The Half Blood Vampire

By TaniaMs

1.7M 60K 1.1K

Nicole seorang gadis biasa yang baru menginjak semester kedua di kampusnya. Dia berharap masa remajanya dapat... More

The Half Blood Vampire
The Half Blood Vampire 1-5
The Half Blood Vampire 6-10
The Half Blood Vampire 11-15
The Half Blood Vampire 16-20
The Half Blood Vampire 21-25
The Half Blood Vampire 26-30
The Half Blood Vampire 31-35
The Half Blood Vampire 36-40
The Half Blood Vampire 41-50
The Half Blood Vampire 51-60
The Half Blood Vampire 61-70
The Half Blood Vampire 71-80
The Half Blood Vampire 81-90
The Half Blood Vampire 91-100
The Half Blood Vampire 101-110
The Half Blood Vampire 111-120
The Half Blood Vampire 121-128
The Half Blood Vampire 129-139
The Half Blood Vampire 140-149
The Half Blood Vampire 161-170
The Half Blood Vampire 171-180
The Half Blood Vampire 181-185
The Half Blood Vampire 186-191 [END]
Terima Kasih
[EDISI KANGEN] 1
[Edisi Kangen] 2
[Edisi Kangen] 3

The Half Blood Vampire 150-160

72K 2.2K 49
By TaniaMs

part 150

Nicole mendesah keras-keras saat Justin terus berusaha membangunkannya. Dengan susah payah, Nicole membuka matanya yang terasa berat. Belakangan ini, semenjak usia kandungannya memasuki bulan ke delapan, dia sedikit malas bangun. Tapi menurut Justin, dia memang sudah malas bangun pagi semenjak dulu.

"SKANDAR???!!"Seru Nicole terkejut. "Apa yang kau lakukan disini?!"

Skandar mendesah putus asa. "Tentu saja membangunkanmu adik ipar!"

Nicole duduk perlahan. Perutnya yang saat ini sudah cukup besar, tidak memungkinkan lagi baginya untuk duduk tiba-tiba, atau secara cepat. "Dimana Justin?"

Skandar melihat jam tangannya. "Kurasa, saat ini dia masih belajar."

"APA??!" Nicole kembali berseru. Ia segera melihat jam. 8.30.

Skandar mengusap telinganya. "Jangan berteriak di telingaku, Nic!"

"Jadi Justin sudah pergi?!" Tanya Nicole tak percaya. "Dia meninggalkanku ketika aku masih tidur? Apa dia tak mau mengantarku ke tempat Mom?" Nicole merengek.

"Wow! Tahan Nic, jangan menangis, oke?" Ucap Skandar sedikit panik. Saat ini hanya dia dan Nicole di rumah, karena dia memang tidak kuliah. karena itulah, dia menyuruh Justin pergi kuliah sementara Nicole masih tidur agar adiknya itu tidak terlambat. Ia tidak tahu kalau reaksi Nicole akan kecewa seperti ini.

"Sudahlah, aku mau tidur lagi." Ketus Nicole, dan kembali membaringkan tubuhnya di tempat tidur.

"Tapi Nic, kau sarapan dulu, minum susu baru tidur lagi. Bagaimana?" Tawar Skandar.

Dari dalam selimut dia menggeleng. "Tidak mau." Ia sedang kesal pada Justin karena Justin pergi kuliah tanpa membangunkannya, dan pamit padanya.

Skandar menggaruk tengkuknya bingung. "Tapi Justin menyuruhmu sarapan paling lambat jam 8.30 Nic."

Nicole mengeluarkan kepalanya dari selimut. "Aku tidak mau mendengarkannya. Terserah dia saja."

"Tapi Nic, kalau dia mengomel padaku bagaimana?" Skandar memohon. "Kau kan tahu, dia itu memang adikku, tapi kadang-kadang dia bisa bersikap seperti kakakku!"

"Tutup saja teligamu kalau dia mengomel." Ucap Nicole. "Sudahlah! Keluar sana! Aku ingin tidur."

Saat Skandar akan kembali membujuk Nicole, ponselnya berbunyi. "Lihat, dia sudah menelfonku!" Keluh Skandar pada Nicole karena orang yang menelfonnya adalah Justin. Dengan malas, Skandar mengangkat telfonnya.

"Halo?"

"......"

"Belum, dia.."

"........"

"Oke." Ujar Skandar patuh. Terpaksa. Padahal saat ini dia ingin berteriak di depan wajah Justin.

"Kau tahu apa katanya barusan?"

Nicole menggeleng.

"Dia mengataiku bodoh! Kakak tidak berguna, dan tak bisa diandalkan!" Skandar mengucapkannya dengan berapi-api.

Nicole terkekeh kecil. Justin itu memang kurang ajar.

"Dasar adik kurang ajar! Seharusnya, dia tidak berkata seperti itu pada kakaknya! Dia itu tidak tahu sopan santun! Satu-satu adikku yang kurang ajar hanya dia! Apa jangan-jangan dia bukan adikku? Dia sangat berbeda dengan Wero, kau tahu? Menurutmu bagaimana?"

Nicole menggeleng lagi.

"Sudahlah! Aku bisa gila mengingat kata-kata dia terus!' Skandar meNgibaskan tangannya. "Sekarang, cepat kau bangun lalu sarapan!" Sambung Skandar.

"Eeeerrgh! Aku kan sudah bilang tidak mau!" Bantah Nicole.

Skandar mendesah. Kali ini dia sudah tidak bisa bersabar lagi. Dia juga tak ingin bayi Nicole kekurangan gizi. "NICOLE!" Bentak Skandar. Skandar mempertahankan wajah kesalnya, padahal, dia paling tidak bisa memarahi orang.

Nicole terkejut. Tidak menyangka Skandar akan membentaknya. "Yyy..ya?" Ucap Nicole takut-takut.

"Aku-mau-kau-turun-lalu-habiskan-sarapanmu!" Skandar mengeja tiap katanya.

"Baik." Ucap Nicole tanpa membantah lagi.

Nicole memakan makanannya dalm diam, sementara Skandar duduk di hadapannya. Dia tidak berani menatap Skandar, atau megajak Skandar berbicara karena masih syok atas kejadian tadi.

"Makananya enakkan?" Tanya Skandar. Dia juga merasa bersalah karena sudah membentak Nicole dan sekarang adik iparnya itu tidak mau berbicara dengannya.

"Enak." Ucap Nicole tanpa menatap Skandar. Dia tetap menunduk.

"Eerrr... Soal yang tadi, aku minta maaf ya? Aku tidak bermaksud membentakmu." Ucap Skandar. "Aku hanya ingin kau sarapan, itu saja."

Nicole menatap Skandar dan tersenyum manis, "tidak. Aku yang harus minta maaf. Karena aku, kau jadi di marahi Justin." Ucap Nicole.

Skandar terkekeh. "Dia kan memang seperti itu."

"Oh ya Skand, kapan ulang tahun Justin?" Tanya Nicole sambil membersihkan mulutnya.

Skandar berpikir sejenak. "Ulang tahun Justin? Berarti ulang tahin Wero juga ya?"

"Iya. Kapan? Aku ingin memberi mereka kejutan."

"Astaga! Ulang tahun mereka hari ini!" Seru Skandar. "Kenapa tidak ada yang ingat?! Demi Tuhan, ada apa dengan seluruh penghuni rumah ini?!"

Mata Nicole melebar. "Kau serius?"

"Aku tidak bercanda Nic!" Tukas Skandar. "mom pasti sangat sibuk, sampai-sampai melupakan ulang tahun Wero dan Justin!"

"Apa yang akan kita lakukan?!" Seru Nicole.

"Biasanya, aku dan Cody akan memberikan hasil buruan pertama kami pada mereka berdua."

Nicole bergidik takut. "Darah, maksudmu?"

Skandar mengangguk, "tentu saja."

Nicole menggelengkan kepalanya. "Itu pasti sangat menjijikkan."

Skandar tertawa. "Bukannya kau dulu sangat menginginkannya?"

Nicole menggeleng. "Terkutuklah diriku, kalau aku sampai menginginkan darah hewan itu."

Skandar tertawa lepas. "Kau ini benar-benar!" Ucapnya.

Hening.

Nicole ingin memberikan kejutan pada Justin, seperti yang Justin pernah lakukan padanya.

"Aku tahu kejutan yang harus kau berikan pada Justin!" Seru Skandar.

-----

"Happy birthday, Wero!" Seru Nicole, Skandar dan Cody begitu Wero memasuki rumah.

Wero membekap mulut, terharu. "Huaaa, terima kasih!"

"Ayo tiup lilinnya!" Seru Cody.

Saat itu baru Cody, Nicole dan Skandar yang memberikan kejutan pada Wero. Sedangkan Justin masih belum pulang. Termasuk pattie, Jeremy, Jazzy dan Jaxon.

"Yeeee!!!" Mereka kembali berseru saat Wero selesai meniup lilinnya.

Tiba-tiba mereka terdiam saat mendengar suara mesin mobil. Justin.

"Kau paling depan Nic!" Ucap Skandar.

Mereka bersembunyi di balik dinding penghubung ruang tengah dan ruang tamu.

"Aku pulang!"

