The Half Blood Vampire

By TaniaMs

1.7M 60K 1.1K

Nicole seorang gadis biasa yang baru menginjak semester kedua di kampusnya. Dia berharap masa remajanya dapat... More

The Half Blood Vampire
The Half Blood Vampire 1-5
The Half Blood Vampire 6-10
The Half Blood Vampire 11-15
The Half Blood Vampire 16-20
The Half Blood Vampire 21-25
The Half Blood Vampire 26-30
The Half Blood Vampire 31-35
The Half Blood Vampire 36-40
The Half Blood Vampire 41-50
The Half Blood Vampire 51-60
The Half Blood Vampire 61-70
The Half Blood Vampire 71-80
The Half Blood Vampire 81-90
The Half Blood Vampire 91-100
The Half Blood Vampire 101-110
The Half Blood Vampire 111-120
The Half Blood Vampire 121-128
The Half Blood Vampire 129-139
The Half Blood Vampire 140-149
The Half Blood Vampire 150-160
The Half Blood Vampire 171-180
The Half Blood Vampire 181-185
The Half Blood Vampire 186-191 [END]
Terima Kasih
[EDISI KANGEN] 1
[Edisi Kangen] 2
[Edisi Kangen] 3

The Half Blood Vampire 161-170

60.2K 2.3K 29
By TaniaMs

The Half Blood Vampire 161

4 September 2012 pukul 18:24

"Kau masih tidak mau mengaku kalau kau punya beban pikiran?"

Justin tersentak kaget begitu mendengar suara Cody, entah kapan munculnya adiknya itu. Ia menatap Cody datar, lalu segera melengos kearah lain.

"kau itu, mentang-mentang kami tidak bisa membaca pikiranmu, kau jadi begini." ucap Cody. "ayolah, ceritakan padaku apa yang sedang kau pikirkan."

Justin menggeleng. "Kenapa aku harus menceritakannya padamu? Pada Nicole saja, tidak kuceritakan."

Cody memberengut. Lalu dia menatap Skandar yang sepertinya sedang akan menangkap tupai.

Saat ini, mereka sedang dihutan, Skandar sudah mendapatkan 2 hewan, Wero juga, dia juga sudah. Sedangkan Justin, hanya duduk didalam rumah pohon yang mereka buat dengan pandangan kosong.

"Skandar!" Cody meneriaki Skandar dari bawah pohon, tempat Skandar berada.

Akibat mendengar suara Cody, tupai buruan Skandar langsung kabur membuat Skandar berteriak kesal. "apa yang kau lakukan?!"

Cody memperlihatkan senyum tanpa dosanya. "Justin tidak mau bercerita soal masalahnya!"

"itu haknya. Kalau dia tidak mau bercerita, ya sudah." ucap Wero yang kebetulan mendengar ucapan Cody.

"haha..mana mungkin dia bercerita pada anak kecil sepertimu." ucap Skandar begitu ia sudah turun dari pohon. "biar aku yang membujuknya. Kau harus mengganti tupaiku yang kabur tadi, jika tidak, tamat riwayatmu!"

"iya, aku tahu." sungut Cody.

Skandar pun segera memanjat sebuah pohon, tempat rumah pohon mereka berada. Lagi-lagi dia mendapati Justin tengah melamun.

"Justin?" panggil Skandar seraya duduk disamping Justin.

"apa aku pantas bersamanya?"

"ng?" Skandar mengernyit tak mengerti.

Justin menatap Skandar. "apa aku pantas bersamanya?"

Skandar memperhatikan wajah Justin. Wajah adiknya itu menggambarkan keputusasaan, kelelahan batin. Dia belum pernah melihat wajah Justin seperti itu. "dengan Nicole maksudmu?"

Justin kembali memandang lurus kedepan. "aku vampire sedangkan dia manusia. Bukankah itu sangat tidak cocok?"

Skandar ingin menjawab, namun Justin kembali berbicara. "aku benar bukan? Coba ingat, selama menikah denganku, berapa kali dia masuk rumah sakit? Berapa kali keselamatannya terancam?

Karena menikah denganku, dia hamil. Lalu berhenti kuliah. Sekarang, dia harus mengurus kedua bayi sekaligus. Dia pasti sangat menderita. Ditambah lagi, aku tidak pernah bersikap baik layaknya suami padanya. Yang bisa kulakukan hanyalah membentaknya."

"bukankah kau mencintainya?" tanya Skandar.

"cinta yang kupunya tidak akan mengubah penderitaannya. Selamanya, dia tidak akan bisa hidup tenang, tidak akan bisa bebas, seperti manusia lain. Karena apa? Karena dia adalah istri vampire sepertiku."

"Mom, dia manusia. Dia bisa bahagia bersama Dad meskipun Dad adalah vampire." bantah Skandar.

Justin tersenyum. Meremehkan. "itu karena Dad. Dad bisa membahagiakan Mom. Bisa melindungi Mom. Terlepas dari status vampirenya, Dad adalah suami idaman." Justin menggelengkan kepalanya. "sangat berbeda dengan diriku."

"kenapa kau jadi seperti ini?" tanya Skandar heran.

Selama ini, Justin tidak pernah seperti sekarang. Tidak pernah mempermasalahkan status vampire dan Nicole yang manusia. Dia seakan menutup mata dan menulikan telinganya dari kenyataan yang ada. Dia mengabaikan seluruh kalimat yang tadi dia ucapkan. Lalu kenapa tiba-tiba dia sekarang mempermasalahkannya? Kenapa dia mengucapkan kalimat yang selama ini selalu diabaikannya?

"bacalah." Justin menyerahkan selembar surat pada Skandar.

Skandar menerimanya dengan bingung, namun dia tetap membacanya.

"semua yang tertulis disurat itu membuatku sadar." ucap Justin. "aku tidak pernah membuat Nicole bahagia. Malah sebaliknya. Orang yang menulis surat itu benar. Aku tidak pantas untuk Nicole."

Skandar menggulung surat itu dengan emosi. "siapa yang memberikan ini padamu?"

"aku mendapatinya diatas kap mobilku, minggu lalu." Justin bangkit dari duduknya sambil mendesah keras.

"lalu, kau akan meninggalkan Nicole, seperti yang tertulis disurat ini, begitu?"

Justin berhenti melangkah, "aku ragu. Itu yang sedang kupikirkan."

buugh! Sebuah pukulan langsung bersarang dipipi Justin.

"apa yang kau pikirkan, bodoh?!" bentak Skandar.

"ada apa denganmu?" protes Justin.

"apa otak pintarmu mengalami penyusutan, hingga kau menjadi bodoh seperti sekarang?!" cetus Skandar. "haruskah kau memikirkan saran aneh disurat sampah ini? Memangnya, jika kau meninggalkan Nicole, kehidupannya akan kembali seperti semula? Mana janjimu yang tidak akan pernah meninggalkan Nicole apapun yang terjadi? Baru mendapat surat seperti ini saja sudah menyerah!"

Justin tidak menyahut.

"Bukan kau yang menentukan pantas tidaknya dirimu terhadap Nicole. Tapi Nicole! Kalau dia tetap bertahan disampingmu, berarti menurutnya kau pantas untuknya. Jika kau mendapat surat seperti ini, harusnya kau menyakinkan diri untuk tetap berada disamping Nicole, tetap memegang janjimu."

"tapi Skand?"

"anggap saja surat ini tidak pernah muncul dihadapanmu."

"tidak bisa."

"Nicole mencintaimu. Itu yang perlu kau ingat." ucap Skandar.

The Half Blood Vampire 162

9 September 2012 pukul 5:22

"Nicole mencintaimu. Itu yang perlu kau ingat." ucap Skandar.

Justin mendesah. "entahlah." setelah mengatakan itu ia langsung keluar dari rumah pohon tersebut.

---

Nicole memiringkan tubuhnya, lalu menggerakkan tangannya ke arah Justin. Namun kosong. Sisi lain tempat tidur itu kosong.

