kau pasti akan tahu dengan sendirinya. Jika ritual itu telah berakhir, kau tidak boleh melarang Justin karena ada sesuatu yang harus dia lakukan. Pengorbanannya selama ritual ini akan terbayar jika kau mau mendukungnya.”

Mengingat itu semua membuat pusing di kepalanya kembali muncul. Membuatnya kembali berpikir tentang ritual apa yang sedang di lakukan Justin, apa yang akan dilakukan laki-laki itu setelah ritualnya selesai hingga dia harus mendukungnya.

Yang membuatnya semakin kesal, hingga siang ini dia belum melihat wajah laki-laki itu sedikitpun.

Dia sudah bertanya pada Wero, tapi Wero tidak tahu apa-apa, dan malah mengatakan sesuatu yang membuat pikirannya kembali menebak-nebak tentang kemana perginya vampire berdarah campuran itu.

Setelah selesai sarapan, dia membantu Wero mencuci piring.

“kau tahu dimana Justin?” tanya Nicole sambil terus mencuci piring.

Saat sarapan tadi, Justin memang tidak ada sama sekali membuatnya penasaran kemana perginya laki-laki itu.

“aku tidak tahu.” ucap Wero ragu.

“benarkah?” tanya Nicole tak yakin.

“hmm…bahkan seingatku, tadi malam saat dihutan pun aku tidak melihatnya sama sekali.”

“begitu?”

Wero mengangguk dan menaruh piring yang sudah dicuci di rak piring.

Klek!

Nicole langsung memutar tubuhnya begitu mendengar pintu kamar terbuka.

Justin.

Dia memperhatikan laki-laki itu. Entah hanya perasaannya, tapi dia merasa wajah laki-laki itu pucat. Nyaris tak ada darah yang terlihat. Membuatnya berpikir ulang, apa benar laki-laki itu Justin-nya? Tapi, begitu melihat cincin di jari manis tangan kanannya, hatinya langsung mencelos.

“apa yang terjadi?” tanya Nicole, sambil menghampiri laki-laki itu.

“berhenti.” ucapnya lemah, tanpa tenaga. Seolah dia benar-benar tak punya tenaga lagi untuk berbicara dengan nada lebih tinggi dari itu.

Reflek, Nicole berhenti melangkah. “ada apa? Apa yang terjadi denganmu?”

Justin duduk ditepi tempat tidur. “kau sudah tahu jawabannya.” ucapnya pelan.

Justin pun membaringkan tubuhnya ditengah tempat tidur, lalu menarik selimut hingga sebatas lehernya seolah kedinginan.

Nicole mengernyit tak mengerti. “maksudmu?”

“Skandar.” ujar Justin serak.

Nicole langsung berpikir. Sedetik kemudian, dia malah terkejut dengan pikirannya sendiri.

“ritual itu……apa….”

“iya.” Justin menghela nafas panjang. “jadi kumohon. Menjauhlah dariku.”

“kenapa?” tantang Nicole. Dia mendekat ke tempat tidur.

Justin tertawa sinis. “kenapa? Kau ingin aku benar-benar menggigitmu? Maaf. Tapi aku tak mau!”

Nicole duduk ditepi tempat tidur. “jika kau mau menggigitku, silahkan.”

Justin tersentak begitu menyadari Nicole sudah duduk ditempat tidur. Dia langsung turun dari tempat tidur, dan mengumpat keras.

“brengsek!” umpat Justin keras, sambil menutup hidung dan mulutnya. “Menjauhlah dariku!”

Nicole terkejut mendengar bentakan laki-laki itu. Ditambah lagi saat dia menatap mata kuning milik laki-laki itu.

“jangan kacaukan ritualku! Jadi, aku benar-benar memohon padamu, agar tidak mendekat padaku!”

“ritual apa?! Kau tidak pernah membicarakannya padaku! Kau pikir aku anak kecil?? Kau belum lupa kalau aku ini istrimu,kan?” Nicole balas membentak. “aku sudah memilih untuk bertahan, jangan buat aku berubah pikiran!”

Justin mengacak rambutnya frustasi. “ini sangat penting bagiku, bagimu, bagi keluarga kita. Jadi, aku harap kau mau bekerja sama.”

“aku tidak mengerti.”

“kau tidak perlu mengerti, Nic. Cukup lakukan saja ucapanku.”

Nicole mendesah keras-keras. “kenapa begitu sulit untuk bercerita padaku?!”

“bisakah kau menjauh dari tempat tidur itu? Aku benar-benar lelah.”

Nicole menurut, dia turun dari tempat tidur dan mengambil tempat di bangku meja rias. Justin pun langsung kembali naik ketempat tidur dan berselimut seperti semula.

“apa ritualmu itu…..”

“tidak.” potong Justin. “kenapa taraf kebodohanmu itu tak kunjung berkurang, hm?”

Nicole memolototi Justin. “aku hanya menduga!”

Justin menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang. “vampire seperti kami, tak akan pernah berubah jadi manusia. Itu seperti sebuah takdir. Bagaimanapun dan apapun yang kami lakukan, tak akan mengubah status kami.” Justin menatap Nicole dengan tatapan merendahkan. “jadi, tidak. Ritual ini bukan untuk mengubahku menjadi manusia. Kau pikir aku bodoh, mau menjadi manusia? Lemah.”

Nicole melempar Justin dengan botol lotion didekatnya dan berhasil mengenai kepala laki-laki itu. Anehnya, laki-laki itu malah tertawa.

“aku benar, kan?” Justin kembali tertawa. “manusia itu memang lemah. Jadi, lebih baik aku tetap menjadi vampire.”

Nicole mendengus. “hinalah manusia sesuka hatimu!”

Justin kembali tertawa, lalu berdehem pelan. “sudahlah, aku ingin tidur.”

Nicole memperhatikan Justin yang sudah tertidur. wajah laki-laki itu saat ini persis seperti wajah Leander dan Leandra. Polos, tenang, dan damai. Tapi, jika laki-laki itu sudah membuka mata, dia akan berhadapan dengan mata cokelat namun tajam milik laki-laki itu. Tidak akan ada yang tahu kalau laki-laki itu adalah vampire yang menyeramkan.

“bisakah aku menghentikan pikiranmu itu?! aku tidak bisa tidur!”

Nicole tersentak. Sedetik kemudian dia mendengus. “berhentilah membaca pikiranku!”

Justin berdehem, lalu menatap Nicole. Melupakan niatnya semula untuk tidur, meskipun sata ini dia merasa tubuhnya benar-benar sudah tak bertenaga lagi. “kau mau berjanji padaku?”

Mata Nicole menyipit. “apa? aku yakin perjanjian itu akan merugikanku!”

justin menggeleng. “aku yakin, ini tidak merugikanmu sama sekali.”

Nicole berikir sejenak, lalu mengangguk ragu. “baiklah, apa?”

Justin menghela nafas panjang sebelum berkata. “jika ritual ini sudah berakhir, aku harus melakukan sesuatu….”

“aku tahu.” potong Nicole.

“yang berbahaya, kurasa.” ucap Justin, mengabaikan Nicole.