"Happy birthday, Just?!" Ucap Nicole sambil berdiri di hadapan Justin,

Justin menatap Nicole tak percaya. Ia sangat kesal saat pulang dari hutan tadi pagi, karena Nicole tidak mengucapkan selamat ulang tahun padanya. Bertambah kesal saat Nicole tidak mau di bangunkan. Dan sekarang, wanita itu berdiri di hadapannya sambil memegang kue, dan mengucap kata-kata itu padanya. Dia langsung memeluk Nicole.

"Terima kasih, Nic" bisik Justin di telinga Nicole.

"Sama-sama" ucap Nicole.

"Sudah! Jangan berpelukan terlalu lama. Tiup lilinnya. Nicole sudah punya hadiah khusu untukmu." Sahut Skandar. Merusak moment romantis yang sudah tercipta. Bahkan, Justin sudah hampir mencium Nicole, kalau Skandar tidak bersuara.

Justin menata Skandar tajam. Seolah mengisyaratkan 'tunggu pembalasanku' "baiklah. Aku harus mengucapkan permohonan ya?" Tanya Justin,

Nicole mengangguk. "Tentu saja!"

Justin tersenyum, lalu mulai memejamkan matanya.

"Tuhan, aku ingin Nicole selamat saat persalinannya nanti. Aku ingin bayi-bayiku sehat. Dan terakhir, aku ingin hidup bersama mereka sampai akhir hayatku."

Fuuuuh!

"Yeee!!!" Mereka kembali berseru.

"Ayo Nic, kadomu! Berikan padanya." Ujar Skandar.

Nicole tersenyum, "pegang kue ini, Cody." Nicole menoleh pada Justin. "Tutup matamu."

"Kau ingin menciumku, ya?" Tebak Justin sambil menutup matanya.

"Itu pasti harapanmu!" Ketus Wero.

Nicole pun pergi kedapur tempat dia meletakkan kad untuk Justin. Skandar bilang, Justin sangat menyukai sesuatu yang akan diberikannya ini. Sambil tersenyum kecil, Nicole berdi di depan Justin.

"Nicole memberinya 'itu'?" Tanya Wero tak percaya.

"Sudah! Kau diam saja! Ini ideku!" Jawab Skandar kesal.

"Tapi, Justin...."

"Tutup mulutmu!" Ujar Skandar lagi.

Nicole menarik napas, "oke, kau bisa membuka matamu." Ucap Nicole.

"1...2...3!"

"AAAAAAAAAAAA!!!!!!!" Justin berteriak histeris. "KUCIIIIINNGGG" Justin langsung lari kearah tangga, dan masuk kekamarnya.

Kucing dalam gendongan Nicole langsung kabur entah kemana, karena terkejut mendegar jeritan Justin.

"Hahahahahahahaa!!!" Skandar langsung tertawa terbahak-bahak bersama Cody.

Sedangkan Nicole tak tahu harus berbuat apa. Skandar bilang, Justin menyukai kucing. Lalu kenapa sekarang Justin malah kabur?

"AKU BENCI KUCING NICOLEEEE!!!!" Justin berteriak kesal dari lantai atas.

part 151

Nicole bertopang dagu di meja makan. Sekarang sudah sore. Semenjak ia memberikan kucing pada Justin tadi siang, laki-laki itu tak pernah lagi mengajaknya berbicara. Termasuk saat makan siang. Justin hanya menyantap makanannya tanpa menoleh sedikit pun padanya. Dan setelah itu, laki-laki itu pergi keluar dan sudah sesore ini masih belum pulang.

Nicole mendesah untuk kesekian kalinya.

“berhentilah mendesah Nic.” tegur Skandar yang saat itu melewati ruang makan. “suami tercintamu itu pasti akan pulang.”

Nicole memberengut.

“percuma dia pulang, kalau tidak bicara padaku!”

Skandar terkekeh.

“itu kan karena kau memberinya kucing. Kau ini bagaimana? Suamimu takut kucing, tapi kau malah memberikan kucing padanya.”

wajah Nicole semakin kusut. “aku kan tidak tahu kalau dia takut kucing!” katanya kesal.

“lagi pula, itukan idemu! Kupikir Justin benar-benar menyukai kucing!”

Skandar kembali tertawa.

“makanya, lain kali, jangan dengarkan kata-kata Skandar lagi!” sahut Wero yang baru bergabung dengan mereka.

“tapi tidak semua kata-kataku bohong!” sungut Skandar.

Wero memutar bola matanya. “tidak semua.” katanya. “tapi hampir semua ucapanmu tidak pernah benar.”

“issh kau!” Skandar sudah hampir melempar Wero dengan buah jeruk jika gadis itu tidak segera masuk ke dapur. Skandar beralih pada Nicole yang tengah menelungkupkan kepalanya diatas meja makan. “kau telepon saja dia. Lalu minta maaf. Dan bilang, kau tidak tahu kalau dia benci kucing.”

Nicole mengangkat kepalanya lalu berteriak kesal. “ini semua karena dirimu! Bukankah sudah ku katakan? Dia tidak mau berbicara denganku! Kalau aku menelfonnya, otomatis dia tidak akan mengangkat telepon dariku!”

Skandar mengangkat bahu tak peduli. “sekarang terserah kau saja. Aku sudah memberi saran, so, aku bebas dari tanggung jawab.” katanya santai. “lagipula, aku ingin tidur. Bye adik ipar!”

Nicole menghembuskan nafas keras-keras begitu Skandar hilang dari pandangannya. “bagaimana caranya aku minta maaf?” gumamnya. “lagipula, ini juga salahku. Bagaimana mungkin aku tidak mengetahui apa yang tidak disukai suamiku sendiri? Istri macam apa aku ini?”

“kau sudah jadi istri yang baik Nic.” sahut Wero sambil berjalan menuju ruang tengah. Menonton bersama Cody.

Nicole melihat jam tangannya. Sudah jam 5 lebih sepuluh menit. Sedangkan Justin pergi sejak jam 2 tadi siang.

Nicole menatap layar ponselnya yang menampilkan nomor ponsel Justin. Ia sedang bingung. Ia ingin menelfon Justin, tapi takut tidak diangkat. Sedangkan kalau dia tidak menelfon, dia penasaran dimana keberadaan Laki-laki setengah vampire itu.

Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri, akhirnya Nicole memutuskan untuk menelfon Justin. Namun, begitu ia menghubungi laki-laki itu, bukannya masuk, panggilan itu malah dijawab oleh operator yang menyatakan nomor Justin tidak aktif.

“kau dimana Justin!?” erang Nicole.

---

Nicole tengah berbaring di tempat tidur begitu pintu kamarnya terbuka. Masuklah Justin dengan wajah datarnya seperti biasa, namun laki-laki itu terlihat membawa kantong belanjaan. Seperti dari mall.

Nicole segera melihat jam. 6.50 pm. Setengah ragu Nicole memanggil Justin. “Justin?”

Justin tak menjawab. Ia terus melanjutkan kegiatannya yang tengah membuka kemeja yang dia gunakan seharian ini.

Nicole berdehem dan kembali memanggil Justin. “Justin?”

Lagi-lagi tak ada jawaban. Justin berjalan kesudut ruangan mengambil handuk.

“Justin?” panggil Nicole lagi.

Langkah Justin terhenti begitu tiba didepan pintu kamar mandi. Dia berbalik dan menatap Nicole kesal. “kau itu mau bicara apa? Sedari tadi hanya memanggil namaku terus?!”

“eerr...tidak jadi.” ucap Nicole. Nyalinya langsung ciut saat mendengar nada suara Justin.

Justin mendesah. Lalu bersidekap, tanpa mengalihkan pandangannya dari Nicole. “katakan saja apa yang ingin kau katakan. Sebelum aku benar-benar masuk ke kamar mandi.”

“kau....soal tadi siang itu... Kau marah padaku?”

“siapa yang tidak marah kalau diberi sesuatu yang paling dia takuti?” Justin bertanya balik.

Nicole menggaruk tengkuknya bingung. “kalau aku minta maaf, kau mau memaafkanku tidak?”

Justin mengangkat bahu. “ya. Jika kau benar-benar minta maaf.”

“aku benar-benar minta maaf.” sahut Nicole cepat.

Justin mengerutkan keningnya, terlihat berpikir keras. “akan ku pertimbangkan permintaan maafmu.”

blaaam. Justin menutup pintu kamar mandi dengan sedikit keras.

Nicole langsung mendesah keras. “kenapa permintaan maafku harus di pertimbangkan dulu?! Dasar vampire aneh!” gerutu Nicole. “aduuh!” Nicole mengerang karena perutnya di tendang dari dalam. “astaga! Kalian berlebihan sekali. Hanya karena mom bilang Daddy kalian vampire aneh, kalian langsung marah.” Nicole mengusap perut besarnya.

15 menit kemudian, Justin keluar dari kamar mandi, sudah rapi dengan kemeja ungu yang lengannya dia gulung hingga siku yang dipadukan dengan celana jeans putih. Mata Nicole menyipit melihatnya.

“kau mau kemana?” tanya Nicole penasaran bercampur curiga.

part 152

Dengan hati-hati, Nicole menuruni tangga. Mulai hari ini, dia tidak akan pergi ke butik lagi sementara Justin pergi kuliah, karena jadwal kuliah Cody, Skandar dan Justin tidak ada yang bersamaan, jadi mereka bisa menemani Nicole dirumah.

