RECORDS -Cheolsoo-

By heyhduami

25.8K 3.2K 769

Berisi tentang kisah hidup pemuda tuna wicara bernama Hong Jisoo, dengan sosok Choi Seungcheol yang merupakan... More

Prolog
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
18
Bukan Update
19
20
BAD NEWS! Or.. good?

17

1K 142 71
By heyhduami

Dari pada memakan sarapan di sofa, Jisoo lebih memilih di atas ranjang. Apalagi saat ini bokongnya masih terasa sangat sakit. Ia sempat protes pada Seungcheol saat layanan antar kamar diizinkan masuk ketika Jisoo masih membaca di atas kasur dengan tubuh polosnya yang hanya tertutup selimut.

"Aku tidak terbiasa makan disana. Nanti kotor." keluh Seungcheol. Tapi ia juga tidak tega melihat Jisoo yang selalu meringis di tiap gerakan ringannya. Toh, itu karena dirinya juga.

Ehe.

Jisoo menggeleng kuat-kuat. Dia sudah berada di posisi terbaik. Bersandar pada kepala ranjang, dan kakinya tertutup meja yang di atasnya berisi sarapan. Ia sudah biasa ketika masih tinggal bersama kakeknya dulu. Kris tidak akan pernah membiarkan Jisoo merasa lelah barang menyuruhnya sarapan di lantai satu. Hanya jika Jisoo ingin saja.

"Makan lah di sampingku. Malam ini kita sudah akan berada di Korea, jadi nikmatilah makan di atas ranjang." kata Jisoo. Lalu tangannya menepuk-nepuk sisi ranjang.

Bukan apa-apa. Sejujurnya, Seungcheol juga merasa gugup. Ketika bangun tadi, ia hanya mengecup dahi Jisoo dan langsung menonton televisi. Dadanya berdegup kencang tiap mengingat perbuatannya semalam. Berbeda dengan Jisoo yang pagi ini mengeluarkan senyum menyebalkan disertai gigitan pada bibir merah mudanya.

Heol. Kucing yang satu ini senang sekali menggoda Seungcheol.

"Aku akan mengundang Yoojung."

Raut wajah Jisoo menjadi kelabu. Ia menekuk wajahnya. Kan inginnya mereka sarapan bersama di sela dengan cuddling yang hangat. "Kalau begitu undang Junhui juga."

.
.
.
.
.
.

"Kenapa harus si bangsat itu?!?!"

Seungcheol sewot.

.

Mingyu harus menahan pahit di sore hari ini. Hal yang pertama di sapa Jisoo setelah kepulangannya dari Milan, justru adalah Choa dan anak-anaknya. Seungcheol bilang, Jisoo tak ingin diganggu sekarang. Istrinya masih merajuk sejak kejadian sarapan tadi pagi. Yahh— mana mungkin Seungcheol mengizinkan Jun masuk lagi ke kamar hotel mereka.

Setelah memutuskan orang yang akan bertanggung jawab dengan sisa pameran diminggu ini, Jisoo hanya mengatakan beberapa patah kata pada Seungcheol. Bahkan wajahnya masih saja ditekuk.

Mingyu yang awalnya kecewa, mood nya berubah ketika menemukan sosok Minghao di samping mobil Jisoo. Tengah mencoba menurunkan kopernya yang tidak sedikit. Mingyu berinisiatif untuk menolong pemuda manis itu, tapi sumringah di wajahnya menghilang kala sosok Jun tiba-tiba muncul dari kursi kemudi dan membantu Minghao.

Jun benar-benar perusak momen.

Itu yang dikatakan Mingyu dan Seungcheol.

"Jisoo-hyung!" teriak Minghao. Suaranya sedikit teredam karena jauhnya pekarangan ke rumah Jisoo. Tapi pendengaran Jisoo bisa dibilang lebih baik dari orang-orang disekitarnya. Ia berlari kecil ke antara Seungcheol dan Mingyu, dengan menggendong salah satu anak Choa.

"Aku akan diantar gege, terima kasih atas tumpangannya!" teriak Minghao lagi. Kali ini tangannya yang panjang terangkat tinggi ke atas untuk melambai. Ia tidak sadar betapa murungnya Mingyu di belakang sana.

