WIRO SABLENG

By dlwshe

119K 861 20

More

01. Empat Berewok Dari Goa Sanggreng
02. Mau Bernyanyi Di Pajajaran
03. Dendam Orang-Orang Sakti
04. Keris Tumbal Wilayuda
05. NERAKA LEMBAH TENGKORAK
06. Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
07. Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
08. Dewi Siluman Bukit Tunggul
09. RAHASIA LUKISAN TELANJANG
10. Banjir Darah Di Tambun Tulang
11. Raja Rencong Dari Utara
12. Pembalasan Nyoman Dwipa
13. Kutukan Empu Bharata
14. Sepasang Iblis Betina
15. Mawar Merah Menuntut Balas
16. HANCURNYA ISTANA DARAH
17. Lima Iblis Dari Nanking
18. Ki Ageng Tunggul Akhirat
19. Hidung Belang Berkipas Sakti
20. Pendekar Pedang Akhirat
21. Neraka Puncak Lawu
22. Pendekar Dari Gunung Naga
23. Siluman Teluk Gonggo
24. Cincin Warisan Setan
25. Penculik Mayat Hutan Roban
26. Cinta Orang-orang Gagah
27. Iblis Iblis Kota Hantu
28. Khianat Seorang Pendekar
29. Petaka Gundik Jelita
30. Dosa Dosa Tak Berampun
31. Bencana Di Kuto Gede
32. Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi
33. Bajingan Dari Susukan
35. Munculnya Sinto Gendeng
36. Telaga Emas Berdarah
37. Dewi dalam pasungan
38. Maut bermata satu
39. Iblis Berjanggut Biru
40. Kelelawar Hantu

34. Panglima Buronan

1.7K 10 0
By dlwshe

34. Panglima Buronan  

SATU  

Sri Baginda Raja seperti dihenyakkan setan di atas kursi kebesarannya. Singgasana  

itu terasa seperti bara panas. Wajahnya yang penuh kerut ditelan usia lanjut tampak  

kelam membesi. Dadanya turun naik sedang sepasang matanya menatap tak berkesip  

pada Raden Mas Jayengrono yang duduk bersila di hadapannya.  

Sang raja meraskan tenggorokannya seperti kering. Mulutnya terbuka tapi  

lidahnya seperti kelu. Setelah hening beberapa lamanya, degnan suara bergetar Sri  

Baginda akhirnya bersuara juga.  

"Jika bukan Raden Mas yang bicara sungguh sulit aku mempercayai cerita  

itu.....!"  

"Sebenarnya hal itu sudah lama saya ketahui Sri Baginda. Hanya saja saya  

takut untuk menyampaikannya."  

"Kalau untuk kebenaran mengapa takut? Hanya saja, apakah kau punya bukti- 

bukti nyata? Saksi-saksi.......?"  

"Saya tidak berani melapor pada Sri Baginda kalau tidak mempunyai bukti  

dan saksi hidup," sahut Jayengron yang Panglima Balatentara Kerajaan itu. "Sekian  

puluh pasang mata melihat dan mengetahui kejadian itu. Termasuk Patih Kerajaan  

dan Kepala Pasukan Kotaraja. Cincin emas bergambar burung rajawali milik puteri  

Sri Baginda terlihat di jari tangan manusia bernama Pangeran Matahari. Pembunuh  

Tumenggung Gali Marto. Pembunuh dua orang putera Sri Baginda. Ketika diperiksa  

secara aneh cincin itu tahu-tahu sudah berada kembali di tangan Raden Ayu Puji  

Lestari. Kejadian yang mencurigakan berikutnya ialah munculnya seorang pemuda  

berkulit hitam bertindak selaku pelindung Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya.  

Jika tidak terdapat hubungan rahasia antara Pangeran Matahari dengan istri Sri  

Baginda, bagaimana mungkin cincin itu berpindah-pindah tangan?"  

Lama Sri Baginda terdiam. Tutur apa yang diketahuinya, dibandingkan  

dengan keterangan Raden Mas Jayengrono, segala sesuatunya memang cocok benar.  

"Raden Mas, tahukah engkau apa artinya jika kemudian keterangan yang kau  

sampaikan saat ini ternyata tidak benar.....?" Sang raja bertanya seolah-olah ingin  

menolak hal yang sebenarnya dia sendiri sudah mempercayainya.  

"Saya tahu dan mengerti sekali Sri Baginda," jawab Jayengrono. "Untuk itu  

saya bersedia dipancung......"  

Kembali Sri Baginda terdiam. Kali ini lebih lama dari tadi sehingga karena  

tidak sabar Jayengrono membuka mulut berkata "Sri Baginda, saya mohon petunjuk  

lebih lanjut."  

"Aku perintahkan kau menangkap ibu dan anak itu!" Tiba-tiba saja Sri  

Baginda menjawab tegas.  

"Itukah keputusan Sri Baginda?" bertanya Jayengrono.  

"Itu keputusan raja! Sekalipun anak dan istri sendiri, jika membuat kesalahan  

perlu dihukum. Pengadilan para sesepuh Kerajaan nanti yang akan menentukan  

hukuman apa yang patut dijatuhkan terhadap kedua perempuan itu....."  

"Jika begitu bunyi perintah, begitu pula yang akan saya lakukan. Saya kawatir  

sekali akhir-akhir ini Sri Baginda....."  

"Hemmmm..... Apa maksudmu Raden Mas?"  

"Saya kawatir kalau-kalau Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya secara  

diam-diam bersekutu dengan Pangeran Matahari untuk merampas tahta kerajaan.  

Bukankah tempo hari sewaktu menyerbu ke mari Pangeran jahat itu bermaksud  

menghabisi Sri Baginda? Dan bukan mustahil pula orang-orang di utara mengipas- 

ngipas terjadinya pemberontakan. Yaitu sejak gembong-gembong pemberontak kita  

tangkap dan hukum mati menjelang bulan Maulud dua tahun silam....."  

"Semua akan tersingkap di sidang pengadilan para sesepuh kelak....."  

"Saya harapkan begitu," kata Raden Mas Jayengrono pula. Lalu Panglima  

Balatentara Kerajaan ini menghaturkan sikap hormat dan mohon diri.  

Baru saja matahari menerangi jagat pagi itu, Raden Ayu Puji Lestari  

Ambarwati yang tegak di belakang jendela berpaling pada ibunya dan berkata "Ada  

rombongan datang....."  

Raden Ajeng Siti Hinggil bangkit dari kursinya, menyibakkan tirai jendela dan  

memandang ke arah halaman. Benar apa yang dikatakan puterinya. Serombongan  

orang terdiri dari delapan perajurit memasuki halaman gedung kediamannya. Di  

sebelah belakang menyusul sebuah kereta. Lalu paling belakang sekali seorang lelaki  

berpakaian mewah, menunggang seekor kuda coklat yang bukan lain Jayengrono,  

Panglima Balatentara Kerajaan.  

"Dugaan ibu tidak meleset Puji. Manusia itu benar-benar menjalankan niat  

busuknya. Mereka datang untuk menangkap kita....."  

"Menangkap kita?!" kejut Puji Lestari mendengar ucapan sang ibu.  

"Benar. Menangkap kita anakku. Menangkap kau dan aku!"  

"Tapi apa salah kita?!" tukas sang puteri dengan mata membelalak.  

Raden Ajeng Siti Hinggil ingat pada pembicaraan dan ancaman Jayengrono  

kemarin, lalu menjawab "Jika seseorang ingin mencelakai kita, dia bisa mendapatkan  

seribu satu kesalahan pada diri kita....."  

"Tapi ibu! Kita ini bukan rakyat jelata yang bisa dilakukan semena-mena. Kau  

adalah istri Sri Baginda Raja! Dan aku puteri raja!"  

"Jawabnya mudah anakku! Sri Baginda telah termakan dan percaya pada hasut  

dan fitnah!"  

"Saya akan mengusir manusia gila itu!" kata Raden Ayu Puji Lestari setengah  

berteriak.  

"Tak ada gunanya Puji. Takdir Tuhan mungkin memang kita harus mengalami  

nasib begini...."  

Ucapan Raden Ajeng Siti Hinggil terputus ketika pintu besar ruangan depan  

itu terbuka. Sosok tubuh Jayengrono masuk diiringi lima orang perajurit.  

"Raden Ajeng...." Jayengrono hanya sempat mengucapkan dua patah kata itu  

karena Siti Hinggil lebih cepat memotong.  

"Tak perlu banyak bicara dan segala macam peradatan palsu! Aku dan  

puteriku siap untuk ditangkap. Hanya saja beri waktu aku meninggalkan pesan pada  

para inang pengasuh Pangeran Sebrang agar mereka menjaga anak itu selama aku di  

penjara!"  

Lalu tanpa menunggu apakah permintaannya itu diizinkan atau tidak Raden  

Ajeng Siti Hinggil masuk ke dalam. Tak lama kemudian dia keluar lagi dan  

melangkah ke pintu sambil menggandeng tangan Puji Lestari.  

Sebenarnya Jayengrono ingin menyampaikan sesuatu pada Raden Ajeng Siti  

Hinggil, namun karena ibu dan anak itu selalu rapat bersama-sama maka terpaksa  

niatnya itu dibatalkan.  

Sebelum naik ke atas kereta Raden Ajeng Siti Hinggil sesaat berpaling pada  

Jayengrono. Wajahnya sinis ketika berkata "Tentunya kau puas sekarang Raden Mas!  

Tapi aku lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaanmu!"  

Begitu duduk dalam kereta, baru saja kendaraan itu bergerak, Puji Lestari  

memandang pada ibunya dan bertanya "Ibu, apa maksudmu tadi? Ucapanmu bahwa  

ibu merasa lebih puas karena tidak bersedia memenuhi permintaan Panglima  

Balatentara itu. Memangnya..... apa yang pernah dimintanya padamu.....?"  

Siti Hinggil menggelengkan kepala. "Permintaan gila yang tak ada gunanya  

kau ketahui, Puji...."  

Tapi sang puteri malah mendesak "Kau harus menceritakan padaku ibu!"  

"Tak ada perlu diceritakan. Dan ibu tidak ingin kita membicarakan hal itu.  

kalau saja adikmu Pangeran Anom masih ada, mungkin tidak seburuk ini nasib  

kita...."  

"Belum tentu ibu. Mungkin malah lebih buruk," menyahuti Puji Letari.  

Raden Ajeng Siti Hinggil manarik nafas dalam. "Dunia ini memang aneh. Kita,  

istri dan puteri raja bisa diperlakukan seperti ini...."  

"Bukankah tadi ibu sendiri yang bilang bahwa ini semua mungkin takdir  

Tuhan...."  

Istri ketiga Sri Baginda Raja itu tersenyum pahit.  

"Justru anehnya, sekarang aku malah meragukan. Apakah ini memang benar  

takdir Tuhan atau maunya manusia-manusia jahat dan busuk yang memegang  

kekuasaan?!"  

Kereta bergerak makin cepat ke arah timur, memasuki Kotaraja melalui pintu  

gerbang tua yang masih ditancapi umbul-umbul warna hitam serta kuning, pertanda  

berkabung atas tewasnya dua putera Sri Baginda di tangan manusia jahat Pangeran  

Matahari beberapa waktu lalu.  

DUA  

Malam yang indah dihiasi bulan purnama empat belas hari itu berubah menjadi  

kelam pekat ketika awan gelap menutupi rembulan. Angin kencang bertiup tiada henti,  

mengeluarkan suara menggidikkan dan menebar hawa dingin mencucuk tulang.  

Ruangan di mana Raden Ajeng Siti Hinggil ditahan berukuran delapan kali  

enam tombak. Merupakan sebuah kamar yang bersih, lengkap dengan tempat tidur  

dan lemari. Namun bagaimanapun bagusnya kamar itu, tetap saja merupakan ruangan  

yang menyekap dan memenjarakan istri Sri Baginda yang ketiga itu.  

Siti Hinggil duduk termenung di atas satu-satunya kursi dalam kamar.  

Matanya balut bekas menangis. Dia sama sekali tidak merasa takut disekap seperti ini.  

Namun yang dikawatirkannya adalah keadaan puterinya. Ternyata dia dan Puji Lestari  

ditahan di kamar yang terpisah.  

Sebelum Panglima Jayengrono memerintahkan pengawal menutup dan  

mengunci pintu kayu yang tebal dan berat itu pagi tadi, Siti Hinggil masih sempat  

melontarkan ancaman "Kalau terjadi apa-apa dengan puteriku, aku bersumpah akan  

membunuhmu Jayengrono!" Saking marahnya Siti Hinggil menyebut langsung nama  

sang panglima di hadapan para pengawal.  

Sambil tersenyum Jayengrono menjawab "Di antara kita, kalau ada yang harus  

mati mungkin kau yang lebih dulu, Raden Ajeng! Kecuali jika kau merubah  

pikiranmu dan memenuhi permintaanku tempo hari...."  

"Manusia biadab!" hardi Siti Hinggil.  

"Perempuan tolol!" dengus Jayengrono. Lalu pintu yang masih belum  

ditutupkan itu ditendangnya dengan keras.  

Di luar angin bertiup semakin kecang. Udara tambah dingin. Hujan mulai  

turun. Mula-mula rintikan yang lenyap terhembus angin, namun kemudian berubah  

manjadi sangat lebat.  

Siti Hinggil masih duduk di atas kursi dengan mata sembab. Tubuhnya sangat  

letih, seharian itu tak sepotong makananpun masuk ke dalam perutnya meskipun  

beberapa kali pengawal datang membawakan hidangan lezat-lezat. Hanya air putih  

yang disentuhnya. Itupun hanya beberapa teguk saja. Kedua matanya tak bisa  

dipicingkan. Ingatannya selalu tertuju pada puterinya.  

Dalam keadaan seperti itu mendadak sepasang mata Siti Hinggil terbuka lebar.  

Membelalak. Menatap ke arah dinding batu ruangan di mana dia disekap. Seperti  

tidak percaya pada penglihatannya, atau menyangka mungkin dia bermimpi,  

perempuan ini mengucak-ucak kedua matanya. Tenyata dia tidak bermimpi. Dinding  

batu tebal itu memang berputar ke belakang, membentuk ruangan kosong seukuran  

setengah pintu dan sesosok tubuh muncul dengan tersenyum.  

Panglima Kerajaan, Raden Mas Jayengrono!  

"Aku datang menepati janji, Siti....." kata lelaki itu lalu dengan tangan kirinya  

mendorong batu yang berputar hingga tertutup rapat kembali.  

"Apa maksudmu?!" sentak Siti Hinggil seraya bangkit dari kursinya.  

"Apa kau tidak ingat pembicaraan kita dua minggu lalu? Waktu aku datang ke  

tempat kediamanmu? Kau akan kutahan di tempat khusus. Inilah tempatnya. Dan aku  

bisa masuk ke mari melalui pintu tahasia itu. Tak ada yang melihat. Tak seorangpun  

tahu. Dan kita.....bisa melakukan seperti masa delapan belas tahun silam Siti.  

Delapan belas tahun seperti delapan belas abad lamanya. Aku merindukan dirimu.  

Aku memendam rasa selama ini. Kini saatnya datang...."  

"Lelaki keparat! Keluar kau dari sini....!"  

"Jangan bicara seperti itu Siti. Bagaimanapun aku adalah kekasihmu atau  

paling tidak kita pernah berkasih-kasihan. Bahkan lebih dari itu hubungan kita di  

masa lalu menghasilkan dua orang turunan. Anom dan Puji....."  

"Sudah! Jangan ucapkan itu! Keluar dari sini kataku! Atau aku akan  

menjerit!" Siti Hinggil mengancam.  

Ruangan ini adalah ruangan kedap suara. Bagaimanapun kerasnya jeritanmu  

tak ada yang bakal dapat mendengar......" sahut Jayengrono. Lalu dia memandang ke  

arah meja kecil di mana terletak makanan. "Hemmm..... Kau tak mau makan rupanya.  

Jangan menyiksa diri. Nanti kau bisa sakit....."  

"Beri aku racun! Aku tidak takut mati!"  

Jayengrono tersenyum, lalu duduk di tepi ranjang bertilam bagus. Saat itu dia  

mengenakan pakaian berbentuk jubah putih. Sepasang matanya berkilat-kilat  

memandang Siti Hinggil.  

"Kau mau bukan, Siti.....?" terdengar suara Jayengrono setengah berbisik.  

Siti Hinggil tegak bersandar di sudut ruangan. Menutupi mukanya dan mulai  

menangis.  

Jayengrono bangkit berdiri dan mendekati perempuan itu. Mencoba  

merangkulnya tapi dadanya didorong kuat-kuat hingga dia terjajar ke belakang.  

"Kalau kau mau mengabulkan permintaanku, percayalah hukumanmu tak akan  

berat. Bahkan aku akan membatalkan sidang pengadilan para sesepuh. Minggu di  

muka kau boleh meninggalkan tempat ini...."  

"Busuk.....! Manusia busuk! Apakah kau masih belum mau bertobat? Apakah  

kau tuli dan hatimu seperti batu hingga tidak mau mendeengar ucapan orang? Aku  

tidak sudi memenuhi permintaanmu! Keluar dari sini atau bunuh aku saat ini juga!"  

Jayengrono geleng-gelengkan kepala. Tapi mulutnya tetap menyunggingkan  

senyum. Tiba-tiba kembali dia merangkul tubuh perempuan itu. Dan kali ini berhasil.  

Ciumannya bertubi-tubi mendarat di wajah Siti Hinggil. Perempuan ini meronta  

berusaha membebaskan diri. Namun tubuhnya yang lemah memiliki keterbatasan  

untuk bertahan dan melepaskan diri. Kemben, angkin dan kainnya terlepas. Tubuhnya  

didorong ke atas ranjang hingga jatuh terlentang, hampir tak kuasa untuk berdiri lagi.  

Saat itu dilihatnya lelaki itu melangkah mendekati. Tiba-tiba Jayengrono membuka  

jubah putihnya. Ternyata di balik pakaian itu lelaki ini tidak mengenakan apa-apa  

lagi! Siti Hinggil menjerit dan nekad.  