Nicole langsung membuka matanya. Benar saja, tidak ada Justin disana. Ia segera mencari letak jam. 06.45.

"harusnya dia sudah dirumah." gumam Nicole.

Setelah mandi dan berpakaian, Nicole berjalan kearah dua boks bayi yang terletak disisi tempat tidurnya dan Justin. Nampaklah kedua bayinya masih tidur dengan nyenyak.

"mom turun dulu. Kalian jangan bangun ya." ucap Nicole sambil mengusap kepala keduanya.

"dimana Justin?" tanya Pattie begitu Nicole duduk di samping Cody.

"entahlah Mom. Dia belum pulang." ucap Nicole sambil meminum susu khusus ibu menyusui. Terlihat raut bingung dan khawatir pada wajah Nicole.

"kami semua sudah pulang." ucap Jazzy.

"iya, waktu kami pulang kerumah, Justin tidak bersama kami." sahut Jaxon.

"benarkah?" tanya Nicole kaget.

"mungkin dia masih mencari buruan." ujar Jeremy.

Nicole menatap Jeremy.

"dia akan baik-baik saja. Jika itu yang kau khawatirkan." ujar Jeremy sebelum Nicole membuka mulut. "ayo, habiskan sarapanmu."

Namun anehnya, bahkan sampai siang pun Justin belum juga pulang. Ia sudah menghubungi ponsel Justin berkali-kali, namun tidak di angkat. Begitu juga dengan pesan yang dia kirim, tidak di balas Justin sama sekali. Sehingga, seharian itu Nicole hanya menghabiskan waktunya didalam kamar bersama Leander dan Leandra.

"bukankah jika siang Justin itu manusia? Lalu kenapa dia belum pulang sampai sekarang? Bukankah itu aneh?" Nicole berbicara pada Leandra.

Leandra yang saat itu bangun, hanya bisa mengerjapkan matanya berkali-kali. Sepertinya tidak mengerti apa yang diucapkan Nicole.

"kau tidak tahu? Apa dia diculik mantan kekasihnya itu?"

Leandra tertawa kecil.

"kau benar. Itu tidak mungkin. Bagaimana bisa aku sebodoh ini!" Nicole merutuki dirinya sendiri.

Pandangan Nicole teralih ke meja belajar. Tas yang biasa digunakan Justin untuk kuliah tidak ada disana. Nicole mengerutkan keningnya, bagaimana mungkin tas itu tidak ada disana?

Setelah memastikan posisi Leander dan Leandra ditempat tidur aman, Nicole menghampiri meja belajar. Ia melihat mata kuliah hari itu, tapi semua bukunya tetap ada disana. Lalu kemana perginya tas Justin? Apa dicuci? Nicole menggelengkan kepalanya. Dia yakin, dia tidak mencuci tas Justin tadi pagi.

Nicole kembali menghubungi nomor Justin. Panggilan pertama tidak diangkat. Kedua.....ketiga......Keempat .....kelima.....Hingga akhirnya,

"halo?"

Nicole kembali mengerutkan keningnya. Dia yakin, meskipun tidak melihat langsung, orang yang mengangkat telepon Justin, bukanlah Justin. Dia hafal suara Justin. Bahkan suara ketika bangun tidur pun.

"kau siapa?" tanya Nicole.

"kau yang menghubungi ponsel ini, kenapa kau yang bertanya siapa aku?"

"ponselnya sedang kau gunakan itu milik suamiku!" ketus Nicole.

"suami?"

"iya! Kau tahukan arti suami itu apa? Kenapa kau harus bertanya lagi?" Nicole bertanya dengan kesal. Ketika dia akan berbicara, tiba-tiba panggilan terputus.

Nicole kembali menghubunginya, namun yang terdengar adalah suara milik operator yang menyatakan bahwa nomor ponsel Justin tidak aktif.

"Nic, kau sudah makan siang?" sebuah suara terdengar didepan pintu kamarnya. Skandar.

"belum. Sebentar lagi aku turun."

Nicole memindahkan Leandra ke dalam boks bayinya, begitu juga dengan Leander. Leandra sudah kembali tidur, sepertinya ketika menelfon tadi.

---

Nicole melihat jam tangannya. 06.15. Dari tempatnya berdiri, dia bisa melihat Jeremy, Skandar, Cody, Wero, Jazzy dan Jaxon baru keluar dari hutan. Namun diantar mereka semua tidak ada Justin.

Nicole mendesah, lalu segera masuk ke kamar, dan menutup pintu balkon dengan sedikit keras. Ia menghempaskan dirinya ke tempat tidur dengan posisi menelungkup. Butiran kristal itu kembali keluar dari kedua bola matanya.

Sudah tiga hari Justin tidak pulang, dan selama tiga hari itu waktu tidurnya tidak normal. Dia hanya tidur 2 atau 3 jam. Selain itu, dia juga hanya akan keluar kamar jika ingin makan. Dia tidak ingin orang lain melihat lingkaran hitam di kedua bola matanya.

Dia sudah mencoba menelfon Justin, namun semenjak hari itu nomornya tidak aktif. Setiap menit dia menghubungi Justin, berharap laki-laki itu kembali mengaktifkan ponselnya. Namun, harapannya tidak terwujud.

Dia tidak tahu kemana Justin. Begitu juga orang rumah. Kepergian Justin diam-diam ini membuat hatinya sakit. Dia juga tidak tahu alasan Justin pergi. Ia rela jika Justin mendiamkannya, atau mungkin membentaknya terus menerus, asalkan laki-laki itu tidak pergi seperti sekarang. Meskipun laki-laki itu tidak mengajaknya bicara, setidaknya, dia bisa melihat wajah laki-laki itu. Tak masalah Jika laki-laki itu sudah tidak mencintainya, selama laki-laki itu masih bersamanya, itu sudah cukup.

The Half Blood Vampire 163

13 September 2012 pukul 23:34

Jeremy menatap Justin sedih. Sudah tiga hari ini, anak keduanya itu hanya duduk dengan pandangan lurus ke depan. Tidak makan dan tidak minum.

"sudah tiga hari kau meninggalkannya." ucap Jeremy dengan posisi berdiri disamping Justin.

Justin tak menyahut.

"apa tiga hari masih kurang untukmu berpikir?" tanya Jeremy.

Justin masih tak menyahut.

Jeremy mendesah. "aku tidak tahu isi surat itu, dan tidak berniat ingin tahu tentang isinya yang membuatmu kehilangan kepercayaan dirimu seperti ini."

Justin menunduk, membenamkan wajahnya pada kedua lututnya yang ditekuk. Helaan nafas berat terdengar kemudian. "kami tidak cocok."

"kau sudah mengucapkan itu berulang kali. Ucapanmu itu tidak akan memperbaiki keadaan." sahut Jeremy. "kalau kau merasa tidak cocok, bukankah sudah kusarankan untuk mengubahnya menjadi vampire?" ucap Jeremy lagi saat Justin tidak membalas ucapannya sebelumnya.

"aku tidak ingin dia jadi vampire."

"lalu, kau ingin jadi manusia seutuhnya agar kalian bisa dikatakan cocok? Itu tidak mungkin."

Justin mendesah berat.

"aku bukan Tuhan yang bisa membuat kepercayaan dirimu kembali. Hanya dirimu sendiri dan Tuhan yang bisa melakukannya." ucap Jeremy.

Tak ada sahutan.

Jeremy menghela nafas panjang. "perlu kau tahu, kepergianmu diam-diam ini membuatnya menderita. Aku kasihan melihatnya. Jadi, pulanglah. Akhiri semuanya."

Justin mengangkat kepalanya, lalu menatap Jeremy tak mengerti.

"aku tidak ingin dia terus sedih seperti itu. Menunggu sesuatu yang tidak pasti. Entah kapan kau akan mendapatkan kepercayaan dirimu. Jadi akhiri kesedihannya. Ceraikan Nicole." ucap Jeremy tegas.

Tubuh Justin menegang.

