WIRO SABLENG

由 dlwshe

119K 861 20

更多

01. Empat Berewok Dari Goa Sanggreng
02. Mau Bernyanyi Di Pajajaran
03. Dendam Orang-Orang Sakti
04. Keris Tumbal Wilayuda
05. NERAKA LEMBAH TENGKORAK
06. Pendekar Terkutuk Pemetik Bunga
07. Tiga Setan Darah dan Cambuk Api Angin
08. Dewi Siluman Bukit Tunggul
09. RAHASIA LUKISAN TELANJANG
10. Banjir Darah Di Tambun Tulang
11. Raja Rencong Dari Utara
12. Pembalasan Nyoman Dwipa
13. Kutukan Empu Bharata
14. Sepasang Iblis Betina
15. Mawar Merah Menuntut Balas
16. HANCURNYA ISTANA DARAH
17. Lima Iblis Dari Nanking
18. Ki Ageng Tunggul Akhirat
19. Hidung Belang Berkipas Sakti
20. Pendekar Pedang Akhirat
21. Neraka Puncak Lawu
22. Pendekar Dari Gunung Naga
23. Siluman Teluk Gonggo
24. Cincin Warisan Setan
25. Penculik Mayat Hutan Roban
26. Cinta Orang-orang Gagah
27. Iblis Iblis Kota Hantu
28. Khianat Seorang Pendekar
29. Petaka Gundik Jelita
30. Dosa Dosa Tak Berampun
31. Bencana Di Kuto Gede
32. Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi
34. Panglima Buronan
35. Munculnya Sinto Gendeng
36. Telaga Emas Berdarah
37. Dewi dalam pasungan
38. Maut bermata satu
39. Iblis Berjanggut Biru
40. Kelelawar Hantu

33. Bajingan Dari Susukan

1.7K 16 0
由 dlwshe

33. Bajingan dari Susukan

SATU 

Lelaki berpakaian merah itu berlari seperti dikejar setan. Dalam kegelapan malam  

tubuhnya beberapa kali membentur pohon, pakaiannya robek-robek terkait duri,  

bahkan kulitnya penuh dengan barut luka yang menjadi perih akibat teresap keringat.  

Namun semua itu tidak diperdulikannya. Dia lari terus sekencang yang bisa  

dilakukannya walau nafasnya mulai menyesak dan lidahnya terjulur-julur seperti  

anjing gila. Di tangan kirinya ada kantung kain. 

Sambil berlari dia berulang kali berpaling ke arah timur. Saat demi saat langit  

di jurusan itu tampak menjadi terang. Hal inilah yang agaknya ditakuti orang  

berpakaian merah itu. Sebentar-sebentar dari mulutnya terlontar kata-kata  

"Celaka.....! Celaka diriku! Tak mungkin aku mencapai tempat itu sebelum matahari  

terbit! Celaka! Mati....! Aku akan mati!" Orang ini berlari terus. Berusaha lebih  

kecang. Namun tenaganya hampir punah. Kedua kakinya seperti diberati batu besar.  

Beberapa kali dia terserandung jatuh tapi bangkit kembali dan berlari lagi. Berpaling  

kembali ke timur, langit di sana tampak semakin terang. 

"Celaka! Celaka diriku.....!" Sekali lagi dia tersungkur di tanah. Kantung kain  

yang dibawanya terlepas. Cepat-cepat benda ini diambilnya lalu dia bangkit dan lari  

lagi. 

Di pepohonan mulai terdengar kicau burung. Jalan mendaki yang dilaluinya  

mulai terang. Seperti ada semangat dan kekuatan baru dalam tubuh orang itu, dia  

mampu lari lebih kencang. Pondok kayu di ujung jalan yang mendaki itu, yang  

kelihatan di kejauhan, itulah yang seolah memberi kekuatan padanya. Akan tetapi  

maksudnya untuk mencapai pondok itu tidak pernah kesampaian. Ketika di timur  

matahari memancarkan cahayanya yang kuning kemerahan dan berangsur memutih,  

ketika rambasan cahaya sang surya ini menimpa tubuh orang yang berlari itu, kontan  

dari mulutnya terdengar suara jeritan. Sekujur tubuhnya seperti ditusuk ribuan jarum.  

Lalu seperti ada api yang memanggang. Tubuhnya mengepulkan asap. Dia menjerit  

lagi. Tapi masih berusaha lari. Sejarak lima belas langkah dari poneok kayu di ujung  

jalan mendaki, orang ini jatuh terguling. Sekali ini dia tak sanggup lagi untuk bangkit.  

Matanya membeliak. Kakinya melejang-lejang. Darah tampak mengucur dari telinga,  

hidung dan sela bibirnya. 

"Pangeran...... Pangeran....tol.....tolong aku....." Orang itu memanggil di  

antara suara erangannya. "Pangeran.......!" 