Tangan kanannya menyambar ke bawah ketika Jayengrono berusaha  

menindihnya. Tangan berkuku pnajang itu meremas kencang. Kini Panglima Kerajaan  

itu yang ganti menjerit! Tubuhnya sampai terpental oleh rasa sakit. Sesaat dia  

bergulingan di lantai. Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk dia mengenakan jubah  

putihnya kembali. Sebelum meninggalkan kamar itu lewat pitnu rahasia di dinding dia  

masih sempat melayangkan pandangan penuh dendam ke arah Siti Hinggil seraya  

berkata "Kali ini aku gagal. Tapi jangan kira aku tak bisa mendapatkan apa yang aku  

ingin! Dan sekali hal itu kesampaian kau akan kusingkirkan! Perempuan tolol!  

Perempuan gila!"  

"Manusia dajal! Terkutuk kau selama-lamanya!" teriak Siti Hinggil. Lalu  

peremuan ini melompat. Berusaha menerobos melaui pintu rahasia dinding yang  

masih terbuka. Namun dia kalah cepat. Pintu aneh itu lebih dahulu menutup. Dan kini  

di hadapannya adalah dinding polos belaka. Sama sekali tidak ada tanda-tanda adanya  

pintu di tempat itu.  

Siti Hinggil memukul-mukulkan kedua tinjunya ke dinding. Menangis lalu  

melosoh ke lantai.  

TIGA  

Ketika Raden Kertopati muncul di hadapannya sambil menghatur sembah, Sri  

Baginda tersenyum lebar. Tapi Kertopati tahu bahwa di balik senyum itu tersembunyi  

kekalutan pikiran, kegundahan hati dan ketidak tenangan.  

"Lebih dari seminggu aku tidak melihatmu, Kertopati. Bagaiman kesehatanmu.  

Apakah sudah pulih benar.....?" menegur Sri Baginda.  

Raden Kertopati. Kepala Pasukan Kotaraja menunduk seraya berujar "Terima  

kasih atas perhatian Sri Baginda. Kesehatan saya masih belum pulih benar. Namun  

dibandingkan dengan satu minggu lalu memang jauh lebih baik. Sekali lagi terima  

kasih Sri Baginda......"  

Setelah Raden Kertopati mengambil tempat duduk di hadapannya maka  

bertanyalah Sri Baginda akan maksud kedatangannya menghadap.  

"Pertama sekali saya ingin melapor bahwa keadaan di Kotaraja yang menjadi  

tanggung jawab saya, semua dalam aman. Dari utara tak ada lagi kabar-kabar adanya  

menyusupan kaki tangan pemberotak. Rasanya sejak para gembong pemberontak kita  

hukum mati, gerakan mereka boleh dikatakan tumbang musnah....."  

"Aku gembira mendengar laporanmu Kertopati. Tapi kita sekali-kali tidak  

boleh berlaku lengah. Meskipun pemberontakan orang-orang di utara telah kita  

padamkan, aku tiada hentinya meminta Panglima Jayengrono untuk selalu berjaga- 

jaga dan mengawasi setiap orang yang keluar masuk ke pintu gerbang arah utara. Nah,  

mungkin masih ada urusan atau keperluan lain yang hendak kau sampaikan......?"  

"Benar Sri Baginda. Dan untuk yang satu ini saya harapkan maaf terlebih  

dahulu karena ini menyangkut langsung pribadi Sri Baginda....."  

"Aku sudah dapat meraba apa yang hendak kau sampaikan," berkata Sri  

Baginda. "Soal penahanan istriku Siti Hinggil dan puterinya Puji Lestari. Betul?"  

"Betul sekali Sri Baginda. Memang itu yang ingin saya tanyakan......"  

"Kalau persoalan itu silakan kau menghubungi Panglima Kerajaan Raden Mas  

Jayengrono....."  

"Saya maklum hal itu Sri Baginda. Hanya saja. Moof maaf, saya merasa labih  

baik bertemu dan bicara langsung dengan Sri Baginda saja......"  

Sri Baginda berdiri dari kursinya. "Tubuhku letih sekali Kertopati dan aku tak  

ingin membicarakan soal penahanan anak istriku. Kau boleh menghadapku lain kali.  

Tapi ingat, bukan untuk urusan yang satu itu....."  

Raden Kertopati ikut berdiri. Sebelum raja membalikkan tubuh, Kepala  

Pasukan Kotaraja ini berkata "Jika begitu kehendak Sri Baginda mana saya berani  

membantah. Saya hanya akan sangat bersedih kalau sidang pengadilan nanti akan  

menjatuhkan putusan keliru. Menjatuhkan hukuman pada orang-orang yang tidak  

bersalah."  

Habis berkata begitu Kertopati membungkuk hormat lalu melangkah surut  

mengundurkan diri.  

Sesaat Sri Baginda tegak termangu, menatap wajah Kertopati lalu  

melambaikan tangannya.  

"Katakan apa sebenarnya yang hendak kau sampaikan. Rupanya kau  

mengetahui sesuatu Kertopati?"  

Raden Kertopati mengangguk. "Bolehkah kita bicara berdua saja Sri  

Baginda?"  

"Eh, sikapmu aneh sekali kali ini Kertopati. Tapi tak apa. Kukabulkan  

permintaanmu....." Sri Baginda memandang kepada dua orang pengawal yang sejak  

tadi tegak di sebelah belakang, pada kiri kanan kursinya. Kedua pengawal ini menjura  

lalu meninggalkan ruangan. Tapi salah seorang dari mereka menyelinap ke balik pintu  

dan mendekam di belakang hordeng beludru hitam kebiruan.  

"Nah, sekarang hanya kita berdua Kertopati. "Katakan urusanmu!" berkata Sri  

Baginda.  

"Saya mendapat kabar bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji  

Lestari ditahan karena dicurigai mempunyai hubungan dengan Pangeran Matahari,  

pemuda berkepandaian tinggi yang menyerbu istana tempo hari. Apakah itu betul Sri  

Baginda?"  

"Betul dan disertai saksi-saksi. Nanti kau bisa membuktikan sendiri di sidang  

pengadilan para sesepuh....."  

"Selanjutnya disangkakan pula bahwa ada kemungkinan Raden Ajeng dan  

Raden Ayu mempunyai hubungan dengan para pemberontak di utara melalui  

Pangeran Matahari itu....."  

"Itu juga betul!"  

"Sri Baginda, sampai saat ini kita belum mampu mengetahui siapa sebenarnya  

Pangeran Matahari. Apa tujuannya menyerbu ke istana. Mengapa dia membunuh  

Tumenggung Gali Marto. Mengapa dia membunuh pula dia orang putera Sri Baginda  

tercinta....."  

"Manusia itu ingin merampas tahta Kerajaan ini Kertopati! Sebagai seorang  

perajurit apakah kau tidak bisa mengerti hal itu?!" Sri Baginda tampak gusar. Nada  

suaranya keras.  

"Mohon maafmu Sri Baginda. Seperti tadi saya katakan, sebenarnya tidak  

satupun di antara kita yang mampu menyingkap apa latar belakang kejahatan yang  

dilakukan pemuda itu. Mungkin dia hanya seorang gila berkepandaian tinggi yang  

menobatkan diri sebagai seorang pangeran bernama Pangeran Matahari. Mungkin  

juga dia memiliki dendam kesumat terhadap istana dan orang-orang tertentu di  

Kerajaan ini......."  

"Dia bersekutu dengan anak istriku dalam melakukan kejahatan. Apapun latar  

belakang perbuatannya!"  

"Hanya karena cincin emas burung rajawali milik Raden Ayu pernah terlihat  

dipakai oleh pemuda itu Sri Baginda......?"  

"Itu baru satu bukti. Masih ada yang lain lagi!"  

"Mengenai cincin itu saya punya cerita sendiri Sri Baginda. Jika Sri Baginda  

bersedia mendengar penuturan saya....."  

"Kau boleh menuturkan apa yang kau ketahui Kertopati. Asalkan benar!"  

sahut Sri Baginda pula.  

"Sekitar dua bulan lalu, ketika Raden Ajeng dan Raden Ayu kembali dari luar  

kota, rombongan mereka dicegat oleh gerombolan rampok pimpinan Warok Sumo  

Gantra......"  

"Aku tahu peristiwa itu. Tak akan pernah kulupakan! Teruskan penuturanmu  

Kertopati."  

"Warok Sumo Gantra pasti bukan hanya hendak merampok barang-barang  

yang dibawa dan lekat di tubuh Raden Ajeng dan Raden Ayu. Tapi saya yakin sekali,  

perampok-perampok itu hendak menculik istri dan putri Sri Baginda. Mungkin sekali  

Warok Sumo Gantra dibayar melakukan itu oleh kaum pemberontak di utara. Kita  

tidak tahu pasti. Yang jelas pada saat sangat berbahaya itu Raden Ajeng dan Raden  

10 

Ayu ditolong oleh seorang pemuda berkepandaian tinggi. Yaitu Pangeran Matahari itu.  

Warok Sumo Gantra dibunuhnya......"  

"Pangeran Matahari juga membunuh pimpinan pengawal. Nenek sakti Ni Luh  

Tua Klungkung!" menyambung Sri Baginda.  

Kertopati hendak menganggukkan kepala tapi kemudian berkata "Hal yang  

satu ini masih kabur Sri Baginda. Jika Ni Luh Tua Klungkung jago silat istana itu  

mati dibunuh Pangeran Matahari, mengapa mayatnya sampai saat ini tidak pernah  

ditemukan?"  

Sri Baginda terdiam. "Bukan tidak mungkin Ni Luh Tua Klungkung berserikat  

dengan Pangeran Matahari. Dia memberi kisikan bahwa rombongan istana akan lewat  

jalan itu....."  

"Mungkin benar, Sri Baginda. Tapi sulit untuk membuktikannya. Dalam  

rangkaian semua kejadian ini ada satu hal yang sangat pasti. Raden Ayu dan Raden  

Ajeng tidak berkomplot dengan Pangeran Matahari. Cincin burung rajawali itu  

diberikan Raden Ayu pada Pangeran Matahari sebagai tanda terima kasih karena telah  

menyelamatkan nyawa dan kehormatannya bersama ibunya....."  

"Kau mengarang cerita atau bagaimana?!"  

"Saya mengatakan apa yang sebenarnya Sri Baginda."  

"Kau tidak berada di tempat kejadian itu. Bagaimana kau bisa tahu pasti hal  

itu?"  

"Karena beberapa pengawal yang masih hidup dan kusir kereta yang  

menceritakannya pada saya, Sri Baginda...."  

"Ini benar-benar satu hal baru bagiku. Sulit dipercaya!" kata sang raja seraya  

bangkit dari kursi lalu melangkah mundar-mandir.  

"Jika Sri Baginda tidak sulit mempercayai keterangan yang menuduh Raden  

Ajeng dan Raden Ayu berbuat khianat, mengapa begitu sulit mempercayai keterangan  

saya.....?"  

"Semua harus dibuktikan Kertopati!"  

"Saya setuju......"  

"Dan itu akan dilakukan di sidang pengadilan yang dipimpin oleh para  

sesepuh Kerajaan!"  

"Mengapa harus menunggu sidang pengadilan? Kita bisa memanggil kusir  

kereta dan pengawal-pengawal itu untuk memberi kesaksian saat ini juga. Jika Raden  

Ajeng dan Raden Ayu terlalu lama dalam tahanan untuk berbuat yang tidak  

dilakukannya, saya kawatir kesehatan dan pikiran mereka akan terganggu...."  

Sang raja jadi terdiam dan termangu.  

"Tidakkah Sri Baginda bersedia melakukan sesuatu? Melepaskan dulu istri  

dan puteri Sri Baginda sampai ada kejelasan bahwa mereka benar-benar bersalah?"  

"Aku butuh waktu untuk melakukan penyelidikan tersendiri sebelum  

menempuh jalan itu...."  

"Terserah Sri Baginda, asalkan jangan terlalu lama. Kasihan Raden Ajeng dan  

Raden Ayu...."  

"Ada lagi yang hendak kau sampaikan Kertopati?" bertanya Sri Baginda.  

Kepala Pasukan Kotaraja itu terdiam sejenak. Apakah akan diceritakannya  

hubungan gelap Raden Mas Jayengrono dengan istri Sri Baginda yang ketiga itu?  

Yang tanpa setahu Sri Baginda telah membuahi dua orang anak tidak syah yaitu  

Pangeran Anom dan Puji Lestari? Kertopati tiba-tiba saja ingat petuah dan pesan  

gurunya di Banten ketika hendak melepas kepergiannya. Saat itu sang guru berkata  

"Muridku Kertopati, sudah banyak ilmu dan wejangan yang kau terima. Masih ada  

satu hal lagi yang patut kau ingat. Perempuan itu kotoran di kemaluan. Tapi lelaki  

11 

kotoran di mulut. Karena itu selalulah kau sengaja menjaga mulutmu sebaik-baiknya.  

Mulut kamu harimau kamu. Jangan sekali-kali menceritakan aib seseorang pada orang  

lain. Karena itu tidak akan memberi keuntungan apa-apa bagimu. Malah mungkin  

dapat menimbulkan pertumpahan darah sekerajaan....."  

Mengingat sampai di situ maka Raden Kertopati lalu menjawab pertanyaan Sri  

Baginda.  

"Tak ada lagi yang akan saya sampaikan. Saya mohon diri dan siap sedia  

dipanggil setiap saat...."  

"Kau boleh pergi."  

Raden Kertopati membungkuk lalu melangkah mundur sampai di pintu. Dia  

sama sekali seperti tidak melihat ada seseorang yang mendekam di balik hordeng  

besar hitam kebiruan. Tapi Kepala Pasukan Kotaraja yang berkepandaian tinggi ini  

tentu saja tidak mudah ditipu. Dia tahu ada orang bersembunyi di bali hordeng dekat  

pintu. Tapi dia sengaja berpura-pura tidak tahu!  

12 

EMPAT  

Ketika Sri Baginda telah masuk ke ruangan dalam untuk beristirahat, Raden  

Kertopati yan melangkah perlahan menuruni tangga istana tiba-tiba membalikkan diri  

dan masuk kembali ke dalam istana. Ketika sampai di ruangan dalam, dua orang  

pengawal raja baru saja menutupkan pintu. Raden Kertopati mendekati salah seorang  

dari mereka dan langsung mencekal lehernya. Tentu saja pengawal ini menjadi kaget  

dan pucat wajahnya.  

"Ra....raden....." suaranya tersengal saking kerasnya cekikan Kertopati.  

"Katakan apa maksudmu tadi bersembunyi di balik tirai dan mencuri dengan  

pembicaraanku dengan Sri Baginda?!" bertanya Kertopati sementara pengawal kedua  

tegak tertegun keheranan menykasikan kejadian itu.  

"Saya.....saya tidak bersembunyi Raden....... Saya......"  

"Tidak bersembunyi? Lalu apa perlunya mendekam di balakang tirai! Jangan  

berani dusta! Salah-salah bisa kupotong lidahmu!"  

"Saya bersumpah tidak bersembunyi!"  

"Keparat! Jangan kira aku buta!"  

"Saya bersumpah Raden. Saya benar-benar tidak sembunyi, apalagi berani  

mendengarkan pembicaraan Raden dengan raja....."  

Plaaak!  

Tamparan keras mendarat di muka pengawal itu membuat tubuhnya melintir  

hampir jatuh. Pipinya sebelah kiri langsung lebam dan dari bagian bibirnya yang  

pecah mengucur darah. Pengawal ini merintih kesakitan dan duduk bersimpuh di  

lantai. "Saya bersumpah raden.....saya bersumpah.....!" terdengar suaranya di antara  

rintihan.  

"Berdiri!" hardik Raden Kertopati.  

Pengawal itu berdiri sambil mengusap-usap pipinya yang masih disengat rasa  

sakit.  

"Kau masih belum mau memberi keterangan?!" Raden Kertopati mengangkat  

tangan kanannya tinggi-tinggi. Siap untuk menampar kedua kalinya.  

Dengan ketakutan pengawal itu membuka mulut "Saya bersumpah tidak  

bersembunyi dan mencuri dengar pembicaraan Raden dengan Sri Baginda. Saya  

berada dekat tirai itu demi tugas. Bagaimanapun saya harus menjaga keselamatan raja,  

lalu saya tegak di situ...."  

"Menjaga keselamatan raja! Itu bagus! Tapi Sri Baginda sendiri yang  

menyuruhmu pergi! Kau melanggar perintah raja! Perbuatanmu nyata-nyata  

mencurigai diriku! Dan aku yakin kau menyembunyikan sesuatu! Siapa yang  

menyuruhmu semata-mata Sri Baginda? Atau mungkin sekali memata-mataiku hah?!"  

"Ampun Raden. Jangan berpikir dan menuduh sejauh itu. Saya perajurit biasa.  

Saya kalau bersalah siap dihukum. Tapi demi Gusti Allah saya tida mencuri dengar,  

tidak bermaksud jahat apalagi berani melanggar perintah Raja dan memata-matai  

Raden......"  

Pelipis Kepala Pasukan Kotaraja untuk tampak bergerak-gerak. Rahangnya  

menggembung.  

"Kali ini kuampuni kesalahanmu. Tapi ingat sejak detik ini kau berada di  

bawah pengawasanku langsung. Mulai besok kau tidak ditempatkan di dalam istana.  

Tugasmu dipindah sebagai pengawal pintu gerbang utara! Kau dengar?!"  

13 

"Saya.....saya dengar Raden...." Jawab si pengawal. Meskipun bertugas di  

pintu Kotaraja merupakan tugas yang berat, apalagi dibandingkan dengan tugas di  

dalam istana, namun dalam keadaan seperti itu si pengawal tak ada jalan lain dari  

pada tunduk dan menerima putusan serta perintah atasannya.  

Raden Mas Jayengrono, Panglima Pasukan Kerajaan menatap wajah pengawal  

yang datang menghadapnya itu lalu bertanya.  

"Kenapa tampangmu bengkak begitu. Bibirmu juga kulihat ada lukanya"  

Sang pengawal menunduk sesaat sambil mengusap pipinya yang bengkak.  

"Saya......saya ditempiling Raden Mas....." katanya kemudian.  

"Yang menimpiling?"  

"Kepala Pasukan Kotaraja. Raden Kertopati....." Lalu pengawal bernama  

Kuntondo itu menerangkan apa yang terjadi siang tadi di istana.  

"Kertopati tentu punya alasan menempilingmu. Lekas ceritakan!"  

