DANCING ON MY OWN. / KV

By maachin

39.9K 3.1K 563

in the end, the ending is still the same; he fights alone. [kookvweeks event] More

i
iii
iv
ending (im sorry ㅠㅠ)

ii

5.8K 560 105
By maachin

"Good morning," bisiknya pelan pada telinga Taehyung, memberikan satu kecupan kecil pada pucuk kepala Taehyung sebelum memilih duduk di meja makan, menunggu hidangan-setelah Taehyung menjawab sapaan paginya bersamaan dengan tawa kecil; geli ketika Jungkook mencium lehernya sebelum mencium pucuk kepalanya.

Sarapan pagi itu terdengar begitu tenang. Tipikal bukan suasana yang biasanya menghiasi apartemen ini. Dan Jungkook, selama Dua tahun bersama dengan Taehyung, tidaklah begitu bodoh untuk tidak mengetahui bahwa Taehyung sedang memikirkan sesuatu yang berat. Bukan tipikal Taehyung jika pemuda itu tidak menanyakan sesuatu atau bahkan memberitau cerita tak pentingnya dengan binar antusias ketika ada Jungkook di dekatnya.

"Taehyung?" Panggilnya, bersamaan dengan tangan yang menyentuh pipi Taehyung, mengabaikan makanan yang wanginya begitu menyeruak lezat di depannya. "Sedang memikirkan apa?"

Taehyung tersentak ketika pipinya merasakan jari Jungkook menyentuhnya dengan begitu pelan, dirinya tersenyum tipis kemudian menggeleng. "Tidak, bukan apa apa." Katanya, sebelum melanjutkan, "Jungkook, kutanya boleh?"

Oh? Sejak kapan pemuda manis ini meminta izin untuk bertanya? Taehyung tidaklah sadar jika setiap hari hari Jungkook diisi dengan segala pertanyaan yang kadang bahkan Jungkook bingung menjawab-bukan karena dia tidak tau jawabannya, percayalah, namun kadang Taehyung terlalu penasaran sehingga pertanyaan yang keluar dari mulutnya begitu di luar nalar.

"Kapan aku melarangmu bertanya, hm?" Pemuda itu tertawa kecil, "tanyalah."

"Uhm, Jungkook ingat Dua tahun yang lalu, hari pertama kita."

"Ingat. Dengan sangat. Memori yang indah," katanya, kemudian dibalas dengan satu pukulan pada tangannya-jujur saja tidak ada sakit sakitnya.

"Aku belum selesai berbicara!" Pekiknya tak terima, namun segala sembarut merah muda di pipinyan tidak bisa menyembunyikan bagaimana pemuda itu malu.

"Baik, baik. Jadi?"

"Jungkookie bilang kita semua punya definisi masing masing tentang segala hal yang ada di dunia ini, 'kan?" Tanyanya, kemudian anggukan Jungkook dengan raut bertanya membuat dirinya kembali melanjutkan kalimatnya, "kalau begitu, definisi aku darimu, bagaimana, Jungkookie?" Tanyanya dengan nada yang begitu pelan, terlampau malu untuk menanyakan. Terlebih, ketika Jungkook tertawa pelan dan mengacak surai cokelat madunya.

"Cerewet," satu kata membuat Taehyung menegakkan kepalanya, "tidak bisa diam, banyak tanya, terlampau aktif, perusuh"

Ugh, Taehyung ingin menenggelamkan dirinya saja jika seperti ini.

"terlampau penasaran, aneh, seperti anak kecil"

"Berhenti disana!" Taehyung memekik. Dengan segala yang Jungkook katakan padanya barusan, membuatnya sadar; dirinya terlampau kekanakan. Ugh, malunya.