Jisoo mengangguk. Senyumnya merekah sambil membalas lambaian pemuda yang sudah dianggapnya sebagai adik itu.

"Yoojung tidak kemari?" tanya Mingyu ketika sosok Minghao telah menghilang di balik mobil sedan milik Jun. Jisoo menggeleng. Menurunkan anak kucingnya dan kembali melihat ke arah Mingyu. Gerak-geriknya seolah mengabaikan Seungcheol yang berdiri mencoba ikut berinteraksi di belakangnya.

"Yoojung langsung kembali ke Daegu. Aku tidak bisa mengambil resiko membawanya menginap untuk ujiannya esok lusa."

Jelas Jisoo sembari melenggang masuk ke dalam dan kembali bermain bersama kucing-kucingnya. Ahh— sebetulnya itu kucing-kucing Seungcheol. Tapi Jisoo menjadikan hak milik-nya.

Mingyu melirik Seungcheol yang meringis di sampingnya. Mereka berdua akan melupakan status Tuan-Pelayan jika sudah berdua seperti ini. "Jadi— ingin cerita bagaimana tuan muda Jisoo memiliki bercak-bercak merah di lehernya?"

Seungcheol terkejut. Ia menoleh ke arah Mingyu dengan pandangan tak percaya. "Apa begitu terlihat?" bisiknya. Mingyu mengangguk antusias.

.

Hari-hari Seungcheol setelahnya berubah 180 derajat. Selain mengurus rumah sakit sekaligus menjadi dokter, dia juga harus menjadi supir pribadi Hong Jisoo ke makam kakeknya yang selalu ia sambangi tiap sebulan sekali untuk mengawasi bunga-bunga yang ditanamnya disana.

Tidak hanya kalian, Seungcheol juga berjengit ketika mendengar hal itu. Siapa orang gila yang menanam baby breath di makam kakeknya? Hanya Jisoo. Katanya:

Jangan menggunakan buket, yang ada akan mati dan harus menggantinya berulang-kali.

Selain ke makam Dokter Wu, Seungcheol juga selalu mengikutsertakan Jisoo ketika dirinya hendak bekerja di pagi hari. Pemuda manis itu akan langsung menyebrang setelah mobil mereka berhenti. Tak ada selamat tinggal, hanya kecupan di bibir dan berlari dengan tangan direntangkan menuju kedai yang bertuliskan Suga(r) pada papan reklame. Lalu sudah ada Yoongi yang menghela nafas berat sambil mengelap meja-meja kayunya tiap melihat si pelanggan setia dari kejauhan.

Tentang Choa dan anak-anaknya yang lucu, Jisoo membuat sebuah taman besar di belakang rumahnya. Khusus untuk kucing-kucing Seungcheol yang justru sering mencakar wajah tampan pemuda satu itu. Hanya pada Jisoo saja Choa dapat mengeong ramah dan menbiarkan anak-anaknya digendong.

Yahh— mungkin Choa mengganggap Jisoo sekaum dengannya.

Semua hal itu terjadi secara rutin hingga setahun lamanya. Seungcheol sungguh menikmati kehidupan barunya yang sekarang. Bahkan kondisi sang istri yang merupakan tunawicara pun tak pernah ia permasalahkan lagi. Malah sepertinya, Seungcheol merasa bangga ketika melihat pemuda manis itu tersenyum penuh jumawa di depan pameran-pamerannya.

Dengan adanya Jisoo disisinya, ia bahkan hampir melupakan sosok Jeonghan. Kekasih tercintanya sedari masa kuliah.

Hanya terkadang, Seungcheol selalu menyempatkan diri untuk berdiam di beranda. Memperhatikan foto sang kekasih dengan rokok yang dihisapnya kuat-kuat. Jisoo tahu? Tidak. Pemuda manis itu juga sibuk merekam ketukan di tiap malam. Menceritakan hal baik dan keluh kesahnya sepanjang hari.