"Sesuai dengan perintahmu Raden Mas. Saya memata-matai pembicarannya  

dengan Sri Baginda. Ternyata dia mengetahui....." menerangkan si pengawal.  

"Kepala pasukan itu ringan tangan sekali rupanya!" ujar Jayengrono dengan  

geram. "Tetapi yang aku pentingkan saat ini bukan mukamu yang bengkak atau si  

Kertopati itu. Yang aku ingin tahu ialah apa yang dibicarakannya dengan Sri  

Baginda....!"  

"Dia menerangkan pada Sri Baginda, tidak mungkin Raden Ajeng Siti Hinggil  

dan puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari. Dia siap  

mendatangkan saksi-saksi...." Lalu Kontondo menuturkan selengkapnya.  

"Begitu....." ujar Jayengrono selesai pengawal itu menceritakan. "Dia sudah  

terlalu jauh melangkah. Dia bertanggung jawab atas keamanan Kotaraja, bukan  

keseluruhan Kerajaan. Tapi tidak apa. Kau terus saja memata-matainya....."  

"Saat ini tidak mungkin lagi Raden Mas."  

"Hah, kenapa tidak mungkin?"  

"Raden Kertopati telah memindahkan tugas saya. Mulai besok saya bertugas  

di pintu gerbang utara...."  

"Hemm..... Dia memang punya wewenang untuk itu. Sekarang ya sudah, kau  

boleh pergi...." Jayengrono mengeruk jas beskapnya lalu menyerahkan sebungkah  

kecil perak pada Kuntondo. Pengawal ini membungkuk dalam, mengucapkan terima  

kasih berulang kali lalu meninggalkan gedung kediaman Panglima Balatentara  

Kerajaan itu.  

Ketika sampai di pintu pekarangan, seorang lelaki tua memikul rumput  

menganggukkan kepala dan menegur dengan hormat. Kuntondo sama sekali tidak  

membalas teguran dan penghormatan itu. kudanya dibedal sekencang-kencangnya  

menuju arah timur Kotaraja sementara sore siap berganti dengan malam.  

Gedung kediaman Raden Kertopati teletak di barat Kotaraja, cukup besar dan  

mentereng, tapi tentu saja alah mewah dengan gedung kediaman Raden Mas  

Jayengrono selaku Panglima Balatentara Kerajaan.  

Lelaki tua pemikul rumput itu mengambil jalan berputar dan sampai di  

hadapan sebuah pintu kecil yang terdapat di tembok halaman belakang gedung. Dia  

menurunkan rumput yang dipikulnya lalu mengetuk pintu kecil dua kali, satu kali,  

lalu dua kali lagi. Ketukannya itu dilakukan berurutan dua kali. Sesaat kemudian  

14 

pintu terbuka. Seorang pengawal memberi tanda agar dia cepat masuk, sekaligus  

membawa rumput yang tadi dipikulnya. Selanjutnya lelaki tua tadi diantar menghadap  

Raden Kertopati, yang saat itu baru saja selesai sembahyang maghrib.  

Setelah membalas penghormatan lelaki tua dengan anggukkan kepala maka  

bertanyalah Kertopati. "Bagaimana hasil penyelidikanmu.....?"  

"Pengawal yang saya mata-matai ternyata memang menghubungi Raden Mas  

Jayengrono menjelang maghrib tadi....." menjawab lelalki tua itu.  

"Kertopati tersenyum. "Memang sudah kuduga!" katanya sambil menepuk  

bahu lelaki tua itu. "Kau telah menjalankan tugas dengan baik. Kau tidak akan diberi  

hadiah apa-apa. Tapi puteramu yang kedua mulai minggu depan dapat bekerja di sini  

sebagai perajurit pengawal!"  

"Saya sangat berterima kasih Raden. Sangat berterima kasih....." kata lelaki  

tua itu sambil membungkuk-bungkuk.  

15 

LIMA  

Ketika Raden Kertopati masuk ke ruangan itu, didapatinya Sri Baginda duduk  

berhadap-hadapan dengan Raden Mas Jayengrono. Kertopati menjura memberi  

hormat. Meskipun di situ masih ada dua buah kursi kosong, namun karena tidak  

dipersilahkan maka Kepala Pasukan Kotaraja ini tidak berani mengambil tempat  

duduk.  

"Sri Baginda, ada apakah memerintahkan saya menghadap?" bertanya  

Kertopati. Di dalam hati dia sudah menduga ada sesuatu yang penting -mungkin tidak  

beres-. Apalagi dilihatnya Jayengrono ada di sana dengan memasang wajah kelam,  

tegang tapi sinis.  

"Salah seorang bawahan Raden Mas Jayengrono baru saja melaporkan bahwa  

seorang kusir kereta dan tiga orang perajurit ditemui mayatnya di tepi hutan  

Kalimukus. Meskipun hutan itu terletak sedikit jauh dari Kotaraja tapi keamanan di  

sana masih dalam wilayah tanggung jawabmu. Bagaimana hal ini bisa terjadi. Apakah  

kau sudah menerima laporan dari anak buahmu?"  

Apa yang dikatakan Sri Baginda ini tentu saja membuat Kertopati terkejut.  

Sekilas dia melirik ke arah Jayengrono yang kini tampak duduk lebih santai.  

"Maaf Sri Baginda, saya sama sekali belum mendapat laporan. Apakah  

diketahui sebab musabab kematian keempat orang itu?"  

Yang menjawab justru adalah Jayengrono. "Justru kau dipanggil kemari untuk  

segera melakukan penyelidikan dimas Kertopati!"  

"Kalau begitu, saya minta diri untuk melakukan pemeriksaan."  

"Tunggu dulu," Sri Baginda cepat berkata. "Turut penjelasanmu beberapa hari  

lalu bukan mustahil keempat orang itu adalah katamu bisa memberikan kesaksian  

bahwa istriku yang ketiga dan puterinya tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan  

Pangeran Matahari....."  

"Saya tidak berani memastikan, Sri Baginda. Saya perlu menyelidik lebih  

dulu," jawab Kertopati meskipun hati kecilnya berdetak membenarkan bahwa  

keempat orang itu adalah saksi-saksi hidup yang sebenarnya akan diajukannya pada  

sidang pengadilan para sesepuh kelak. Kini ternyata mereka sudah mati. "Kalau  

mereka mati sekaligus di tempat yang sama, ini satu hal yang aneh. Bukan mustahil  

mereka dibunuh!"  

"Berkata begitu apakah kau punya bukti-bukti dimas Kertopati?  

Menyelidikpun belum, bagaimana kau bisa berkata demikian? Apakah kau pernah  

mendengar tentang seekor harimau yang kelihatan muncul di sekitar Kalimukus  

beberapa hari belakangan ini?"  

"Saya mendengar memang, Raden Mas..... Tapi.... Entahlah, saya harus  

menyelidik lebih dulu. Kelak akan memberikan laporan hasil penyelidikan pada Sri  

Baginda dan padamu..... Saya minta diri sekaang!"  

Di hutan Kalimukus, empat mayat digeletakkan di atas empat usungan bambu.  

Sewaktu Kertopati sampai di situ dan memeriksa keadaan mayat satu persatu, di  

tubuh mayat memang terlihat luka-luka menganga, cabik memanjang.  

"Mereka seperti dikoyak harimau....." kata Kertopati dalam hati. "Tapi bukan  

harimau benaran. Koyakan harimau tidak serapi ini. Tubuh-tubuh ini dikoyak dengan  

pisau besar, mungkin celurit atau kelewang..... Ada orang yang telah membunuh  

mereka! Edan! Mereka saksi-saksi yang kuharapkan bis menyelamatkan Raden Ajeng  

Siti Hinggil dan puterinya. Ah..... bagaimana sekarang?"  

16 

Bersama anak buahnya Kertopati kembali ke istana. Saat dia menghadap raja  

Jayengrono tak ada lagi di situ.  

"Bagaimana hasil penyelidikanmu Kertopati?" Sri Baginda langsung bertanya.  

"Keempat orang yang malang itu memang mati dicabik-cabik harimau Sri  

Baginda," jawab Kertopati.  

Dapur istana malam itu tempak sepi. Hanya ada seorang juru masak dan  

seorang pelayan di situ. Keduanya adalah perempuan-perempuan tua yang bekerja  

setengah terkantuk-kantuk, menyiapkan makan malam untuk tahanan istimewa yaitu  

Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari.  

"Aku memasak begini banyak, begini lezat tapi Gusti Ajeng Siti Hinggil  

hanya makan sedikit sekali. Hampir tak pernah menyantapnya malah....."  

"Dimakan atau tidak, sudah tugas kita memasak dan menghidangkan," jawab  

si pelayan.  

Saat itu pintu dapur terbuka. Kedua pelayan tua ini terkejut dan gemetar ketika  

melihat siapa yang masuk. Satu hal yang tidak pernah terjadi bahwa Panglima  

Balatentara Kerajaan masuk ke dalam dapur istana.  

"Raden.....apakah kami berbuat kesalahan.....?" juru masak tua keluarkan  

suara gemetar. Dua perempuan tua itu langsung lega ketika mereka melihat  

Jayengrono justru tersenyum lebar.  

"Semua orang sudah pulang. Kalian berdua masih bekerja di sini. Apakah itu  

hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya.....?"  

"Betul sekali Raden Mas......"  

"Kalau begitu cepat dibawa ke kamar mereka masing-masing. Bawa yang  

untuk Raden Ayu Puji Lestari lebih dulu.....!"  

Pelayan tua cepat mengambil napan besar, meletakkan dua piring di atas  

nampan itu, segelas besar air putih lalu membawa semua itu ke ruangan di mana Puji  

Lestari ditahan.  

"Juru masak, kau boleh pergi. Tugasmu selesai. Sebentar lagi pelayan akan  

mengambil dan mengantar hidangan untuk Raden Ajeng Siti Hinggil......"  

"Saya pergi Raden....." jawab juru masak tua. Terbungkuk bungkuk  

perempuan ini mundur menuju pintu.  

Begitu dia hanya tingaal seorang diri di tempat itu, dari balik sakunya  

Jayengrono mengeluarkan sebuah lipatan kertas. Begitu lipatan dibuka di dalamnya  

terlihat sejenis bubuk berwarna putih. Dengan cepat bubukini disiramkannya di atas  

dua piring makanan yang ada di meja.  

Baru saja dia hampir selesai menuangkan seluruh bubuk, tiba-tiba pintu dapur  

terbuka. Juru masak tua muncul dan melangkah masuk. Membuat Jayengrono kaget  

dan membentak.  

"Ada apa kau kembali?!"  

"Selendang saya Raden..... Selendang saya tertinggal....."  

"Juru masak! Kau tak akan mati tanpa selendang itu! Keluar sana!"  

Ketakutan setengah mati juru masak tua itu keluar dari dapur dengan langkah  

sempoyongan. Tak lama kemudian pelayan tua muncul kembali untuk mengambil  

hidangan yang akan diantarkan pada Raden Ajeng Siti Hinggil. Jayengrono mengikuti  

dari belakang. Di ujung gang dia membelok ke kanan. Sebelum berlalu, dia masih  

sempat melihat pelayan itu bicara dengan dua orang pengawal pintu ruangan tahanan  

Raden Ajeng Siti Hinggil. Lalu pintu dibuka dan si pelayan masuk ke dalam.  

17 

Selama beberapa hari disekap dalam kamar tahanan itu Raden Ajeng Siti  

Hinggil boleh dikatakan tidak makan apa-apa. Tubuhnya jauh susut dan pipi serta  

rongga matanya mulai mencekung. Kulitnya yang putih mulus kini pucat seperti tiada  

berdarah. Namun di mata Jayengrono perempuan ini tampak seolah tambah cantik  

dan mulus.  

Setelah menatap sesaat makanan yang diletakkan pelayan di atas meja, entah  

mengapa sekali ini timbul saja hasratnya untuk mencicipi makanan itu. Dua potong  

besar ayam panggang kesukaannya, semangkok sayur dengan kuah santan, lalu nasi  

putih dan sepotong semangka merah tanpa biji.  

Mula-mula digigitnya potongan paha ayam. Enak. Dijumputnya segenggam  

nasi dan disendokkannya kuah santan. Tambah enak. Lalu perempuan ini duduk di  

kursi. Selama beberapa hari tidak makan, maka hidangan yang ada di meja  

disantapnya dengan lahap meskipun tidak keseluruhannya sanggup dihabiskan.  

Selesai makan dan meneguk air putih segelas penuh, Siti Hinggil merasakan  

tubuhnya segar. Pori-pori di sekujur tubuhnya melebar dan keringat membasahi  

kulitnya. Kamar itu dipandangnya berkeliling. Seperti baru disadarinya betapa indah  

dan mewah keadaan kamar itu. Kemudian napasnya terasa panas memburu. Cuping  

hidungnya seperti mengembang dan detak jantungnya lebih cepat.  

Istri Baginda ketiga ini menggeliatkan tubuhnya. Terasa ada kenikmatan aneh  

dalam geliatan itu. Dia menggeliat lagi. Semakin nikmat. Perempuan ini bangkit dari  

kursi, membaringkan tubuhnya di atas ranjang dan kembali menggeliat-geliat. Dari  

sela bibirnya terdengar suara seperti erangan halus. Kedua tangannya menggapai- 

gapai udara lalu diturunkan ke dada. Di situ kedua tangan itu meremas-remas kencang.  

Siti Hinggil merasakan tubuhnya panas. Bukan oleh udara dalam kamar namun oleh  

hawa aneh yang kini menguasai sekujur tubuhnya, larut dalam aliran darah,  

melumpuhkan indera ingatannya. Entah sadar entah tidak Siti Hinggil membuka  

pakaiannya satu demi satu. Hampir sekujur tubuhnya tak tertutup lagi, tiba-tiba  

terdengar suara berdesir. Dinding batu di sebelah kiri bergerak dan kelihatanlah celah  

setengah pintu.  

Siti Hinggil melompat dari atas ranjang, menatap beringas ke arah orang yang  

masuk. Tapi dia tidak menjerit atau mendamprat. Malah mengulurkan kedua  

tangannya. Memeluk orang yang berusan masuk itu seraya tiada hentinya menyebut  

namanya.  

"Jayeng...... Jayengrono......."  

18 

ENAM  

Sewaktu hawa aneh yang merangsang aliran darah dan membangkitkan nafsunya  

itu mulai berkurang dan akhrinya lenyap sama sekali, ingatan Siti Hinggil kembali  

pulih. Didapatinya dirinya tergeletak di atas tempat tidur tanpa sehelai benangpun  

menutupi auratnya.  

"Ya Gusti Allah, apa yang telah terjadi? Apa yang telah kulakukan......?!"  

Perempuan ini memandang ke dinding. Tak ada pintu di situ. Dia memandang  

seputar kamar. Tak ada Jayengrono di situ. Kemudian ketika dia sadar betul apa yang  

telah terjadi, perempuan ini menjerit tinggi. Dua perajurit yang mengawal di pintu  

sama sekali tidak dapat mendenga karena kamar itu dibuat sedemikian rupa hingga  

kedap suara.  

"Manusia keparat! Jayengrono manusia kotor! Aku akan membunuhnya! Aku  

bersumpah membunuhnya!" teriak Siti Hinggil. Lalu seperti gila dia menjerit lagi  

berulang kali sambil memukul-mukul pintu kayu yang snagat tebal dan berat.lapat- 

lapat suara pukulan ini sempat terdengar oleh dua perajurit yang mengawal pintu di  

sebelah luar. Keduanya saling pandang sesaat. Setelah berunding, salah seorang  

segera mengambil kunci dan membuka pintu.  

Begitu pintu terbuka dan melihat keadaan Siti Hinggil seperti itu tentu saja  

dua perajurit ini terperangah kaget.  

"Mana Jayengrono! Aku harus membunuhnya! Mana manusia keparat itu!  

mana.... Berikan tombak itu padaku! Berikan!" teriak Siti hinggil dan menghambur  

ke luar kamar seraya mencoba merampas tombak yang ada di tangan pengawal  

sebelah kanan.  

"Raden Ajeng! Apa yang terjadi.....?!" Pengawal kedua bertanya lalu cepat  

menangkap lengan Siti Hinggil dan menarik perempuan itu kembali ke dalam kamar.  

Tapi seperti mendapat kekuatan dari setan, Siti Hinggil meronta. Sekali sentak saja  

pegangan si pengawal terlepas. Kalau temannya tidak lekas membantu, niscaya Siti  

Hinggil berhasil lolos dan lari sepanjang gang sambil berteriak-teriak seperti orang  

gila dalam keadaan bertelanjang bulat! Dua pengawal bergulat dengan susah payah,  

akhirnya berhasil membawa Siti Hinggil masuk kembali ke dalam kamar lalu cepat- 

cepat pintu besar dan berat itu ditutup.  

"Bagaimana sekarang? Apa yang harus kita lakukan?!" tanya pengawal  

pertama.  

"Kita harus melaporkan kejadian ini pada Sri Baginda!"  

"Jangan pada Sri Baginda. Sebaiknya pada Patih Kerajaan saja. Atau  

Panglima. Atau mungkin Kepala Pasukan Kotaraja......."  

"Eh, apa yang akan kau laporkan?" tanya pengawal kedua.  

"Akan kukatakan Siti Hinggil kemasukan setan!" jawab pengawal kedua. Lalu  

setengah berlari dia meninggalkan tempat itu. Yang ditujunya adalah gedung  

kediaman Raden Kertopati, Kepala Pasukan Kotaraja. Tapi karena kediaman  

Kertopati cukup jauh sedang gedung kediaman Patih Kerajaan lebih dekat, maka  

pengawal ini langsung menuju kediaman Patih Haryo Unggul. Semula pengawal  

gedung kepatiah menolak untuk membangunkan Patih Haryo Unggul di larut malam  

begitu. Namuan setelah diberitahu apa yang terjadi maka pengawal gedung segea  

masuk ke dalam.  

19 

Semua orang tahu bahwa selain memiliki kepandaian silat dan kesaktian, Patih  

Haryo Unggul juga mempunyai keahlian mengobati berbagai macam penyakit,  

termasuk mereka yang kesurupan atau kemasukan roh dari luar.  