"Tapi, terlampau peduli membuatku ingin sakit setiap hari." Kalimat Jungkook berlanjut, membuat mata Taehyung melebar bersamaan dengan semburat merah muda pada wajahnya. Juga, tawa kecil Jungkook sebelum dirinya kembalui melanjutkan "Terlampau manis, membuatku kenyang dengan segala yang manis setiap harinya. Terlampau luar biasa mengejutkan dengan segala hal istimewa di dirimu,"

Jungkook tertawa, tersenyum miring mendapati Taehyung tak menjawab; diam membisu, dengan tangan yang memainkan ujung pakaiannya. "Seperti mawar," katanya, begitu pelan; seperti bisikan.

"Hm? Jungkook bilang apa?"

"Aku bilang; kau seperti mawar." Jungkook tersenyum, kali ini benar benar mengabaikan makanan yang kini bahkan sudah mendingin.

"B-berduri?" Tanyanya ragu.

"Iya, berduri. Namun keseluruhannya begitu indah." Jungkook menjawab, kali ini benar benar ingin didengar, maka dengan pelan pemuda itu menangkup dagu Taehyung dan membuat pemuda manis di depannya mendongak; menatapnya.

"Indah tapi berduri itu percuma saja," katanya ragu, ingin menghindari kontak mata dengan Jungkook namun dengan cepat pemuda itu menangkup kedua pipinya, mengunci pandangannya. "Indahnya sebagai kelebihan, tapi membuat berdarah itu kekurangan yang terlalu menyakitkan."

"Anggap, duri itu kekuranganmu. Maka seberapa banyak durinya, masih ku genggam, Tae."

"M-maksudnya?"

"Maksudnya; aku genggam kau dengan apapun kekurangan yang ada di dirimu."

Oh, manis sekali. Taehyung ingin meledak karena wajahnya makin panas secara perlahan. Namun di sela sela itu, dirinya menunduk lagi. Malu? Iya, namun kali ini lebih ke kecewa.

Malu, namun juga sakit.

Jungkook itu pandai sekali berbuat kata.
Jungkook itu pandai sekali berakting seakan Taehyung benar benar terasa dicintai olehnya.

Maka biarlah. Biarlah Taehyung kali ini juga berakting seakan dirinya dicintai.

"Selain mawar?"

"Matahari," jawabnya.

"Kenapa?"

"Karena kau bersinar; indah juga cantik. Juga memberiku semangat disetiap hari."

Taehyung hanya tersenyum.

Tepat sekali; matahari.



Dan mataharimu mulai meredup, tuan Jeon.

■ ■ ■

Siang ini rasanya benar benar beda dengan segala hari biasanya. Kecupan kecil Jungkook pada dahinya sebelum pemuda itu berangkat; yang harusnya membuat Taehyung tersenyum bahagia, kini pemuda itu malah tersenyum tipis begitu kecut. Kata kata sebelum berangkat siang itu, membuat Taehyung kembali termenung.

Tidak, bukan siang ini saja sebenarnya. Namun Tiga hari berturut turut.

Anggaplah, Empat hari yang lalu Taehyung benar benar meremehkan Jung Hoseok karena mengatakan Jeon Jungkook itu brengsek; kata yang sama seperti yang ia keluarkan awal mereka menjalin kasih.

Anggaplah, Taehyung itu bodoh. Tiga hari penuh membututi Jungkooksetelah hari dimana dirinya mengetahui Jungkook tidak di Bar ketika pemuda itu mengatakan pergi ke BarTiga hari penuh ini.

Ya, tiga hari penuh untuk memastikan hati Taehyung bahwa itu benar benar Jungkook. Maka setelahnya, Taehyung mengetahui dengan sangat kalimat pendek yang Hoseok katakan di Bar Tiga hari yang lalu; "bukan teman."

Katakanlah, Taehyung benci, kesal, dan bodoh. Harusnya, pemuda itu memaki Jungkook, mendorong jauh Jungkook dari hidupnya setelah melihat dengan mata hazelnya sendiri bagaimana Jungkook kembali mendekap namja itu, bersamaan dengan elusan halus di pinggul dan pucuk kepala, juga kata kata manis yang diucapkan begitu pelan. Harusnya.