“berbahaya? seperti apa? bisa membuatmu mati?”

“aku mau, kau harus mendukungku. harus. jika tidak, usahaku selama ini akan sia-sia saja.”

“seberapa bahaya?” Tanya  Nicole jengkel.

“kau mau berjanji?”

Nicole mendesah keras. “kalau aku bilang tidak, kau juga tidak terima kan?”

Justin tertawa. “tepat sekali.”

“terserah kau sajalah!” ketus Nicole. Diapun berjalan menuju pintu kamar, dia ingin makan siang karena perutnya sudah berontak minta di isi. “aku ingin makan siang. kau juga? biar kubawakan kesini.”

Justin mengangguk. “boleh.” ucapanya. “oh ya Nic?”

Nicole yang sudah akan menutup pintu menghentikan gerakannya, lalu menatap Justin dengan alis terangakt. Bertanya.

“kau mau kuberitahu satu hal?”

“apa?” Tanya Nicole cepat.

Justin menatap Nicole lurus-lurus, tepat di manik mat wanita itu. “aku mencintamu.”

The Half Blood Vampire 188

23 Februari 2013 pukul 16:44

Nicole memutar kenop pintu, lalu melangkah memasuki kamar. Dia melirik tempat tidur sekilas, dan mendapati sebuah gundukan yang tersembunyi dibalik selimut yang ia yakini adalah Justin. Lagi pula, guling tidak mungkin sepanjang itu.

“eerrgh… Kenapa kau masuk?!” bentak Justin dari balik selimut.

Nicole mendesah keras, sambil menghentakan kakinya kesal. “aku mau mandi!”

“cepat lakukan!”

Nicole menggerutu dengan suara rendah, namun tak membantah Justin. Dia segera masuk ke kamar mandi, dan mengunci pintunya agar dia bisa mandi dengan aman.

Semenjak dua minggu yang lalu, tepat dihari laki-laki itu kembali mengatakan cintanya, dia bersama Leander dan Leandra pindah ke kamar Wero. Hanya untuk tidur. Sedangkan pakaian dan seluruh barang-barangnya masih tetap dikamar. Itu dia lakukan karena perintah Jeremy.

Setelah menutup pintu kamar, Nicole berjalan menuruni tangga. Ketika melintasi ruang tengah, dia dipanggil Jeremy, dan mendapati bahwa disana juga ada anggota keluarga yang lain.

“kesini sebentar.”

Nicole menurut dan duduk di samping Wero. “ada apa?”

Jeremy menatap anggota keluarga satu persatu dan berhenti pada Nicole. Dia berdehem sebentar. “masalah ritual Justin.”

Ia tidak begitu kaget saat Jeremy mengatakan itu. Dia sudah menebak, lambat laun, mereka akan berbicara padanya. “kurasa, aku sudah tau.”

“tidak. Kau tidak tahu semuanya.” sela Pattie.

“jadi?”

“ritual ini, mengharuskannya tidak meminum darah hingga batas waktu tertentu. Seperti yang kau tahu, tidak masalah jika dia tidak minum darah sehari atau dua hari. Tapi ritual ini untuk jangka waktu yang tidak begitu singkat.” Jeremy kembali berdehem. “semakin lama, ritual ini akan semakin berat dia jalani. Dia tidak akan mudah mengendalikan nafsunya. Dan aku cukup takjub dia mampu bertahan hingga dua minggu. Dari awal aku sudah memperingatinya, bahwa ini tidak mudah, tapi kau tahukan, dia itu keras kepala sekali?”

Nicole tersenyum samar dan mengangguk. “ya.”

“dan cobaan terberatnya selama ritual ini adalah kau.”

“aku?” Nicole menunjuk dirinya sendiri.

“iya. Aku juga tidak tahu kenapa, tapi darah orang yang kau cintai akan menjadi sangat harum saat kau menjalani ritual ini, dan jika dia menggigitmu, dia bukan mengubahmu menjadi vampire, tapi akan membunuhmu.”

Wero menyadari tubuh Nicole disampingnya menegang, jadi dia menggenggam tangan wanita itu yang ada diatas pangkuannya.

“aku sudah membicarakan hal ini dengan Justin. Dan dia tidak setuju jika kau pulang kerumah orangtuamu. Dia bilang, tempat itu tempat yang aman sekaligus berbahaya bagimu. Jadi…”

“kenapa begitu?” potong Nicole.

“aman dari Justin, namun berbahaya karena tidak ada yang bisa memastikan keselamatanmu disana.” Pattie menjelaskan.

“Wero atau Cody mungkin bisa menemaniku?”

Jeremy menggeleng. “hanya menemani, bukan melindungi. Menurutnya, meskipun tidak ada bedanya dengan rumahmu, rumah inilah yang paling aman. Kau mungkin harus pindah untuk sementara ke kamar Wero. Justin, saat energi nya benar-benar berada pada titik terendah, dia hanya akan berada dikamar.”

“semua barang-barangku, dipindahkan kekamar Wero?”

“terserah padamu. Yang penting, kau tidak sering berdekatan dengan anak itu.”

Ia keluar dari kamar mandi setelah selesai berpakaian. Dia mendapati Justin tengah duduk bersandar pada kepala tempat tidur, dengan tatapan lurus padanya. Benar-benar padanya.

“apa?” tanya Nicole risih sekaligus takut.

Bagaimana tidak, penampilan Justin semakin menakutkan. Kulitnya sangat pucat, seperti tidak dialiri darah sama sekali. Dan matanya yang hitam itu, sudah berubah kuning sejak tiga minggu yang lalu meskipun saat pagi hari seperti sekarang.

“keluar.” kata laki-laki itu datar.

Nicole mencibir lalu menggerutu pelan. “aku juga tidak mau berada didekatmu dalam jangka waktu yang lama. Auramu sangat menyeramkan.”

“aku tau kau sedang mengumpatku.”

Nicole menatap Justin dari pantulan cermin. “aku tidak mengumpatmu. Tidak baik mengumpat suami, kan?”

Justin mendengus. “cih, lagak mu! Sudah sana cepat keluar. Aku tidak bisa bertahan lebih lama lagi!”

Nicole membanting sisirnya dengan kesal, lalu berbalik menuju pintu kamar.

“harusnya kau biarkan aku pulang kerumah.”

“aku akan merindukanmu kalau itu terjadi.”

Nicole menatap Justin sinis. “tidak usah sok romantis! Cepat saja akhiri ritualmu itu, agar aku bisa kembali ke kamar ini!”

Justin terkekeh. “ini kamarku. Jadi maksudmu, agar kau bisa kembali berdekatan denganku?”

Nicole menanggapinya dengan bantingan pintu yang cukup keras.

oOoOoOoOoO

“kami berangkat dulu. Nic, kau jangan keluar rumah. Okay?” ucap Pattie saat berpamitan didepan pintu.

Nicole mengangguk. “aku mengerti, Mom.”

“bagus.”

Pattie memang sempat mengatakan bahwa rumah yang dia tempati ini sudah dilindungi oleh sesuatu yang tidak kasat mata. Sehingga vampire lain tidak akan bisa memasuki rumah, bahkan melewati pintu masuk sekalipun.