Nicole pun duduk diruang tengah. Hanya duduk disana, tanpa melakukan apa-apa. Hanya saja, pikirannya dipenui kejadian yang di alaminya tadi malam.

"kalau kau terus tersenyum seperti itu, orang bisa menganggapmu gila." tiba-tiba saja Cody muncul lalu duduk di samping Nicole dan menghidupkan tv.

"ish! Kau ini mengganggu saja!" gerutu Nicole.

"ehem!" tiba-tiba Skandar juga ikut duduk di sampingnya.

Nicole memutar bola matanya. Pasti laki-laki ini akan menggodanya.

"bagaimana dia tidak tersenyum kalau pikirannya di penuhi moment dinner romantis bersama Justin tadi malam?" kata Skandar.

---

"kau mau kemana?"

Bukannya menjawab, Justin malah mengambil kanton belanjaan yang dia bawa tadi dan menyerahkannya pada Nicole.

"gunakan pakaian yang ada didalamnya kalau kau ingin di maafkan." katanya datar, lalu keluar dari kamar.

Nicole pun mengeluarkan pakaian yang dimaksud Justin. Matanya membulat begitu menyadari kalau itu adalah gaun malam. Gaun itu berwarna ungu, persis dengan kemeja Justin, berlengan tiga perempat, dan panjangnya mencapai mata kaki. Gaun itu lumayan besar dan sepertinya sangat cocok untuknya yang sedang hamil.

Setelah selesai berdandan, Nicole keluar dari kamar lalu menghampirinya diruang tengah. Ternyata, dia sana ada seluruh keluarga kecuali Wero, karena sepengetahuannya Wero pergi keluar dengan teman-temannya.

"kakak, kau cantik sekali."

"tentu saja!" sahut Justin tanpa sadar. Sedetik kemudian, dia menyadari kebodohannya karena semua orang menatapnya dengan senyum penuh arti. Justin berdehem, lalu berdiri. "baiklah. Aku dan Nicole pergi dulu."

"aku pergi." pamit Nicole.

Selama perjalanan, mereka hanya diam. Tak ada suara apapun, termasuk suara musik. Membuat Nicole kesal, dan rasanya ingin mencakar wajah Justin karena wajah laki-laki itu terlalu datar.

Tak berapa lama, mereka tiba di sebuah hotel mewah. Nicole menatap Justin minta penjelasan.

"kenapa ke hotel?" tanya Nicole.

"ayo turun!"

Nicole hanya menurut saat Justin menggenggam tangannya memasuki hotel itu. Mereka disambut hangat oleh salah satu pelayan hotel dan orang itu membawanya ketempat tertinggi di hotel itu. Atap hotel.

Atap hotel itu benar-benar luas. Tidak ada dinding atau pun atap. Atapnya adalah langit yang saat itu ditaburi bintang. Ditengah atap itu ada dua buah bangku yang saling berhadapan, dengan meja ditengahnya. Sepertinya makanan juga sudah disediakan.

"terima kasih." ujar Justin pada pelayan itu, lalu beralih pada Nicole, "ayo kesana."

Nicole mengangguk. Dan mengikuti Justin.

Lalu mereka duduk berhadapan.

Angin musim semi berhembus, menggoyang rambut Justin hingga membuatnya berantakan. Namun, dengan rambutnya seperti itu, Justin malah terlihat semakin tampan.

"kau suka?"

Nicole mengangguk dan memandang kesekelilingnya. "ini pertama kalinya aku berada di atap hotel." katanya. "oh ya, kenapa kau membawaku kesini?"

"merayakan ulang tahunku."

"tapi aku tidak punya kue."

"tidak perlu kue." tegas Justin. "yang perlu kau lakukan hanyalah menghabiskan malam ini, bersamaku."

Setelah makan malam mereka, Justin berjalan kesebuah grand piano hitam yang letaknya tak jauh dari mereka. Lalu Justin mulai menyanyi.

Nicole hanya menatap Justin tanpa bergerak sedikitpun. Dia menyukai alunan lagu yang dilantunkan Justin, termasuk suara laki-laki itu. Berat, namun halus. Menenangkan hatinya, namun juga membuat jantungnya berdebar karena pada saat-saat tertentu Justin menyanyi sambil menatapnya. Tepat pada matanya.

I wish we had another time.

I wish we had another place.

But everything we have is stuck in the moment.

Adn there's nothing my heart can do.

To fight with time and space cause I'm still stuck in the moment with you.

Namun, entah kapan, tiba-tiba saja Justin sudah berjongkok dihadapannya, membuatnya sedikit menunduk. Alisnya terangkat bingung.

"ada apa....."

Sebelum ucapannya selesai, bibir Justin sudah menempel dibibirnya. Kemudian laki-laki itu berbisik ditelinganya. "I love you."

---

"lihat! Dia tersenyum lagi!" suara Skandar membuat Nicole lepas dari lamunannya.

Nicole mengambil bantal sofa dan memukulkannya pada wajah Skandar. "kau itu! Cepatlah menikah dengan Taylor! Agar kau tidak mengganggu hidupku terus!"

Skandar terkekeh. "asal kau tahu saja, mengganggumu itu termasuk hal yang menyenangkan!"

Nicole mendengus lalu beralih pada tayangan di televisi.

Selang beberapa menit, Nicole merasa perutnya sakit. Tapi dia tidak memberitahu Skandar karena hal seperti lumayan sering terjadi belakangan ini. Kontraksi palsu. Namun, semakin lama, sakitnya semakin terasa, hingga membuatnya menggigit bibir bawahnya agar tidak menjerit. Karena tidak tahan lagi, Nicole mencengkram lengan Cody dan berteriak.

"SKANDAAAR!! PERUTKUU!"

part 153

"SKANDAAAR!! PERUTKUU!"

Skandar menatap Nicole sekilas, lalu kembali menatap televisi. "Nic, itu kontraksi palsu lagi kan? Sudahlah, jangan histeris begitu." ucapnya santai.

Nicole menggeleng dan semakin menggigit bibir bawahnya. Perutnya saat ini benar-benar sakit. Serasa ditendang-tendang sangat kuat dari dalam, sampai dia khawatir kalau perutnya akan meletus atau sebagainya.

"AAAAAARRGGGH!" terdengar dua teriakan sekaligus.

Skandar menatap Nicole dan Cody bergantian. "kalian kenapa?" tanyanya bingung.

"PERUTKUU! / LENGANKU!" Nicole dan Cody berteriak bersamaan.

Skandar langsung panik. "Nic? Kau benar-benar mau melahirkan? Bagaimana mungkin? Cepat sekali?"

Nicole memelototi Skandar karena pertanyaan anehnya. Saat dia akan menjawab, perutnya kembali sakit. "JUSTIIIN!!"

Cody yang lengannya di cengkram Nicole ikut-ikutan menggigit bibir karena kuku-kuku Nicole serasa menembus kulitnya. "Skand, apa yang harus kita lakukan?!"

Skandar menggeleng tidak tahu. Pikirannya benar-benar buntu kalau sedang dalam keadaan panik seperti sekarang.

Tiba-tiba ponsel Skandar berbunyi. Membuat Skandar langsung mengangkatnya. Justin.

"Justin,...."

"ada apa dengan Nicole?" tanya Justin langsung.

Skandar bergumam. "tidak tahu, dia bilang perutnya sakit dan dari tadi dia hanya berteriak histeris."

"APA?!" Seru Justin kaget. "kau....tolong bawa dia kerumah sakit terdekat. Saat ini aku masih ujian... Kau harus menemaninya sampai aku datang! Okay?" ucap Justin panjang lebar.

Skandar mengangguk-angguk. "baiklah. Aku mengerti."

"Skand, kau kakakku, ku percayakan semuanya padamu. Jaga Nicole."

Teriakan Nicole kembali menggema di seantero rumah setelah Skandar mengakhiri panggilannya dengan Justin.

"Cody, bantu aku mengangkat Nicole ke mobil. Kita harus membawanya kerumah sakit."

Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Nicole tak henti-hentinya berteriak. Untung kali ini sasaran cengkramannya bukan lengan Cody, melainkan sebuah boneka milik Jazzy yang sempat diambil Cody untuk mengamankan lengannya.

Begitu tiba disebuah rumah sakit, Nicole langsung dibawa keruang bersalin ditemani Skandar dan Cody. Pada awalnya, para perawat disana tidak membiarkan Cody masuk, namun karena tatapan memelas Cody, akhirnya para perawat itu luluh.

---

Begitu Justin selesai mengerjakan ujiannya, dia langsung keluar dari ruang ujian. Kali ini dia memang tidak menutupi kepintarannya. Dalam waktu 15 menit, dia sudah menyelesaikan seluruh soal ujian, membuat peserta dan dosennya kebingungan tak percaya.

15 menit kemudian, Justin tiba dirumah sakit yang dimaksud Skandar. Dia langsung menuju ruang bersalin.

Justin terlonjak begitu tiba didepan pintu ruang bersalan itu, dia mendengar suara teriakan. Dengan perlahan dia masuk.

"maaf, kau siapa?"

"aku suaminya." ucap Justin dan berdiri di samping sang dokter.

Nicole saat itu tengah berbaring diatas bangkar dengan posisi lutut ditekuk, yang syukurnya di tutupi dengan kain. Justin mengintip sedikit kedalam kain tersebut.

"ya ampun, darahnya banyak sekali."