"kuharap sore nanti kau tiba dirumah." kata Jeremy sebelum keluar dari kamar tamu keluarga Butler.

Selama tiga hari belakangan, Justin memang tinggal dirumah Ryan, sahabatnya yang juga vampire campuran sepertinya. Tapi sebelum pergi kerumah Ryan, dia sempat pulang kerumah untuk mengambil beberapa pakaiannya, dan saat itu dia mendapati Nicole masih tertidur.

Justin membuka laci meja disamping tempat tidur, ia mengambil selembar foto disana, foto yang dibawanya saat akan pergi.

Ia menatap foto itu dengan tatapan sendu. Foto itu adalah foto ketika dia dan Nicole sedang dirumah sakit, diambil setelah Nicole melahirkan Leander dan Leandra. Di foto itu, dia menggendong Leandra, sedangkan Nicole menggendong Leander. Mereka tersenyum manis kearah kamera.

Air mata kerinduan mengalir dikedua bola mata Justin, meskipun ia tersenyum. Terlihat jelas kalau dia sangat merindukan orang-orang didalam foto itu, Nicole dan kedua anaknya.

Justin tersentak. Tiba-tiba ia merasa dicambuk. Dibangunkan dari tidur panjangnya. Ia mulai sadar, kelakuannya selama tiga hari ini benar-benar memalukan, bodoh.

Tidak seharusnya dia meninggalkan Nicole dan kedua bayinya. Wanita itu pasti kewalahan mengurus dua bayi sekaligus. Dasar bodoh!

Justin segera bangkit dari duduknya, dan berjalan kearah lemari, mengambil tasnya. Ia harus segera pulang, menemui istri dan kedua anaknya. Tidak peduli jika dia vampire sedangkan Nicole manusia, tidak peduli jika seluruh orang mengatakan mereka tidak pantas bersama, tidak peduli apapun yang terjadi. Karena apa? Karena dia mencintai wanita itu, begitu juga sebaliknya. Hanya itu yang perlu dia ingat, lalu Semuanya akan baik-baik saja. Ia yakin itu.

"aku tidak akan melepaskanmu. I promise."

---

"apa?! Dia masih belum mau pulang?" tanya Skandar kesal.

Jeremy memandang Skandar sekilas, lalu kembali menyesap kopinya.

"katakan padaku, dimana si bodoh itu?!"

"kenapa? Kulihat, kau ingin sekali bertemu dengannya?" tanya Jeremy.

"iya. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Saat ini, sudah tersusun 1001 tindakan yang akan kulakukan begitu aku bertemu dengannya."

Jeremy terkekeh kecil. "1001? Kau ini lucu sekali. Apa kau tidak lelah melakukannya?"

"tidak lucu Dad." ketus Skandar.

Wero yang duduk dihadapan Skandar tertawa melihat wajah cemberut kakaknya itu.

Saat itu mereka sedang di ruang makan. Jeremy, Skandar dan Wero.

"dan lagi, tapi kau menyuruhnya apa? Menceraikan Nicole?" tanya Skandar tak percaya.

Jeremy memegang pundak Skandar, menyuruh laki-laki itu untuk tidak melanjutkan ucapannya, karena ia tahu, saat ini Nicole sedang berdiri dibalik dinding. "jangan teruskan." desis Jeremy.

Karena tak mengerti, Skandar tetap melanjutkan ucapannya. "bagaimana kalau Justin benar-benar menceraikam Nicole? Apa yang harus kita lakukan? Apa yang akan kita katakan pada keluarga Chance?"

PRAAANGG!

Gelas yang saat itu berada digenggaman Nicole tiba-tiba terlepas, sehingga hancur berantakan. Jeremy, Wero dan Skandar langsung menoleh dan menadapati Nicole tengah menatap mereka bertiga dengan pandangan yang sulit di artikan.

"Dad, itu bohongkan?" tanya Nicole parau.

Belum sempat mendengar jawaban Jeremy, Nicole merasa pusing lalu tubuhnya oleng begitu saja, untung saja ada yang menangkapnya. Meskipun pandangannya kabur, tapi dia masih bisa melihat wajah orang itu. "Justin?"

dan semuanya gelap.

The Half Blood Vampire 164

14 September 2012 pukul 19:38

Justin membaringkan tubuh lemah Nicole di tempat tidur mereka. Dibelakangnya ada Jeremy, Skandar dan Wero.

"aku sudah menelfon dokter." ucap Jeremy.

Justin duduk ditepi tempat tidur, lalu menatap Jeremy sejenak. "terima kasih, Dad."

"aku kebawah dulu. Menunggu dokter itu datang." pamit Jeremy.

Tiba-tiba suara tangisan bayi terdengar di ruangan itu. Wero dan Skandar bergegas menghampiri kedua boks bayi, dan mendapati keduanya sedang menangis.

"mereka sepertinya haus." ucap Skandar, sambil menggendong Leander.

"iya." sahut Wero, ia juga memindahkan Leandra ke gendongannya.

Justin mengabaikan kedua saudaranya yang tengah berusaha menenangkan bayi-bayinya. Ia tetap fokus menatap Nicole yang masih memejamkan kedua matanya.

Wajah wanita itu pucat, dan terlihat sedikit kurus dari biasanya. Pasca sebulan setelah melahirkan, tubuh Nicole kembali seperti biasa. Ideal. Namun sekarang, baru tidak bertemu tiga hari, wanita dihadapannya ini sudah sedikit kurus, ditambah lagi lingkaran hitam dikedua bola matanya. Apa ini penderitaan yang dimaksud Ayahnya?

"berikan yang benar, jangan sampai keluar dari mulutnya."

Suara Wero membuyarkan fokus Justin dari Nicole. Ia menatap kedua saudaranya yang tengah memberikan sebotol susu pada bayi-bayinya.

"kau memberinya susu?" tanya Justin.

Wero mengangguk. "iya."

"bukan itu. Maksudku, apa itu Asi?" tanya Justin lagi.

Wero terkekeh. "tentu saja bukan. Ini susu bayi. Susu bubuk yang di beli Mom di supermarket."

"apa? Kenapa kalian memberinya susu itu? Kenapa bukan ASI? Kalian tidak tahu? mereka bahkan baru berusia dua bulan!" Protes Justin.

"bagaimana ingin memberi mereka ASI, kalau ASI Nicole tidak ada?" sungut Skandar. Kesal karena Justin membentaknya. Padahal laki-laki itu belum sampai 30 menit berada disana.

"kenapa bisa tidak ada?"

"tentu saja itu gara-gara dirimu!" ketus Skandar.

Justin mengernyit bingung. "apa?"

Wero langsung mengambil alih. "Mom bilang, Nicole tidak makan dan tidur dengan teratur, sehingga berdampak pada ASI-nya."

Perkataan Wero seperti cambuk baginya. Membuatnya semakin merasa bersalah pada Nicole.

"Justin, minggirlah dari sana. Dokter ingin memeriksa keadaan Nicole."

Jeremy masuk keruangan itu bersama laki-laki paruh baya yang membawa tas hitam.

Justin bangkit dari tepi tempat tidur, memberi ruang bagi dokter untuk memeriksa keadaan Nicole.

"keadaannya lumayan parah."

"seberapa parah?" tanya Justin cepat.

"dia sangat kelelahan. Waktu tidur yang kurang, pola makan yang tidak sehat dan tidak teratur, ditambah lagi, dia tidak mendapat sinar matahari sebagaimana semestinya, membuatnya tubuhnya semakin lemah." jelas sang dokter. "tapi tenang saja. Dia tak perlu di rawat dirumah sakit. aku sudah memasangkan infus padanya. Begitu cairan infus itu habis, hubungi aku lagi."

"baiklah."

"lalu berikan obat ini padanya. Ini adalah obat penambah nafsu makan."

"baik. Terima kasih."