Seungcheol juga tahu mengenai rekorder tua pemberian Dokter Wu untuk Jisoo. Ia pernah melihatnya di atas nakas. Tapi tak ada sedikit pun keinginan yang terbesit untuk sekedar mendengarkan isi rekorder yang diyakini Seungcheol hanya berisi ketukan.

Sekarang sudah kembali memasuki musim gugur, dan Jisoo merasakan haus yang sangat ketika jarum jam tepat berada pukul 2 dini hari. Ia baru saja selesai merekam diary ketukannya di dalam ruang lukis miliknya. Melepas apron dan menyambar gelas dari dalam lemari pendingin sebelum menenggaknya dengan cepat.

Ahh— Jisoo brain freeze.

Dirinya mengutuk kebiasaan buruk yang tak pernah hilang sedari kecil itu. Tapi stress nya memang hanya akan hilang dengan air dingin yang ditenggak cepat.

Setelah kepulangannya dengan Seungcheol dari Milan, memang dirinya tak pernah memiliki masalah dengan sang suami. Hanya pertengkaran kecil memperebutkan paha ayam atau remote televisi. Seungcheol juga pandai menjaga hati. Tak ada satu pun laki-laki atau pun perempuan yang terlalu dekat dengannya. Pekerjaan sebagai desainer dan seniman milik Jisoo, juga tidak terlalu ada masalah.

Hanya saja—

"Eoh? Kau lapar juga?"

Jisoo berjengit dari posisinya ketika mendengar suara serak Seungcheol yang muncul dari balik tubuhnya. Pemuda tampan itu masih memperhatikan Jisoo sembari berjalan menuju lemari pendingin. "Kantung matamu sangat hitam, ingin es?" tanyanya.

Jisoo menggeleng pelan. Kali ini dirinya yang memperhatikan Seungcheol mengobrak-abrik isi lemari pendingin yang dominan isinya adalah cemilan milik Jisoo.

"Jangan tidur terlalu larut. Aku lebih membutuhkanmu dari pada lukisan-lukisan itu." kekeh Seungcheol, yang justru mengundang cebikan sebal dari Jisoo.

"Lukisan ku adalah anak ku."

Seungcheol tergelak. Ia menggigit sebuah mochi berwarna pink dan mengunyah disela tawanya sendiri. "Kenapa harus mempunyai benda fiktif sebagai anak jika kau bisa memiliki satu yang hidup?" goda Seungcheol. Masih dengan tawa dan sekali tegukan besar untuk menelan mochi di dalam mulutnya.

Perkataan Seungcheol tanpa sengaja merubah raut wajah Jisoo. Pemuda itu menghilangkan seluruh tarikan di bibir kucingnya. Menyisakan alisnya yang turun dan tatapan menyendu.

U-uh— Seungcheol salah bicara. Lagi.

"Soo-ie." Panggilnya hati-hati. Kali ini tangan besarnya merangkup kedua bahu Jisoo. Mengusapnya pelan mencoba mengembalikan mood sang istri. "Kau tahu aku tak pernah keberatan dengan ini kan?"

Jisoo menggelengkan kepalanya kuat-kuat hingga surai kelamnya terayun menampar wajah tampan Seungcheol. Kepalanya menunduk, enggan melihat dua obsidian di hadapannya. Seungcheol menghela nafas berat, lalu membawa Jisoo ke dalam rengkuhannya. "Tak apa. Aku sungguh tak apa. Cukup dirimu tetap disisiku, dan aku tak akan menyesali apapun." Jelasnya.

Jisoo mendengarkan. Tapi rasa bersalah di dadanya terlalu terukir jelas seolah seseorang telah mengelas-nya. Begitu sakit rasanya saat Seungcheol menatap teduh sosok anak-anak yang sering berlarian di taman bermain di seberang komplek rumah mereka.

Semua pemandangan itu, seakan mengejek Jisoo. Ia tidak mandul. Dokter-dokter bilang tak ada satu pun di antara dirinya dan Seungcheol yang mandul. Hanya saja— sepertinya Tuhan kembali mencoba kesabaran mereka.

Perlahan, Jisoo melepaskan dirinya dari pelukan Seungcheol yang terasa begitu nyaman. Membawa pandangannya pada wajah tampan Seungcheol, mendapatkan sebuah senyum lebar disana. "Maafkan aku."