Sang dokter menatap Justin aneh, lalu kembali meneruskan pekerjaannya. "ya, ayo dorong..bagus..."

"benarkah? Sebanyak apa? Coba ku lihat." ucap Cody.

Justin memukul kepala Cody yang ingin ikut mengintip kedalam kain. "heh! Kau tidak boleh melihatnya!"

"kenapa?" tanyanya polos.

"tidak boleh!" tegas Justin dan kembali berdiri di samping Nicole.

Cody menatap Skandar. "kenapa aku tidak boleh melihatnya?"

Skandar diam. Malas menjawab. Dia sedang khawatir pada Nicole.

"Nic, ayo." Justin menggenggam tangan Nicole.

Air mata Nicole menitik untuk yang kesekian kalinya. "aku tidak kuat... Just."

"kau kuat. Kau pasti pasti bisa." Justin menyemangati Nicole.

Sesaat kemudian Nicole kembali berteriak. "aaaarrggh!"

Justin dibantu Skandar terus berusaha menyemangati Nicole. Sebenarnya Justin tidak sanggup melihat Nicole kesakitan seperti itu, karena itulah dia menyuruh Nicole operasi saja, tapi wanita itu makah memilih normal seperti ini.

Lamunan Justin buyar seketika mendengar suara tangis bayi.

"hoee...hoee"

"laki-laki." ucap sang dokter. "suster, tolong mandikan dia."

Mata Justin memanas. Terharu melihat janin yang selama ini berada dalam rahim Nicole akhirnya lahir. Air matanya menitik dan dia segera menghapusnya.

"NIC! Bayimu lahir!" seru Cody semangat.

Nicole tersenyum lemah, dan tak lama kemudian, perutnya kembali sakit. "dokter, perutku...."

"ayo nyonya. Seperti tadi. Tarik nafas.... Ya... Dorong..."

Nicole merasa tubuhnya sudah sangat lemah, tapi dia harus bertahan untuk melahirkan satu nyawa lagi.

"aku harus bisa!" batinnya.

"kau pasti bisa Nic. Bertahanlah. Aku....aku sangat mencintaimu, jadi...kau harus bertahan." ucap Justin.

Nicole mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Saat dia berhasil melahirkan anak keduanya, dia benar-benar sudah tidak bertenaga lagi. Sebelum dia hilang kesadaran, dia sempat mendengar suara bayinya dan dokter itu berucap,

"seperti dugaan, bayi kedua ini perempuan."

dan semuanya gelap.

part 154

Nicole membuka matanya yang terasa berat. Ia masih ingin tidur lebih lama, tapi ada tangan yang mengusap kepalanya sehingga membuatnya terbangun.

Matanya memandang langit-langit diatasnya dengan pandangan menerawang. Mengingat kejadian yang terjadi sebelum dia hilang kesadaran.

Nicole langsung memegang perutnya. Datar. Sekarang dia tahu, proses melahirkan itu bukan mimpi sama sekali.

"kau sudah sadar?"

Nicole menoleh ke sumber suara. Justin. Sepertinya baru saja keluar dari kamar mandi yang berada disudut ruangan itu.

"sudah lebih baik?" tanya Justin sambil duduk dibangku yang terletak disisi tempat tidur Nicole.

"aku masih sangat lemah." ungkap Nicole jujur.

Mata Nicole menelusuri ruangan bercat krem itu. Dan tidak mendapati orang lain diruangan itu selain dirinya dan Justin.

"keluargaku dan keluargamu sedang makan siang." ucap Justin, setelah berhasil membaca pikiran Nicole.

Nicole memperbaiki posisi tidurnya menjadi duduk, namun daerah dibawah perutnya terasa sakit membuatnya meringis.

"ada apa?" tanya Justin cemas.

"hanya sedikit sakit."

"berhati-hati lah." ucap Justin mengingatkan.

"eerr...Justin? Mereka kemana?"

"bukankah tadi sudah kukatakan mereka semua sedang makan siang?" Justin balik bertanya.

Nicole menggaruk kepalanya bingung. "bukan mereka, tapi “mereka”?"

Justin ikut bingung mendengar pertanyaan Nicole.

Sebelum Justin sempat menjawab, dua orang perawat masuk sambil mendorong dua buah box bayi.

"selamat siang nyonya. Ku rasa sudah waktunya kau menyusui mereka."

Nicole menatap perawat itu ragu. "menyusuinya?"

Perawat itu menatap Nicole seolah-olah wanita itu orang terbodoh. "tentu saja."

"susui dia dulu." perawat yang lain menggendong bayi yang rambutnya tipis.

Nicole menerimanya dengan kikuk. "bagaimana caranya?"

Senyum perawat itu terkulum.

Justin mendengus. "haruskah kau menanyakannya, Nicole Bieber?"

Nicole menatap Justin kesal. "keluarlah dari sini!"

"kenapa? Kau malu, begitu?" Tanya Justin tak percaya. Dia menggelengkan kepalanya. Lalu segera keluar dari ruangan Nicole sambil tertawa kecil.

"jangan tertawa, Just!" teriak Nicole kesal.

"hoeek...hoeek"

"jangan berteriak di dekat bayimu, nyonya." ujar perawat itu cemas.

---

"jadi namanya siapa?" tanya Nicole sambil menatap box bayi yang terletak di samping tempat tidurnya.

Begitu dia selesai menyusui kedua bayinya, Justin baru masuk kembali. Entah kenapa, wajahnya memerah begitu selesai menyusui bayinya. Membuat Justin kembali mengejeknya.

Sebelum Justin sempat menjawab...

"sayang, kau sudah sadar?" seru Greyson yang baru memasuki ruangan.

Greyson langsung memeluknya erat. Padahal perutnya masih sakit, jadi dia berusaha untuk tidak memperlihatkan kesakitannya.

"jangan memeluknya terlalu erat, dia masih lemah." ujar Justin datar dan tanpa melihat Greyson.

Greyson melepas pelukannya dan menatap Justin tajam. "bukankah sudah kukatakan untuk sopan padaku?!"

"sudahlah Grey!" Nicole menarik ujung kaos Greyson.

Tak lama kemudian, Keluarga Justin dan orangtua Nicole masuk keruangan itu. Membuat ruangan itu terasa mengecil. Mereka memeluk Nicole dan mengucapkan selamat. Lalu berkumpul di dekat box bayi.

"bayimu sungguh lucu sekali!" ujar Wero dengan suaranya yang benar-benar gemas melihat bayi kembar dihadapannya. "aku mau menggendongnya, boleh ya?" sambung Wero.

"tidak boleh!" jawab Justin cepat. "mereka baru saja tidur!"

"kalau nanti boleh ya?" tanya Skandar.

"tetap tidak boleh." tegas Justin.

Skandar mencibir. "pelit sekali."

"kalau bayiku terjatuh dari gendonganmu bagaimana?!" ketus Justin.

"sudahlah! Kalian ini ribut sekali!" lerai Pattie. "jadi, siapa nama bayi kalian?"

Nicole mengangkat bahu tidak tahu. Dia menatap Justin. "bagaimana?"

"bagaimana apa?" tanya Justin tak mengerti. Beberapa saat yang lalu dia sedang berkonsenterasi pada ponselnya, jadi dia tidak begitu mendengar pembicaraan Nicole.

Mr. Chance tertawa. "bayimu Just. Siapa namanya?"

Justin membuka mulutnya ingin berbicara, tapi dia kembali menutupnya dan menatap Nicole. "kau punya usul?"

Greyson mendengus. "dasar bodoh! Adikku bertanya padamu tadi, dan sekarang kau malah kembali bertanya padanya."

"Grey!" tegur Mrs. Chance.

"kau setuju kalau aku yang memberi nama?" tanya Justin pada Nicole.

"tidak." sahut Greyson yang kemudian mendapat pelototan dari ibu dan ayahnya. "baiklah. Aku akan diam."

Justin terlihat sedang mengingat sesuatu.

"jadi?" tanya Cody mulai tak sabar.

"bagaimana kalau....."

"ya?"

"LEANDER untuk laki-laki, dan LEANDRA untuk perempuan." ucap Justin.

Semua orang diruangan itu terdiam.

"artinya kuat. Bukankah bayi-bayiku memang kuat? Mereka tetap bertahan meski beberapa kali dalam keadaan bahaya." ucap Justin sambil menatap Nicole penuh arti. "bagaimana, Nic?"

Tanpa pikir panjang Nicole langsung mengangguk. "bagaimana dengan nama lengkap mereka?"

Justin kembali berpikir dan tak lama kemudian dia tersenyum lebar pada Nicole. Hal yang jarang dia lakukan.

Leander Ares Bieber.

Leandra Aphrodite Bieber.

part 155

Nicole bergerak tak menentu di atas tempat tidurnya. Ia tak bisa tidur sama sekali. Hal itu sudah dilakukannya berkali-kali, dan sekali lagi dia memutar tubuhnya menghadap boks bayi.

"sampai kapan kau akan bergerak tak menentu seperti itu?" tanya Justin. "ini sudah hampir tengah malam." nada bicaranya agak ketus.

Nicole memutar tubuhnya menghadap Justin yang duduk di dekat sofa. "kau tidak ingin pulang kerumah lalu ke hutan?"

"lalu membiarkan dirimu sendiri di rumah sakit ini, begitu?" Justin bertanya balik, namun tanpa mengalihkan pandangannya dari buku kuliah di pangkuannya.