Baru saja mencapai ruang tengah, dia mendengar bunyi bel. Dengan malas dia kembali kedepan.

Nicole mengernyit saat tidak melihat siapapun disana. Sambil menggerutu pelan, dia kembali menutup pintu. Namun, gerakannya terhenti saat melihat sebuah kotak kecil diatas keset kaki.

“apa-apaan ini?” gumamnya sambil mengambil kotak itu.

Dia membaca kartu yang tertempel diatas kotak itu.

To: Justin

Nicole tersenyum kecut. Penggemar rahasia? Apa orang pengirim ini tidak tahu kalau Justin sudah punya istri? Menyebalkan.

Tanpa membuka kotak itu -meskipun dia penasaran- dia kembali ke atas, lalu masuk kekamar mendapati Justin tengah bersandar pada kepala tempat tidur seperti tadi sambil membaca sebuah buku.

“apa lagi yang kau cemburui, hah?!” tanya Justin tanpa mengalihkan tatapannya dari buku yang sedang dibacanya.

Nicole mengerucutkan bibirnya. “ada bingkisan untukmu.”

Justin menatap kotak ditangan Nicole, lalu beralih pada wajah wanita itu. “apa isinya?”

“aku tidak membukanya. Kau buka saja sendiri, itukan punyamu.” balas Nicole ketus.

Justin menerima kotak itu, dan memandanginya dengan curiga. Perasaannya tidak enak. Dan dia tersadar, Nicole belum bergerak dari posisinya sama sekali. “kenapa kau masih disini? Kau benar-benar mau kugigit?!”

Nicole menghembuskan nafas kesal. “kau mengusirku?! Kau pikir aku pembatumu yang bisa kau usir sesuka hati?!”

“kau itu, kenapa bodoh sekali?! Kalau kau masih disini, aku tidak yakin bisa bertahan. Kau tau maksudku, kan?”

“iya, aku tahu. Ritual terkutukmu itu, kan?!” balas Nicole sengit, sebelum keluar dari kamar itu dan membanting pintunya dengan keras.

Justin menghembuskan nafas putus asa melihat tingkah kekanakan wanita itu. Pandangannya pun beralih pada kotak di pangkuannya. Dengan perasaan tak menentu, dia membuka kotak itu perlahan.

“amplop?” ujarnya tak yakin.

Dia memeriksa amplop itu dan menemukan sepucuk surat. Dia membaca kalimat yang tertulis disana, dan tubuhnya langsung menegang.

Hentikan ritualmu. Atau kau akan kehilangannya.

Tanpa diberitahupun dia tahu siapa ‘nya’ yang dimaksud sipengirim ini. Wanita itu. Istrinya. Nicole Athena Bieber.

Dia menggulung surat itu dengan emosi. “kau akan mati ditanganku, Lauren!”

oOoOoOoOoO

Nicole tengah menonton ketika ponselnya berbunyi menandakan ada panggilan masuk. Dia mengerutkan kening saat melihat nama Taylor di layar ponselnya.

“ya?”

Taylor diseberang sana terkekeh. “sepertinya aku butuh bantuanmu, Nic.”

“kenapa?”

“sup kentangku gagal total.” Taylor kembali terkekeh. “bisa kau kerumah?”

“oh, begitu. Baiklah. Tunggu sebentar.”

Nicole berjalan ke kamar Cody, dan mengetuk pintunya perlahan. Karena tak kunjung dapat jawaban, Nicole langsung masuk dan mendapati Cody masih tertidur.

“Cody!” Nicole mengguncang tubuh adik iparnya itu perlahan.

“hmmm….” Cody menyahut malas.

“hey? Kau bisa mendengarku?”

Cody membuka matanya sedikit. “Nic?”

“aku akan kerumah Skandar sebentar. Lean dan Leane tidur dikamar Wero, kalau mereka bangun telfon aku. Kau mengerti?”

Cody menganggukkan kepalanya. “ya.”

“bagus. Aku pergi dulu.”

Begitu tiba disana, Taylor sudah menunggunya didepan pintu.

“ayo, kita langsung ke dapur.”

Nicole terkekeh pelan melihat antusias Taylor. “baiklah.”

Ketika tiba didapur, Nicole berdecak kagum melihat berantakannya dapur itu. Kulit kentang berceceran di lantai, kulit bawang, potongan daun bawang.

“kau habis berperang?” tanya Nicole geli.

Taylor mendelik. “jangan mengejekku.” ujarnya. “ah, kentangnya dilemari es. Bisakah kau membersihkannya dulu? Aku harus membangunkan Skandar. Dia bilang jam 10 nanti mau pergi. Sekarang sudah jam 9. Dia itu sangat susah untuk dibangunkan.” cerita Taylor panjang lebar.

“ok, ok. Bangunkan saja suamimu itu.”

Setelah Taylor keluar dari dapur, Nicole pun mengambil kentang dari lemari es, dan memasukkannya kedalam mangkuk kecil. Dia pun membawa kentang itu ke tempat cuci piring untuk dicuci. Ketika tengah mencuci kentang terakhir, Nicole merasa ada yang datang.

“bagaimana? Suamimu sudah bangun?” tanya Nicole, sambil mengelap tangannya pada celemek yang dipakainya.

Tak ada jawaban.

Nicole membalikkan tubuhnya dan tidak mendapati siapa-siapa disana. Samar-samar dia mendengar suara bentakan Taylor yang sedang berusaha membangunkan Skandar.

“ya ampun, Skand! Cepat bangun!”

Nicole merasa bulu kuduknya meremang. Dia mengusap tengkuknya dan berusaha menghilangkan pikiran-pikiran aneh dari kepalanya.

Hal itu terjadi lagi. Ketika tengah memotong kentang, dia merasa ada yang melintas dibelakangnya. Dia yakin tidak berhalusinasi. Namun, saat dia berbalik akan memanggil Taylor,

“TAYLMMMPPH!” Nicole langsung berontak saat seseorang membekap mulutnya dari belakang. Pisau yang ditangannya langsung terlepas karena orang itu memelintir tangannya. “mmmpphh!”

“kupastikan kali ini kau tidak akan selamat, Nicole Athena Chance!” bisiknya.

Tubuh Nicole langsung berhenti berontak. Begitu terkejut mendengar suara itu.

OoOoOoOoOo

The Half Blood Vampire 189

9 Maret 2013 pukul 22:39

Justin bergerak gelisah di atas tempat tidur. Dia sangat mengantuk namun, matanya tak mau terpejam. Seperti ada yang menghalangi matanya agar tidak tertutup. Dan perasaannya sungguh tidak enak. Gelisah.

Braaakk!!

Justin langsung menoleh kearah pintu begitu mendengar pintu kamarnya dibuka dengan kasar.

"Nic....hhh....cole...!" Cody terengah-engah karena dia berlari menuju kamar Justin.

Justin langsung duduk. "kenapa Nicole?"

"hhh....dia...hhh...hilang!"

"APAA?!" Justin berteriak kaget.

Cody memegangi dadanya. Terkejut mendengar teriakan Justin. "Taylor menelfonku, dan mengatakan kalau....."