---

Nicole membuka matanya yang terasa berat. Begitu matanya telah berfungsi dengan baik, rasa pusing kembali menyerang kepalanya. Ia memegang kepalanya dengan tangan kanannya. Tapi, ia merasa tangan kanannya sakit, seperti di tusuk sesuatu. Benar saja, di sana ada jarum infus yang tertancap.

Nicole mendesah berat. Pasti keadaannya sudah berada pada titik paling rendah, hingga dokter menusukkan jarum infus ditubuhnya.

"tunggu, aku di infus. Tapi kenapa aku tetap berada dikamar? Apa Justin....."

Nicole segera membekap mulutnya sediri. Sebelum kehilangan kesadaran, dia melihat orang yang menangkap tubuhnya. Orang itu adalah Justin.

Nicole mengedarkan pandangannya kepenjuru kamar. Namun dia tak mendapati siapapun disana, termasuk Leander dan Leandra. Ia segera merubah posisi tidurnya menjadi duduk bersandar pada kepala tempat tidur, lalu menyambar ponselnya dan segera menghubungi Justin.

Aktif!

Satu detik...dua detik....tiga detik..... Tidak diangkat!

Air matanya kembali mengalir. Belakangan ini dia merasa gampang menangis. Terutama jika menyangkut Justin. Air matanya akan mengalir dengan derasnya dan sangat susah untuk di hentikan.

Ceklek!

Nicole mendengar pintu kamar terbuka, namun dia mengabaikannya. Dia menunduk untuk menutupi air matanya. Dengan cepat, ia mengusap pipinya.

"ck, kau itu sudah memiliki dua anak, tapi kenapa masih hobi menangis? Apa karna aku tak mengangkat telfon darimu? Hey, aku hanya didapur, kau tak perlu menelfon. Cukup berteriak saja, aku pasti sudah mendengarnya."

Nicole berhenti mengusap pipinya begitu mendengar suara itu. Ia yakin suara itu milik Justin meskipun ia tak melihat wajah orang itu. Suara yang selama tiga hari belakangan ini terus terngiang ditelinganya. Membuatnya tersenyum dan menangis dalam waktu bersamaan.

Perlahan, Nicole mengangkat kepalanya. Matanya membulat tak percaya, namun tak dapat di pungkiri kalau hatinya sedang bersorak gembira melihat orang itu.

"Justin?" Nicole berujar ragu. Takut orang dihadapannya saat ini hanyalah halusinasinya.

Laki-laki itu tersenyum tipis. "it's me."

The Half Blood Vampire 165

18 September 2012 pukul 22:20

"it's me."

nicole tak dapat menahan senyumnya. Ia segera bangkit dari tempat tidur, melupakan infus yang melekat di pergelangan tangannya.

"aaaaauuw." ringis nicole sambil kembali duduk ditempat tidur, lalu memegangi pergelangan tangannya,

dalam hitungan detik, Justin sudah berada di hadapan Nicole. Ia meletakkan nampan yang berisi bubur serta susu di meja samping tempat tidur, lalu memegang pergelangan tangan Nicole dan memperhatikannya.

"ada apa?" tanya Justin sedikit panik.

Nicole menggeleng pelan, lalu dia menatap Justin lekat.

Justin sedikit salah tingkah, karena di tatap dengan tatapan seperti itu oleh Nicole. "kenapa? Ada yang sesuatu diwajahku?"

Bukannya menjawab, Nicole mengangkat tangan kirinya, dan mengarahkannya ke pipi Justin. Mengusapnya perlahan. "aku tidak bermimpi." lirih Nicole.

"kau memang tidak bermimpi."

hap!

Nicole langsung memeluk Justin, dan menangis di dalam pelukan itu. Kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan.

Dengan sedikit ragu, Justin mengusap rambut Nicole. Entahlah, dia merasa sedikit canggung, karena sudah tiga hari dia tidak bertemu dengan Nicole. Ditambah lagi, dia memang jarang melakukan adegan ini pada wanita itu.

"jangan pergi lagi." Nicole menggumam di sela tangisnya.

"tidak. Aku akan pergi." ucap Justin.

Nicole mengeratkan pelukannya. "aku minta maaf."

"minta maaf?" Justin bertanya.

Nicole melepas pelukannya, dan menatap Justin dengan matanya yang sembab. "aku minta maaf, walaupun aku tidak tahu salahku apa. Tapi, kau pergi pasti karena kesalahanku. Karena itulah, aku minta maaf."

Justin menatap Nicole tak percaya. Bagaimana mungkin wanita itu bisa berfikir kepergiannya adalah salah Nicole?

"dan aku mohon, benar-benar memohon. Apapun yang terjadi, apapun kesalahanku, jangan pernah tinggalkan aku. Tak apa jika kau mendiamkanku selamanya, menganggapku tak ada, atau bahkan kau sudah tak mencintaiku, tapi tetaplah bersamaku. Aku tahu ini egois. Tapi, hanya mempertahankanmu yang bisa aku lakukan. Aku....."

chu~

Nicole terdiam kala sesuatu yang lembab menempel di permukaan bibirnya. Membuat semua ucapannya terhenti seketika. Dan saat itu juga, Jantungnya langsung berdebar keras. Hal yang selalu terjadi jika dia melakukan sesuatu dengan Justin.

Justin tersenyum saat Nicole tidak bersuara lagi. Ia tak menyukai, sangat tidak menyukai semua kalimat yang terlontar dari mulut Nicole. Karena itulah, satu-satunya cara agar wanita itu tidak berbicara lagi hanyalah dengan menciumnya.

Nicole mengerang sambil memukul dada Justin dengan tangan kirinya karena dia mulai kekuarangan nafas.

Justin mengakhiri ciumannya dan tertawa lepas. Melihat Nicole kekurangan nafas membuatnya ingin tertawa. Wajah wanita itu terlihat lucu.

"teruslah tertawa." ketus Nicole.

Benar saja, Justin kembali tertawa.

Nicole mendesah. Tak lama kemudian, dia tersenyum. Betapa dia sangat merindukan laki-laki itu. "kau bisa mengabulkan permohonanku?"

"kenapa aku harus mengabulkan permintaanmu?"

Nicole menatap Justin tak percaya. "apa?"

Justin berdehem lalu menatap Nicole. "dengar, aku tidak mengabulkan permohonanmu karena apa? Karena aku tak akan pernah mendiamkanmu selamanya, aku tak akan menganggapmu tak ada, dan aku tak akan pernah berhenti mencintaimu."

Meskipun sudah berusaha menahannya, tetap saja cairan bening itu menetes dari sudut matanya. Lalu berubah jadi isakan kecil.

Justin kembali merengkuh Nicole kedalam pelukannya. Meredam tangis wanita itu. Astaga, bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan wanita ini?

"Dad bilang, kau akan menceraikanku." ucap Nicole.

"tidak." tandas Justin. "okay, ayo makan buburmu." ucap Justin lagi sembari melepas pelukannya.

Nicole mengusap air matanya. "dan pada akhirnya, Justin kembali pada sifatnya yang semula."

Justin tertawa.

"tapi, itu yang aku rindukan dari dirimu."

Justin mengarahkan sesendok bubur pada Nicole, lalu tersenyum. "aku juga merindukan dirimu yang kekanakan."

Mata Nicole menyipit. "sungguh, saat ini kau seperti Austin."

"apa? Kau menyamakanku dengan vampire itu? Astaga!" decak Justin tak terima.

Nicole tersenyum.

"kau itu....."

chu~

Kali ini Nicole yang membungkam mulut Justin. Entah kenapa, dia ingin mencium Justin. Namun, begitu dia akan menyudahinya, Justin menahan tengkuknya. Membuat ciuman itu terus berlanjut. Meskipun saat itu matanya terpejam, namun dia dapat merasakan Justin tengah tersenyum.

"kau benar-benar tidak seperti Justinku." ucap Nicole setelah menyudahi ciumannya.

"lihat ini!" ketus Justin sambil mengangkat tangan kanannya dihadapan Nicole. Memperlihatkan cincin pernikahan mereka.

"kau sangat.....agresif."