Seungcheol menggeleng. Tangannya kembali menyentuh Jisoo, bergerak untuk mengaitkan jemarinya di balik pinggang ramping sang istri. "Atau kita bisa mengadopsi satu. Otte?"

Penawaran Seungcheol, membuat Jisoo menampakkan wajah sumringahnya dalam sekejap. Seungcheol terkekeh kala Jisoo mengangguk antusias. Bibirnya yang tersenyum lebar semakin membuatnya terlihat begitu manis. Sangat manis hingga ingin sekali Seungcheol menghisapnya seperti tebu.

"Kau terlihat seperti Choa."

Jisoo menurunkan senyumnya. Berganti mulutnya yang membentuk kata eoh dan alisnya yang tertekuk. Sepersekon kemudian ia baru menyadari maksud perkataan Seungcheol, dan pemuda manis itu malah mencebikkan bibirnya sebal.

Seungcheol semakin tergelak. "Sekarang kau persis seperti ibu Choa."
.
.
.
.
.
.

"Tidur di dapur!"

.

Jisoo itu memang cantik. Tak ada yang menyangkalnya. Bahkan Mingyu pun seringkali mengutuk mulutnya yang beberapa kali tak sengaja menggoda tuan mudanya itu.

Reaksi yang sama juga ditunjukkan oleh anak-anak dari Panti Asuhan Light Lily di Daegu. Beberapa ada yang langsung menggoda Jisoo, dan yang lain sibuk bermalu ria dengan teman-temannya. Membicarakan betapa inginnya bermain bersama pemuda berbibir kucing yang tersenyum begitu ramah itu.

Jisoo membawa sebuah container berisi makanan manis. Tangannya mengayun mengisyaratkan agar anak-anak yang tengah menghabiskan waktu bermainnya di halaman belakang itu menghampirinya. Sontak para anak-anak panti pun menghampiri Jisoo dengan semangat. Ada juga sih yang menyeret langkahnya malu-malu.

Seungcheol duduk di kursi administrasi bersama pengurus panti yang ternyata hanya 2 tahun lebih tua darinya. Dari tempat mereka duduk, sosok Jisoo yang tengah membagikan makanan manis pada anak-anak panti dapat terlihat jelas. Bahkan senyum manisnya pun terasa menguar ke seluruh penjuru panti.

"Tuan yakin akan memilih Kim Samuel? Anak ini sudah berumur 15 tahun, jadi banyak orang tua yang enggan mengasuhnya karena sudah terlalu tua. Lagi pula, umur tuan—"

"Bukan berarti istriku harus melahirkan umur 7 tahun agar sekarang bisa mendapat anak berumur 15." Balas Seungcheol tanpa melihat ke arah pengurus panti. Ia menatap penuh kekaguman sosok remaja yang tetap duduk manis dengan buku tebalnya di atas pohon. Pemuda itu adalah yang pertama kali Jisoo lihat dengan raut bangga ketika dua jam lalu baru tiba disini.

"Dia periang, banyak anak yang senang dengannya. Tapi dia selalu enggan ikut-ikutan bergerombol saat ada calon orang tua yang datang kemari. Seakan dia telah mengetahui jika dirinya tak akan dipilih."

Seungcheol mengangguk mengerti. Dari wajahnya saja, Seungcheol tahu jika anak remaja bernama Samuel itu adalah anak yang cerdas. Tidak bertele-tele dan penuh dengan keceriaan.

Seperti Hong Jisoo.

Duh. Membayangkan keluarga kecilnya nanti sudah membuat dada Seungcheol berdegup tak sabar. Meskupin mungkin nanti mereka lebih terlihat seperti sepasang kekasih yang membawa seorang adik ketika berkencan.

"Sudah selesai?" Tanya Seungcheol kala melihat Jisoo yang berlari kecil menghampirinya. Meletakkan container kosong di bawah kaki Seungcheol dan membiarkan sebungkus lolipop kecil berada di genggamannya.