"dia tidak ada dirumahku." Taylor muncul bersama Skandar, dan berdiri disamping Cody.

"bagaimana bisa!?"

Skandar merangkul Taylor. Dia tahu, istrinya saat ini takut dengan Justin. "dia meminta Nicole kerumah, membuat sup. Nicole didapur, Lalu Taylor pergi ke kamar untuk membangunkanku. Begitu kembali, dia sudah tidak melihat Nicole. Dia pikir, Nicole pulang kesini."

Justin merasakan kepalanya berdenyut hebat begitu mendengar penjelasan Skandar. Sekarang dia mengerti kenapa semenjak tadi dia diliputi perasaan gelisah.

"AAAAARRGH!?!" Justin berlutut dilantai sambil memegangi kepalanya. "SHIT! Ini pasti ulah wanita brengsek itu!!" umpatnya.

"Kau yakin ini ulah Laurent?" tanya Cody pelan.

Tanpa mengubah posisinya, Justin menatap Cody tajam. "memangnya kau pikir siapa lagi?!"

"Tapi, Just..kita tidak melihat....."

"dengar." Justin menyela ucapan Skandar. "tadi, dia mengirimiku surat. Dia memintaku untuk menghentikan ritual ini. Nyawa Nicole taruhannya."

Skandar, Cody dan Taylor menatap Justin tak percaya. Tak menyangka bahwa ritual itu benar-benar membahayakan Nicole. Mungkin Laurent sudah tahu tujuan Justin melakukan ritual tersebut sehingga dia memaksa Justin menghentikan semuanya, dengan Nicole sebagai taruhannya.

"lalu? Kau? Akan berhenti?" tanya Skandar saat melihat Justin merebahkan dirinya ditempat tidur.

"tidak. Tinggal beberapa jam lagi. Aku tidak akan menyia-nyiakan 29 hari yang sudah kulewati dengan susah payah. Aku hanya perlu bertahan sedikit lagi."

"bagaimana dengan Nicole?" Taylor angkat suara.

"dia akan baik-baik saja." gumam Justin. Dan berharap ucapannya benar.

OoOoOoOoOo

Lauren memperhatikan Nicole yang tengah terikat dikursi dengan tatapan menakutkan. Seolah-olah dia akan memakan Nicole bulat-bulat detik itu juga.

Sebuah senyum sinis langsung terkembang begitu melihat Nicole perlahan mulai mendapat kesadarannya. Wanita itu bergerak gelisah karena tali-tali yang mengikat tangan juga kakinya.

"hai Mrs. Chance."

Nicole mendelik ."Mrs. Bieber lebih tepatnya."

Lauren menghela nafas putus asa. "sepertinya kau sangat menyukai nama keluarga barumu. Tapi aku tidak."

plaakk!!

Tubuh Nicole langsung terhempas bersama kursi di lantai yang dingin. Membuat lengan kanannya sakit. Belum lagi pipi kirinya yang terkena tamparan Lauren.

Lauren menegakkan kembali kursi Nicole dengan senyum yang tetap terkembang dibibirnya. Dia mengusap darah disudut bibir Nicole dengan ibu jarinya, lalu menjilatnya.

"darahmu cukup manis." ucap Lauren. "Heran, kenapa Justin tidak mengigit lalu mengisap darahmu sampai habis."

"dia mencintaiku, bodoh!"

plakk! Tamparan kedua dipipi yang sama. Namun tak sekeras tadi.

Lauren menatap jam tangannya. Lalu menggelengkan kepalanya tak percaya.

"kau yakin, dia mencintaimu?" tanya Lauren. "bahkan, hingga menjelang sore, dia tidak mencarimu."

mata Nicole menyipit. "apa maksudmu?"

"sekarang sudah jam 3. Kau tahu? Dan tak ada satu orangpun yang datang mencarimu kesini."

Nicole mengerakkan matanya menjelajahi ruangan itu. Luas, seperti kamar tidur. Tapi anehnya, kenapa tidak ada jendela, dan barang-barang lain selain kursi yang diduduki nya dan kursi milik Lauren.

Lauren tertawa. "for you information, dia lebih mencintai ritualnya daripada dirimu." ucapnya. "apa kau tidak menyadarinya?"

Nicole menunduk. Memikirkan ucapan Lauren.

Ditengah keheningan yang mencekam itu, tiba-tiba terdengar dering handphone.

Lauren bersorak heboh. "Justin-ku menelfon!" serunya. "halo?"

Nicole mencibir mendengar suara -sok- manis Lauren. "ssshht!" Nicole mendesis karena rambutnya dijambak Lauren.

"Nicole?" Lauren mengubah pengaturannya menjadi loudspeaker. "dia akan baik-baik saja, asal kau menghentikan ritualmu."

Justin mendengus. "kau pikir aku bodoh?! Lepaskan dia, sekarang!"

Lauren melirik Nicole. "baiklah. Nicole atau ritualmu?"

Nicole menatap Lauren dengan tatapan setajam mungkin. Dan mengucapkan "apa kau bodoh?" tanpa suara.

"aargh!" tanpa sadar Nicole memekik pelan karena Lauren menginjak kakinya dengan hak sepatunya.

"JANGAN KAU SAKITI DIA, BRENGSEK!!"

Lauren tertawa puas. "ritual atau Nicole."

"Ritual." ucap Justin.

"bagus. Aku akan membiarkanmu mendengarkan teriakan wanita jalang ini, sebelum dia mati." Lauren menaruh ponselnya dilantai. Mengabaikan makian Justin padanya. "dan kau Mrs. Chance. Bersiaplah untuk kematianmu!"

The half Blood Vampire 190

11 Maret 2013 pukul 16:36

Lauren kembali tersenyum pada Nicole. Dia pun melepaskan ikatan yang mengikat tangan dan kaki wanita itu. Setelah itu, dia menarik rambut Nicole, membawanya ke sudut ruangan. Disana ada sebuah wastafel yang sudah terisi air.

"bernafaslah." ucap Lauren mengingatkan, sebelum menenggelamkan kepala Nicole kedalam air.

"mmpphh!!" Nicole berusaha memukul tangan Lauren yang menahan kepalanya. Dia mulai kehabisan nafas.

Lauren tertawa puas. Dia menarik kembali kepala Nicole, dan menatap wajah wanita itu melalu cermin. "bagaimana?"

"kau benar-benar terkutuk!" maki Nicole disela-sela batuknya. Belum lagi sudut bibirnya yang memar, bekas tamparan Lauren terasa sakit saat terkena air.

Plaakk!

"aaarrgh!" Nicole tak tahan untuk tidak menjerit.

"BERHENTI MENYAKITINYA, JALANG!!" Terdengar jeritan Justin dari ponsel Lauren yang terletak diatas kursi.

Lauren tertawa, dia pun menghampiri kursi lalu berkata, "katakan kalau kau akan menghentikan ritualnya...aargh!" Lauren memekik karena Nicole menendang punggungnya membuatnya tersungkur. "brengsek! Kau benar-benar mau mati?!" teriak Lauren habis kesabaran.

"KAU AKAN MATI DITANGANKU!!" Teriakan Justin kembali terdengar.