Katakanlah sepuasnya, Taehyung itu bodoh. Mungkin Tiga hari belumlah cukup untuk Taehyung agar meyakinkan apa yang ia lihat. Pikiran terus berkelana, mengatakan yang ia lihat itu nyata namunsemogabukan seperti perkiraanya. Mengatakan bahwa; itu bukan apa apa, tidak lebih dari hubungan teman.

Mungkin, pikirannya terlalu menganggu, dan hatinya benar benar berharap. Maka, satu hari ini saja lagi, biarkan Taehyung melihatnya lagi. Kali ini, yang terakhir, semoga. Semoga, kali ini dia bisa melihatnya; bagaimana kedua orang itu hanya menjalan layaknya teman biasa, mengatakan hal hal wajar layaknya teman. Juga Jungkook yang mengatakan, "teman yang baik." Atau "terimakasih telah menjadi temanku,"

Maka, sekali ini saja, yang terakhir.

■ ■ ■

Di Toko Bunga lagi siang itu, tujuan Jungkook tidak berubah sebelum menuju Bar, ternyata. Duduk di paling pojok bersamaan dengan namja itu dan Taehyung yang sama seperti sebelumnya; duduk di meja luar, menyenderkan kepalanya pada kaca agar bisa mendengar.

Segala harapan bahkan doa yang tidak henti hentinya ia ucapkan dalam hati sedari tadi, runtuh. Runtuh bersamaan dengan tetes pertetes air mata yang kembali membahasi pipinya. Runtuh bersamaan dengan bagaimana ribuan hujaman di hatinya kembali terasa; nyeri, sakit, dan yang lebih parah; tidak bisa disembuhkan.

Runtuh satu persatu ketika Taehyung mendengar segala ucapan Jungkook kala itu.

"Kau cantik sekali, mawar-ku."

"Aku bilang; kau seperti mawar."

"Aku disini, selamanya."

"Kalau begitu, selamanya."

"Janji."

"Aku janji."

Taehyung tidaklah begitu bodoh untuk tidak mengetahui bahwa bunyi kecipak kecil dan desahan pelan namja itu menandakan keduanya berciuman panas, bersamaan dengan lenguhan Jungkook yang menggumamkan "baby" sebelum akhirnya kembali memanggut satu salam lain.

Katakan sekali lagi, Taehyung itu bodoh. Harusnya dia membuka kasar pintu toko bunga itu dan menampar namja sialan itu, atau mungkin Jungkook.

Bersamaan dengan tangan yang perlahan merambat meremas kuat dadanya, Taehyung berlari. Meninggalkan keduanya yang entah bagaimana kelanjutannya. Bersamaan dengan teriakan kuat di hatinya, bersamaan dengan hancurnya harinya.

Dunia Taehyung runtuh.

Taehyung bodoh. Dan dia sudah mengatakan itu ribuan kali pada dirinya sendiri. Memukul brutal kepala, menjambak tak kalah kuat, juga teriakan dan isakannya, tak kunjung berhenti rasa sakitnya.

Ini berbeda. Sakit hati bukanlah semacam sakit kecil yang saat kecil bisa sembuh dengan cepat ketika ibumu meniuapnya bersamaan dengan satu kecupan lembut setelah mengucapkan kata penenang.

Sakit hati tidak semacam itu.

Berbeda. Air mata yang mengalir tak kunjung henti tidak bisa menghentikan sakitnya. Jambakan atau pukulan pada kepala sendiri tidaklah meredakan rasa sakitnya. Bahkan sayatan yang Taehyung pernah coba lakukan kemarin, tidak bisa menutupi luka di hatinya.

Ini berbeda.