"lagi pula tak ada bahaya." kata Nicole. "memangnya kau tak ingin minum darah?"

Justin menatap Nicole tajam. "tidak. Jadi cepatlah tidur!"

"aku serius, Just. Kau tak ingin minum darah?" tanya Nicole lagi.

"kau takut aku menggigit mereka, bukan?" tanya Justin sambil mengarahkan pandangan pada boks bayi.

TEET! BINGO!

Nicole mengalihkan pandangannya dari Justin. "tidak."

Justin mendengus. "kau lupa aku bisa membaca pikiran?"

"tidak." ucap Nicole. "memangnya salah, kalau aku berpikir kau akan menggigit mereka?"

Justin memutar bola matanya. "kau ini, pura-pura bodoh atau memang bodoh?"

Nicole menatap Justin kesal.

"Dengar, aku ini punya otak. Jadi aku bisa membedakan siapa buruan, dan siapa yang harus dijaga."

"dan mereka, masuk kategori yang harus kau jaga?"

Justin mendengus keras-keras. Heran melihat kebodohan Nicole. Akhirnya ia memilih kembali serius ada buku kuliahnya. "untung saja moodku sedang baik, jadi aku tidak mengatainya bodoh lebih dari tiga kali." gumam Justin dengan suara rendah namun Nicole masih mendengarnya.

"heh! Kalau kau punya otak, harusnya kau tau bagaimana bersikap pada orang yang baru melahirkan anak-anakmu!" ketus Nicole.

"hmm.." Justin menjawab malas-malasan.

"Justin!" Nicole semakin kesal mendengar tanggapan Justin.

"tidurlah Nic! Kau tidak tahu sekarang jam berapa?!" bentak Justin. "lihat! Sudah jam 12 lebih! Jangan buat bayi-bayiku terbangun karena ucapan tak berartimu!"

Nicole bertambah kesal. "dia juga bayi-bayiku!"

Justin kembali menatap Nicole. "mereka bayi kita. Jadi cepatlah tidur!"

---

Keesokan harinya, Nicole baru terbangun saat jam sudah menunjukk pukul 10. Dan begitu membuka mata, ia mendapati Justin tengah tertidur di atas sofa dengan wajahnya ditutupi buku.

"ck, seharusnya dia tidur dirumah!" gumam Nicole.

Drrt...drrt...

Nicole mengangkat ponsel Justin yang bergetar yang letaknya diatas meja disisi tempat tidur Nicole.

"halo Just? Katakan pada Nicole, setelah pulang kulihah nanti, aku dan Cody akan kesana." ujar Skandar.

Nicole terkekeh. "ini aku, Skand."

Di seberang sana ikut terkekeh. "oh, kau Nic. Ku pikir Justin karena ini ponselnya. Dimana dia?"

"dia tidur." jawab Nicole setelah melirik Justin sekilas.

"baiklah. Sampaikan salamku pada Leander dan Leandra. Bye."

Nicole kembali meletakkan ponsel Justin diatas meja. Ia pun duduk perlahan dan mulai turun dari tempat tidur. Mungkin, karena masih belum bertenaga, tubuh Nicole terhuyung. Sebelum Nicole berhasil mencengkram tepian tempat tidur, seseorang lebih dulu menangkap pinggangnya.

"kenapa tidak katakan padaku kalau kau ingin turun?!" ketus Justin.

"kau kan sedang tidur."

"kau bisa membangunkanku." jawab Justin.

Nicole tak menjawab lagi. "aku mau ke kamar mandi."

Justin pun menemaninya hingga depan pintu. Setelah selesai, Nicole kembali keluar dan Justin kembali menuntunnya menuju tempat tidur.

"ayo makan!"

Nicole membuka mulutnya menerima suapan Justin. "Just?"

"hm?"

"kau tidak kuliah?"

"tidak." katanya. "buka mulutmu!" ucap Justin saat Nicole akan kembali berbicara.

Sepuluh menit kemudian, Nicole sudah menyelesaikan sarapannya. Dia kembali membaringkan tubuhnya di tempat tidur, sedangkan Justin duduk membelakanginya menghadap boks bayi.

"kenapa kau cepat sekali memikirkan nama mereka?" tanya Nicole.

"aku sudah memikirkannya dari lama." ucap Justin.

"bagaimana bisa? Aku bahkan tidak memberitahumu kalau bayi kita itu laki-laki dan perempuan." saat mengucapkan 'bayi kita' Nicole merasa wajahnya panas.

"memang. Tapi setidaknya aku tahu, bayi kita kembar. Jadi yang perlu aku lakukan hanya mencari nama bayi kembar."

Nicole mengangguk mengerti. "lalu, Ares dan Aphrodite itu siapa?"

Justin membalikkan tubuhnya. "kau tidak tahu?"

Nicole menggeleng.

"dasar bodoh! Itukan nama-nama 10 dewa dewi Yunani yang tertinggi."

"apa? Dewa dewi Yunani?" Tanya Nicole tak percaya. "bukankah itu agak berlebihan? Meskipun cocok untuk nama mereka."

"jadi, kau pikir namamu tidak berlebihan, begitu?"

"kenapa namaku berlebihan? Tidak ada yang salah bukan? Nicole Athena Chance."

Justin mengusap wajahnya putus asa. Ia benar-benar berharap kebodohan Nicole tidak menular pada bayinya. "kau tahu? Athena itu juga nama Dewi tertinggi Yunani."

Mata Nicole membulat. "benarkah? Greyson tidak pernah memberitahuku."

"satu lagi. Namamu bukan Nicole Athena Chance, tapi Nicole Athena Bieber! Ingat baik-baik!"

"ah iya, aku lupa. Hehe"

Ya Tuhaan!

156

Nicole memperhatikan Justin yang masih betah memandang kedua bayi mereka. Sesekali terlihat memasukkan tangannya kedalam boks bayi dan mengelus pipi bayinya.

"mereka tidak bangun?" tanya Nicole.

"tidak. Kelihatannya tidur mereka sangat nyenyak." ucap Justin.

"aku ingin menggendong mereka." ujar Nicnle.

Justin menatap Nicole ragu, namun akhirnya dia

mengangkat seorang bayi berambut cokelat kehitaman dan sedikit tebal lalu menyerahkannya pada Nicole.

"Leandra." ucap Justin.

Nicole menggendong Leandra hati-hati. "terima kasih."

justin mengangkat seorang bayi lagi. "Leander bersamaku."

Nicole tersenyum dan kembali menatap Leandra yang berada dalam pelukannya.

Leandra...bayi itu sangat mirip dengan Justin.. Tulang pipinya, bibirnya, semuanya replika Justin. Kecuali mata dan hidungnya, serta rambutnya, mirip dengan miliknya. Sedangkan Leander, hanya matanya yang diambil oleh bayi laki-laki itu. Selebihnya milik Justin.

"Lean, ayo bangun." Nicole mengusap pipi Leandra pelan.

"panggil dia Leane." Justin mengingatkan. "Lean panggilan untuk Leander."

Nicole menggeleng. "tidak mau! Aku mau memanggilnya Lean."

Justin mendengus. "heh! Kau ini bukan anak kecil lagi! Kau sudah bayi. Jadi jangan mendebatkan hal yang tidak penting."

Nicole memberengut. "iya! Aku panggil dia Leane."

Justin terkekeh, lalu kembali menatap Leander.

Ketika mereka sedang asyik dengan bayi dalam gendongan mereka, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.

"selamat siang, semuanya!" seu Cody dengan semangat.

Justin menautkan alisnya. "sungguh berlebihan."

"Justin, Nicole, lihat aku membawa siapa?" ujar Skandar yang hanya berdiri diambang pintu. "tadaaaa!"

Tak lama kemudian, masuklah dua orang yang sangat dirindukan Nicole. Kedua sahabatnya.

"MILEY! SELENA!" Seru Nicole tanpa sadar telah membuat bayi digendongannya tersentak kaget.

"astaga! Kau membuatnya terkejut Nic!" seru Justin.

Nicole terkekeh pelan, dan langsung mengelus kepala Leandra, agar bayi itu tidak jadi bangun.

"pertahankan posisi itu." ujar Skandar yang sedang sibuk mengutak atik kameranya. "nah, kalian berdua, tersenyum kearah sini."

Nicole dan Justin saling berpandanganan.

"aku tidak mau di foto!" ketus Justin, dia langsung membawa Leander kearah jendela.

"ayolah Nic! Kalian harus berfoto sambil menggendong bayi kalian." bujuk Miley.

"tidak. Kau tidak lihat, wajahku berantakan?" bantah Nicole.

"itulah buktinya kalau bayi digendonganmu itu benar-benar bayimu." ucap Selena.

"apa maksudmu?" tanya Justin.

Skandar terkekeh. "apa kalian tidak sadar, wajah kalian berdua itu tidak cocok untuk di panggil Mom dan Dad? Orang lain pasti mengira bayi kalian itu, adalah adik kalian."

"jadi, berhubung kau masih menggunakan baju rumah sakit, ayo berfoto!" ucap Miley.

Akhirnya, Nicole mau difoto, dan Justinpun tak menolak lagi untuk berfoto dengan Nicole bersama bayinya.

"cepatlah Skan! Aku capek menggendong mereka berdua sekaligus seperti ini!" rutuk Nicole.