"apa? Aku.....agresif?" Justin menggeleng tak percaya. Apa benar dia seperti itu? Tapi dia merasa memang agak berbeda. Dia ingin mencium wanita itu setiap saat, kalau perlu dia melakukan hal yang seharusnya dilakukan suami istri. Oh Tuhan....

"JUSTIN! HENTIKAN PIKIRANMU ITU! ISTRIMU SEDANG SAKIT!"

Justin mengumpat pelan. Bagaimana Skandar bisa mengetahuinya? Pasti Dad. Oh my..

The Half Blood Vampire 166

22 September 2012 pukul 21:05

"bagaimana?" tanya Justin.

Beberapa saat yang lalu, Dokter baru saja kembali memeriksa keadaan Nicole. Ditemani Justin, dan seluruh anggota keluarga Bieber. Bagaimana pun mereka sangat khawatir pada keadaan Nicole.

"keadaannya sudah cukup membaik dari tadi siang. Jadi kurasa, dia tak perlu di pasangkan infus lagi." ucap sang dokter. "dia hanya perlu meminum obat yang tadi siang ku berikan, makan makanan berserat, dan usahakan agar dia berolahraga ringan di pagi hari selama seminggu ini." sambung dokter lagi.

Nicole mengangguk malas. "baik, dokter."

"kita akan berolahraga bersama, kakak." ucap Jaxon yang duduk di atas tempat tidur, tepat disisi Nicole.

"aku juga akan ikut." ujar Wero tak kalah semangat.

"ah, aku melupakan sesuatu." sang dokter berhenti melangkah. "kau juga harus meminum susu khusus ibu menyusui agar ASI mu kembali lancar."

---

"sudahlah. Jangan cemberut terus. Makan saja makan malammu." ucap Justin dari seberang meja. Saat itu Nicole, Pattie dan Justin sedang berada di meja makan.

Bagaimana tidak cemberut, kalau Justin menyuruhnya ke meja makan untuk makan malam. Padahal dia masih sedikit pusing, dan masih belum begitu bertenaga.

"kapan kau akan sembuh, kalau kau selalu tidur di tempat tidur, dan mengharapkan orang lain melayanimu?" ujar Justin sambil meminum secangkir minuman. Yang pasti bukan kopi.

"aku kan sudah bilang, aku masih sedikit pusing!" Nicole mengeraskan suaranya.

Ia benar-benar tak percaya pada perubahan sikap Justin yang luar biasa cepat. Bahkan siang tadi, ia merasa Justin sangat romantis. Menyebalkan!

"karena itulah, aku menyuruhmu makan malam disini. Agar pusingmu cepat hilang." balas Justin.

"makanlah Nic." ucap Pattie saat Nicole akan kembali membuka mulutnya.

Nicole menghembuskan nafas dengan kasar, tapi dia tidak membantah ucapan Pattie.

Begitu dia selesai makan malam, Justin meletakkan sebotol obat di hadapannya.

"minum obatnya. Dan sebelum tidur, jangan lupa minum susumu." Justin mengingatkan Nicole, seolah wanita itu masih anak kecil. "aku ingin ke hutan." sambungnya.

"kenapa harus sebelum tidur? Bagaimana kalau sekarang?"

"obatnya tidak akan bekerja kalau kau meminumnya bersamaan dengan susu."

"benarkah? Oh ya, ini obat apa?" tanya Nicole sambil memperhatikan pil kecil berwarna pink ditangannya.

"obat penambah nafsu makan."

Nicole menyipitkan matanya. "kau ingin aku gendut seperti waktu hamil, begitu?"

"tidak juga." bantah Justin. "hanya saja, lihat dirimu sekarang. Sudah seperti mayat hidup. Tengkorak berjalan. Kurus kering. Kau tau?"

"kau bilang aku mayat hidup? Dan....kurus kering?" protes Nicole sambil bangkit dari duduknya. "lihatlah dirimu! Kau fikir, tubuhmu ideal? Kau juga kurus. Tidak seperti Zayn!"

Justin ikut-ikutan berdiri. "kenapa kau membawa laki-laki itu dalam urusan ini?!"

Pattie jadi bingung sendiri melihat perdebatan di hadapannya. Hanya karena masalah pil, masalahnya jadi berkembang. Meskipun mereka berdebat, tapi Pattie dapat melihat pancaran kebahagiaan dari keduanya.

"dan kau juga tidak se-seksi Lauren!"

"astaga! Aku sangat terhina kau bandingkan dengan vampire tidak berguna itu! Huh!"

"aku juga terhina kau bandingkan dengan manusia seperti laki-laki itu!"

"cukup!!" lerai Pattie akhirnya.

Justin dan Nicole langsung terdiam. Mereka menatap Pattie yang sedang menatap mereka balik dengan tatapan kesal. Setelah itu, mereka kembali bertatapan dan....

"hahahahaha...."

Pattie hanya bisa menatap keduanya dengan kening berkerut. Bagaimana mungkin dua orang itu tiba-tiba tertawa bersama padahal baru saja mereka berdebat. Apa jangan-jangan saraf keduanya tiba-tiba rusak?

"kalian berdua sangat aneh."

"aku hanya bercanda, Mom. Aku tidak mungkin membanding Nicole dengan wanita itu." Justin kembali terkekeh. "mereka itu dua orang berbeda, yang tidak harus dibandingkan." ucap Justin lagi, sambil menatap Nicole tepat di manik mata. Membuat Nicole salah tingkah dan rona merah mewarnai pipinya.

Pattie menggelengkan kepalanya. "kalian membuatku cemas. Kupikir kalian benar-benar bertengkar."

Giliran Nicole terkekeh. "tidak Mom. Tidak akan."

"lalu, bagaimana masalah kemarin? Sudah kalian selesaikan?"

Nicole dan Justin saling tatap. Namun tak bersuara. Mereka sudah kembali duduk berhadapan.

"dengar. Kehidupan rumah tangga tak selamanya manis. Pasti akan ada 'gelombang' yang menerpa kalian. Disanalah kesetiaan dan kepercayaan kalian diuji. Seperti ujian setiap kalian naik kelas waktu sekolah."

Nicole jadi tertarik. "tapi, Mom dan Dad selalu baik."

"itu karena kami bisa melewati gelombang itu bersama. Bukan sendiri-sendiri. Apalagi Jeremy tidak pernah meninggalkanku ketika sebuah gelombang menerpa kami."

Nicole tertawa dan dengan jelas menatap Justin dengan tatapan 'ternyata, kau sangat berbeda dengan ayahmu'.

Membuat Justin mendengus.

"kau tidak akan pergi lagi bukan? Kau sudah mendapatkan kepercayaan dirimu?"

Justin menatap Nicole lekat, lalu tersenyum.

"kenapa kau menatapku seperti itu?" protes Nicole.

"I love you."

The Half Blood Vampire 167

29 September 2012 pukul 23:26

Justin's Pov

Ketika tengah malam, aku memutuskan untuk pulang, meskipun saat itu aku belum mendapatkan buruan. Telingaku sudah cukup panas mendengar sindiran yang di lontarkan oleh Skandar saat kami tak sengaja berdekatan. Misalnya ketika aku dan dia tidak sengaja akan menangkap tupai yang sama.

Skandar menghembuskan nafasnya kuat-kuat saat tupai itu kabur. "rasanya aku ingin menemui Taylor. Aku sangat merindukannya."

Wero yang mendengarnya mencibir. "bukankah saat di kampus kau tidak pernah berpisah dengannya? Seperti orang kembar siam saja. Kemanapun berdua, dan sekarang kau bilang, kau merindukannya? Astaga!"

Skandar mengerutkan kening. "benarkah? Rasanya aku sudah lama. Seperti 3 hari tak bertemu."

Aku hanya bisa diam. Pura-pura mencari buruan lain.

Wero berdecak. "sungguh berlebihan."

"itu karena aku mencintainya. Jadi aku tak bisa berpisah lama-lama dengannya." ucap Skandar.