Ketika pintu kamar tahanan dibuka, Siti Hinggil kelihatan duduk di lantai, di  

salah satu sudut sambil menangis. Keadaan auratnya masih tetap tidak tertutup.  

Melihat ada orang yang masuk, perempuan ini melompat bangkit. Bukan untuk  

menutupi tubuhnya, tapi menyongsong sambil memukul dan menjerit-berteriak.  

"Mana keparat itu! Mana manusia iblis Jayengrono itu! Aku harus  

membunuhnya! Aku bersumpah membunuhnya!"  

Patih haryo Unggul segera menutupi tubuh Siti Hinggil dengan kain panjang  

yang sengaja dibawanya. Tangan kanannya dengan cepat meluncur memegang bahu  

kiri Siti Hinggil. Dia memijit bahu itu dengan keras. Siti Hinggil tampak meringis  

kesakitan, tapi sama sekali tidak menjerit. Sang patih mencoba sekali lagi. Kali ini  

yang dipencetnya adalah daging tangan pada celah antara jari telunjuk dan ibu jari  

tangan kanan Siti Hinggil. Tetap saja perempuan ini hanya memperlihatkan wajah  

meringis kesakitan tetapi tidak berteriak.  

"Aneh, ini bukan kesurupan atau kemasukan roh! Apakah Raden Ajeng ini  

tiba-tiba saja menjadi gila?" begitu Patih Haryo Unggul membatin.  

"Mana Jayengrono! Mana manusia keparat itu! Aku harus membunuhnya!"  

kembali Siti Hinggil berteriak sementara dua orang pengawal memegangi tangannya  

kiri kanan.  

"Jayengrono tak ada di sini. Mengapa....."  

"Tidak! Tadi dia ada di sini! Tadi dia....." Siti Hinggil tidak sanggup  

meneruskan ucapannya. Dia menjerit panjang, lalu melosoh ke bawah. Kalau tidak  

dipegangi pasti terbating ke lantai.  

Ketika perempuan itu menjerit panjang Patih Haryo Unggul membaui hawa  

aneh keluar dari mulut Siti Hinggil. Tapi dia tidak tahu pasti hawa apa itu gerangan.  

Atas perintah Patih haryo Unggul, Siti Hinggil dibaringkan di atas tempat  

tidur. Pelayan dipanggil untuk memebenahi sisa makanan. Lalu pada beberapa  

perajurit dan pengawal yang ada di situ dipesankan agar berjaga-jaga.  

"Raden Ajeng tidak pingsan. Dia hanya kehabisan tenaga. Salah satu dari  

kalian cepat menghubungi kepala pengasuh istana. Minta paling tidak dua orang  

inang pengasuh datang kemari untuk menjaga dan merawatnya. Aku akan melapor  

pada raja...."  

Melangkah sepanjang gang Patih Haryo Unggul geleng-gelengkan kepala dan  

menarik nafas dalam. "Aneh sekali tindakan Sri Baginda. Apapun kesalahan istrinya  

itu, tidak semustinya Raden Ajeng dipenjarakan seperti itu. Dan Sri Baginda sama  

sekali tidak pernah menghubungiku ataupun memberitahu kejadian penahanan ini!  

Apa sebenarnya yang tengah terjadi di istana ini. Apakah aku bukan orang penting  

lagi di sini hingga tak ada yang mau memberitahu?! Raja memenjarakan istrinya  

sendiri! Juga puterinya! Sudah gila dunia ini!"  

Sidang pengadilan para sesepuh dan tokoh kerajaan untuk memeriksa Raden  

Ajeng Siti Hinggil dan puterinya seharusnya dilakukan hari itu. Namun karena sejak  

dua hari lalu Siti Hinggil dinyatakan sakit, tidak mampu meninggalkan tempat tidur,  

maka sidang ditunda. Selama tiga hari itu Siti Hinggil terbaring di atas tempat tidur  

dengan kedua maa selalu terpejam. Dari mulutnya selalu terdengar suara meracau  

20 

yang tidak jelas apa yang dikatakannya. Di kepala tempat tidur selalu duduk menjaga  

Raden Ayu Puji Lestari.  

Atas permintaan Patih Haryo Unggul dan atas persetujuan raja, Siti Hinggil  

diperkenankan dipindahkan dan dipulangkan ke rumah kediamannya. Tetapi dengan  

sikap keras Puji Lestari menolak.  

"Kalau ibundaku harus mati, biar dia mati di kamar tahanan ini! Agar semua  

orang yang bertanggung jawab atas ketidak adilan ini bisa merasakan kepuasan!"  

begitu kata-kata yang dikeluarkan Puji Lestari di hadapan Patih Haryo Unggul dan Sri  

Baginda yang datang menjenguk meskipun hanya sebentar.  

Dalam sebuah ruangan di istana, Patih haryo Unggul duduk berhadap-hadapan  

dengan Sri Baginda.  

"Menurut paman patih, penyakit Raden Ajeng Siti Hinggil masih belum  

diketahui. Apakah tidak dapat diusahakan cara lain agar dia disembuhkan. Paling  

tidak aga kedua tangan dan kakinya bisa digerakkan kembali. Matanya yang terpejam  

bisa dibuka lagi....."  

"Saya telah melakukan berbagai usaha Sri Baginda. Mohon maafmu kalau  

segala kemampuan dan keahlian pengobatan saya kali ini hampir tidak ada  

manfaatnya...... Saya tidak tahu apa sebenarnya penyebab sakit yang diderita Raden  

Ajeng. Turut penglihatan dari luar dia seperti kehabisan tenaga hingga tidak mampu  

menggerakkan anggota badan, bahkan membuka kelopak matanya. Juga sulit untuk  

memberinya minum, apalagi makan....."  

"Bagaimana dengan dugaan bahwa dia kemasukan roh halus atau  

kesurupan.....?"  

"Seperti saya pernah katakan pada Sri Baginda sebelumnya, Raden Ajeng  

sama sekali bukan kemasukan roh atau kemasukan setan atau kesurupan. Dalam  

kehabisan tenaga ada sau ganjalan besar yang membenam dalam otaknya....."  

"Penyakit aneh apa namanya itu?!" ujar Sri Baginda pula.  

Seorang ponggawa masuk, memberitahu Raden Kertopati akan datang  

menghadap.  

"Paman Patih suruh Kertopati masuk. Biar kita bicara bertiga di sini......"  

Pembicaraan kemudian dilanjutkan bertiga. Raden Kertopati lebih banyak  

menjadi pendengar dan baru membuka mulut menyatakan pendapatnya ketika Patih  

Haryo Unggul mengusulkan untuk mencari tabib atau orang sakti yang sanggup  

menyembuhkan penyakit aneh yang dialami Raden Ajeng Siti Hinggil.  

"Sri Baginda, apakah ingat dengan pemuda aneh berambut gondrong benama  

bergelar ....?" Raden Kertopati  

bertanya.  

"Tentu saja aku ingat manusia satu itu. Aneh dan terkadang lancang.  

Bicaranya ceplas-ceplos tapi jasanya pada Kerajaan tak dapat kita balaskan sampai  

saat ini.....!"  

"Manusia seperti dia memang tak pernah mengharapkan balas jasa, Sri  

Baginda....."  

Baginda menganggukkan kepalanya, "Terakhir kali dia raib dari penjara  

ketika dia ditahan atas kehendak Jayengrono......"  

"Dia hanya korban kesalah pahaman, korban itikad buruk dari orang-orang  

yang tak mau melihat kenyataan....." kata Raden Kertopati.  

"Aku tahu dimas Kertopati menyesalkan perbuatan dimas Jayengrono tempo  

hari karena dialah yang menjebloskan pendekar berambut gondrong itu ke dalam  

penjara. Tapi itu telah berlalu, yang penting saat ini apakah dimas mempunyai saran  

21 

tertentu bagaimana kita bisa menyembuhkan Raden Ajeng....?" Yang berkata dan  

bertanya adalah Patih Haryo Unggul.  

"Justru saya menyebut nama pendekar itu karena ingat akan kemampuannya.  

Dia yang mengobati saya ketika terluka dan hampir mati keracunan akibat pukulan  

Pangeran Matahari ketika terjadi pertempuran kacau balau di depan istana beberapa  

waktu lalu. Dia memiliki sebuah senjata sakti. Sebilah kapak bermata dua. Dengan  

senjata itulah dia menyedot racun yang hampir membunuh saya..... Saya menunggu  

pendapat dan keputusan Sri Baginda."  

"Semua urusan aku serahkan pada kalian berdua. Lakukan apa yang kalian  

anggap paling baik....." Sri Baginda bangkit dari kursinya lalu meninggalkan ruangan  

itu.  

Ketika mereka hanya tinggal berdua saja, maka Raden Kertopati bicara  

perlahan pada Patih Haryo Unggul.  

"Paman Patih, sebenarnya saya ada rencana lain. Namun tidak saya utarakan  

pada Sri Baginda karena saya yakin Sri Baginda lebih percaya pada orang itu dari  

pada saya......"  

"Siapa yang kau maksudkan dengan orang itu dimas Kertopati?"  

"Raden Mas Jayengrono....."  

"Hemmmm.....Aku dengar hubungan kalian akhir-akhir ini tidak begitu  

sreg......"  

"Saya akui Paman Patih. Semua berpangkal pada tuduhan tak beralasan bahwa  

Raden Ajeng dan puterinya mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran Matahari  

yang hendak merampas tahta kerajaan....."  

"Aku lebih tertarik jika kau menerangkan apa rencana yang kau sebutkan itu,"  

kata Patih Haryo Unggul membelokkan pembicaraan.  

"Saya dengar bahwa setiap kali berteriak kalap yakni sebelum jatuh sakit  

seperti ini, Raden Ajeng selalu meneriakkan ingin membunuh Jayengrono. Mengapa?  

Apa alasannya? Saya tidak tahu. Paman Patih juga tidak tahu. Sri Baginda tidak tahu  

dan juga tidak acuh. Hanya ada dua orang yang tahu. Yakni Raden Ajeng sendiri dan  

Jayengrono. Raden Ajeng tak mungkin ditanyai. Tapi Raden Mas Jayengrono bisa  

ditanyai setiap saat. Saya mengatakan hal ini bukan karena hubungan saya dengan dia  

sedang tidak baik. Tetapi....."  

"Ya.....ya. Apa yang kau katakan itu memang benar. Tapi soalnya siapa yang  

bakal menanyai Panglima Kerajaan itu? Kurasa hanya Sri Baginda. Tapi seperti  

katamu, Sri Baginda tidak acuh!"  

"Tidak acuh karena ada yang menggosok!"  

"Lagi-lagi tentu yang dimas maksudkan adalah Jayengrono....." kata sang  

patih pula.  

Kertopati tersenyum. "Saya tidak mengatakan itu. Paman Patih yang  

menyebut namanya!"  

Kedua orang itu sama-sama tersenyum.  

"Dimas Kerto, jika kau memang yakin sahabatmu Pendekar Kapak Maut Naga  

Geni 212 yang sableng itu bisa menolong, sebaiknya kau segera mencarinya dan  

membawanya ke mari."  

"Hal itu segera saya lakukan jika paman patih memang memberi dukungan  

dan restu. Saya akan menyebar orang-orang untuk menyelidik di mana dia berada.  

Hanya ada satu permintaan saya. Maukah paman patih membantu?"  

"Katakan apa keinginan dimas....."  

"Usahakan agar Raden Ajeng dan puterinya dipindahkan dari tahanan itu ke  

satu tempat yang dirahasiakan....."  

22 

"Permintaanmu itu mudah kukabulkan karena Sri Baginda sendiri memang  

sudah menyetujui. Tapi karena kau yang meminta maka aku melihat adanya  

keanehan....."  

"Tidak aneh Paman Patih. Paman patih ingat ketika deretan kamar-kamar itu  

dibangun? Semua ditangani oleh Jayengrono. Serba rahasia. Siang malam dia  

menongkrongi pembangunan tempat itu. Satu tindakan yang tidak pantas bagi seorang  

Panglima Balatentara. Dan satu lagi jangan lupa. Jayengrono ahli dalam bidang  

bangunan dan benda-benda rahasia....."  

Patih Haryo Unggul menatap wajah Raden Kertopati lekat-lekat lalu  

memegang bahu Kepala Pasukan Kotaraja itu dan berkata "Dimas Kerto, kurasa kali  

ini kau, tepatnya kita semua, tengah menghadapi harimau buas bekepala dua....."  

"Mungkin kepalanya lebih dari dua, paman patih!" sahut Kertopati.  

"Kalau begitu laksanakan tugasmu secepat-cepatnya!"  

"Saya mohon diri sekarang....."  

Baru saja Kertopati hendak berdiri tiba-tiba masuk seorang ponggawa  

membawa segulung kertas. Ponggawa ini memberitahu bahwa dia membawa surat  

dari Raden Mas Jayengrono, ditujukan pada Patih Haryo Unggul.  

Patih mengambil surat itu dan membacanya.  

Patih Haryo Unggul  

Laporan dari mata-mata kita di utara menunjukkan adanya beberapa kelompok  

sisa-sisa pemberontak bergabung di satu tempat. Hal ini mengundang satu tindakan  

cepat. Siang ini dengan sejumlah besar pasukan berangkat ke utara. Saya tidak  

melaporkan pada Sri Baginda karena maklum Sri Baginda cukup banyak beban  

pikiran saat ini. Tentang keamanan kota mohon batuan YM untuk menghubungi  

Raden Kertopati dan meminta agar dia tetap waspada.  

Saya tidak dapat memastikan kapan akan kembali ke Kotaraja.  

Teriring salam dan hormat,  

R.M. Jayengrono  

Patih Haryo Unggul menyerahkan surat itu pada Raden Kertopati. Selesai  

Kepala Pasukan Kotaraja ini membaca, sang patih bertanya "Apa pendapatmu  

dimas?"  

"Pertama Raden Mas Jayengrono tentunya sudah jauh saat ini. Kalaupun  

dipanggil dia bisa menolak dengan alasan lebih memetingkan keselamatan Kerajaan.  

Yang aneh, bagaimana dia bisa membawa sejumlah besar pasukan tanpa terlihat  

gerakan-gerakan pemberangkatan....."  

"Mungkin dia mengerahkan pasukan di tapal batas, bukan dari dalam......"  

kata Patih Haryo Unggul pula.  

"Saya berangkat sekarang Paman Patih. Yang paling penting adalah  

mengobati Raden Ajeng lebih dulu. Jika dia bisa disadarkan saya rasa segala  

sesuatunya akan menjadi jelas. Jangan lupa mengamankan ibu dan anak itu....."  

"Ya, kau pergilah dimas. Lekas kembali. Aku tak ingin kau kembali terlambat  

dan hanya menemui tanah merah makam Raden Ajeng!"  

23 

TUJUH  

Diiringi enam orang pengiring, dua di antaranya perwira muda berkepandaian  

tinggi, Raden Kertopati memacu kuda menuju ke utara. Sebentar lagi malam akan tiba.  

Sebelum malam datang dengan segala kepekatannya dia harus mencapai Delanggu di  

kaki pegunungan Kendeng.  

Celakanya hujan turun rintik-rintik dan tiupan angin mulai terasa kencang dan  

dingin. Jalan tanah yang mereka lalui menjadi licin. Ternyata kegelapan malam  

datang lebih cepat dari yang diperkirakan.  

"Pacu kuda kalian lebih cepat!" teriak Kertopati.  

Semua pengiring menggebrak pinggul kuda masing-masing. Tujuh ekor kuda  

melesat kencang seperti anak panah mengejar setan! Lima puluh langkah di depan  

tiba-tiba terjadilah malapetaka yang tidak mereka duga.  

Jalan tanah yang mereka tempuh mendadak sontak ambrol begitu kaki-kaki  

kuda menginjaknya. Sebuah lubang besar menganga. Tujuh orang berteriak kaget.  

Tujuh ekor kuda meringkik keras. Kuda-kuda dan tujuh orang itu langsung amblas  

masuk ke dalam lubang, saling tumpang tindih. Di dasar lubang menunggu seratus  

bambu runcing! Jerit pekik bersatu padu dengan ringkik-ringkik kuda!  

Empat orang perajurit langsung menemui ajal ditambus bambu runcing pada  

bagian dada atau perut. Malah salah satu tepat disate di bagian lehernya. Satu dari dua  

perajurit muda terhempas ke dalam lubang, langsung ditambus enam potongan bambu  

runcing. Empat ekor kuda melejang-lejang sambil meringkik sementara darah  

mengucur deras dari bagian tubuh yang tertusuk bambu. Perwira muda kedua masih  

untung hanya pahanya yang terserempet ujung bambu runcing. Sebagian tubuhnya  

tergelompang di tepi lubang. Tapi luka pahanya mendadak sontak menyebabkan rasa  

panas di sekujur tubuh. Dia mengerang pendek, berusaha bangkit tapi jatuh lagi  

karena kaki dan tangannya laksana lumpuh!  

Raden Kertopati yang paling untung dari semua rombongan. Tubuhnya  

selamat karena jatuh di atas kuda yang masuk ke lubang lebih dulu. Binatang itu  

sendiri setelah menggelepar beberapa kali meregang nyawa mandi darah akibat  

ditembus enam belas potong bambu runcing.  

Raden Kertopati berusaha melepaskan kaki kirinya yang terjepit di antara dua  

tubuh kuda yang sudah mati. Begitu kakinya terlepas maksudnya segera melompat  

dari lubang neraka itu. Namun niatnya serta merta dibatalkan katika dia melihat  

beberapa sosok tubuh berkelebatan di dalam kegelapan. Disusul oleh suara tertawa  

bergelak. Raden Kertopati langsung jatuhkan diri kembali, menyelinapkan diri di  

antara dua tubuh kuda yang berlumuran darah, berpura-pura mati! Tapi diam-diam  

kedua matanya dibuka sedikit demi sedikit untuk melihat siapa orang-orang itu.  

ternyata mereka ada empat orang. Dan keempatnya menutupi wajah masing-masing  

dengan topeng kain hitam. Hanya bagian mata saja yang tampak!  

"Kalau Kala Srenggi yang punya kerja, tak ada yang meleset!  

Ha...ha....ha....!" orang yang tadi mengumbar suara tawa berkata. "Semua mereka  

mati sesuai dengan yang dikehendaki! Pekerjaan selesai aku minta imbalannya.....!"  