Rasanya seakan kau dibuat terbang, begitu tinggi dengan sayap yang diberinya. Kemudian dibuang, dihempas kuat hingga ke dasar daratan. Meninggalkan luka.

Rasanya seakan kau ditusuk beribu ribu jarum yang kian membanyak. Dan kau tau bagian yang paling buruknya? Kau tidak bisa mencabutnya barang sedikitpun.

Membiarkan jarum itu menusuk hatinya perlahan, mengalir darah. Apa yang akan kau lakukan? Hanya menangis.

Jadi biarlah. Biarlah siang ini dia melupakan sejenak kerja di cafenya. Biarlah siang hingga malam ini dirinya menangis bagai orang gila. Biarlah malam ini Taehyung menangis tak henti hentinya karena satu pemuda brengsek.

Harusnya, dulu dia tidak jatuh dalam pesona Jungkook semudah ini.
Harusnya, dulu dia percaya pada Hoseok bahwa Jungkook hanya melampiaskannya.


Harusnya, Taehyung lebih cepat sadar bahwa dirinya adalah pelampiasan.

■ ■ ■

Pojok kamar dengan lampu yang dibiarkan mati, meletakkan kepalanya pada kedua tangan yang dilipatnya di ujung jendela apartemen. Taehyung mengerjap, menatap kosong bersama dengan bayang bayang langkah Jungkook yang ia lihat dari jendela, pemuda itu berjalan begitu santai dengan pakaian bartendernya kemudian menghilang perlahan lahan dari indera penglihatan Taehyungseperti setiap pagi.

Matanya bergulir menatap jalanan di bawah, benar benar bosan karena tidak akan menemukan figura sosok Jungkook di hazel-nya; Jungkook tidak akan pulang secepat ini. Kemudian, mendongak ke langit ketika suara gemuruh terdengar memekakan telinganya. Tersenyum kecut.

Padahal, langit tadi terlihat begitu cerah; seperti lautan dengan warna biru halus dengan cotton candy berwarna putih menghiaskan. Juga, matahari yang tadinya benar benar secerah bunga matahari yang baru saja mekar, kini pudar. Perlahan pudar kemudian menjadi warna abu abu mendominasi; tidak ada lagi lautan biru yang begitu halus, serta matahari yang kini lelah bersinar; suram.

Lautan biru halus itu kini juga jatuh dengan perlahan, lelah menjadi lautan, kemudian dengan perlahan menjatuhkan jiwanya ke bumi.

Matahari? Jangan ditanya. Dia lelah bersinar sendirian.

Jangan salahkan abu abu; sang antagonis yang mendominasi langit kala itu. Salahkan lautan, matahari, dan cotton candy yang terlalu lelah dan malah memilih menyerah. Dan lautan, matahari, dan permen kapas itu bahkan tidak menyangkal bahwa dirinya sudah menyerah.

Rasanya, langit siang itu mewakili perasaan Taehyung.

Bersamaan dengan menetesnya air hujan di Seoul siang itu, bersamaan dengan air mata yang mengalir dari netra indahnya. Lagi. Kesekian kali untuk hari ini. Juga, bersamaan dengan bagaimana otaknya bilang berhenti, namun hatinya jauh lebih keras kepala.

Dengan perlahan hancur hatinya.

■ ■ ■

"Jungkook?"

"Hm,"

Jungkook berdehem pelan sebagai jawaban, menatap lembut seseorang di pangkuannya kemudian memberinya satu kecupan pelan. Begitu lembut hingga yang kecup hampir melayang dibuatnya.

"Kenapa?" Tanyanya lagi, kemudian hanya terdiam ketika tangan seseorang itu menggapai dasi bartendernya, kemudian melepasnya sembarang.

"Lelah?" Katanya, bertanya sambil memberikan beberapa elusan pada pucuk kepala Jungkook.

Jungkook menyamankan posisinya, membenamkan kepalanya pada ceruk leher sosok di pangkuannya, kemudian terdiam. Hening dengan detakan jarum jam yang begitu nyaring menusuk gendang telinga malam ini, Jungkook merasakan hangat.