"jadi kalau kau bisa berpisah dalam waktu lama, berarti kau tidak mencintainya, begitu?" Cody ikut ambil suara.

"yeah. Cintanya patut di pertanyakan." Skandar berdehem. "lebih baik melepaskannya, dari pada membuatnya menderita karena hubungan yang tidak jelas. Seperti orang bilang, 'gantung'."

Bahkan, saat aku sudah tiba di depan pintu kamarku, ucapan Skandar masih saja terngiang di telingaku. Semenjak bayiku lahir, aku memang selalu lewat pintu dapur, karena pintu balkon kamarku sengaja dikunci, agar vampire-vampire gila itu tidak bisa masuk lalu melakukan hal yang buruk pada Leander atau Leandra.

Mataku menyipit saat mendapati tempat tidur dalam keadaan kosong. Aku memeriksa boks bayi, dan mendesah lega saat bayi-bayi itu masih disana. Pertanyaannya sekarang, dimana Nicole?

Aku memeriksa kamar mandi. Kosong. Aku mencari keberadaan ponselnya. Masih di atas meja kecik disamping tempat tidur. Lalu lemari pakaian. Benar saja, semua pakaiannya masih tertata rapi. Setidaknya dia tidak pergi dari rumah ini dan meninggalkan Leander juga Leandra bersamaku. Bukannya aku tidak mau merawat mereka, hanya saja lebih baik aku kehilangan bayi-bayi itu dari pada ibunya.

Astaga! Jika saudaraku mendengar ucapanku itu, mereka pasti sudah mengejekku mati-matian.

"disini kau rupanya." Aku tersenyum lega.

Aku mendapati Nicole tertidur disofa ruang tengah. Bagaimana aku bisa tahu dia ada disini kalau lampu utama dimatikan? Aku melihat sebuah album di pangkuannya. Sepertinya dia tertidur saat tengah melihat album itu.

Album yang dipangkuannya adalah album diriku. Mulai dari aku kecil, hingga dilembar terakhir foto pernikahanku dengannya. Seingatku album itu di simpan diruang kerja Mom.

Aku memindahkannya dalam gendonganku, membawanya ke kamar berikut dengan album itu. Setelah dia ku rebahkan ditempat tidur, album itu ku letakkan di atas meja kecil disamping tempat tidur.

"selamat tidur." aku memberikan ciuman singkat di keningnya.

---

Author's Pov

Nicole membuka matanya perlahan. Senyum terukir indah dibibirnya. Dia bermimpi Justin mengangkat tubuhnya dari ruang tengah hingga kamar. Begitu dia sudah terbaring, laki-laki itu mengucapkan selamat tidur lalu mencium keningnya lembut.

"beautiful dream." gumam Nicole sambil memegang keningnya.

Sedetik kemudian Nicole tersadar kalau sekarang dia sedang berada dikamar, ditempat tidur. Padahal tadi malam dia di sofa ruang tengah. Apa jangan-jangan kejadian itu bukan mimpi? Jika itu kenyataan, berarti laki-laki itu punya sisi romantis juga.

Nicole mencari letak jam. Masih jam dua dini hari. Tapi kenapa kamarnya sedikit terang padahal lampu kamar dimatikan? Ia menemukan jawabannya saat melihat pintu balkon. Gorden pintu balkon itu dibuka, sehingga cahaya bulan bisa masuk ke kamar karena pintu balkon itu terbuat dari kaca.

"Justin?"

Nicole turun dari tempat tidur, lalu berjalan ke pintu balkon dengan perlahan. Ia menggeser pintu itu pelan, tanpa mengeluarkan bunyi. Sekarang, dia berdiri tepat dibelakang tubuh itu. Tubuhnya yang lebih tinggi darinya, yang ia yakini adalah Justin.

Hap! Nicole melingkarkan tangannya. Memeluk tubuh jangkung itu dari belakang.

Nicole merasakan tubuh Justin menegang untuk sesaat. Detik berikutnya, Justin kembali rileks. Tubuh Justin terasa sedikit dingin, mungkin karena terlalu lama berada diluar, apalagi dia hanya memakai kaos tanpa lengan.

Posisi seperti itu bertahan hingga beberapa menit. Sampai akhirnya Justin menurunkan tangan Nicole yang melingkari perutnya. Lalu, tanpa diperkirakan Nicole, Justin menarik kembali tangan Nicole dan menyandarkan punggung Nicole pada besi balkon, sehingga mereka berhadapan.

Ia dapat melihat wajah Justin dengan jelas. Karena wajah laki-laki itu terkena cahaya bulan purnama yang tengah bertengger dilangit. Mata laki-laki itu kuning. Tapi ia tidak takut. Sebaliknya, ia merasa tenang. Dia tahu itu aneh, tapi itulah yang dia rasakan. Ketenangan.

Detik selanjutnya Nicole bersorak dalam hati karena salah satu impiannya terwujud. Berciuman dengan orang yang dicintainya dibawah bulan purnama. Sungguh menyenangkan!

The Half Blood Vampire 168

7 Oktober 2012 pukul 7:50

Justin mengakhiri ciumannya, lalu menatap wajah Nicole. Wajah wanita itu terlihat memerah, membuatnya tersenyum kecil.

"maaf." ucapnya pelan.

Nicole menatap Justin tak mengerti. "kenapa?"

Justin mengangkat bahu. Ia juga tak mengerti kenapa dia mengucapkan kata maaf. "tidurlah. Ini masih dini hari." ucapnya sambil kembali melihat purnama.

Nicole menekuk wajahnya, lalu masuk kedalam.

Justin menatap kepergian wanita itu dengan kening berkerut. Tumben sekali wanita itu langsung mengikuti perintahnya.

Tak lama kemudian, Nicole kembali keluar dengan sebuah jaket di tangannya. Dia menyerahkan jaket itu pada Justin.

"pakailah. Kau pasti kedinginan karena memakai baju tidak berlengan seperti itu."

"kenapa aku harus memakainya?" tanya Justin.

"kulitmu dingin." ucap Nicole mulai jengkel. "cepat pakai!"

"kulitku dingin seperti ini karena saat ini aku adalah vampire." ucap Justin. "lagi pula, berani sekali dirimu memerintahku? Kau pikir kau siapa?!"

Nicole mendengus. "kalau kau tidak mau pakai ya sudah. Tidak perlu membentakku!" ketus Nicole sambil kembali masuk ke dalam, lalu melempar jaket Justin ke dalam lemari dengan kesal.

Ketika membalikkan badan, Nicole memekik tertahan karena dia hampir menabrak tubuh Justin yang sudah berada tepat dibelakangnya. Nicole mendongakkan kepalanya menatap wajah Justin, siap-siap memarahi pria itu. Tapi begitu matanya bertemu dengan mata kuning milik Justin, semua ucapannya berhenti di ujung lidah.

"aku tidak bilang aku tidak mau memakainya." ucap Justin.

"lalu?"

"ambillah jaket itu kembali, untukmu juga."

"ng?" Nicole mengerutkan keningnya.

Justin mendengus, lalu menggeser Nicole dari depan lemari. Ia mengambil jaket yang diberikan Nicole tadi, serta jaket milik wanita itu. "pakai ini." perintah Justin.

Nicole tetap memakainya dengan kening berkerut. "kita mau pergi?"

Justin tersenyum tipis. Penuh misteri. "ayo."

Begitu tiba di balkon, Justin menyuruh Nicole naik ke punggungnya. Nicole hanya menurut meskipun dia bingung. Setelah itu, Justin langsung melompat ke bawah membuat Nicole membekap mulutnya sendiri agar teriakannya tidak begitu terdengar. Tak sampai disitu, Justin kembali memanjat dinding rumah dengan cepat dan disinilah mereka, berdiri di atap rumah.

"bagaimana menurutmu?" tanya Justin setelah menurunkan Nicole.

"kau membuatku takut." gerutu Nicole.

Justin terkekeh, lalu langsung merebahkan tubuhnya di atap rumah yang miring, menatap purnama yang masih begitu terang.