Orang itu lalu ulurkan tangan kanannya ke arah lelaki berbadan tegap,  

mengenakan pakaian hitam yang berdiri di tepi lubang maut sebelah kanan. Orang di  

tepi lubang mengambil sebuah kantong kain di balik pakaiannya dengan tangan kiri.  

Kantong ini diserahkannya pada orang yang menyebut dirinya Kala Srenggi.  

24 

"Lima puluh keping emas?" desis Kala Srenggi seraya memegang kantong  

kain.  

"Tidak lebih tidak kurang. Sesuai perjanjian!" jawab orang yang mengulurkan  

kantong kain. Kantong itu seperti hendak dilepaskannya ke dalam genggaman Kala  

Srenggi. Tetapi tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak. Dalam gelapnya malam  

tiba-tiba memancar dan berkelebat sinar putih menyilaukan disertai hawa sedingin  

salju! Detik itu juga terdengar pekik Kala Srenggi. Darah muncrat dari dadanya yang  

ditembus senjata sakti sampai ke jantung! Tubuhnya terasa dingin. Lututnya goyah.  

Kedua matanya mencelet.  

"Bangsat penipu..... Terkutuk!" hanya sumpah serapah itu yang sempat  

dilontarkan Kala Srenggi. Tubuhnya jatuh, terguling dan masuk ke dalam lubang  

maut, tepat menimpa tubuh Raden Kertopati hingga dia tak dapat lagi melihat apa  

yang terjadi kemudian.  

Ketika Kala Srenggi ditikam, dua orang anak buahnya yang berada di sana  

dengan berteriak marah langsung menghunus golok dan menyerbu si pembunuh.  

Perkelahian pendek terjadi di antara tiga orang bertopeng kain itu. Tapi agaknya yang  

memegang senjata yang memancarkan sinar putih memiliki kepandaian silat sangat  

tinggi. Dua kali menggebrak, dua penyerang roboh mandi darah dan tewas menyusul  

pimpinan mereka!  

Raden Kertopati memanggul tubuh yan terasa sangat panas itu dan berlari  

sekencang yang bisa dilakukannya. Orang yang dipanggul tiada hentinya mengerang  

dan meminta "Raden, lebih baik kau bunuh aku saat ini juga! Rasa panas yang  

memanggang ini tak bisa kutahan lagi....."  

"Perwira muda, sebagai perajurit Kerajaan kau harus sanggup bertahan!  

Sebentar lagi kita akan sampai di tujuan!"  

"Jika Raden membunuhku saat ini, Raden akan terlepas dari beban dan bisa  

sampai di tujuan. Jangan perdulikan diriku. Pentingkan tugas yang ada di pundak  

Raden!"  

Raden Kertopati terharu mendengar ucpan bawahannya itu. "Jika kau sembuh,  

aku bersumpah untuk menaikkan pangkatmu!" meluncur kata-kata itu dari mulut  

Raden Kertopati. Meskipun tenaganya sudah terkuras, tapi semangatnya seperti  

memberi kekuatan baru untuk terus berlari sambil memanggul tubuh perwira muda itu.  

Di kejauhan tampak nyala lampu kecil sekali di tengah sawah. Ke situlah  

Raden Kertopati berlari memanggul tubuh bawahannya itu. Untung saja daerah itu  

tidak kejatuhan hujan. Kalau tidak, berlari di pematang sawah yang licin tentu akan  

menyusahkannya.  

Di atas dangau di tengah sawah saat itu tampak dua orang pemuda duduk  

bercakap-cakap. Yang pertama seorang pemuda bertubuh ramping berkulit halus  

mengenakan pakaian kelabu. Yang kedua berbadan tegap kekar, berambut gondrong  

sebahu, berpakaian serba putih dan memakai ikat kepala putih.  

"Ada orang datang....." kata pemuda berbaju kelabu.  

"Aku sudah tahu," jawab si gondrong seperti tak acuh. Lalu dia memandang  

ke jurusan barat, dari arah mana orang yang berlari itu datang. "Hem.... Dia  

memanggul seseorang. Berlari kencang di pematang sawah yang kecil dan licin.  

Berarti memiliki ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari yang andal!"  

Hanya beberapa kejapan kemudian, orang yang beralari itu sampai di depan  

podok seraya berseru gembira "Pendekar 212 ! Syukur pada Tuhan  

akhirnya kutemui juga kau!"  

25 

"Hai! Siapa dirimu?!" bertanya si gondrong seraya berdiri. Ternyata dia  

adalah murid Sinto Gendeng dari gunung Gede yaitu Pendekar Kapak Maut Naga  

Geni 212. Dia sama sekali tidak mengenali siapa orang yang datang ini karena baik  

muka maupun tubuhnya penuh lumuran darah. Tapi begitu memperhatikan lebih jelas  

Wiro segera saja mengenali dan berseru kaget.  

"Sahabat Raden Kertopati! Luar biasa sekali! Kepala Pasukan Kotaraja tiba- 

tiba muncul di malam buta dalam keadaan bercelemongan darah dan memanggul  

sesosok mayat!"  

"Perwira ini masih belum mati! Luka pada pahanya mengandung racun!  

Selamatkan nyawanya lebih dulu. Nanti aku ceritakan maksud kedatanganku!" lalu  

Raden Kertopati menurunkan tubuh perwira muda dari panggulannya. Pemuda  

berpakaian kelabu membantunya "Bagus, kaupun ternyata ada di sini sahabat....."  

"Bagaimana Raden tahu kami ada di sini?" tanya Wiro seraya garuk kepala.  

"Aku punya ratusan mata-mata disebar di delapan penjuru angin. Tidak sulit  

mengetahui di mana kalian berada.... Tapi yang penting tolong dulu perwira muda  

itu.....!" kata Raden Kertopati. Lalu dia sendiri menjatuhkan diri di atas dangau.  

Tubuhnya terasa luluh lantak dan napasnya menyengal karena lari sejauh itu.....  

Wiro merobek celana di bagian paha perwira muda itu hingga dia melihat  

lebih jelas luka yang dalam. Darah tidak mengucur lagi dari luka itu. Bagian daging  

tepi daging paha yang terluka tampak berwarna hijau gelap.  

"Racun ular jahat...." Desis pemuda berpakaian kelabu.  

Wiro mengangguk. Dia membuat beberapa totokan hingga perwira muda yang  

masih setengah sadar itu langsung jatuh pingsan. Lalu dikeluarkannya Kapak Naga  

Geni 212. Sinar kapak memutih perak menerangi gubuk di tengah sawah itu. Mata  

kapak ditempelkannya ke luka yang terdapat di paha. Lalu pendekar ini mulai  

kerahkan tenaga dalam. Seperti disedot oleh satu kekuatan hebat, dari luka itu  

mengucur ke luar darah kental berwarna hitam. Perlahan-lahan darah yang keluar  

berubah menjadi merah. Setelah dirasakan tubuh perwira itu terbebas dari segala  

racun jahat yang ada, Wiro mengangkat senjata saktinya.  

"Dia selamat Raden....."  

"Aku tahu kau sanggup menolongnya," jawab Kertopati. Dia masih  

menelentang di lantai dangau dengan dada sesak turun naik.  

"Sekarang katakan mengapa kau datang mencari kami? Pasti ada yang tak  

beres lagi di Kotaraja."  

26 

DELAPAN  

Gedung Kepatihan di mana Haryo Unggul tinggal bersama keluarganya  

merupakan gedung kedua yang memiliki penjagaan ketat setelah keraton tempat  

kediaman raja dan permaisuri serta putera puterinya. Di sebuah kamar besar yang  

terdapat di bagian belakang gedung malah kini terlihat dua orang pengawal. Itulah  

kamar di mana Raden Siti Hinggil bersama Puji Lestari ditempatkan.  

Malam itu Patih Haryo Unggul masih belum kembali dari istana. Sore tadi  

seorang perajurit datang dari utara, membawa sepucuk surat yang dikirimkan oleh  

Raden Mas Jayengrono. Begitu membaca surat Patih Haryo Unggul langsung menuju  

istana dan memperlihatkan surat itu pada Sri Baginda.  

Teruntuk YM  

Patih Haryo Unggul  

Di Kotaraja  

Gerakan kaum pemberontak telah kami gunting hingga tak mungkin mereka  

bisa menerobos dan melewati perbatasan.  

Melalui surat ini saya ingin melaporkan satu hal yang tidak terduga. Saya  

melihat Raden Kertopati bersama Wiro  

Sableng di antara pasukan pemberontak. Masih terdapat seorang kawannya yakni  

pemuda baju abu-abu yang tidak saya ketahui namanya.  

Saya harap paman patih memberitahu hal ini pada Sri Baginda dan mengambil  

tindakan terhadap Raden Kertopati.  

Sudah sejak lama sebenarnya saya mencurigai Kapala Pasukan itu. Saya yakin  

dia juga yang telah meloloskan Wio Sableng sewaktu ditahan di penjara dulu.  

Jika orang ini tidak segera diamankan istana dan kerajaan akan terancam  

malapetaka besar.  

Teriring salam dan hormat,  

R.M. Jayengrono  

Sri Baginda menyerahkan surat itu kembali pada Patih Haryo Unggul. Lalu  

bertanya "Di mana Kertopati sekarang?"  

"Dia memang berada di luar kota. Namun kepergiannya katanya adalah  

mencari Pendekar 212 untuk dapat menyembuhkan Raden Ajeng....."  

"Itu alasan yang dikatakannya pada kita. Sebenarnya dia ingin menemui kaum  

pemberontak. Musuh dalam selimut!"  

"Saya mohon petunjuk Sri Baginda lebih lanjut...."  

"Apa lagi! Jika dia berani muncul di Kotaraja tangkap ular kepala dua itu.  

Awasi gedung kediamannya!"  

"Bukan lebih baik kalau kita menyelidik kebenaran isi surat ini terlebih dulu?"  

"Eh, mengapa begitu Raden Mas?"  

"Saya kawatir tindakan yang terburu-buru malah bisa mengundang kericuhan  

lebih besar, ingat ketika kita salah tangan menangkap Pendekar 212 dulu.....Kita ikut  

salah walau Raden Mas Jayengrono yang sebenarnya punya ikhtiar."  

Sri Baginda terdiam sejenak. "Aku serahkan semua kebijaksanaan padamu.  

Tapi aku tak ingin kita menempuh jalan salah dan terkecoh. Kalau sampai apa yang  

27 

dilaporkan Raden Mas Jayengrono betul dan kita kebobolan, ingat baik-baik,  

tanggung jawab ada di pundakmu!"  

"Saya ingat hal itu Sri Baginda. Ada satu hal lagi yang ingin saya  

laporkan....."  

"Soal apa?"  

"Terlebih dahulu mohon maaf Sri Baginda. Karena saya telah bertindak tanpa  

memberitahu atau minta izin lebih dahulu. Ini menyangkut kamar tahanan yang sejak  

beberapa hari lalu ditempati Raden Ajeng Siti Hinggil. Turut keterangan yang saya  

dapat kamar itu dulu dibangun secara sangat rahasia. Berarti ada sesuatu yang tidak  

boleh diketahui oleh orang lain...."  

"Seingatku, Jayengrono yang mengepalai pembangunan kamar itu dan kamar- 

kamar lainnya....."  

"Betul sekali Sri Baginda. Mohon lagi maafmu Sri Baginda. Diam-diam saya  

melakukan penyelidikan. Saya merasakan adanya keanehan pada kamar satu itu, tapi  

tak dapat menemukan. Karena itu saya mendatangi Gundil Ablang, kakek tua yang  

dulu jadi juru batu dan juru kayu pembangunan kamar. Gundil Ablang sudah pikun.  

Namun dari rangkaian keterangannya yang coba saya sambung satu dengan yang  

lainnya dapat diduga terdapat sebuah pintu rahasia di dinding kamar itu. Gundil  

Ablang saya datangkan sendiri ke situ. Dia berhasil mengingat di mana pintu itu  

berada, malah menemukan cara membuka dan menutupnya....."  

"Kalau begitu....." uajr Sri Baginda dengan muka berubah, "Selama istriku  

ditahan di kamar itu ada seseorang yang mengunjunginya!"  

Patih Haryo Unggul tak berani mengiyakan.  

"Mungkin sekali Pangeran Matahari!" Sri Baginda tiba-tiba berkata.  

"Saya meragukan sekali hal itu Sri Baginda. Penjagaan di istana ini sangat  

ketat. Meskipun dia memiliki kepandaian tinggi luar biasa, tak mungkin menyelinap  

tanpa diketahui. Dugaan saya ialah bahwa orang itu - siapapun dia adanya - adalah  

seorang yang mampu keluar masuk istana tanpa dicurigai. Orang dalam sendiri."  

"Orang dalam sendiri? Siapa?!"  

"Saat ini tak dapat saya menebaknya Sri Baginda....."  

"Aku harus tahu siapa orang itu. Kau harus menyelidik. Aku beri waktu dua  

hari!"  

Patih Haryo Unggul bangkit berdiri, menjura kemudian berlalu dari hadapan  

raja.  

Angin malam bertiup dingin. Sesosok tubuh turun dari kuda dan mengikat  

binatang itu pada batang pohon yang tersembunyi dalam kegelapan. Setelah  

memperhatikan keadaan sekitarnya, dengan cepat dia melangkah menuju tembok  

timur gedung kepatihan. Gerakannya gesit, enteng, tanpa suara ketika dia dengan  

mudah melompati tembok tinggi itu lalu melompat lagi ke atas atap bangunan.  

Malam begitu gelap. Orang itu mengenakan pakaian serba hitam dan  

wajahnya ditutup cadar hitam. Hanya sepasang matanya yang tampak liar bergerak- 

gerak. Hampir tidak mengeluarkan suara sama sekali si penyelinap mulai  

membongkar genteng di atas atap satu demi satu. Di lain saat tubuhnya lenyap masuk  

ke dalam wuwungan.  

Kamar yang hendak disusupinya itu berada tepat di bawah. Dari atas orang itu  

dapat melihat empat perajurit pengawal di pintu masuk. Di dalam kamar menyala  

lampu minyak kecil sekali. Tapi cukup menerangi keadaan di dalamnya. Cukup untuk  

melihat bahwa di atas ranjang besar yang tertutup kelambu terbaring tidur dua orang  

28 

perempuan. Lalu dua orang perempuan lain tidur di lantai. Yang di atas ranjang besar  

pastilah sang ibu dan anak. Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari.  

Dua perempuan yang tidur di lantai tentu dua orang inang pengasuh.  

Orang di atas loteng menggerakkan tangan kanannya. Satu cahaya putih  

memancar. Di tangan kanannya tampak sebilah senjata yang memancarkan sinar putih.  

Dengan senjata di tangan orang ini lalu melompat turun ke dalam kamar. Kedua  

kakinya menyentuh lantai tanpa mengeluarkan suara. Dengan cepat dia melangkah  

mendekati ranjang. Menyingkap kelambu lalu senjata berkiblat di tangan kanannya  

dihujamkan berulang kali ke tubuh dua orang perempuan yang terbaring di atas  

tempat tidur itu.  

"Aman sekarang!" desis si pembunuh. Sekali melesat dia sudah sampai di atas  

atap. Ketika dia hendak melompat ke tembok, di bawah sana didengarnya pekik jerit  

berulang kali. Sesaat orang di atas atap terkesiap. Dia mengenali suara itu. Dadanya  

berdebar. Sesaat dia ingin kembali melompat turun dan masuk ke dalam kamar. Tapi  

saat itu pula dilihatnya belasan perajurit berlarian menuju kamar. Lain dari itu, dari  

arah pintu gerbang gedung, tampak masuk seorang penunggang kuda diiringi tiga  

pengawal. Yang di depan adalah Patih Haryo Unggul, yang baru saja kembali dari  

istana.  

Mendengar ada pekik keributan di dalam gedung, Patih haryo Unggul serta  

merta melompat dari kudanya. Ketika dia hendak lari masuk ke dalam didengarnya  

salah seorang pengiring berteriak.  

"Patih! Ada orang melompat dari atap ke arah tembok!"  

Haryo Unggul berpaling ke arah yang ditunjuk pengiringnya. Dan benar. Dia  

masih sempat melihat sosok bayangan hitam laksana terbang, melompat dari atap  

menuju tembok.  

"Jangan lari!" teriak sang patih seraya memburu. Namun langkahnya tertahan  

ketika tiba-tiba sambil melayang orang yang diburu memukulkan tangan kanannya.  

Serangkum angin dahsyat melabrak sang patih. Untung saja patih tua ini masih  

sempat merasakan datangnya bahaya. Secepat kilat dia jatuhkan diri ke tanah lalu  

berguling. Sambil berlutut dia balas menghantam dengan pukulan tangan kosong kiri  

kanan sekaligus.  

Braak!  

Tembok gedung hacur berantakan. Tapi orang berpakain serba hitam itu telah  

lenyap di balik tembok. Sewaktu Patih Haryo Unggul melompat ke atas tembok, dia  

hanya mendengar suara rentak kaki kuda yang dipacu dan akhirnya lenyap di  

kegelapan malam.  

Di dalam gedung masih terdengar suara pekik jerit.  

Haryo Unggul cepat melompat turun dari tembok dan masuk ke dalam. Saat  

itu lampu-lampu besar telah dinyalakan. Raden Ayu Puji Lestari langsung menubruk  

dan merangkul tubuh Patih Haryo Unggul begitu masuk ke dalam kamar yang penuh  

sesak oleh perajurit pengawal.  

"Tenang Den Ayu. Katakan apa yang terjadi. Tenang, jangan menjerit......"  

Puji Lestari menunjuk ke arah ranjang besar di mana terbaring dua sosok  

tubuh perempuan. Tubuh itu penuh lumuran darah. Darah juga membasahi hampir  

seluruh tempat tidur.  

"Ya Tuhan....." mengucap sang patih. Dia memandang ke lantai di sudut kiri.  

Hatinya lega ketika di situ dilihatnya Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak kurang  

suatu apa meskipun seperti beberapa hari lalu masih saja tidak sadarkan diri karena  

tubuh kurus itu kini hampir tanpa tenaga lagi. Kedua matanya terpejam.  