Klik!

"nah sekarang, kau tetap menggendong kedua bayimu, dan kau Justin, cium Nicole!"

"TIDAK!!" seru mereka bersamaan.

Skandar terkekeh. "baiklah."

---

"kami pulang! Bye!"

Satu jam kemudian, Miley dan Selena pamit pulang. Meninggalkan Justin dan Nicole diruangan itu. Sedangkan Cody dan Skandar sedang pergi ke cafetaria rumah sakit untuk makan siang.

"ah, lihat, Leane bangun!" seru Nicole.

Sedari tadi Nicole memang tidak melepaskan Leandra sekalipun, sedangkan Leander sudah dia letakkan setengah jam yang lalu, tak ingin mengganggu tidur bayinya.

Mata bayi itu sudah terbuka sepenuhnya. Menatap Nicole dengan tatapan yang membuat Nicole gemas.

"Leane, Mommy here!" ucap Nicole sambil mengusap kedua pipinya.

Leane mengerjap beberapa kali.

"lihat itu Daddy! Dia sedang melihat Lean!" ucap Nicole sambil mengerahkan Leandra pada Justin.

Selang beberapa saat, Leandra kembali menguap tak lama setelah itu dia kembali tertidur.

"yah, dia tidur lagi." desah Nicole. "padahal aku ingin mengajaknya berbicara."

Justin memutar bola matanya. "dia masih kecil, tentu saja dia sering tidur. Lihatlah kalau dia sudah mulai besar, aku pastikan kau tidak akan tidur dibuatnya." ujar Justin. "berikan padaku, dia harus di baringkan. Nanti tulangnya tidak normal."

"lucu bukan?" ucap Nicole sambil menatap jendela diruangannya.

Setelah memastikan kepala Leandra benar-benar pas di atas bantal, Justin menoleh. "lucu apanya?"

"hidup kita."

Justin mengernyit tak mengerti. "kenapa?"

Nicole menunduk. Tak lama kemudian dia menatap Justin sambil tersenyum. "apa kau pernah membayangkan, pada saat usiamu 19 tahun, kau sudah di panggil Daddy?"

"heh?"

"setahun lagi, usiaku dan kau baru 19 tahun, tapi Leandra dan Leander sudah memanggil kita dengan pnggilan Dad dan Mom. Bukankah itu lucu?"

"tidak. Itu bukan lucu. Tapi menyenangkan." ucap Justin.

"menyenangkan?" tanya Nicole tak percaya.

"tentu saja. Di panggil Dad dan Mom oleh anak-anak kita sendiri, bukankah itu sangat menyenangkan?" ujar Justin sambil tersenyum menatap Nicole. Senyum tulus.

157

 

Setelah sebulan kelahiran Leander dan Leandra, Nicole mulai terbiasa. Terbiasa bangun malam, terbiasa menggantikan celananya, terbiasa memandikannya, hingga sudah terbiasa menyusuinya. Meskipun saat menyusui kedua bayinya, Nicole selalu menyuruh Justin keluar dari kamar karena dia merasa malu. Padahal, seharusnya malu itu sudah tidak ada.

"makan ini!" suara Justin membuyarkan lamunannya.

"apa ini?" Nicole memandang semangkuk makanan dihadapannya dengan tatapan jijik.

"itu bayam."

"kenapa warnanya merah seperti ini?"

"sudahlah! Jangan banyak tanya! Makan saja!" ujar Justin, lalu mulai memakan makanannya.

Saat itu mereka sedang makan siang, sedangkan Leander dan Leandra bersama Wero, Skandar dan Cody juga Pattie.

"ini bayam apa?" tanya Nicole lagi.

"itu bayam merah." jawab Justin. "aku tidak akan menjawab pertanyaanmu lagi, jadi makan saja makananmu."

Nicole memberengut, lalu mulai mencicipi bayam merah itu. Rasanya sama saja, jadi dimulai memakannya. "memangnya kenapa harus bayam merah?"

"kau tanya saja pada Mom. Yang memasak makanan ini kan Mom." jawab Justin.

Nicole menatap tajam Justin, beberapa detik kemudian, dia mendengus lalu kembali memakan makanannya.

Ketika tengah berkonsentrasi pada makanan masing-masing, terdengar teriakan dari ruang tengah.

"NIC! LEANDER!" teriak Skandar.

"aku saja." ujar Justin ketika Nicole akan bangkit dari duduknya. "lanjutkan makanmu."

Nicole mengangguk, sambil tersenyum.

Setelah meminum beberapa teguk air putih, Justin pun menuju ruang tengah.

Entahlah, tapi Nicole merasa Justin sedikit berubah setelah kehadiran Leander dan Leandra. Laki-laki itu lebih perhatian dan pengertian meski tidak ditunjukkan secara gamblang. Seperti yang terjadi barusan.

"sepertinya dia haus." Justin kembali muncul dengan Leander di gendongannya.

Nicole mengerjap. "biar ku susui dulu."

Setelah Leander berada dalam pelukannya, Nicole bangkit dari duduknya lalu berjalan menaiki tangga menuju kamarnya.

JUSTIN's POV

Ku lihat Nicole sudah hilang dibalik dinding. Sepertinya dia sudah menaiki tangga. Aku kembali melanjutkan makan siangku.

Meskipun tidak ada yang sadar, tapi aku merasa sikap Nicole mulai berubah. Dia lebih tenang dari sebelumnya. Bisa di katakan, dia sudah mulai dewasa. Bukankah seharusnya memang seperti itu? Diusianya sekarang, dia memang sudah harus bersikap dewasa. Aku yakin, kalau saja saat ini kami belum punya anak, dia pasti masih seperti anak-anak.

"Justin, Lean baru saja mengompol. Sepertinya dia juga haus."

Aku terkejut saat Mom tiba-tiba saja sudah berada dihadapanku dengan Leandra yang menangis di gendongannya. "apa?"

"Lean, mengompol dan dia haus."

Aku segera memindahkan Leandra kedalam gendonganku. "dia ini Leane Mom. Lean itu panggilan Leander."

Mom mengibaskan tangannya. "iya, aku kan sudah tua." ujarnya. "cepat bawa dia keatas sebelum dia pingsan karena menangis."

Aku mengangguk dan segera membawa Leandra ke atas. Meskipun langkahku terburu-buru, namun kakiku terarah. Aku tak ingin melakukan kesalahan yang akan berakibat buruk bagi bayiku.

Ceklek!

Aku terpaku ditempatku berdiri. Bahkan aku menahan nafasku. Ya ampun! Tuhan! Dihadapanku Nicole tak kalah terkejutnya.

Saat itu dia sedang menyusui Leander, namun yang membuatku terkejut adalah penampilannya. Bagaimana bisa dia membuka kaosnya, dan menyisakan bra pada bagian atas tubuhnya. Sedangkan dibawahnya dia masih memakai celana jeans pendek selutut.

"kau...kenapa berpakaian seperti ini?!" tanyaku sedikit kesal. Bagaimana kalau Skandar atau Cody yang masuk ke kamar kami?

Nicole segera menyambar selimut dan menutupi tubuhnya. Wajahnya benar-benar memerah.

Aku yakin, wajahku juga memerah saat itu, jadi aku memutuskan segera mengganti celana Leandra. Namun, setelah diganti, Leandra masih saja menangis.

"sepertinya Leane juga haus." ucapku tanpa melihat Nicole. Karena saat itu dia masih belum memakai pakaiannya.

"Lean belum selesai." ucapnya sedikit cemas.

Aku menggaruk tengkukku. Mulai bingung karena Leandra masih menangis.

"ajaklah dia bicara. Atau bermain dengannya." ucap Nicole.

Wanita itu bercanda?! Apa yang harus aku bicarakan dengan bayi ini? Aku memang jarang mengajak Leander dan Leandra berbicara, tidak seperti Nicole, tapi aku sangat menyayangi mereka. "em...hy Leane. Aku Justin, Daddymu." ucapku kaku.

Ku dengar Nicole terkekeh. "kenapa kau kaku seperti itu?"

Aku menatapnya tajam, membuatnya terdiam, lalu kembali menatap Leandra. "kau tidak boleh menangis. Oke? Jangan cengeng seperti Mommymu."

Leandra mulai berhenti menangis. Dia tengah menatapku sambil sesekali berkedip, membuatku ingin mencubit pipinya.

"nah, gadis pintar! Jangan menangis lagi!"

tiba-tiba saja Leandra kembali menangis.

Nicole segera merebut Leandra dariku, sedangkan Leander sudah dia tidurkan di tempat tidur. "kenapa kau mengancamnya seperti itu?! Lihat, dia menangis lagi!" omel Nicole.

Aku hanya bisa menggaruk tengkukku. "dia itu salah paham mendengar suaraku." ucapku membela diri, dan tentu saja gagal.

158

Nicole menyantap makan malamnya dengan semangat, meskipun saat itu hanya ada dia dan Pattie. Malam ini, Pattie memasakkan makanan kesukaannya. Sup daging. Lagi-lagi bayam merah ikut serta dalam menu makanannya kaki itu.

"ini, bayam merah kan Mom?" tanya Nicole memastikan.

Pattie mengangguk. "iya. Kenapa?"

"beberapa hari ini, kau selalu memasakkan ini untukku. Memangnya kenapa?"

Pattie terkekeh. "oh, itu karena bayam merah bagus untuk ibu menyusui."