Nicole melihat Justin yang tengah berbaring sambil memperhatikan purnama.

"akan lebih indah, jika kau melihat purnama seperti yang kulakukan." ucap Justin tanpa menatap Nicole.

Nicole berpikir sejenak. Akhirnya, dia memutuskan untuk duduk disamping laki-laki itu.

"kenapa kau tidak kehutan?" tanya Nicole setelah mereka saling diam cukup lama.

"tadi aku sudah ke hutan."

"iya aku tahu. Tapi kenapa hanya sebentar?"

"malas."

"malas?" Nicole tak percaya dengan pendengarannya. Rasanya sangat tidak mungkin seorang Justin bisa mengatakan kata itu.

"iya, aku sedang malas di hutan, jadi aku memutuskan untuk pulang." ucap Justin. "dan menurutku, saat ini kau seperti polisi yang sedang mengintrogasi seorang perampok bank."

Nicole menatap Justin kesal. "aku kan hanya bertanya kenapa kau bisa berada dirumah saat ini, padahal seharusnya....."

"oke oke." potong Justin.

Nicole mendengus, lalu segera menatap purnama.

"kau tahu kenapa aku memilih pulang kerumah, dari pada ke rumah pohon?"

"tidak." ketus Nicole.

Justin terkekeh. "baiklah. Karena aku ingin bersama keluarga kecilku."

Nicole tersendak ludahnya sendiri sehingga dia terbatuk-batuk beberapa kali.

"kau baik-baik saja?" tanya Justin panik.

"iya, aku hanya terkejut mendengar ucapanmu tadi."

"kenapa?" ucap Justin bingung.

"entahlah. Kurasa sangat aneh jika kau yang mengucapkan kata-kata itu."

Justin menatap Nicole tak percaya. Astaga! Aneh katanya? Istri macam apa dia? Harusnya dia senang suaminya mengucapkan kata-kata indah itu!

Nicole hanya bisa tersenyum kaku pada saat Justin menatapnya dengan kesal.

"memang susah berbicara dengan orang sepertimu!" ucap Justin. "ayo turun! Sudah jam 5, sebaiknya kau mulai lah berolahraga."

"sendiri?" tanya Nicole sambil naik ke punggung Justin.

"hmm."

"kejam sekali! Harusnya kau menemaniku!" ketus Nicole.

"Nic, kau nyaris mencekik leherku!" geram Justin. "lagi pula, kenapa kau bodoh sekali?! Tidak mungkin aku membiarkanmu olahraga sendiri."

"tidak mungkin?" ulang Nicole.

"iya." ucap Justin.

"berarti kau sangat mencintaiku ya? Aku jadi tersanjung." ucapnya sambil turun di gendongan Justin karena mereka sudah berada di kamar.

"kau juga sudah melahirkan Leander dan Leandra, berarti kau juga sangat mencintaiku ya? Aku juga ikut tersanjung." balas Justin sambil mengikuti gaya bicara Nicole.

Nicole terkekeh. "iya, tentu saja aku sangat mencintaimu." sedetik kemudian, Nicole baru menyadari ucapannya. "oh Tuhan." desis Nicole.

Ia mendapati Justin tengah tersenyum penuh arti padanya. "benar?"

Nicole langsung masuk ke kamar mandi.

The Half Blood Vampire 169

12 Oktober 2012 pukul 17:26

"dimana Nicole?"

Pertanyaan itu langsung menyambut Justin begitu laki-laki itu bergabung dengan keluarganya diruang makan.

"dia baru tidur 30 menit yang lalu." ucap Justin setelah memasukkan sepotong roti dalam mulutnya.

"baru tidur?" tanya Pattie tak yakin. "maksudmu dia tidak tidur semalaman dan baru tidur pagi ini?"

"iya." Cody menyerobot jawaban Justin. "semalaman mereka duduk bersama di atas atap memandangi purnama."

Pattie menatap Justin minta penjelasan. Bagaimana bisa laki-laki itu mengajak Nicole duduk semalaman diluar sedangkan wanita itu baru sembuh.

"bukan hanya itu Mom. Saat jam 5 pagi, mereka masuk kerumah, tak lama kemudian mereka sudah kembali keluar. Berjalan-jalan hingga jam 6. Setelah itu mereka baru masuk rumah." ujar Wero penuh semangat, padahal Justin sudah menatapnya dengan tatapan membunuh.

"kau menguntitku dan Nicole?!" seru Justin. Marah pastinya. "memangnya kalian tidak punya pekerjaan lain hingga mengikutiku?!"

Cody dan Wero tidak menjawab. Mereka lebih memilih diam dan meneruskan sarapan mereka. Karena melawan semua ucapan Justin, sama saja menceburkan diri ke dalam sungai yang penuh buaya.

"kenapa kalian diam saja?! Jawab pertanyaanku!"

Jeremy berdehem. Lalu berkata dengan tenang, "ini meja makan."

Justin mendesah keras, lalu kembali berkonsentrasi pada sarapannya. Meskipun vampire, ayahnya sangat menjunjung tinggi adab. Sebagai contoh, dia tidak suka ada keributan ketika di meja makan.

---

Sore itu, Nicole habiskan dengan berjalan-jalan di sekitar rumah bersama Skandar dan Taylor. Oh, tentu saja Leander dan Leandra ikut bersama mereka. Kedua bayi itu duduk didalam kereta dorong masing-masing.

Saat itu Justin memang belum pulang. Entah apa yang dilakukan laki-laki itu dikampus, tapi Nicole tak mencoba menghubunginya, karena mungkin saja laki-laki itu sedang berusaha mempelajari materi yang tertinggal selama beberapa hari belakangan.

"jadi kapan kalian menikah?" tanya Nicole saat melihat Taylor mencubit pipi Leandra karena gemas.

"menurutmu kapan kami harus menikah?" Skandar bertanya balik.

Nicole cemberut. "jawab pertanyaanku."

"kau juga harus menjawab pertanyaanku." balas Skandar.

"menurutku, secepatnya."

Skandar mengangguk-angguk beberapa kali. "okay. Secepatnya kami akan menikah. Kami akan mengikuti semua ucapanmu. Bukankah begitu, sayang?"

Taylor tersenyum manis. "ya. Tentu saja."

Nicole hanya bisa menggelengkan kepalanya. Pasangan aneh. Pikirnya.

Langkah Nicole terhenti di depan rumah baru yang dibangun disamping rumah keluarga Bieber. Rumah itu baru selesai dibangun beberapa hari yang lalu. Dan setiap melihat rumah itu, Nicole merasa ada yang janggal. Tapi hingga sekarang dia belum tau itu apa.

"kenapa berhenti?" tanya Skandar bingung.

"aku merasa ada yang janggal dengan rumah ini." ucap Nicole.

"benarkah?" tanya Skandar setengah tertawa.

"kenapa kau tertawa? Ada yang lucu?" Nicole menatap Skandar bingung.

"tidak ada yang lucu, adik ipar. Ayo, kita harus masuk. Bukankah kau ingin memandikan si kembar?" oceh Taylor.

Karena masih tak menemukan kejanggalan, Nicole kembali mendorong kereta Leander sedangkan Leandra bersama Skandar.

Setelah selesai mandi dan berpakaian, Leander dan Leandra kembali kedalam pelukan Skandar dan Taylor. Mereka berkata akan mengajak bayi-bayi itu jalan-jalan. Nicole bisa bernafas lega, karena dia bisa mandi dengan bebas tanpa harus khawatir pada anak-anaknya.

Ceklek!

Dengan panik Nicole menutup tubuhnya dengan baju yang baru saja diambilnya dari lemari. Dia sedang memilih pakaian yang akan digunakannya saat pintu kamar tiba-tiba terbuka.

Sedetik kemudian, Justin masuk kedalam kamar tersebut. Laki-laki itu terlihat mengedarkan pandangannya ke penjuru ruangan dan pandangannya bertemu dengan mata cokelat milik Nicole.