29 

"Raden Ayu.... Berterima kasih pada Gusti Allah. Raden Ayu dan ibunda Siti  

Hinggil telah diselamatkan-Nya dari malapetaka maut! Itulah sebabnya saya meminta  

Raden Ayu dan ibunda untuk tidur dilantai seperti inang pengasuh. Kalau terjadi apa- 

apa siapa yang menyangka kalau yang tidur di ranjang bukannya Raden Ayu dan  

ibunda......"  

"Kasihan dua inang itu...." bisik Puji Lestari masih menangis walau kini  

sudah tenang dan berhenti berteriak.  

"Apakah Raden Ayu melihat atau mengenali siapa orang yang masuk dan  

melakukan kejahatan ini?" bertanya Patih Haryo Unggul.  

Puji Lestari menggeleng. "Lampu dalam kamar ini tidak begitu terang. Saya  

sudah tertidur. Semuanya berlangsung dengan cepat. Saya baru terbangun ketika  

mendengar suara erangan halus dari atas tempat tidur....."  

Patih Haryo Unggul memandang berkeliling ke arah para perajurit dan  

pengawal. Rahangnya menggembung. "Musuh masuk ke dalam gedung. Tak satupun  

dari kalian yang mengetahui! Apalagi mencegah terjadinya pembunuhan! Kalian  

dipecat semua!"  

30 

SEMBILAN  

Raden Kertopati langsung membawa Wiro Sableng dan si pemuda berpakaian  

kelabu ke gedung kediaman Patih Kerajaan. Seperti dituturkan dalam seri Bajingan  

Dari Susukan dan Pangeran Matahari dari Puncak Merapi, pemuda berpakaian kelabu  

ini bukan lain adalah seorang gadis cantik yang pernah menyamar sebagai nenek sakti  

bernama Ni Luh Tua Klungkung dan pernah mengabdikan diri pada Kerajaan selama  

empat tahun.  

Saat itu menjelang pagi. Matahari masih belum tersembul dari ufuk timur.  

Meskipun ingin bicara panjang lebar dengan Wiro dan Kepala Pasukan Kotaraja itu  

namun menolong Raden Ajeng Siti Hinggil harus diutamakan. Tanpa banyak bicara  

sang patih membawa ketiga orang itu ke kamar di mana istri Sri Baginda itu  

ditempatkan bersama puterinya, dikawal oleh dua lusin perajurit ditambah dua orang  

perwira.  

Raden Ajeng Siti Hinggil terbaring tak bergerak di atas tempat tidur. Wiro  

Sableng hampir tidak mengenali lagi perempuan itu saking kurus dan pucatnya. Puji  

Lestari memandang penuh tanda tanya begitu melihat pendekar itu muncul.  

"Kami sangat mengharap bantuanmu Wiro. Lakukan apa yang bisa kau  

lakukan...." Berkata Patih haryo Unggul.  

Murid Sinto Gendeng garuk-garuk kepalanya. Sesaat dipandanginya sosok  

tubuh kurus dan wajah pucat itu. Lalu dia membungkuk dan dengan jari-jari  

tangannya dia membuka kelopak mata kiri Raden Ajeng Siti Hinggil. Bola mata itu  

berputar sedikit, tapi pinggir kelopak mata tampak membiru, hampir tidak kelihatan  

kalau tidak diperhatikan dengan teliti.  

"Raden Ajeng ini keracunan....." kata Wiro seraya berpaling pada Patih dan  

Kertopati. Tentu saja pernyataan ini membuat kedua orang itu, dan juga Puji Lestari  

menjadi kaget.  

Pendekar 212 lalu keluarkan kapak saktinya. Sinar putih  

membersit di kamar itu. Wiro berpaling pada Puji Lestari dan berkata "Izinkan saya  

menggores ibu jari ibundamu. Hanya melalui luka racun itu dikeluarkan."  

Puji Letari mengangguk.  

Wiro memandang pada Patih Haryo Unggul.  

Sang patih juga mengangguk.  

Lalu Wiro menggoreskan ujung mata kapak ke ibu jari kaki kanan Raden  

Ajeng Siti Hinggil. Ketika ibu jari itu dipencetnya, darah yang keluar tampak  

berwarna hitam. Wiro mengambilnya sedikit lalu menciumnya. Tercium bau anyir  

yang aneh. Dia termangu sesaat sambil garuk-garuk kepala, membuat baik Kertopati  

maupun Haryo Unggul jadi tidak sabaran.  

"Bagaimana......?" bisik sang patih bertanya.  

Wiro lambaikan tangannya memberi isyarat agar sang patih jangan bertanya  

dulu. Lalu Kapak Maut Naga Geni 212 ditempelkannya pada goresan luka di ibu jari  

kaki Raden Ajeng Siti Hinggil. Perlahan-lahan Wiro mulai kerahkan tenaga dalam.  

Ternyata tanpa mengerahkan tenaga dalam terlalu banyak, dia berhasil menyedot  

racun yang ada dalam aliran darah perempuan itu. Mata kapak tampak dilumuri cairan  

putih.  

Setelah memperhatikan cairan putih di mata kapak, Wiro mendekati Kertopati  

dan Haryo Unggul. Dengan suara perlahan agar tidak terdengar oleh Puji Lestari dia  

berkata "Racun yang mengidap di tubuh Raden Ajeng tak akan membunuh karena  

31 

memang bukan racun mematikan. Tapi mungkin karena sebelumnya keadaan  

tubuhnya sangat lemas maka sekujur tubuhnya jadi seperti lumpuh, bahkan membuka  

matapun dia tak sanggup......"  

"Lalu racun apa yang ada dalam rubuh Raden Ajeng?" bertanya Patih haryo  

Unggul.  

"Racun mesum....." bisik Wiro.  

"Maksudmu?" tanya Kertopati.  

"Racun yang dapat membuat seseorang naik nafsu dan bergairah untuk  

melakukan hubungan badan....."  

Haryo Unggul terbelalak. Sebaliknya Kertopati kini menjadi maklum apa  

sesungguhnya yang telah terjadi. Tapi siapa yang melakukan? Ketika sang patih saat  

itu tiba-tiba saja ingat akan pintu rahasia di dinding kamar tahanan, Kertopati segera  

saja luncurkan ucapan "Siapa lagi! Pasti Jayengrono dalam semua ini!"  

"Jangan bicara seperti itu, dimas. Kita harus mencari bukti. Sebaliknya  

Jayengrono seperti memegang kartu atas dirimu. Ada sepucuk surat yang akan  

kuperlihatkan padamu....."  

"Apakah Panglima itu telah kembali dari luar kota?"  

Patih Haryo Unggul menggeleng.  

Terdengar suara erangan halus dari arah tempat tidur. Semua orang berpaling.  

Sesosok tubuh Raden Ajeng tampak bergerak. Kedua matanya terbuka sedikit.  

"Nah....nah. Raden Ajeng mulai sadar....." kata Wiro gembira. Puji Lestari  

langsung memeluk ibunya.  

Patih Haryo Unggul membari isyarat pada Wiro. Diikuti Kertopati dan Ni Luh  

Tua Klungkung, orang-orang itu tinggalkan kamar tersebut.  

"Ini fitnah paling busuk! Paling terkutuk!" teriak Kertopati selesai membaca  

surat yang diserahkan Patih Haryo Unggul. Surat itu adalah yang dikirimkan Raden  

Mas Jayengrono yang isinya mengungkapkan keterlibatan Kertopati dan Wiro  

Sableng dengan gerakan kaum pemberontak.  

"Paman Patih tahu sendiri apa tujuan saya keluar Kotaraja. Mencari Wiro  

untuk dimintakan pertolongannya. Dan saya kembali kemari untuk membuktikan hal  

itu....."  

"Terus terang sebelumnya ada keraguan di hatiku dimas Kerto. Tapi setelah  

kau benar-benar kembali dan kini Raden Ajeng tertolong jiwanya maka keraguan  

itupun buyar. Aku mempercayaimu sepenuhnya....."  

"Kurasa.....," kata Wiro sambil garuk-garuk kepala. "Kalau ada orang yang  

tak kembali ke Kotaraja, orang itu adalah Raden Mas Jayengrono. Dia akan jadi  

Panglima Buronan........."  

"Aku yakin memang dia yang mengatur semua kebusukan ini. Dia sengaja  

menghindar ke luar kota untuk melihat perkembangan apakah kedoknya akan terbuka  

atau tidak! Kini sebagian sandiwaranya telah tersingkap. Pasti dia yang keluar masuk  

kamar tahanan Raden Ajeng lewat pintu rahasia di dinding kamar! Pasti dia pula yang  

memberikan racun mesum itu agar dapat melampiaskan nafsunya. Bukankah Raden  

Ajeng selalu menolak permintaannya......?"  

"Eh, tunggu dulu dimas Kerto. Permintaan apa maksudmu?" bertanya Haryo  

Unggul.  

Raden Kertopati sadar kalau telah ketelepasan bicara. Dia berpaling pada Wiro  

dan berkata "Sahabatku, sudah kepalang tanggung. Mengapa apa yang kita ketahui  

tentang hubungan Jayengrono dan Raden Ajeng di masa lalu masih kita rahasiakan?  

32 

Mengapa tidak kau tuturkan saja apa yang kau ketahui. Apa yang kau dengar ketika  

mereka bicara di gedung kediaman Raden Ajeng tempo hari?"  

jadi garuk-garuk kepala. "Kau saja yang menceritakannya pada  

paman patih, Raden....." sahut si pendekar.  

Tapi Kertopati menggeleng. "Meskipun aku tahu kebusukan Jayengrono,  

namun sebagai atasan aku tetap menghormatinya!"  

"Pendekar! Kau harus ceritakan padaku apa yang kau ketahui! Sekaligus ini  

untuk menghilangkan dugaan dan kecurigaan bahwa kalian memang bukan  

memfitnah....."  

Wiro jadi serba salah. Tiba-tiba seorang perajurit masuk menghadap. Dia  

melapor bahwa dua orang perempuan tua yang berkerja di dapur istana pada malam di  

mana Raden Ajeng diduga diracun orang telah dipanggil dan kini berada di luar.  

"Suruh kedua perempuan ittu masuk!" perintah Patih Haryo Unggul.  

Dua perempuan tua itu kemudian masuk dengan wajah keriput penuh  

ketakutan.  

"Kalian berdua tak perlu takut. Katakan terus terang. Pada malam empat hari  

lalu kalian berdua diketahui melayani dan menyediakan makanan untuk Raden Ajeng  

dan puterinya. Adakah kalian melihat suatu keanehan.....?'  

"Kami sama sekali tidak melihat keanehan apa-apa Patih," jawab dua  

perempuan tua berbarengan.  

"Jangan hanya menjawab saja! Pikir dulu baik-baik.....!" membentak Haryo  

Unggul.  

Salah seorang perempuan tua itu, yakni sang juru masak tampak ketakutan  

sekali. Suaranya gemetar ketika berkata "Saya.....saya hanya mencuri sepotong  

daging ayam sisa makanan Raden Ajeng. Tapi itu cuma sepotong kecil Patih. Dan  

saya pulang. Saya makan bersama suami saya. Justru itulah pangkal bahala....."  

"Apa maksudmu pangkal bahala?" tanya Kertopati.  

"Saya malu menceritakannya Raden....."  

"Jika kau menyembunyikan sesuatu dengan sengaja, kau akan masuk penjara  

nek!"  

Juru masak tua itu jadi tambah kecut. Dengan mulut terkempot-kempot dia  

berkata "Sehabis makan sepotong daging ayam kecil itu, kami merasakan tubuh  

masing-masing jadi panas. Hawa aneh menggerayangi kami. Darah kami seperti  

bergejolak. Kami diselimuti nafsu dan....dan....dan kami lalu melakukan hubungan  

badan sampai pagi. Padahal itu tak pernah dan tak sanggup kami lakukan sejak  

sepuluh tahun terakhir....."  

Sehabis berkata begitu nenek juru masak ini menutup mukanya dengan dua  

telapak tangan. Wiro menahan cekikikan. Kertopati dan Haryo Unggul tesenyum- 

senyum sedang Ni Luh Tua Klungkung tampak merah wajahnya.  

Tiba-tiba terdengar suara si nenek menangis.  

"Eh, apa-apa ini. Kenapa kau menangis nek?" tanya Wiro.  

"Kalau pencurian secuil ayam itu merupakan kesalahan dan dosa terhadap  

Kerajaan, saya bersedia dihukum. Tapi bagaimana suamiku..... bagaimana anak  

cucuku.....?"  

Patih Haryo Unggul memegang bahu si nenek dan berkata "Tak ada yang akan  

menghukummu. Kami hanya ingin tahu, apa cuma itu keanehan yang kalian temui  

malam itu?'  

"Ada keanehan lain....." yang menjawab nenek pelayan. Dia yang  

mengantarkan makam malam itu ke kamar Raden Ajeng dan puterinya lalu pulang  

lebih dulu.  

33 

"Bagus! Ceritakan apa itu!" ujar Kertopati pula.  

"Malam itu.....setelah makanan siap, tiba-tiba Raden Mas Jayengrono masuk  

ke dapur....."  

"Saya ingat sekarang!" menyambung nenek juru masak. "Raden Mas  

Jayengrono bicara sebentar lalu menyuruh saya pulang karena katanya tugas saya  

selesai. Saya meninggalkan dapur tapi balik kembali karena selendang saya  

ketinggalan. Ketika saya masuk ke dalam dapur lagi, saya lihat Raden Mas  

Jayengrono masih di situ. Dia tengah menuangkan sesuatu ke dalam makanan untuk  

Raden Ajeng....."  

"Bagaimana tahu kalau itu hidangan untuk Raden Ajeng?" tanya Kertopati.  

"Karena makana untuk Raden Ayu Puji sudah dibawa pelayan lebih dulu. Dan  

Raden Jayeng memang mengatur begitu....."  

Kamar itu jadi sunyi senyap. Beberapa pasang mata saling pandang. Kertopati  

mendekati Haryo Unggul dan berkata "Paman Patih, saya ingat keteranganpun  

tentang penyelinap malam tadi yang telah membunuh dua inang pengasuh. Saya yakin  

kau kini tahu siapa pelakunya!"  

Patih Haryo Unggul mengangguk. Dari mulutnya meluncur kata-kata  

"Memang keparat betul si Jayengrono itu. Sudah saatnya aku harus melaporkan  

semua perbuatannya pada Sri Baginda. Tapi.... kalian berdua masih belum  

menerangkan hubungan apa yang terjadi antara Raden Ajeng dan Panglima itu....."  

"Biarlah saya yang menceritakan," akhirnya Raden Kertopati membuka mulut.  

"Sekitar dua puluhan tahun lalu, tanpa setahu Sri Baginda, Raden Ajeng menjalin  

hubungan dengan Jayengrono. Hubungan itu sampai menghasilkan dua orang anak.  

Pertama Puji Lestari dan kedau Pangeran Anom, yang sampai saat ini masih lenyap  

dan tak diketahui di mana beradanya....."  

Patih Haryo Unggul seperti mendengar suara geledek.  

"Ini bukan karangan atau fitnah Raden?"  

"Terkutuk diriku jika memfitnah!" sahut Raden Kertopati pula.  

Sang patih menjadi tegang luar biasa. Kedua tangannya terkepal tanda dia juga  

sangat geram  

"Kini aku dapat menduga jelas. Bukan.....bukan menduga. Tapi memastikan!"  

berkata Haryo Unggul dengan mata berkilat-kilat. "Manusia yang menyelinap malam  

tadi ke gedung kediamanku ini dan membunuh dua inang di atas ranjang adalah  

Panglima keparat itu!"  

Wiro menyeringai. Sambil menggaruk kepala dia berkata "Aku yang tolol  

inipun akan menduga begitu paman patih. Jayengrono ingin menghabiskan riwayat  

Raden Ajeng karena takut rahasianya bocor. Sekaligus dia membunuh puterinya  

sendiri karena mengira pasti sang ibu telah memberi tahu siapa adanya ayahnya  

sebenarnya. Manusia gila! Tega membunuh darah dagingnya sendiri!"  

Haryo Unggul bangkit dari kursinya.  

"Aku akan menghadap raja saat ini juga......." Katanya.  

Kata-kata Haryo Unggul terputus karena seorang perajurit berlari masuk  

dengan wajah pucat. Merasa terganggu Patih itu langsung membentak marah.  

"Ada apa kau seperti dikejar setan! Tidak dipanggil kenapa berani masuk?!"  

"Maafkan saya Patih," jawab si perajurit sambil membungkuk dalam.  

"Sesuatu telah terjadi. Raden Ajeng yang tadi baru saja siuman dan sempat makan  

serta minum kedapatan bunuh diri. Dia membenturkan kepala ke dinding batu. Tak  

seorangpun dapat mencegah. Begitu tiba-tiba dan tak terduga!"  

"Gusti Allah!" seru Patih Haryo Unggul. Dan semua orang yang ada di  

ruangan itu sama menghambur keluar.  

34 

"Paman patih....." Raden Kertopati cepat berkata. "Saya harap paman tidak  

usah menceritakan rahasia kehidupan Raden Ajeng yang gelap itu. Itu hanya akan  

menambah kalut pikiran Sri Baginda dan sekaligus menimbulkan rasa bencinya  

terhadap Raden Ayu Puji Lestari. Jika Sri Baginda sampai ketelepasan bicara dan  

Raden Ayu mengetahui sebenarnya dirinya, bukan mustahil gadis itupun akan  

mengikuti jejak ibunya. Bunuh diri!"  

Patih Kerajaan itu termangu sesaat. Akhirnya dia berkata "Kalian tak usah  

kawatir. Aku akan bertindak sebijaksana mungkin. Soal aib Raden Ajeng menjadi  

rahasia kita bersama....."  

35 

SEPULUH  

Di dalam goa yang terletak di timur kaki gunung Merbabu itu Raden Jayengrono  

menerima kedatangan orang kepercayaannya yang baru saja kembali dari Kotaraja.  

"Kabar buruk untukmu Panglima. Kabar buruk bagi kita semua!" berkata  

orang kepercayaan itu.  

"Aku sudah menduga....." jawab sang Panglima seraya memandang ke luar  

goa di mana sekitar tiga ratus perajurit yang dibawanya dari perbatasan, duduk  

bertebaran di bawah kemah-kemah. "Katakan berita buruk apa yang kau bawa!"  