Lauren mengabaikannya. Dia menghampiri Nicole yang tengah mundur menuju sudut ruangan. Dia menyeringai, lalu menarik lengan wanita itu dengan kasar, hingga wanita itu meringis.

"ucapkan permintaan terakhirmu pada Justin." ucap Lauren tenang. Namun matanya berkilat tajam menakutkan.

"aku berharap Justin benar-benar membunuhmu!!" seru Nicole didepan wajah Lauren.

Lauren kembali menyeringai, lalu dengan cepat tangannya yang mencengkram lengan Nicole beralih pada leher wanita itu. Membuat Nicole sedikit terangkat dari lantai.

"lep....pppass....."

"dikabulkan."

OoOoOoOo

bruukkk

Justin menegang begitu mendengar suara benturan itu. Meskipun dia tidak melihat, dia yakin suara itu berasal dari tubuh Nicole yang membentur pintu.

"aaarrgh!"

"NICOOLEEE!!"

Tawa Lauren kembali terdengar. "sayang sekali, dia pingsan. Permainan ini kita hentikan sebentar hingga dia kembali sadar. Bye."

"hentikan.....BRENGSEKK!!" Justin kembali mengumpat saat Lauren memutuskan panggilan. Ketika dia kembali menghubungi nomor Lauren, operatornya berkata bahwa nomor yang dituju sedang tidak aktif. "AAAAARRGHH! Akan kubuat wanita itu segera pulang ke neraka!!"

"kenapa??" tanya Wero, memberanikan diri bertanya.

"dia memutuskan panggilan. Dan Nicole pingsan. Demi Tuhan, Tidak bisakah waktu dipercepat?!" Justin menatap jam dinding itu dengan kesal.

Pattie mengusap tangan Justin yang terkepal kuat. "sebentar lagi. Bersabarlah."

"aaarrrggh!" Justin kembali berteriak putus asa.

OoOoOoOo

"kau siap?" Jeremy bertanya pada Justin.

Justin mengangguk. "bahkan sejak 30 hari yang lalu."

Saat itu, dia, Jeremy, Skandar, Wero, Cody, Ryan, Caitlin dan Christian sedang berada ditengah hutan. Duduk melingkar dan saling berpegangan tangan untuk melakukan ritual itu. Harusnya, Ryan, Caitlin dan Christian tidak ada disana,tapi ketiga orang itu memaksa untuk membantunya.

"fokuslah. Jangan pikirkan apapun termasuk Nicole." ujar Jeremy.

Transpor energy tingkat tinggi. Itulah yang dia lakukan sekarang. Ritual ini, membuat kekuatan-kekuatan yang dimiliki ketujuh orang itu mengalir padanya. Membuatnya hampir sederajat dengan vampire murni, meskipun kekuatan itu nantinya hanya bertahan 2 jam. Sedangkan transpor energi biasa hanya bisa bertahan 10-15 menit, itupun hanya untuk sekedar merubah dirinya menjadi orang lain, atau mungkin masuk ke mimpi orang lain.

Tujuannya melakukan ritual ini hanya satu. Melenyapkan Lauren dari muka bumi agar hidupnya dan keluarganya tentram. Tapi ternyata wanita itu mengetahui tujuannya itu, membuat Nicole jadi sandraan wanita itu.

Bayangan Lauren muncul dipikirannya. Wanita itu bersama Nicole yang wajahnya penuh memar dan darah. Tak jauh dari dua orang itu, dia juga melihat tubuh Leandra dan Leander yang sudah tak berbentuk lagi. Membuat emosinya muncul kepermukaan.

"fokuslah. Jika tidak, Kau bisa membunuh dirimu sendiri."

Justin menggelengkan kepalanya, dan seketika bayangan itu menghilang.

Justin merasa sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Jantungnya mulai berdetak diluar batas, seolah jantungnya akan meledak tiba-tiba. Seluruh tubuhnya terasa panas, bagaikan dikelilingi kobaran api. Dan kepalanya. Kepalanya benar-benar sakit. Bahkan, jauh lebih sakit dari pada yang pernah dirasakannya. Seakan-akan kepalanya ingin pecah.

"tetap berpegangan. Bertahanlah."

Ditengah siksaan itu, dia mendengar suara Jeremy. Dan dia pun menekankan pada dirinya untuk terus bertahan hingga akhir.

Perlahan, semua siksaan itu mulai berkurang. Detak jantungnya mulai normal, suhu tubuhnya kembali seperti semula begitu juga dengan kepalanya. Sakit itu menghilang. Namun, digantikan oleh sesuatu yang baru. Pandangannya mengabur, kepalanya terasa berat, dan sebelum dia hilang kesadaran, dia berharap, ini bukan akhir hidupnya. Lalu, semuanya berubah gelap.

The Half Blood Vampire 191

23 Maret 2013 pukul 16:17

Pattie mondar-mandir disisi sofa tempat Justin dibaringkan. Sudah hampir 30 menit berlalu setelah ritual itu, tapi anak laki-lakinya itu tak kunjung sadar.

Sedangkan Jeremy, Skandar, Cody, Wero, Ryan, Caitlin, dan Christian merebahkan diri disofa yang lain karena energi mereka benar-benar terkuras habis karena ritual itu. Dan sekarang, harapan mereka hanya satu. Justin segera sadar, yang menandakan kalau ritual yang mereka lakukan berhasil. Bukan sebaliknya.

“Demi Tuhan! Katakan padaku, kalau ritualnya akan berhasil!” seru Pattie. Dia mulai frustasi mengingat semua kejadian seharian ini. Menantunya disandra vampire gila, dan anak laki-lakinya antara hidup dan mati. Padahal, harapan mereka satu-satunya saat ini tinggal Justin. Mengingat ketujuh orang itu sudah tidak punya tenaga lagi.

“ritualnya akan berhasil.” sahut Skandar lemah.

“aku sedang tidak bercanda!” ketus Pattie.

Skandar mendengus, dan lalu merebahkan kepalanya di bahu Taylor yang duduk disampingnya.

“aku yakin. Ini akan berhasil. Dia punya tekad dan semangat yang kuat. Percaya padaku.” ujar Jeremy.

“errggh.”

Pattie segera memutar tubuhnya menghadap Justin, lalu berlutut disisi wajah anak laki-lakinya. Mengelus pipinya penuh kasih sayang.

“Justin?”

Justin berusaha membuka matanya yang terasa berat. Butuh waktu lama baginya untuk mendapatkan fokus. Karena kepalanya masih pusing. Dan segalanya terasa berputar.

“Mom? Aku dimana?”

“kau dirumah.” sahut Christian, karena yang lain sepertinya sudah tidak punya tenaga lagi untuk bicara.

“kau membuat kami semua cemas karena berpikir kau akan gagal.” sambung Wero setengah kesal.

Justin merubah posisinya menjadi duduk. “maafkan aku. Semuanya terasa sulit.”

“minumlah.”

Justin mengambil gelas yang diangsurkan Pattie padanya, lalu meminumnya. Begitu lidahnya mengecap cairan itu dia langsung menatap Pattie.

“sudah 30 hari kan?”