Jisoo menggangguk cepat. Tapi sebelum Seungcheol bertanya lagi, istrinya itu kembali berlari kecil ke arah halaman belakang. Kali ini menuju pohon rindang tempat dimana Samuel baru saja membalikkan halaman novel detektifnya.

"Apa kau berpikir Muel akan setuju untuk ku asuh?"

Pengurus panti itu tersenyum seraya mrngangguk pelan. Siapa yang tidak senang untuk mendapatkan sebuah keluarga?

.

Kedua orang tua Seungcheol tampak sumringah menyambut kedua anak serta cucu baru mereka. Ibu Seungcheol bahkan tidak kunjung berhenti memeluk Samuel yang tersenyum canggung. Ia belum pernah mendapatkan perlakuan seperti ini sebelumnya.

"Kau sangat tampan. Cucuku tampan seperti ayahnya." Seru Minki seraya melepaskan pelukannya pada Samuel dengan seluruh keterpaksaan. Jonghyun tetap seperti biasa, berdiri dengan penuh kewibawaan di belakang sang istri.

"Apa dirimu yang menjadikan anak ini sebagai cucuku, Soo-ie manis?" Tanya Minki. Ia menoleh ke arah Jisoo tanpa melepaskan kedua tangannya dari pipi Samuel. Membuat bibir remaja itu mengerucut tercubit kedua pipinya sendiri.

Jisoo mengangguk semangat. Ia sangat bahagia melihat bagaimana reaksi kedua mertua yang sudah seperti orang tua kandungnya itu ketika bertemu Samuel. Ia sempat ragu mereka akan menolak anak adopsinya saat mengetahui umur Samuel yang sudah remaja. Tapi sekarang, malah mereka yang seolah menganggap Samuel adalah anaknya sendiri. Melupakan Seungcheol dan Yoojung yang duduk dengan wajah masam di sofa ruang keluarga.

"Bu, Muel itu cucumu. Anakmu hanya 2." Protes Seungcheol.

"Aku tidak bilang Muel adalah anakku." Ketus Minki. Namun raut wajahnya kembali melembut saat melihat ke arah Jisoo. "Tapi aku juga tak akan keberatan jika dirimu mengizinkan Muel menjadi anakku."

Sekarang Jisoo yang merengut tak terima, hingga gelak tawa keluar begitu saja dari Minki dan kedua anaknya. Sedangkan Jonghyun hanya menggelengkan kepala dan tersenyum lembut. Kepala keluarga di rumah itu tak bisa menampik betapa bahagianya ia menambah anggota keluarga Choi lainnya.

Oh benar, omong-omong—

"Bagaimana dengan margamu, Samuel?"

Semua orang di ruangan itu seketika terdiam. Langsung memikirkan pertanyaan Jonghyun yang sebelumnya tak ada di dalam pikiran mereka.

Jisoo meringsut maju, merangkul Samuel yang sedikit lebih tinggi darinya itu. Sedangkan Minki tersenyum kecut pada cucunya. "Kami tak apa, jika dirimu ingin hidup sebagai seorang Kim." Ujarnya. Samuel menoleh ke arah Jisoo yang juga tersenyum seraya menggangguk mengiyakan.

Ahh— ia mulai menyukai aura keibuan dari ibu barunya itu.

"Ani. Aku ingin hidup sebagai Choi."

Continue Reading

You'll Also Like

802K 58.9K 53
"Seharusnya aku mati di tangannya, bukan terjerat dengannya." Nasib seorang gadis yang jiwanya berpindah ke tubuh seorang tokoh figuran di novel, ter...
77.1K 8.3K 86
Sang rival yang selama ini ia kejar, untuk ia bawa pulang ke desa, kini benar-benar kembali.. Tapi dengan keadaan yang menyedihkan. Terkena kegagalan...
96.9K 12.1K 37
Jake, dia adalah seorang profesional player mendadak melemah ketika mengetahui jika dirinya adalah seorang omega. Demi membuatnya bangkit, Jake harus...
302K 26.6K 51
Tidak pandai buat deskripsi. Intinya ini cerita tentang Sunoo yang punya enam abang yang jahil. Tapi care banget, apalagi kalo si adek udah kenapa-ke...