Nicole mengangguk paham. "aku baru mengetahuinya."

"sebenarnya, aku juga tidak akan ingat kalau Justin tidak menyuruhku." Pattie kembali terkekeh.

Nicole menyipitkan mata. "Justin?"

"iya, Justin. Suamimu. Memangnya siapa lagi?"

Nicole menghembuskan nafasnya sedikit keras. "dasar laki-laki aneh!" rutuk Nicole pelan. "gengsian! Katakan saja kalau itu idenya, aku juga tidak akan marah! Benar-benar!"

"sudahlah! Jangan merutuki sifat gengsinya terus." sela Pattie.

Nicole terkekeh lalu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

Mereka kembali memakan makanan masing-masing.

"oh ya, aku ingat sesuatu."

Nicole menatap Pattie dengan tatapan bertanya. "apa?"

"ku dengar, kalau kau menyusui Leander dan Leandra, kau membuka pakaianmu. Benar begitu?"

"uhuk..uhuk..." Nicole tersendak potongan daging yang dia makan.

"ayo minum." Pattie menyuguhkan air putih pada Nicole.

Nicole segera meminumnya. Untung saja potongan daging itu luruh bersama air.

"kau tidak apa-apa?"

Nicole mengangguk. "Mom, kau tahu dari mana?"

"haruskah ku jawab? Kau pasti sudah tahu,kan?" tanya Pattie dengan senyumnya yang menenangkan.

Nicole menundukkan kepalanya dalam-dalam, ia merasa wajahnya benar-benar memerah.

"JUSTIIIN!!" Nicole menjerit dalam hati. "kenapa sampai hal seperti harus dikatakan pada Mom?! Kalau kau ada dihadapanku saat ini, aku pasti akan mencakar wajahmu yang selalu menatapku tanpa ekspresi itu!! Atau mungkin aku akan menjambat rambutnya.. Atau....."

"bagaimana?"

Nicole menatap Pattie bingung. Astaga! Dia tidak mendengarkan ucapan Pattie barusan karena sibuk merutuki Justin. "oh, baiklah. Tak apa." ujar Nicole sok setuju. Dia tidak mungkin kembali menyuruh Pattie mengulang apa yang tadi di katakannya.

"besok kau minta antar dengan Justin saja. Akan ku berikan alamat butik temanku."

Nicole lagi-lagi menganggukkan kepalanya.

---

"cepat bangun!"

Dengan malas Nicole membuka matanya. Sebenarnya dia bisa pura-pura tidak mendengar seruan Justin, tapi dia tidak bisa pura-pura tidak merasakan guncangan pada tubuhnya yang dilakukan Justin.

"aku masih mengantuk!!" erang Nicole.

"heh! Kau tidak perlu berteriak seperti itu!" Justin membentak balik.

Nicole membuka matanya lalu menatap Justin setajam mungkin.

"apa?!" tantang Justin. "cepat bangun! Leander buang air besar!"

"tidak mau!" bantah Nicole. "biasanya kan kau bisa." dia masih kesal karena Justin mengadu pada Pattie tentang dia yang menyusui tanpa memakai kaos.

"biasa bagaimana? Kalau dia mengompol, aku baru biasa. Cepat bangun!" Justin menarik tangan Nicole. Sebenarnya dia sedikit heran melihat tingkah Nicole pagi ini.

Nicole mengerang. "kalau aku tidak mau, kau mau mengatakannya pada Mom Pattie kan? Seperti waktu aku menyusui Lean tanpa memakai kaos?"

"hah?"

Nicole membekap mulutnya dengan tangan kanan. Seharusnya dia tidak mengatakan hal itu, Skandar pasti mendengarnya.

"CK, NIC! AKU TIDAK MENYANGKA!" teriak Skandar dari kamar sebelah.

Justin menatap Nicole. "lihat akibat kecerobohanmu! Itu yang aku takutkan! Bagaimana kalau Skandar atau Cody melihatnya?!"

Nicole mengusap wajahnya yang terasa panas. "jangan menyebutnya lagi! Itu semua juga karena ulahmu! Huh!" Nicole segera bangkit dari tempat tidur.

Nicole menghampiri boks bayi Leander dan mengeluarkan Leander dari sana, membawanya ke kamar mandi setelah memastikan Leandra benar-benar masih tidur. Untung saja, Leander termasuk bayi yang tidak rewel. Kalau dia mengompol atau sebagainya, dia tidak menangis histeris seperti Leandra.

"itu aneh, kau tahu?" ucap Justin.

"biarkan saja, yang penting dia tidak membuatku pusing karena mendengar tangisannya. Lihatlah Leane, kalau sudah menangis." Nicole menggelengkan kepalanya, sambil mengeringkan kaki Leander.

"leane seperti itu juga karena menuruni sifatmu." ucap Justin cuek. "sedangkan Lean, dia menuruni sifat cool ayah nya. Aku."

Nicole memutar bola matanya, lalu memasangkan celana Leander dan kembali membedungnya.

"kalau sudah selesai, kita turun. Sarapan. Leane biar aku yang bawa." Justin berjalan ke boks bayi. Leandra masih tidur jadi dia menggendongnya hati-hati. "oh ya, Mom bilang kau ingin pergi ke butik temannya. apa yang akan kau beli di sana?"

"apa?"

"Mom bilang, kau ingin beli baju. Benar?"

"hah?"

Justin mendengus. "hanya itu yang bisa kau katakan? Apa dan Hah?"

"hehe"

"harusnya aku bertanya pada Mom! Pikiranmu pasti tidak ditempatnya saat Mom berbicara!" ketus Justin. "sudahlah! Ayo sarapan!"

"tunggu, aku cuci muka dulu." cegat Nicole.

"Nicole! Kau benar-benar!"

PART 159


"NIIC!! CEPAT PULAANG!!" Nicole segera menjauhkan ponsel dari telinganya begitu mendengar jeritan histeris dari Cody.


Sejam yang lalu Nicole dan Justin memang meninggalkan rumah. Pergi ke butik teman Pattie untuk membeli baju khusus ibu menyusui. Dia memang tidak mempunyai baju berkancing depan, yang dia punya hanya kaos lalu dress yang dipakainya saat hamil dulu. Karena itulah, dia terpaksa membuka kaosnya kalau ingin menyusui Leander dan Leandra.


Setelah memastikan Cody tidak akan berteriak lagi, Nicole berkata, "iya, saat ini aku sedang di jalan. Kenapa?"
"bayi-bayimu menangis, sedangkan Wero dan Skandar baru saja pergi entah kemana." ujar Cody dengan nada cemas.
"sepuluh menit lagi aku baru akan tiba dirumah." ucap Nicole. Butik teman Pattie memang cukup jauh dari rumah mereka. "berusahalah menenangkan mereka. Ajak mereka berbicara, atau mungkin nyanyikan lagu untuk mereka." sambung Nicole.
"aku sudah mengajak mereka berbicara, tetap saja mereka menangis. Aku juga tidak bisa menggendong mereka berdua sekaligus. Sepertinya mereka haus."
"baiklah. Secepatnya aku akan tiba dirumah." ucap Nicole lalu memutuskan panggilan.
"sudah kukatakan, sebaiknya kau meninggalkan Asi dalam botol susu untuk mereka jika ingin keluar!" ketus Justin.
Nicole menatap Justin kesal. "aku juga sudah katakan, kalau aku tidak bisa menggunakan alatnya!"
"bukankah aku sudah menyuruhmu untuk diajarkan pada Mom?!" tanya Justin.
Nicole menghembuskan nafasnya dengan kasar lalu memalingkan wajahnya ke jendela mobil.
"tenanglah. Cody pasti bisa menenangkan bayi kita." ucap Justin lembut, sambil mengusap puncak kepala Nicole.


Nicole segera mengalihkan pandangannya dari jendela pada Justin. Dia sedikit terkejut mendengar suara menenangkan Justin ditambah lagi dengan sentuhan ringan di puncak kepalanya. Tindakan kecil namun berhasil membuat cintanya pada Justin bertambah.


Justin berdehem pelan, lalu segera menarik tangannya dari puncak kepala Nicole. "mungkin...aku sebaiknya...maksudku lain kali kita membawa mereka, jika keluar rumah."
Nicole terkekeh pelan mendengar perkataan Justin yang berantakan. "yeah, kau benar. Mungkin kita memang harus membawa mereka, meski merepotkan."


---


lima menit kemudian mereka tiba dirumah. Justin benar-benar membawa mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, sehingga mereka bisa tiba dirumah dengan cepat. Padahal, harusnya dalam waktu sepuluh menit. Bisa dibayangkan bagaimana kecepatan mobilnya.


Nicole segera keluar dari mobil, begitu mobil Justin berhenti didepan pintu garasi.


"bagaimana Leane dan Lean?" tanya Nicole begitu Cody membukakan pintu untuknya.
"mereka tertidur. Mungkin kelelahan menangis." ucap Cody.
"dimana mereka?"
"diruang tengah. Aku tidak bisa membawa mereka keatas." ucap Cody. "maaf."
Nicole tersenyum. "bukan salahmu. Jadi jangan merasa bersalah."


Nicole kembali berlari menuju ruang tengah. Ia tersenyum kecut melihat kedua bayinya tengah tertidur di atas kasur bayi. Pipi dan hidung keduanya terlihat memerah.