Justin mengangguk dan kembali melanjutkan minumnya. Kerongkongannya terasa segar. Api yang berkobar selama 30 hari belakangan perlahan padam seiring cairan itu mengalir masuk. Dia tidak pernah sepuas ini meminum darah.

“Justin. Ada yang mencarimu.”

Justin mengalihkan pandangannya pada Jazzy. Dia hampir saja menjatuhkan gelas yang ditangannya, karena melihat orang yang berdiri dibelakang adiknya. Terlalu terkejut.

“Austin?”

“aku tahu dimana Nicole.”

Justin membanting gelasnya ke meja. “jangan berbohong!”

Austin menggeleng. “kau tahu aku tidak berbohong.”

“dimana dia?”

“kau akan tahu, kalau kau mengikutiku.”

Justin segera berdiri, menghampiri Austin. Saat mereka akan meninggalkan ruang tengah itu, suara Jeremy menghentikan langkah mereka.

“berjuanglah. Lakukan yang terbaik, karena kami semua tidak bisa membantumu.”

“dan, bawalah Nicole kembali. Hidup-hidup.”

Justin mengangguk tegas. “pasti!”

oOoOoOoOoOo

Nicole terbangun saat dia merasa pinggangnya ditendang-tendang. Disusul bentakan-bentakan yang membuat telinganya sakit.

“cepat bangun!”

Dia tidak perlu waktu lama untuk berdiri dan mendapatkan kesadarannya karena Lauren dengan senang hati menarik lengannya dengan kasar hingga dia berdiri.

“Justin akan kesini. Dan aku belum akan menyerahkanmu padanya.”

Nicole mendengus. “tentu saja. Dia tidak ingin aku bersamamu lebih lama lagi!”

Lauren menjambak rambutnya yang sudah acak-acakkan. Membuatnya semakin berantakan lagi, dan bertambah sakit. “kau itu! Tidak bisakah kau tutup mulut?! Atau kau ingin mati saat ini juga?! Tapi, jika kau mati sekarang, permainan tidak akan seru lagi.”

Nicole meronta. “Lepaskan tangan kotormu dari rambutku!”

Lauren mendorong tubuhnya kedinding dengan keras membuat punggungnya sakit, lalu mencekik lehernya. Wanita itu tersenyum lebar.

Nicole sengaja mengulur waktu hingga Justin datang, meskipun tubhunya semakin disiksa Lauren. Agar Lauren tidak membawanya ketempat lain yang tidak diketahui Justin sama sekali.

Lauren menyeringai. “mengulur waktu? Kau itu benar-benar bodoh!”

Ia mulai kehabisan nafas. Dia berusaha menarik tangan Lauren yang mencengkram lehernya, tapi kekuatan wanita itu terlalu kuat.

“brengsek!”

Nicole langsung terhempas ke lantai begitu Lauren melepaskan cengkramannya setelah dia berhasil mencakar wajah wanita itu. Dia sudah hampir mencapai gagang pintu saat Lauren menarik pergelangan tangannya dengan kasar dan lagi-lagi mendorong tubuhnya ke dinding. Membuat kepalanya kembali berdarah karena kuatnya benturan yang terjadi. Setidaknya dia belum amnesia mengingat ini sudah kedua kalinya kepalanya terbentur keras.

“sialan!” umpat Nicole pelan saat melihat tangannya berlumuran darah setelah dia memegang keningnya yang sebelah kanan.

Lauren berjongkok didepan Nicole yang tengah bersandar di dinding. “kau mau luka baru lagi? Di wajahmu kah?” tanyanya tenang. Dan itu benar-benar menyeramkan dibanding bentakan-bentakannya.

Braakkk

Tiba-tiba pintu itu terbuka dengan kasar, hingga salah satu engselnya terlepas karena begitu kuatnya tendangan Justin.

Matanya langsung menyipit saat melihat Lauren, dan semakin tajam begitu menyadari Nicole tidak baik-baik saja. Rambutnya acak-acakkan. Kepala wanita itu terlihat berdarah, dan seperinya juga ada luka baru karena masih ada darah yang mengalir dipelipisnya. Pipinya memar, di lehernya ada bekas jari yang sudah dipastikan itu jari-jari terkutuk milik Lauren.

Lauren menyeringai. “kau datang lebih cepat dari yang kuperkirakan.” ucapnya sambil berdiri.

“Lepaskan dia.”

Lauren menunjuk Nicole setengah hati. “dia? Kulepaskan? Jangan terlalu berharap.”

Lauren menyambar pergelangan tangan Nicole lalu membawanya keluar dari ruangan itu secepat yang dia bisa.

Sedangkan Nicole, kepalanya mulai pusing. Mungkin karena dia belum makan seharian, atau mungkin karena terlalu lelah? Atau karena dia mulai kehilangan darah?

Nicole merasa cengkraman Lauren pada tangannya terlepas, dan tubuhnya langsung kehilangan keseimbangan. Dia yakin akan mencium tanah segera, tapi anehnya ada yang menangkap tubuhnya.

Mata Nicole membulat tak percaya. “Austin?!”

Austin membawanya keatas pohon, lalu berhenti pada tempat yang tersembunyi daun-daun, yang dahannya cukup besar dan kuat untuk dia duduki. Selanjutnya laki-laki itu menyelimuti tubuhnya dengan sebuah jaket tebal.

“diamlah disini. Jangan bersuara.”

“tapi…”

Nicole kembali menelan ucapannya saat Austin langsung pergi meninggalkannya begitu saja. Suara benturan mengalihkan pikirannya dari Austin yang pergi begitu saja.

Dia menggigit bibirnya kuat-kuat begitu melihat Lauren baru saja menendang Justin hingga tubuh laki-laki itu membentur pohon. Meskipun saat itu sudah mulai gelap, dia masih bisa melihat Justin dan Lauren dengan jelas dibawah sana.

Untuk kedua kalinya, Justin tersungkur ditanah. Membuat Nicole semakin mempertahankan mulutnya agar tidak bersuara. Matanya liar mencari keberadaan Austin agar bisa membantu suaminya. Setelah beberapa saat, dia melihat Austin tidak terlalu jauh dari Justin dan Lauren sedang membuat….. api unggun?

Justin menyeka darah yang keluar dari mulutnya. Dia melirik Austin sejenak. Laki-laki itu sedang berusaha memperbesar api unggun yang sudah dibuatnya. lalu kembali pada Lauren. Keadaan wanita itu masih baik-baik saja. Mengingat wanita vampir murni. Begitu ada sebuah luka, sedetik selanjutnya luka itu langsung hilang tanpa bekas.

“mengulur waktu hingga api yang dibuat temanmu itu membesar?” tanya Lauren sinis.

Mata Justin menyipit. “bukan urusanmu!” setelah itu dia langsung meluncurkan sebuah tendangan tepat di perut Lauren hingga wanita itu terlempar beberapa meter darinya.

“hanya itu?”

Detik selanjutnya, Lauren mencengkram leher kaos Justin, dan mengangkat tubuh laki-laki itu, lalu menghempaskan sekuat-sekuatnya kebumi, hingga tanah disekitar tubuh Justin sedikit merosot.