Jayengrono mengusap wajahnya yang sudah hampir seminggu tidak dicukur. Tangan  

kanannya bersitekan pada hulu Keris Kiyai Gajah Putih yang sengaja diselipkannya di  

pinggang sebelah depan. Dengan memegang hulu senjata sekati itu dia merasakan  

adanya sedikit ketenangan.  

"Sri Baginda memerintahkan penangkapan Panglima. Siapa yang dapat  

menangkap Panglima hidup atau mati akan mendapat hadiah seratus tail emas....."  

Raden Mas Jayengrono sesaat terkesiap. Kemudian dia tertawa gelak-gelak.  

"Kepala Jayengrono tidak semurah itu harganya!" katanya. "Hai, apa lagi  

yang kau ketahui di Kotaraja?"  

"Perintah penangkapan itu telah disebar keseluruh pelosok Kerajaan...."  

"Lupakan dulu segala perintah gila itu. Apakah kau melihat Kertopati di  

Kotaraja?" bertanya Jayengrono.  

Orang kepercayaan itu mengangguk. "Bukan dia seorang Panglima.  

Kawannya pemuda gondrong yang seperti berotak miring itu juga ada di Kotaraja  

bersama pemuda berpakaian serba abu-abu!"  

"Pendekar 212 ...." Desis Jaengrono. Suaranya jelas terdengar  

agak bergetar.  

"Berita paling hebat, Panglima. Raden Ajeng Siti Hinggil ditemukan mati  

bunuh diri!"  

Tentu saja Jayengrono terkejut mendengar keterangan ini. namun dia tak mau  

memperlihatkan perubahan air mukanya. Sambil mengusap janggutnya yang  

meranggas kasar dia berkata perlahan "Kematian memang lebih baik bagi perempuan  

itu.... Ada hal lain yang perlu kau sampaikan?"  

"Yang satu ini saya tidak pasti Panglima. Saya merasa seperti ada yang  

menguntit gerak gerik saya waktu kembali ke mari....."  

Sepasang mata Jayengrono membeliak "Berarti kau berbuat tolol! Suruh  

menghadap Perwira Kesatu sekarang juga!" bentak Jayengrono.  

Tak lama kemudian orang yang disebut sebagai Perwira Kesatu ini muncul  

menghadap. Dalam jajaran balatentara Kerajaan sebelumnya dia adalah perwira muda  

yang dekat hubungannya dengan Jayengrono. Ketika dia ikut membelot bersama  

atasannya itu, Jayengrono langsung mengangkatnya menjadi Perwira Kesatu.  

Bersama dia masih ada dua wakil lagi yang masing-masing disebut Perwira Kedua  

dan Perwira Ketiga.  

"Siapkan pasukan! Kita harus segera berangkat ke lereng Sigumpil saat ini  

juga...."  

"Ada perkembangan baru agaknya Panglima?"  

"Ya. Kemungkinan besar orang-orang Kerajaan sudah mencium kedudukan  

kita di sini."  

36 

"Saya akan siapkan pasukan. Saya usul kita bergerak menembus hutan  

Ronggowereng. Lebih cepat dan sulit dijejak lawan....."  

"Tak percuma kau kuangkat jadi wakil utamaku!" memuji Jayengrono. "Satu  

hal lagi. Kapan tokoh silat bergelar Titisan Rahwono itu berjanji akan bergabung  

bersama kita......?"  

Sebelum Perwira Kesatu menjawab, terdengar angin bersiur dan orang bicara  

"Aku sudah hadir di sini Panglima!"  

Orang-orang yang ada di situ - termasuk Jayengrono - jadi terkesiap.  

Berpaling ke kiri mereka sama melihat seorang lelaki bertubuh tinggi besar gemuk  

dengan perut buncit. Dia hanya mengenakan sehelai celana hitam, bertelanjang dada  

dengan kalung akar bahar yang besar pada lehernya. Dia memakai topi berbentuk  

aneh. Wajahnya angker luar biasa. Sepasang mata besar merah, hidung lebar  

ditambah cambang bawuk. Mulutnya selalu terbuka, memperlihatkan gigi-giginya  

yang besar serta taring yang mencuat keluar.  

Di pinggangnya dia membawa sebuah penggada hitam terbuat dari batu keras.  

Inilah senjatanya. Penggada ini diikat dengan rotan kecil. Potongan tubuh serta  

tampang orang ini memang mirip tokoh Rahwana dalam cerita pewayangan. Tanda  

dia memiliki kepandaian tinggi dibuktikan dengan kehadirannya yang tiba-tiba tidak  

diketahui oleh sekian ratus pasukan, bahkan tidak disadari oleh Jayengrono dan  

pembantu-pembantunya.  

"Ah, syukur kau sudah ada di sini, sahabat!" Jayengrono menunjuk  

kegembiraanya sambil menepuk-nepuk bahu Rahwono yang gemuk gempal.  

Yang ditepuk menyeringai. Ketika bicara nafasnya menebar hawa busuk yang  

tidak sedap. "Sebelum kemari aku sudah menghubungi kawan-kawan kita di utara.  

Mereka siap menyambut dan bergabung dengan kita di sebelah timur lereng  

Sigumpil!"  

"Bagus! Kita berangkat sekarang juga!" ujar Jayengrono.  

Dengan cepat seluruh pasukan yang berjumlah sekitar tiga ratus orang itu  

disiapkan, ketika mereka hampir hendak berangkat, dari arah barat tiba-tiba terlihat  

pantulan-pantulan sinar yang menyilaukan menyambar. Sambaran ini menerpa wajah  

Jayengrono beberapa kali, membuat Panglima buronan ini terkesiap, berubah  

parasnya dan memandang ke arah kejauhan.  

Di puncak sebuah bukti kecil yang tandus tanpa pepohonan sejarak tiga ratus  

tombak dari tempat dia berada, Jayengrono melihat satu sosok berpakaian serba putih  

tegak bertopang pada sepotong tongkat bambu kecil. Pada tangan kanannya orang ini  

memegang sebuah benda yakni sebuah kaca bulat. Kaca ini digerak-gerakannya  

berulang kali ke arah sinar matahari yang kemudian mengeluarkan pantulan  

menyilaukan. Pantulan yang menyilaukan inilah yang menyambar wajah Jayengrono.  

Dan agaknya memang sengaja ditujukan kepadanya.  

"Rahwono," kata Jayengrono, "Kau dan yang lain-lainnya tunggu di sini. Aku  

akan menemui orang di puncak bukit itu. Aku tidak akan lama...."  

"Siapakah orang itu Panglima?" tanya Perwira Kesatu sementara Titisan  

Rahwono hanya menyeringai dan seperti tidak acuh.  

Jayengrono tidak menjawab. Setengah berlari dia menuju puncak bukit kecil.  

Hatinya sangat tidak enak.  

Sesaat kemudian Jayengrono sampai di hadapan orang di puncak bukit.  

Ternyata dia adalah seorang kakek tua berwajah klimis. Bibirnya dihias kumis putih  

melintir tetapi halus. Dia mengenakan celana dan selempang kain putih. Kepalanya  

terbungkus kain putih. Walaupun wajah orang ini sama sekali tidak seram, namun  

diam-diam Jayengrono merasakan ketakutan di hatinya.  

37 

Di hadapan si orang tua Panglima buronan menjura hampir berlutut seraya  

menyebut "Guru....."  

Orang tua itu sesaat menatap Jayengrono mulai dari topi tingginya yang penuh  

debu, pakaiannya yang bagus tapi kotor, sampai ke kakinya yang mengenakan kasut  

kulit.  

"Jayeng, seharusnya tempatmu di Kotaraja. Mengapa kau berada di daerah  

terpencil ini....." Orang tua itu tiba-tiba menegur dengan suara datar.  

Jayengrono tak bisa menjawab.  

"Agaknya Kotaraja tidak bersahabat lagi denganmu, Jayeng?"  

Karena Jayengrono hanya menunduk dan tak bisa menjawab maka orang tua  

itu kembali berkata "Baiklah Jayeng. Kau punya seribu alasan untuk tidak menjawab  

pertanyaanku. Aku ingin menyelesaikan urusan ini secara cepat. Kembalikan Kiyai  

Gajah Putih padaku!"  

Kagetlah Panglima buronan itu hingga kepalanya tersentak mendongak.  

"Guru.....apa maksudmu?" tanya Jayengrono.  

"Kau tak perlu bertanya. Kau tahu apa maksudku. Jelas. Bahkan sangat jelas.  

Aku meminta kau mengembalikan keris sakti itu!"  

"Tapi, bukankah sudah guru berikan dan wariskan padaku?"  

"Betul," sahut si orang tua. "Tapi dengan perjanjian. Bahwa kau tidak boleh  

melanggar pantangan yang dulu kusebutkan! Jangan kau mengatakan tidak ingat, atau  

lupa atau khilaf! Aku sangat benci dengan manusia-manusia yang mencari seribu satu  

alasan untuk menyatakan dirinya benar!"  

Jaengrono terdiam. Tenggorakannya turun naik.  

"Aku, aku telah melanggar pantangan guru," berkata Jayengrono dengan suara  

bergetar. "Aku telah berzina......"  

"Kau bukan hanya berzina Jayeng! Tapi bahkan kau memperkosa! Dan orang  

yang kau perkosa itu kemudian mati bunuh diri akibat penderitaan dan kehancuran  

harga diri yang tidak dapat ditanggungnya lagi! Mana senjata itu?!" Si orang tua  

ulurkan tangan kirinya.  

"Guru, saya mohon ampunanmu. Saya berjanji, tidak. Saya bersumpah untuk  

tidak melakukan hal itu lagi....."  

Orang tua itu tersenyum tawar. "Janji dan sumpah itu cukup hanya satu kali.  

Kalau dilanggar namanya bukan janji atau sumpah lagi! Waktuku tidak banyak. Aku  

mendapat firasat bahwa daerah sekitar sini akan jadi medan pertumpahan darah.  

Serahkan Kiyai Gajah Putih padaku! Atau haruskan aku mengambilnya sendiri......?"  

"Guru, permintaanmu akan kupenuhi. Tapi bolehkah aku mengembalikannya  

nanti, setelah urusanku selesai. Paling lambat dalam waktu tiga puluh hari ......"  

Orang tua itu gelengkan kepala. "Aku minta sekarang dan harus dapat  

sekarang. Aku tak ingin segala dosa dan kekejian melumuri senjata itu lebih banyak!"  

Karena merasa terdesak, tak mungkin lagi membantah akhirnya Jayengrono  

berkata "Baiklah guru. Kalau begitu keputusanmu, Kiyai Gajah Putih kukembalikan  

padamu....." Lalu degnan sikap setengah berlutut Jayengrono menarik Keris Kyai  

Gajah Putih dari pinggangnya dan mengulurkan kedua tangan untuk menyerahkan  

senjata itu dengan sikap penuh khidmat. Tetapi baru setengah gerakan mengulurkan  

tangan dibuat Jayengrono, tiba-tiba tangan kanan dan kiri membuat gerakan lain dan  

secepat gerakan kilat!  

Keris Kiyai Gajah Putih meluncur keluar dari sarungnya. Sinar putih  

menyilaukan berkiblat. Ujung senjata itu menghujam ke arah dada orang tua  

berselempang kain putih.  

38 

Tenang sekali orang tua itu gerakkan tangan kanannya. Tongkat bambu kecil  

yang dipegangnya mencuat ke atas untuk memukul pergelangan tangan Jayengrono.  

Tapi lebih cepat dari itu, dari jurusan lain tiba-tiba menderu sebuah batu berbentuk  

empat persegi panjang berwarna hitam. Batu ini menghantam tangan kanan  

Jayengrono dengan keras hingga Panglima buronan ini terpekik kesakitan, lepaskan  

keris sakti di tangannya. Senjata itu mental ke udara. Orang tua bepakaian putih  

melompat. Tongkat bambunya dilemparkan ke arah keris. Begitu keris dan bambu  

beradu, kedua benda itu saling bertempelan. Ketika bambu jatuh ke bawah dan keris  

sakti yang menempel di situ segera diambilnya. Kini tinggal sarungnya yang masih  

berada di tangan Jayengrono.  

Bersamaan dengan melesatnya batu hitam tadi, menderu pula satu gelombang  

amgin dahsyat sehingga baik Jayengrono maupun si orang tua berpakaian serba putih  

sama-sama roboh ke tanah!  

39 

SEBELAS  

Sambil memegang Keris Kiyai Gajah Putih tanpa sarung di tangan kanan orang itu  

cepat berdiri tegak sementara Jayengrono bangkit agak sempoyongan.  

Memandang berkeliling dua orang yang tegak di puncak bukit tandus itu  

dapatkan tiga penunggang kuda mengelilingi mereka. Ketiga orang ini adalah Raden  

Kertopati - Kepala Pasukan Kotaraja, Pendekar 212 dan Ni Luh Tua  

Klungkung yang masih tetap dengan samarannya sebagai pemuda berpakaian serba  

kelabu.  

melompat dari kudanya, memungut batu hitam yang merupakan  

pasangan Kapak Maut Naga Geni 212 yang tadi dilemparkannya untuk menghantam  

tangan Jayengrono.  

Ketika Wiro menyelipkan batu hitam itu ke balik pinggangnya orang tua  

bepakaian putih di samping kirinya terdengar berdehem beberapa kali  

"Hemm.... Jadi itulah tadi pukulan Benteng Topan Melanda Semudera! Sudah  

lama mendengar baru sekali ini melihat dan merasakan.....!"  

Tentu saja Murid Eyang Sinto Gendeng kaget sekali ketika melihat kenyataan  

orang tua tak dikenal itu mengetahui nama pukulan yang tadi dilepaskannya. Pemuda  

ini hanya bisa menyeringai dan garuk-garuk kepala. Untuk pertanyakan siapa orang  

tua itu sebenarnya dia merasa sungkan. Apalagi keadaan saat itu sama sekali tidak  

tepat.  

"Raden Mas Jayengrono, kami datang menjalankan perintah Sri Baginda.  

Menangkapmu dan membawamu ke Kotaraja!" Dari atas punggung kudanya Raden  

Kertopati mengeluarkan suara lantang.  

Jayengrono tertawa dingin.  

"Rupanya kau mengharapkan seratus keping emas itu Kertopati. Hingga jauh- 

jauh datang turun tangan sendiri, bukan membawa pasukan tapi mengajak gembel- 

gembel ini!"  

Yang dimaksud Jayengrono dengan gembel-gembel itu tentu saja Wiro  

Sableng dan Ni Luh Tua Klungkung. Gadis yang menyamar jadi pemuda ini menjadi  

marah sekali dan siap melompati Jayengrono, tapi Wiro memberi isyarat agar tidak  

bertindak.  

"Raden Mas, kau memiliki sederet dosa dan kesalahan yang harus kau  

pertanggung jawabkan di hadapan Sri Baginda!" berkata Raden Kertopati tanpa  

mengacuhkan ejekan orang.  

"Coba katakan apa dosa dan kesalahanku itu!" ujar Jayengrono seraya  

berkacak pinggang.  

"Pertama, kau diketahui selama ini terlibat membantu kaum pemberontak.  

Dan saat ini diketahui tengah hendak bergabung dengan mereka di bukit Sigumpil  

dengan maksud merongrong dan menjatuhkan Kerajaan..... Kedua kau penyebab  

kematian Raden Ajeng Siti Hinggil. Ketiga kau pula yang diketahui membunuh dua  

orang inang pengasuh karena menduga mereka adalah Raden Ajeng dan puterinya.  

Masih banyak lagi sederet dosa dan kesalahanmu yang kurasa tak perlu disebutkan.  

Tapi ada satu kesalahan yang perlu kuungkapkan saat ini. Kau bersama Kala Srenggi  

melakukan penghadangan dengan membuat perangkap lubang maut terhadapku!  

Yang menyebabkan beberapa pengawalku menemui ajal termasuk seorang perwira  

muda......!"  

Jayengrono merasa geram mendengar kata-kata yang dilontarkan Kertopati itu.  

40 

"Tuduhan tanpa bukti! Fitnah busuk! Raden Ajeng bunuh diri, apa sangkut  

pautnya dengan diriku! Aku berada di sini dalam menjalankan tugas untuk  

menghancurkan kaum pemberontak! Malah dituduh berhubungan dengan  

pemberontak! Fitnah! Kau pandai memutar balikkan kenyataan Kertopati! Jika Raden  

Ajeng memang mau mampus, ya mampus saja! Apa sangkut pautnya dengan diriku?!  

Dan soal jebakan lubang maut yang kau katakan itu, lagi-lagi fitnah!"  

Orang tua berpakaian putih maju dua langkah. Dengan gerakan kilat dia  

merampas sarung keris Kiyai gaah Putih dari pegangan Jayengrono. Lalu orang tua ini  

berkata "Jayengrono, ada pepatah tangan mencencang bahu memikul. Ada juga ujar- 

ujar siapa menggali lobang, dia bakal masuk ke dalamnya. Lalu masih ada lagi siapa  

yang berbuat dosa dan kesalahan, dia yang akan menanggung. Nah, di hadapan orang- 

orang utusan Kerajaan ini, pertanggung jawabkanlah semua perbuatanmu!"  

Habis berkata begitu si orang tua putar tubuhnya dan tinggalkan tempat itu.  

"Guru! Jangan pergi dulu.....!" seru Jayengrono. Dalam keadaan terjepit  

seperti itu tentu saja dia sangat mengharapkan pertolongan gurunya. Tapi sang guru  

melangkah terus dengan tegar, menolehpun tidak!  

Terdengar suara tertawa mengekeh. Jayengrono berpaling dengan hati panas.  

Yang tertawa adalah Pendekar 212 .  

"Gurumu sendiri tidak perduli! Nah kepada siapa kau minta tolong sekarang  

Panglima buronan?!"  

"Gembel keparat! Kau juga seorang buronan dari penjara Kerajaan!" hardik  

Jayengrono.  

Empat sosok tubuh berkelebat. Lalu tegak di kiri kanan Jayengrono. Yang  

sebelah kanan adalah Titisan Rahwono, lalu yang lain-lain adalah Perwira Kesat,  

Perwira Kedua dan Perwira Ketiga, para pembantu Jayengrono.  