"maafkan Mommy ya." ucap Nicole sambil mengusap puncak kepala keduanya.
"harusnya kau juga minta maaf padaku, karena sudah membiarkanku membawa seluruh barang belanjaanmu dari mobil hingga di sini." ucap Justin sambil meletakkan seluruh kantong belanjaan dihadapan Nicole.
Nicole menatap Justin dengan wajah penuh permohonan. "karena kau sudah membawakannya dari mobil hingga sini, apa salahnya jika kembali membawanya hingga kamar?"
Justin mendengus. "tidak. Aku tidak mau."
Cody terkekeh. "aku ingin ambil minuman, ada yang mau?"
"aku!" ujar Nicole cepat. Lalu kembali beralih pada Justin. "Justin, mau ya? Kau kan ke atas juga, ingin mengganti pakaian, jadi sekalian saja, ya?"
Justin mengerang. "baiklah." ujar Justin setengah kesal. "kau ini, kapan kau akan mengubah sikap kekanakanmu ini, hah?"
"kenapa aku harus mengubah sikapku? Bukankah kau menyukaiku karena sikap kekanakanku?" tanya Nicole santai.
Cody yang baru kembali dari dapur mendengarnya, ia pun tak dapat menahan tawanya saat menyerahkan sebuah minuman kaleng pada Nicole.
Justin melayangkan tatapan 'kau tak usah ikut campur!' pada Cody, lalu "dan kau, kurasa minuman kaleng ini tak baik untuk ibu menyusui sepertimu. Kau minum air putih saja." ucap Justin sambil merebut minuman kaleng dari tangan Nicole.
Nicole mendesah keras. "kurasa, larangan untuk ibu menyusui tak kalah banyak dibanding ibu hamil."
Cody kembali tertawa.
"kalau kau tak minum air putih, seluruh barang belanjaanmu ini akan kulempar keluar." ungkap Justin.
Nicole memberengut. "iya. Aku mengerti."
Justin pun segera berlalu dari hadapan mereka.
"eh, aku jadi ingat saat kau pertama kali datang kesini. Kau pingsan begitu tahu akan menikah dengan Justin." ucap Cody dengan tatapan menerawang.
Nicole tertawa. Membenarkan ucapan Cody.


"aku membiarkan hidup tenang selama beberapa bulan belakangan, bukan berarti aku menyerah Nicole."


PART 160



NICOLE's Pov


Aku baru selesai menyusui Leander ketika Justin masuk ke kamar dengan tas ransel ditangan kanannya. Dia baru pulang kuliah.


"kau sudah pulang?" tanyaku basa-basi sambil meletakkan Leander yang sudah tertidur di boks bayinya.
"hmm..." gumamnya malas.


Setelah meletakkan tasnya di meja belajar, dia langsung menghempaskan diri ditempat tidur dan memejamkan mata. Namun ada yang lain. Keningnya terlihat berkerut samar, seperti sedang berpikir atau punya beban pikiran.


Apa yang sedang dipikirkannya sampai keningnya berkerut seperti itu? Pikirku bingung.


"kau tidak perlu tahu apa yang sedang aku pikirkan."
Aku mengerjap dan mendapati Justin tengah menatapku dengan tatapan datarnya. Seperti biasa. "baguslah. Aku juga tidak mau membebani pikiranku dengan apa yang sedang kau pikirkan. Jadi kau tidak perlu bertukar pikiran denganku." ucapku cuek. Pura-pura cuek sebenarnya.


Bruukk


"aduh!" aku meringis karena wajahku baru saja terkena lemparan bantal Justin.
"jaga ucapanmu, nyonya muda." ucap Justin, saat ini dia sudah duduk diatas tempat tidur.
Aku mendengus. "sayangnya, aku tidak mau menjaga ucapanku, Tuan muda." aku kembali melempar bantal itu pada Justin.
"haha, lemparanmu meleset, Ana." balas Justin.
Mataku menyipit. "kau memanggilku apa?" tanyaku tak percaya.
"Ana. Kenapa?"
"itukan panggilan kesayangan Zayn untukku. Kau tidak boleh mengikutinya." sungutku.
Justin menatapku tajam, dan lagi bantal itu mengenai wajahku.
"heh!" ujarku nyaris membentak.
"mengomellah sesukamu, aku tidak akan mendengarkannya." ketus Justin, lalu kembali membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Kali ini, dia menyelimuti seluruh tubuhnya dengan selimut.
"kau....APA?!" Aku protes.


Aku langsung menghampiri tempat tidur dan mengguncang tubuh Justin yang tertutupi selimut.


"Justin! Jangan pura-pura tidur!" rajukku.


Aku benar-benar tidak menyangka kalau efek dari tindakanku membawa-bawa nama Zayn akan sampai seperti ini. Ucapanku tadi hanya bercanda. Tidak masalah bagiku kalau dia ingin memanggilku Ana, atau Nicole atau yang lain. Bahkan aku menyukai saat-saat dimana dia mengataiku bodoh disetiap perkataannya. Mungkin ini terdengar gila, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Bukankah kita memang terlihat seperti orang gila saat tengah jatuh cinta atau mencintai seseorang?


"mengomel saja, aku tidak akan membantah omelanmu." ucap Justin dibalik selimut.
"tapi kau tidak mendengar omelanku, kan? Sama saja tidak!" astaga, ini benar-benar pembicaraan yang tidak penting. Tapi aku menyukainya.
Justin mendengus. "kenapa aku harus mendengarkan omelan tidak pentingmu? Sudahlah, jangan ganggu aku, kepalaku pusing, jadi aku ingin tidur!"
Aku mengerutkan kening, lalu menyentakkan selimut yang membungkus tubuh Justin. "Justin!" seruku.
Justin mendesah keras-keras. "Nic! Aku ingin tidur! Aku harus menenangkan pikiranku!"
"jangan tidur dulu." cegahku. "kau marah karena ucapanku tadi? Lupakan saja. Aku hanya bercanda."
"iya, aku tahu."
"kau juga boleh memanggilku dengan panggilan apa saja."
"iya, aku tahu."
"mengataiku bodoh setiap hari juga boleh." ucapku lagi.
Justin tetap menutup matanya.
"kau juga boleh membentakku setiap hari, menyuruhku ini dan itu, melakukan...."
Justin mengerang. "astaga Nic!" serunya. "apa yang kau bicarakan?! Masalah Zayn itu lupakan saja. Aku juga tidak begitu memperdulikannya. Aku harus menjernihkan pikiranku. Jadi, biarkan aku tidur."


Author's Pov


Nicole tak membantah lagi. Ia turun dari tempat tidur perlahan, lalu segera keluar dari kamar menuju ruang tengah.


"aku pusing." keluh Nicole pada Skandar yang sedang menonton.
"berarti sama seperti suamimu. Kalian memang berjodoh." ucap Skandar.
Nicole mendesah. "menurutmu, apa yang sedang dirahasiakan Justin dariku?"
"dari mana kau tahu Justin punya rahasia?" Skandar bertanya balik.
"kau pasti dengar pembicaraan kami."
"pembicaraan tidak penting kalian lebih tepatnya." Skandar terkekeh. "entahlah Nic. Beberapa hari belakangan ini, dia memang terlihat banyak pikiran."
Nicole menatap Skandar. "benarkah?"
Skandar mengingat-ingat. "dia sering tidak fokus. Binatang lewat dihadapannya, dia sampai tidak menyadarinya."
Nicole mengerutkan keningnya. "seandainya aku bisa membaca pikirannya."
Skandar mengacak poni Nicole. "kau ini. Jika itu terjadi, berarti kau sudah berubah jadi vampire."
"bukankah bagus, kalau aku berubah jadi vampire? Aku bisa melawan Lauren jika dia menggangguku." ucap Nicole yakin.
"sudahlah. Jangan mengkhayalkan hal itu lagi, karena selamanya kau adalah manusia. Tidak akan berubah jadi vampire, kecuali jika keadaan terdesak, hingga Justin harus menggigitmu dan mengubahmu jadi vampire."
"keadaan terdesak seperti apa?"
"mungkin kau digigit vampire lain, atau cara terakhir untuk melindungimu hanyalah mengubahmu jadi vampire."
Nicole mengerang. "aku ingin tahu apa yang dipikirkan Justin!"

TINGGALKAN VOTE DAN COMMENT SETELAH MEMBACA !

PS. DILARANG COPY PASTE!

Continue Reading

You'll Also Like

121K 10.7K 14
"Aku ingin membeli jam tangan ini." "Baiklah. Tetapi aku hanya memperingatkanmu untuk berhati-hati." Sebuah jam tangan berwarna hitam ini selalu mele...
79.7K 7.8K 23
Brothership Not BL! Mark Lee, Laki-laki korporat berumur 26 tahun belum menikah trus di tuntut sempurna oleh orang tuanya. Tapi ia tidak pernah diper...
18K 1K 86
Penulis :Erqia Pengantar karya: γ€€γ€€Ketika Shen Yanrong bangun, dia menemukan bahwa dia berpakaian seperti Putri Shaoyang, yang memaksa protagonis laki...
1.6M 68.9K 14
Series #4 Fantasi [Sequel Mine - Melvin D.Franklin] Hai namaku Melvin. Anak kedua yang lahir dari perut Mama-ku tersayang setelah Kelvin dan sebelum...