Justin terbatuk-batuk berberapa kali, mengeluarkan darah. “kau benar-benar ingin membunuhku?” tanya Justin susah payah karena Lauren mulai mencekiknya.

Lauren memperkuat cengkramannya. “menurutmu bagaimana?”

“tidak. Kau mencintaiku, kan?”

Lauren memutar bola matanya. Lalu menyeringai. “dengar. Jika aku tidak bisa mendapatkanmu, maka wanita lain juga tidak. Termasuk Nicole.”

Justin menepis tangan Lauren yang berada dilehernya dan langsung berguling tepat sebelum sebuah pisau menancap ditanah yang sebelumnya dia tiduri. Dilihat dari posisinya, jika dia tidak cepat menghindar, pisau itu akan dengan senang hati menancap dijantungnya. Dan tak ada kesempatan untuk hidup sama sekali.

“kau kurang cepat. Sayang sekali.” ujar Justin sambil berusaha berdiri.

Lauren langsung maju menerjang Justin, sambil mengarahkan pisau tepat kedadanya.

“JUSTIIIN….AAAARRGGH?!!”

Lauren berhenti tepat didepan Justin, dengan pisau yang hanya berjarak lima centimeter dari dadanya. Wanita itu segera memutar tubuhnya, mencari keberadaan Nicole. Matanya langsung berbinar begitu melihat Nicole baru terhempas ketanah.

Justin dengan cepat mencengkram lengan Lauren, tapi wanita itu langsung mendorong tubuhnya dengan kuat, dan kembali membentur pohon. Lagi-lagi dia memuntahkan darah. Kepalanya terasa pusing. Dia melihat jam. Masih tersisa 20 menit. Tapi kenapa dia mulai lemah?

Begitu dia mengangkat kepalanya, dia melihat Lauren berlutut disisi Nicole. Hanya berlutut tanpa melakukan apa-apa. Tapi kenapa Nicole seolah kekurangan udara?

“Brengsek! Air Power!”

Lauren menatapnya sambil tersenyum penuh kemenangan. Dia ingin berlari kesana, tapi kenapa kakinya tidak mampu lagi bergerak? Kenapa tubuhnya mulai melemah?!

“BRENGSEK! HENTIKAN!!”

Saat dia mulai putus asa, dia melihat Austin tiba-tiba menerjang tubuh Lauren dari belakang, hingga mereka berdua terlempar ke dalam kobaran api yang sudah besar. Yang dibuat oleh Austin sedari tadi.

“AUSTIINN!!”

Justin menghempaskan tubuhnya ke tanah saat tidak melihat tanda-tanda keselamatan Austin dari kobaran api itu. Tubuhnya semakin lemah. Kepalanya terasa sakit.

Dengan susah payah, dia menyeret tubuhnya menuju tempat Nicole. Butuh lima menit baginya untuk tiba disana, padahal jarak mereka tidak terlalu jauh. Karena dia berhenti cukup lama sebelum dia kembali menyeret tubuhnya.

“Nicole?” panggil Justin. Dia mengusap pipi wanita itu. Dingin. “Nicole?!” panggilnya lagi.

Justin mulai panik karena Nicole tak kunjung menanggapi panggilannya. Dia mengangkat kepala Nicole, memindahkannya ke atas pangkuannya. Tubuhnya menegang ketika tangannya merasakan sesuatu yang basah dibelakang kepala wanita itu. Wajahnya semakin pucat saat melihat telapak tangannya berlumuran darah.

“Nicole!! Buka matamu! Cepat, buka matamu!!” Justin mengguncang bahu wanita itu. “aku memintamu membuka matamu!! Aku sedang tidak ingin bercanda! Ini tidak lucu, kau tahu?!” bentak Justin.

Nicole tidak menunjukkan reaksi apapun.

“NICOOLLEE!!” Justin mengerang putus asa.

Justin menundukkan wajahnya, hingga hidungnya dan hidung Nicole bersentuhan. Air matanya menetes. Mengenai permukaan wajah wanita itu.

“ku mohon.. Buka matamu!” ucap Justin lemah. “kau harus membuka matamu!”

“nadinya melemah. Kita harus segera keluar dari hutan ini.”

Justin mengangkat wajahnya, matanya terbelalak begitu melihat Austin berada didepan matanya.

“kau….”

Austin menyeringai. “beberapa detik sebelum masuk ke kobaran api, aku mematahkan leher wanita itu. Dan aku membuang tubuhnya ditengah kobaran.”

Justin menatap Austin tak mengerti. “lalu, bagaimana….”

“aku punya kecepatan, oke? Dan sekarang, berikan aku sesuatu yang bisa membuatku menghubungi seseorang agar kita bertiga bisa keluar dari hutan ini.”

Justin menggeleng. “bawalah dia keluar dari sini. Sekarang.”

“dan meninggalkanmu sendiri? Tidak. Terima kasih.” bantah Austin. “cepat, aku butuh alat komunikasi!"

Dengan enggan, Justin memberikan ponselnya pada Austin, dan detik berikutnya laki-laki itu sudah sibuk menekan-nekan layar ponselnya.

Justin kembali menatap Nicole. Wajah wanita itu terlihat semakin pucat. Dan kulitnya semakin dingin. Dia kembali mengusap wajah wanita itu dengan penuh kasih sayang.

“Kau tidak boleh pergi. Karena aku tidak mengizinkanmu.” ujar Justin ditelinga Nicole. “kau mengerti?!”

Wanita itu tetap menutup matanya.

“bertahanlah. Sebentar lagi. Untukku, untuk Leander. Untuk Leandra.” Justin kembali meneteskan air matanya, dan dia mengusapnya dengan cepat. “kau…BUKA MATAMU!!” teriak Justin habis kesabaran.

Senyum langsung terbit diwajah Justin saat melihat Nicole mulai menggerak-gerakkan matanya, dan semakin tersenyum lebar begitu Nicole juga menatapnya dengan senyum yang selalu disukainya.

“jangan menangis.” Nicole mengulurkan tangannya, mengusap air mata yang baru saja menetes dari sudut mata Justin.

“kau tidak boleh menutup mata.” ancam Justin.

Nicole menggeleng. Dia tidak sanggup bertahan lebih lama lagi. Semuanya terasa begitu berat. Perlahan, dia memejamkan matanya. Tangannya yang semula berada diwajah Justin mulai turun, hingga akhirnya terhempas begitu saja. Dan seluruh sakit yang dirasakannya, perlahan menghilang, hingga dia merasa tubuhnya sangat ringan.

“Nicole??”

Hening.

Dengan cepat, Justin menarik pergelangan Nicole. Mencari denyut nadi wanita itu. Tidak ada. Dia beralih pada lehernya. Hasilnya sama. Tidak ada.

Justin menggelengkan kepalanya. Ini tidak mungkin. Tidak mungkin. Tidak mungkin secepat ini.

“Nicole….kau…ku mohon…”

Justin memegang dadanya. Dadanya terasa sesak, membuatnya kekurangan oksigen meskipun dia sudah berusaha mengambil udara. Ada yang menyumbat saluran pernafasannya, dan itu adalah tangisannya sendiri. Sakit. Kenapa harus sesakit ini? Air matanya terus memaksa keluar, dan dia berusah menahannya, hingga dia semakin merasa sesak.

“aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Aku tidak ingin kehilanganmu, kalau kau ingin tahu. Dan aku, akan mengabulkan semua permintaanmu. Jadi, akhiri aktingmu ini.” ujar Justin putus asa.

“DEMI TUHAN, BUKA MATAMU!!” Teriak Justin dengan suara pecah.

“hey, jangan membentaknya seperti itu. Kita akan keluar dari sini karena temanku….” Austin menghentikan ucapannya begitu melihat tatapan mematikan milik Justin. Namun anehnya, juga ada kesedihan yang begitu dalam. Bahkan dia yakin, baru saja melihat setetes air mata keluar dari sudut mata laki-laki itu. “ada apa?”

“ISTRIKU MENINGGAL, DAN KAU BERTANYA ADA APA?! KAU PUNYA OTAK, TIDAK?!!”

“ap…apa?”

“AAAAAARRGGHH!!” Justin merengkuh tubuh Nicole kedalam pelukannya. Memeluknya erat-erat.

OoOoOoOoOoOoOoOoOo

“AAAAARRGHH!!!!” teriakan itu menggema didalam ruang bersalin yang lumayan besar itu.

“Ayo nyonya. Tarik nafas….dorong… Ya.” sang Dokter terus memberikan instruksi pada calon ibu itu dengan sabar. “sedikit lagi, nyonya Nicole. Kepalanya sudah mulai terlihat.”

“huh..huuh….aaaarrgh!!” Nicole, wanita yang akan melahirkan itu kembali berteriak, sambil berusaha mendorong keluar bayi yang berada dirahimnya.

Peluh sudah membasahi tubuhnya. Dia sudah mulai lelah, tapi bayinya belum juga keluar membuatnya nyaris putus asa, karena sakit yang dia rasakan.

“semangat! Kau bahkan pernah melewati yang lebih sakit dari ini, kan? Kau pasti bisa!”

Pikirannya kembali di penuhi kejadian delapan bulan yang lalu. Saat di hutan, dipikir itu adalah saat terakhirnya melihat Justin. Tapi ternyata Tuhan masih memberikannya kesempatan kedua untuk hidup. Dia masih ingat bagaimana bahagiannya dia begitu dia membuka mata, dia mendapati dirinya terbaring di ranjang rumah sakit, dan orang pertama yang dilihatnya adalah suaminya sendiri. Dia semakin Bahagia saat dokter memberitahunya bahwa dia sedang hamil satu bulan, dan keadaan janinnya sehat.

Nicole menatap Justin, suaminya sejenak. Sebelum akhirnya dia kembali menarik nafas dan mengedan sekuat mungkin. Cengkramannya pada tangan laki-laki itu semakin kuat, seiring bertambahnya sakit dibagian bawah tubuhnya.

Suara teriakan kembali terdengar diruangan itu, namun kali ini bersamaan dengan suara tangisan bayi.

Sang dokter tersenyum. “perempuan.”

Justin tersenyum lalu mengusap peluh yang mengalir dipelipis Nicole. Wanita itu terlihat mengatur nafasnya. “dia sudah lahir.”

Nicole mengangguk. “hmm…satu lagi….” ucapnya susah payah, karena sakit kembali menyerangnya.

“satu lagi? Maksudmu… Bayi kita kembar lagi?” tanya Justin tak mengerti.

“dokter, perutku… aaarrgggh!!” Nicole kembali berteriak.

“ayo nyonya…seperti tadi…ya, kepalanya mulai terlihat….sedikit lagi….”

Nicole mengumpulkan tenaganya, menarik napas dalam-dalam, lalu mendorong bayi itu sekuat tenaga. Tak lama kemudian, suara tangis bayi kembali terdengar diruangan bersalin itu.

“perempuan.” ucap dokter itu. “mereka berdua sehat. Sempurna.”

Nicole menghempaskan punggungnya ke bangkar. Lalu memejamkan matanya, berusaha memulihkan tenaganya yang benar-benar terkuras habis. Tapi tidak separah ketika dia melahirkan Leander dan Leandra. Meskipun begitu, dia sudah tidak ingin melahirkan lagi. Sudah cukup.

“oke. Ini akan menjadi persalinan terakhirmu.”

Nicole membuka matanya dan menatap Justin tajam. “tutup mulutmu, dan jangan baca pikiranku!”

Justin mengulum senyum. Mengabaikan bentakan wanita itu. Lalu, Kembali mengusap pipi wanita itu. “kau tahu?”

“hmm?” sahut Nicole malas.

“aku mencintaimu.”

Nicole merasakan wajahnya memanas. “aku tahu.” ucapnya pelan. “dan aku juga mencintaimu, Vampir berdarah campuran! Benar-benar mencintaimu.”

END

oOoOoOoOo

akhirnya selesai juga BLS yang beda tipis sama sinetron ini -_- nah, sekarang kalian bisa baca The Half Blood Vampire After Story-nya hehehe atau udah baca duluan sebelum ini tamat? nggak papa juga sih :)

Cerita ini dimulai dari 1 JANUARI 2012 DAN SELESAI 23 MARET 2013... Setahun lebih broh! Jadi, Kalau ada yang cerita mirip kayak gini, jelas dong dia yang copast, bukan THBV yang ngikutin itu cerita.

Selama nulis THBV ini entah sudah berapa kali aku dapat info dari pada readers kalau THBV di copast -_- dulu bangeet, april 2012, Fanbase Smashblast yang nge-copast dengan ganti semua tokoh-tokoh buatanku di ganti sama personilnya SMASH -_- kebayang nggak sih??? Aku baru post Januari dan bulan April udah di Copast aja -________-

Trus baru-baru ini, IMPRINT? Huh.

Okay, segitu aja sesi curhat dari saya.. hehehe tinggalkan Vote dan Comment yo

Buat pembaca baru, cukup panggil aku Tania. atau mungkin kak, kalau usia kalian di bawah aku. Aku kelahiran 1994, jadi ya begitulah. jangan panggil Min ataupun author. Okay?

Regards,

Tania Ms.

Continue Reading

You'll Also Like

4.9M 183K 14
Series #2 Fantasi Damn My Mate Is A Nerd [Baca dulu cerita Mine] Hai, namaku Kelvin. Aku anak pertama dari pasangan teromantis sepanjang massa, sia...
23.3K 1.4K 11
Tim olimpiade fisika ruang 304 yang beranggotakan Bejo, Juna, Dirga, Reihan, dan Desyca mendapatkan jatah 'belajar outdoor' dari masa karantina merek...
9M 289K 19
#1 in Fantasy #Tersedia Di Gramedia. Hidupku yang rumit semakin rumit saat aku bertemu dengannya. Dengan seorang pria tampan bak Dewa Yunani dengan...
55.2K 1.9K 11
"Vanilla" Aku mencium bau coklat bercampur vanilla yang menarik. Tidak ada toko permen roti ataupun coklat. Tidak terasa aku berjalan mengikuti aroma...