"kau membuatku kaget." ucap Nicole. "masuk tiba-tiba."

Justin hanya menatap Nicole sejenak, lalu melempar tasnya ketempat tidur dan masuk kedalam kamar mandi.

"sungguh aneh." gumam Nicole. Ia segera memakai bajunya.

Ia memindahkan tas Justin ke meja belajar milik laki-laki itu. Namun, saat melihat deretan buku disana, ada sebuah benda yang membuatnya tertarik. Ia mengambilnya, ternyata itu sebuah album.

"aku tidak pernah melihat album ini sebelumnya." gumam Nicole.

Nicole membaca sebuah kalimat yang tertera di depan album itu.

My Family.

Wanita itu semakin bingung. Setahunya, semua album foto ada di ruang kerja Pattie. Setengah ragu, Nicole membuka album itu. Foto yang pertama kali itu membuatnya terkejut. Foto pernikahannya dan Justin. Dibawahnya ada tulisan tangan Justin. Me & my wife. Dibaliknya lagi. Fotonya saat di kelas. Terlihat jelas foto itu diambil diam-diam. Karena dia tidak melihat pada kamera. Dibawahnya ada tulisan. Beautiful girl. Senyum Nicole terkembang.

Dia ingin melihat foto selanjutnya, tapi sepertinya Justin sudah selesai mandi. Nicole segera menyembunyikan album itu di dalam laci meja rias. Justin pasti tidak tau. Jadi, besok dia bisa melihatnya lagi.

Ah~ beautiful girl....

The Half Blood Vampire 170

14 Oktober 2012 pukul 17:47

Nicole terbangun ketika mendengar suara gaduh di sekitarnya. Dengan berat hati, wanita itu membuka matanya.

"hoaam...kenapa berisik sekali?" gumam Nicole sembari duduk di tempat tidur.

"kemana benda itu pergi?!"

Akhirnya kesadaran Nicole terkumpul penuh. Begitu otaknya bisa menganalisis apa yang ditangkap matanya, dia hanya bisa terpaku.

"Justin....apa yang terjadi dikamar ini?"

Kamarnya yang berukuran luas itu terasa sangat sempit sekarang. Meja belajarnya dan Justin terlihat kosong karena Buku-buku berserakan dilantai, seluruh pintu lemari terbuka dan tentu saja isinya berantakan.

Nicole bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke arah dua boks bayi. Takut kalau Justin juga menggeledah boks itu, dan mengabaikan bayi yang berada didalamnya.

Blaaam!

Pintu lemari berdentum keras karena Justin membantingnya. Tak lama setelah itu, terdengar tangisan bayi-bayinya.

"kau membuatnya kaget!" seru Nicole kesal.

Justin hanya menatap Nicole sekilas lalu kembali mengobrak abrik lemari.

Nicole menggendong Leandra. "Skandaar!!"

Sedetik kemudian, Skandar datang. Reaksinya sama seperti Nicole. Terlihat sangat kaget.

"kamar kalian terkena tornado?" tanya Skandar.

Nicole melirik Justin sekilas. "lebih buruk. Terkena badai, tak lama setelah itu diluluh lantakkan tsunami."

Skandar tertawa. "ada-ada saja."

"tolong tenangkan Leandra. Aku harus menggendong Leander. Kita harus mengamankan bayi-bayiku ini." ujar Nicole sambil menyerahkan Leandra pada Skandar.

Begitu tiba diruang tengah, Nicole menyerahkan Leander yang masih menangis pada Wero. Dia meminta tolong agar saudara kembar Justin itu memberikan susu pada bayinya itu, begitu juga dengan Skandar.

"kau inikan ibunya. Kenapa harus aku yang menenangkannya?" protes Wero.

"aku harus minta penjelasan pada saudara kembarmu karena sudah membuat kamar seperti kapal pecah." ujar Nicole cepat.

Wero hanya bisa mengerutkan keningnya karena ucapan Nicole terlalu cepat.

Blaaamm!

Suara dentuman itu kembali terdengar begitu Nicole tiba dikamar.

"apa yang kau lakukan, hah? Kau membuat Lean dan Leane terkejut." Nicole memberanikan diri membentak Justin.

"sebuah benda." ujar Justin singkat.

"benda? Apa itu?" tanya Nicole sambil duduk di tempat tidur.

"sesuatu yang sangat penting."

Nicole mengernyit bingung. Apa sesuatu yang sangat penting itu sampai-sampai Justin membuat kamar mereka berantakan? Apa jangan-jangan album yang dia temukan kemarin? Berarti album itu milik Justin yang sangat pribadi, sehingga dia tidak menunjukkannya pada orang lain?

"jangaaan!" Nicole langsung histeris begitu Justin ingin membuka laci meja rias.

Justin menatap Nicole aneh. "kenapa?"

"aku...laci itu tempat...."

"tempat apa?" tanya Justin tak sabaran.

"tempat pakaian dalamku." Nicole merutuki dirinya karena memberikan alasan yang membuatnya malu.

Justin menatap Nicole dengan pandangan yang sulit di artikan. Beberapa detik kemudian, Justin langsung melengos kearah lain. Nicole dapat melihat wajah laki-laki itu memerah. "aku ingin mandi." ucap Justin akhirnya. "kau tak perlu membenahi kamar ini, biar aku yang melakukannya pulang kuliah nanti."

Nicole menghembuskan nafas lega begitu laki-laki itu masuk ke kamar mandi. Meskipun membuatnya malu, setidaknya Justin tidak jadi membuka laci itu.

---

Kamar itu baru selesai dia benahi ketika jam sudah menunjukkan pukul 13.00. Meskipun Justin berjanji akan membersihkan sepulang kuliah, tapi sebagai istri harusnya dia sadar diri. Jadi dia merapikannya.

Nicole menghempas dirinya ditempat tidur dengan album milik Justin di genggamannya. Justin baru saja menelfonnya, mengatakan kalau laki-laki itu akan kembali pulang sore. Jadi dia bisa dengan leluasa membuka album itu.

"ternyata kau sangat menyukaiku ya." gumam Nicole saat ia kembali menatap fotonya yang diambil secara diam-diam oleh Justin.

Lembar berikutnya foto mereka berciuman di taman. Seingatnya saat itu mereka tengah piknik. I kiss her.

Nicole tersenyum kecil mengingat moment itu. Saat itu Justin memberikan contoh pose foto orang dewasa.

Sekarang aku tahu, dia hanya ingin menciumku. Dasar vampire. Batin Nicole.

Lembar selanjutnya Nicole tersentuh. Dialbum itu, diselipkan surat pemberitahuan tentang kehamilannya. Sepertinya romantis cukup menggambarkan perilaku Justin. Benar kata Skandar. Cuek tapi peduli.

Nicole membenamkan wajahnya pada bantal untuk menutupi rona merah serta cengiran di wajahnya. Sikapnya saat ini sudah seperti remaja shs yang baru saja di ajak kencan oleh orang yang disukainya.

"kau membuatku gilaa!" erang Nicole.

Semakin jauh membuka album itu, semakin bahagia perasaan Nicole. Ternyata Justin juga menyimpan foto usg Leander dan Leandra. Dan foto terakhir di album itu adalah fotonya dan Justin dengan Leander dan Leandra di gendongan mereka. Dan tulisan dibawahnya membuat Nicole semakin bahagia.

They are my live now, tomorrow and forever.

TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT SETELAH MEMBACA!

Continue Reading

You'll Also Like

99.9K 8K 40
Ini tentang Ghia yang masih belajar memaknai apa itu cinta. Dihadapkan dengan cowok most wanted yang menariknya ke sebuah hubungan yang membuat Ghia...
495K 37K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
4.9M 183K 14
Series #2 Fantasi Damn My Mate Is A Nerd [Baca dulu cerita Mine] Hai, namaku Kelvin. Aku anak pertama dari pasangan teromantis sepanjang massa, sia...
79.9K 7.8K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...