"Ada apa ribut-ribut di sini? Siapa mereka?!" Titisan Rahwono membentak  

sambil memandangi orang-orang di hadapannya.  

"Hemm.... Rupanya cakil satu ini ikut bergabung denganmu Raden Mas.....  

kata Kertopati yang tetap menyebut bekas atasannya itu dengan panggilan gelar  

kehormata. "Dia memang sejak lama dicari Kerajaan. Bagus! Sekali turun tangan dua  

pentolan sesat bisa ditangkap....!"  

"Kalian cecunguk-cecunguk hendak menangkap kami? Ladalah!" Titisan  

Rahwono tertawa bergelak sambil usap-usap dadanya dengan tangan kiri sedang  

tangan kanan mengusap kepala gada batu di pinggang. "Kalau bermimpi, bemimpilah  

yang enak-enak! Jangan mimpi mita mampus! Kotaraja jauh dari sini! Siapa yang  

menggotong bangkai kalian ke sana....?" Kembali Titisan Rahwono bergelak. Suara  

gelaknya ditimpali oleh suara gelak yang lebih keras. Demikian kerasnya hingga  

Titisan Rahwono dan yang lain-lainnya meraskan jalan darah mereka seperti  

tersentak-sentak dan dada berdebar-debar. Yang tertawa ini siapa lagi kalau bukan  

Pendekar 212 . Dan untuk itu dia mengerahkan tenaga dalamnya lebih  

dari separuhnya!  

"Cakil berperut kembung ini memang lucu tampang dan lucu bicara! Raden  

Kertopati, jika dia nanti kita tangkap sebaiknya dijadikan badut saja untuk menghibur  

keluarga istana!"  

"Bangsat rendah bermulut haram jadah!" teriak Titisan Rahwono lalu cabut  

gada batunya dari lilitan rotan di pinggang.  

Jayengrono yang melihat kesempatan segera berkata "Kalian hadapi antek- 

antek Kerajaan ini! Aku mau tahu sampai di mana besar mulut mereka!"  

Ketika Titisan Rahwono dan tiga Perwira bergerak mengurung, Jayengrono  

pergunakan kesempatan untuk berbalik dan lari menuruni lereng bukit ke arah  

41 

pasukan yang menunggu. Melihat ini Raden Kertopati segera mengejar. Karena dia  

menunggang kuda maka sesaat saja Kertopati berhasil mengejar. Dari atas punggung  

kuda Kertopati melompati bekas atasannya itu hingga keduanya jatuh bergulingan di  

sepanjang lereng bukit. Perkelahian antara mereka tak dapat dihindari lagi. Dari arah  

bukit, ratusan perajurit yang melihat kejadian itu segera menyerbu ke atas.  

Di atas bukit kini tinggal Pendekar 212 dan Ni Luh Tua  

Klungkung berdua menghadapi Titisan Rahwono beserta tiga Perwira.  

Tiga Perwira yang membelot itu sebelumnya sudah mengetahui kehebatan  

Pendekar 212 . Karenanya mereka biarkan saja Titisan Rahwono  

menghadapi pendekar berambut gondrong itu sementara mereka memilih lebih baik  

mengeroyok pemuda baju kelabu yang mereka anggap lebih empuk dijadikan lawan!  

Tapi ketiganya segera kena batu. Begitu mereka bergerak menyerbu, pemuda  

berpakaian kelabu itu segera mengahantam dengan pukulan membelah. Kedua telapak  

tangan dirapatkan, jari disusun dan dinaikkan menyentuh kening. Ketika kedua tangan  

itu dipecah dan dihantamkan ke bawah, tiga Perwira yang menyerang merasakan  

seperti ditarik ke kiri dan ke kanan. Ketiganya terbanting ke tanah. Satu tak bangun  

lagi, dua tegak dengan sempoyongan. Satu di antaranya merasakan dadanya  

mendenyut sakit tapi bersama kawannya berlaku nekad menyerbu kembali.  

Perkelahian dua lawan satu berlangsung hanya dua jurus. Memasuki jurus ketiga  

salah satu dari mereka mencelat dimakan tendangan kaki kanan Ni Luh Tua  

Klungkung. Kawannya segera cabut sebilah golok pendek. Dengan senjata ini dia  

menyerbu pemuda berbaju kelabu itu. Setelah menggempur habis-habisan selama tiga  

jurus akhirnya goloknya terlepas mental dari tangan dan di saat yang sama jotosan  

tangan kiri menerobos ulu hatinya. Perwira terakhir ini terlempar semburkan darah  

segar dan tak bangkit lagi!  

42 

DUA BELAS  

Meskipun bertubuh gemuk besar dan buncit namun Titisan Rahwono memiliki  

kegesitan luar biasa. Tubuhnya berkelebat cepat kian kemari. Gada batunya menderu- 

deru pulang balik mengeluarkan suara angker. Hanya sayang dia tidak tahu tengah  

berhadapan dengan siapa sebenarnya.  

Setelah menggempur lima jurus terus menerus tanpa mampu menyentuh  

apalagi merobohkan lawannya, Titisan Rahwono keluarkan pekik aneh. Gerakan ilmu  

silatnya tiba-tiba berubah. Dan satu hal yang luar biasa terjadi. Wiro melihat  

lawannya itu berubah bentuk. Kepalanya jadi dua dan tangannya jadi empat!  

"Gila! Ilmu iblis apa ini!" memaki Wiro dalam hati. Baru saja dia memaki  

begitu empat tangan melabrak ke arah tubuhnya. Dua merupakan pukulan gada hitam,  

dua lagi cengkeraman ganas!  

"Edan!" teriak murid Sinto Gendeng dan ceapt melompat mundur seraya  

hantamkan tangna kanan lepaskan pukulan Kunyuk Melempar Buah! Tapi sungguh  

luar biasa! Pukulan sakti yang disertai aliran tenaga dalam tinggi itu seperti  

menembus dinding angin, sama sekali tidak berbekas dan lewat begitu saja di tubuh  

lawan!  

"Cakil ini memiliki ilmu siluman rupanya!" desis Wiro geram. "Aku mau lihat  

apakah dia mampu menghadapi ini!" Lalu Wiro keluarkan Kapak Naga Geni 212 dan  

batu hitam empat persegi yang tersisip di pinggangnya. Selagi lawan merangsak coba  

menghampirinya, Wiro gosokkan batu hitam ke mata kapak sambil mulutnya  

merapal mantera.  

Buuuuusssss!  

Lidah api mencuat antara mata kapak dan batu hitam.  

Titisan Rahwono menjerit setinggi langit. Kepalanya yang tadi tampak dua  

kini kembali satu. Tangannya yang tadi terlihat empat kini kembali dua. Sekujur  

wajah dan tubuhnya tampak hangus melepuh. Dia menjerit keras. Jatuhkan diri dan  

bergulingan di tanah. Tubuh tak bernyawa itu baru berhenti ketika terganjal oleh  

semak belukar pendek di lereng bukit.  

Pendekar 212 balikkan tubuh ketika mendengar suara riuh  

ratusan perajurit menaiki bukit dan mengurung Kertopati yang berkelahi mati-matian  

menghadapi Jayengrono.  

Sebagai Panglima Balatentara Kerajaan tentu saja Jayengrono memiliki  

kepandaian silat, kesaktian dan tenaga dalam yang jauh lebih tinggi dari Kertopati.  

Karenanya setelah bertahan lebih dari dua puluh jurus, pukulan-pukulan tangna  

kosong lawan mulai membuat Kertopati terdesak hebat. Salah satu matanya tampak  

matang biru dilanda jotosan, membuat penglihatannya terganggu. Dadanya seperti  

melesak disambar ujung kaki lawan. Ketika sekali lagi satu jotosan mendarat di  

lambungnya tak ampun lagi Kertopati tersungkur ke tanah, megap-megap berusaha  

bangun tapi tak sanggup. Ratusan perajurit yang tunduk pada Jayengrono berteriak  

riuh rendah.  

"Cincang Kepala Pasukan itu!" teriak Jayengrono. Maka laksana air bah  

ratusan perajurit melompat ke depan dengan berbagai senjata. Mulai dari tombak  

sampai pedang. Mulai dari golok sampai kelewang. Ajal Raden Kertopati agaknya  

tidak tertolong lagi!  

Dari atas bukit dua sosok tubuh lari laksana terbang.  

43 

Yag di sebelah depan membentak menggelegar tanda dia kerahkan seluruh  

tenaga dalamnya.  

"Tahan! Siapa berani mendekati Kepala Pasukan itu berarti minta mampus!"  

Meski mendengar jelas peringatan itu, namun ratusan perajurit yang  

berpikiran dangkal itu mana mau mengerti. Mereka tetap menyerbu untuk  

mencincang lumat tubuh Raden Kertopati.  

Wiro garuk kepalanya.  

"Tak ada jalan lain sahabat!" bisik Ni Luh Tua Klungkung. Dia melihat saat  

itu tangan kanan Wiro sudah berubah menjadi putih keperak-perakan dan  

membersitkan sinar berkilauan penuh angker. "Hantam!"  

Maka Pendekar 212 hantamkan tangan kanannya ke arah  

kelompok perajurit yang paling dekat mengancam keselamatan Raden Kertopati.  

"Pukulan Sinar Matahari!" teriak Jayengrono. "Lekas menghindar!"  

Tapi terlambat. Sinar putih menyilaukan disertai hawa panas luar biasa  

berkiblat seperti hendak membelah bumi. Puluhan perajurit yang tadi nekad akan  

mencincang Kertopati mencelat mental. Enam belas meregang nyawa seketika. Dua  

belas lainnya tergelimpang pngsang degnan tubuh penuh luka bakar! Jerit dan erangan  

bercampur jadi satu dengan debu tanah bukit yang beterbangan ke udara.  

Ketika debu turun perlahan-lahan suasana di lereng bukit itu sehening di  

pekuburan. Tak seorangpun berani bergerak.  

"Panglima keparat! Kau mau lari ke mana?!" terdengar teriakan Ni Luh Tua  

Klungkung.  

"Kejar dia! Jangan sampai lolos!" terdengar suara Kertopati. Suaranya lemah  

sekali dan saat iu dia duduk menjelepok di tanah.  

Wiro bertindak cepat ketika dilihatnya Jayengrono melarikan diri ke arah  

rimba belantara di lereng bukit sebelah kanan. Meskipun Jayengrono tidak memiliki  

ilmu lari sehebat yang dipunyai , tapi karena jarak mereka saat itu  

terpisah jauh bekas Panglima itu berhasil mencapai hutan dan menyelinap lenyap  

ketika Wiro baru sampai di tepi hutan.  

"Sialan! Kemanapun kau lari akan kukejar!" kertak Wiro.  

Di dalam hutan yang cukup lebar itu Wiro mengejar sambil memasang telinga.  

Memang ketajaman pendengaran satu-satunya yang sangat membantu di daerah  

seperti ini di mana mata sulit tembus memandang. Setelah lari dan memasuki rimba  

belantara cukup lama dan masih belum mengetahui ke jurusan mana Jayengrono  

melarikan diri, Wiro jadi penasaran. Dia memanjat ke atas pohon dan memperhatikan  

keadaan di bawahnya. Tak ada gerakan, tak terdengar apa-apa. Tak tampak  

Jayengrono, Wiro bergayut ke pohon lain, pindah lagi ke beberapa pohon lainnya  

sampai akhirnya telinganya mendengar suara tarikan napas di bawahnya. Memandang  

ke bawah ternyata dilihatnya orang yang dikejarnya duduk di atas cabang pohon yang  

sama, dua cabang di sebelah bawah. Jayengrono memandang berkeliling. Dia merasa  

lega karena tak terlihat tanda-tanda pengejarnya berada di sekitar situ. Lalu  

memutuskan untuk mendekam terus di cabang pohon. Dia sama sekali tidak tahu  

kalau Wiro sudah ada di atasnya.  

"Manusia satu ini pantas dimandikan dulu sebelum kutangkap!" kata Wiro  

dalam hati. Dari tadi memang dia sudah tidak tahan oleh rasa yang terus menerus  

menekan bagian bawah tubuhnya. Celana putihnya diperosotkan ke bawah. Sesaat  

kemudian mengucurlah cairan putih kekuningan, jatuh ke bawah dan mendarat di atas  

kepala Jayengrono.  

Tentu saja kagetnya Jayengrono bukan kepalang ketika merasa ada air hangat  

dan agak bau mengucur membasahi kepalanya. Dirabanya rambutnya sesaat, lalu dia  

44 

mendongak. Justru ini membuat air mancur itu menghantam mukanya! Sebagian  

menyiram matanya, sebagian lagi ada yang masuk ke dalam mulutnya!  

"Setan!" runtuk Jayengrono ketika melihat sosok tubuh yang ada dua cabang  

di atasnya. Dia menghantam dengan pukulan tangan kosong. Dua cabang di sebelah  

atas patah berantakan. Angin pukulannya terus menyambar ke arah Wiro.  

Murid Sinto Gendeng keluarkan suara bersiul. Tanpa sempat menarik kembali  

celananya dia balas menghantam ke bawah. Kali ini dengan pukulan Angin Puyuh.  

Hutan itu seperti dilanda punting beliung. Pohon besar di mana Wiro dan Jayengrono  

berada bergoyang-goyang seolah-olah hendak tercabut dari akarnya. Ranting dan  

daun-daun gugur meranggas.  

Jayengrono merasakan tekanan hebat. Bukan saja karena pukulan yang  

dilepaskan Wiro tapi karena angin pukulannya tadi ikut terseret dan balik  

menghantam dirinya sendiri. Dia coba menggapai berpegangan pada batang pohon.  

Tapi meleset kaena batang pohon itu licin tertutup lumut. Tak ampun tubuhnya  

mental ke bawah bersama patahan cabang yang tadi didudukinya. Dia coba andalkan  

ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya dan jungkir balik di udara agar dapat turun  

ke tanah dengan kedua kaki lebih dahulu. Tapi terpaan angin pukulan yang datang  

dari atas membuat tubuhnya limbung. Gerakannya tidak karuan. Dia sampai di tanah  

dengan kepala lebih dahulu.  

Bekas Panglima Kerajaan ini mati dengan kepala pecah dan leher patah. Wir  

garuk kepala, melompat dan turun ke bawah lewat patahan cabang-cabang pohon.  

Kembali dia garuk-garuk kepala ketika melihat mayat Jayengrono.  

Seseorang menyeruak pohon berdaun lebar di belakangnya. Wiro cepat  

berbalik. Yang datang ternyata Ni Luh Tua Klungkung.  

"Mampus juga akhirnya!" kata Wiro sambil menunjuk ke arah mayat  

Jayengrono.  

Gadis yang menyamar jadi pemuda itu sesaat memandang ke mayat  

Jayengrono, ketika dia berpaling ke arah Wiro, tiba-tiba saja dia membalikkan tubuh.  

"Eh, kenapa kau......sahabat?!" tanya Wiro heran.  

"Orang gila!"  

"Gila! Siapa yang gila?" Wiro terheran-heran.  

"Rapikan dulu celanamu!" teriak sang dara.  

Wiro memandang ke bawah. Astaga! Ternyata sehabis mengencingi  

Jayengrono dari atas pohon tadi, dia masih belum membereskan celananya. Cepat- 

cepat pemuda ini tarik celana putihnya ke atas sambil menyengir!  

Ruangan besar tempat pertemuan dalam istana itu penuh sesak oleh orang  

banyak yang ingin mendengarkan beberapa keputusan yang telah diambil oleh Sri  

Baginda. Di antara tokoh Kerajaan tampak pula duduk Pendekar 212  

bersama sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung. Mereka sengaja mengambil tempat  

duduk agak sebelah belakang.  

Patih Haryo Unggul baru saja selesai membacakan keputusan raja atas  

pengangkatan Raden Kertopati menjadi Panglima Pasukan Kerajaan yang baru. Untuk  

itu gelarnyapun dirubah dari hanya Raden menjadi Raden Mas.  

Selesai pembacaan pengumuman pengangkatan Kertopati menjadi Kepala  

Pasukan Kerajaan yang baru itu maka Kertopati naik ke mimbar untuk membacakan  

pula keputusan raja mengenai pengangkatan Kepala Pasukan Kotaraja yang baru.  

Dalam surat keputusan itu disebutkan bahwa sesuai degnan jasa-jasanya yang  

sangat besar dan cukup banyak maka Pendekar 212 diangkat menjadi  

45 

Kepala Pasukan Kotaraja sedang pemuda sahabatnya yang sampai hari ini tida  

diketahui pasti siapa namanya dijadikan Wakil Kepala Pasukan Kotaraja merangkap  

pembantu khusus Kepala Pasukan Kerajaan.  

"Untuk itu kami harapkan kedua tokoh Kerajaan yang baru itu naik ke  

mimbar!" begitu Raden Mas Kertopati menutup pembacaan keputusan raja.  

Semua orang berpaling ke deretan kursi sebelah belakang di mana Wiro  

Sableng dan sahabatnya itu tadi tampak duduk. Dan terjadilah kehebohan. Kedua  

orang itu tak lagi di sana. Beberapa orang mengejar ke luar ruangan, sampai ke  

langkan dan halaman istana. Tapi dua pemuda itu raib tanpa seorangpun tahu ke mana  

perginya!  

TAMAT

Continue Reading

You'll Also Like

48.2K 4.3K 42
WARNING WP INI BXB JIKA ANDA HOMOPHOBIC MENJAUH!!! JANGAN BACA SEMUANYA KARANGAN 100% GAADA YANG BERDASARKAN RL!! JANGAN MEMBAWA SEMUA CERITA YANG AD...
66.9K 9.4K 47
Shani Alexa "Hahhh sudah lama tidak mencium bau aroma SMA" "selamat menjadi murid lagi shani" kenzie "Pintar sekali anak-anak sekarang, mereka berma...
105K 7.7K 15
Anessa season 2! SEBAGIAN PART SEGERA DI PRIVAT FOLLOW TERLEBIH DAHULU UNTUK MEMBACA NYA! •• "Gue gak nyuruh lo masak buat gue, stop ngeluh kaya gitu...
47.3K 3.9K 17
Diambang putus asanya Adel terpaksa menjadikan dirinya baby boy yang tunduk patuh atas kuasa nyonya Ashel CEO cantik, kaya raya, dan berdarah dingin...