Hangat yang pernah ia rasakan, dulu.

"Kau lelah," sosok itu berkata, kemudian menangkup kedua pipi Jungkook, memberikan satu kecupan sebelum berkata, "ayo istirahat sebentar di Kamar."

Jungkook hanya mengangguk, berjalan pelan dibelakang. Kemudian dengan lemas langsung berbaring di Kasur, bersamaan dengan sosok yang kini merangkak naik pada Kasurnya dan pelukan erat pada pinggangnya.

"Tidurlah," bisiknya pelan. Memberikan kembali elusan pada pria itu agar membantunya bertemu mimpi indahnya.

Semuanya baik baik saja hingga akhirnya sosok itu berjengit, terduduk dengan cepat dengan mata yang langsung mencari jam; pukul satu malam. Sebersit pikiran yang ia lupakan kini terlintas dengan begitu cepat, menyadarkannya pada kenyataan, kemudian dengan cepat menggoyang tubuh Jungkook.

"Jungkook," panggilnya. Biarlah, walau pria itu nampak begitu lelah dengan kerutan di dahi yang membuatnya nampak lebih lelah, namun dirinya harus melakukannya.

"Hm?" Berdengung, terlalu letih untuk membalas.

"Jungkook, b-bagaimana dengan Taehyung?"

Matanya yang tadinya tertutup rapat kini sedikit terbuka, bersamaan dengan bulu mata yang perlahan naik karena gerakan mata sang empunya. Juga hening yang lambat lambat membuatnya membayangkan Taehyung; wajah pria manis itu kala tertidur di sofa menunggunya, wajah khawatirnya melihat Jungkook yang datang dengan raut lelah, wajahnya yang begitu manis sembari membiarkan tubuhnya didekap begitu erat.

Namun



"Yoongi, biarkan aku tinggal sebentar."

Katakan, Min Yoongi itu bodoh. Yoongi itu terlalu egois, juga jahat. Harusnya, saat ini dirinya mengusir Jungkook, dengan paksaan kemudian menyuruh pemuda itu untuk pulang; menemui Taehyung-nya yang mungkin kini berbaring melawan kantuk di sofa apartemen. Harusnya.

Jahat? Yoongi sadar.

Jungkook itu bukan miliknya lagi, walau dia pernah memiliki Jungkook dulu. Sekarang pemuda itu sudah bersama dengan namja manis yang lain. Harusnya Yoongi berlari ketika suara Jungkook terdengar memanggilnya di toko Bunga hari itu. Namun hatinya berkata lain. Dengan bodohnya, mempersilahkan Jungkook kembali lagi ke dalam hidupnya, dengan segala sikap manisnya dulu. Yang kini, segala sikap manisnya bahkan Yoongi tidak tau tujuannya lagi. Hey, mereka tak ada hubungan.

Egois? Waw, sangat. Merebut tangan Jungkook dari genggaman orang lain, merebut pandangan Jungkook hanya pada dirinya, berkata begitu manis hanya untuk melihat senyuman Jungkook lagi.

Walau, Yoongi tau Jungkook itu bukan miliknya lagi.

Cinta merubahnya menjadi seperti ini. Membuatnya jahat hanya untuk mendapatkan Jungkook kembali.

"Aku mencintaimu,"

Continue Reading

You'll Also Like

182K 28.6K 52
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
52.6K 6.5K 37
Paul Aro merupakan cowok yang terkenal di sekolah dengan kenakalan,jahil,dan suka tawuran Nabila haniyya seorang gadis yang berparas cantik, imut da...
1.6K 213 5
[COMPLETE] berawal dari Taehyung yang terpilih sebagai salah satu peserta kelas nasional di Busan, mengenalkannya pada seseorang yang berhasil menari...
950K 57.7K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...