Tiba-tiba pintu pondok yang sejak tadi tertutup terpentang lebar. Sesosok  

tubuh berpakaian serba hitam dengan gambar matahari serta gunung di bagian dada  

dan berikat kepala merah keluar dai dalam pondok. Sesaat dia memandang pada lelaki  

yang melingkar di tanah, melejang-lejang sambil tiada hentinya mengerang. Si baju  

hitam bertampang angkuh mendengus dingin. 

"Manusia tolol!" teriaknya. "Mengapa kau kembali dalam keadaan terlambat!  

Melanggar pantang!" 

"Pangeran....Aduh....tubuhku! Tubuhku seperti dibakar!" 

"Bangsat! Jawab pertanyaanku!" hardik si baju hitam yang jelas-jelas adalah  

Pangeran Matahari, pemuda berkepandaian tinggi dan memiliki kesaktian dari puncak  

Merapi. Yang sejak beberapa waktu lalu mengacau dan menimbulkan malapetaka

bukan saja dalam rimba persilatan tetapi juga dalam kalangan Kerajaan bahkan  

menembus sampai ke dalam istana! "Katakan mengapa kau datang terlambat!" 

"Mo....mohon ampunmu Pangeran. Aku tergoda nafsu....Aku bermain-main  

dengan seorang janda muda dan kesiangan!" 

"Keparat! Kau memang tidak pantas jadi Bajingan Dari Susukan!" Pangeran  

Matahari ulurkan kaki kanannya. Dengan jari-jari kaki dibetotnya kantong kain yang  

masih berada di tangan kanan lelaki di hadapannya. Kantong kain ini melayang ke  

udara dan cepat ditangkapnya dengan tangan kiri. 

"Pangeran......tolong......" 

Pangeran Matahari tidak perdulikan erangan orang. Dia membuka kantong  

kain dan memeriksa isinya. Tampak beberapa potong perhiasan, beberapa bongkah  

perak lalu kepingan uang logam. 

"Setan! Hasilmu tidak seberapa!" 

"Pangeran! Tolong.... Tubuhku seperti dipanggang...." 

Pangeran Matahari menyeringai. "Nafsu sama dekatnya dengan darah dalam  

tubuh manusia! Nafsu menjadi sahabat manusia sejak langit dan bumi diciptakan!  

Tetapi dalam hal yang bersifat pantangan bila manusia sampai lupa diri, dia akan  

musnah!" 

"Aku mohon ampunmu Pangeran. Tolong..... Selamatkan selembar  

nyawaku....." 

"Tak ada yang bisa menyelamatkanmu manusia tolol! Tidak setan tidak juga  

malaikat!" 

Pangeran Matahari melangkah menuju pintu pondok. Di balakangnya  

terdengar lolong lelaki yang tubuhnya tampak mengepulkan asap dan mulai berubah  

kehitaman seperti kayu gosong. Dia berguling-guling di tanah. 

"Pangeran. Tolong.... Hanya kau yang bisa menolongku! Tolong.....!" 

"Tubuhmu telah tersiram sinar matahari! Mati adalah lebih baik bagimu!" ujar  

Pangeran Matahari. Di depan pintu pondok dia berhenti lalu berseru. 

"Gajah Rimbun! Kemari kau!" 

Dari dalam pondok melompat keluar seorang pemuda bermuka bulat, berkulit  

hitam legam, berkumis dan berjengot tipis. Sikapnya tangkas, gerakannya gesit. Dia  

memberi hormat pada Pangeran Matahari seraya berkata. "Saya sudah di hadapanmu  

Pangeran!" 

"Kau lihat manusia tolol itu?!" 

Si muka bulat bernama Gajah Rimbun berpaling ke arah lelaki yang masih  

melejang-lejang di tanah, tapi lejangannya makin lama makin perlahan. Suara  

teriakannya minta tolong semakin sember dan hanya tinggal erangan parau. 

"Saya melihatnya Pangeran...." Kata Gajah Rimbun. 

"Apakah kau mau jadi manusia tolol seperti dia?"  

"Tidak Pangeran. Saya tidak ingin...." 

"Kalau begitu ingat semua pesan dan pantangan. Selalu kembali kemari  

sebelum matahari terbit!" 

"Saya akan ingat semua pesan dan pantangan, Pangeran." 

"Mulai hari ini kau akan bergelar Bajingan Dari Susukan! Ingat hal itu baik- 

baik. Kemanapun kau pergi perkenalkan dirimu dengan julukan itu.....!" 

"Akan saya lakukan Pangeran." 

"Dari semua yang kupesankan untuk dilakukan, yang paling penting adalah  

menyelidiki di mana beradanya dua manusia bernama bergelar  

dan seorang lagi entah lelaki entah perempuan,

tapi dulu dikenal dengan nama Ni Luh Tua Dari Klungkung, muncul dengan sosok  

tubuh seorang nenek!" 

"Saya akan menyelidiki Pangeran!" 

"Jangan lupa mengeduk harta dan uang sebanyak mungkin!" 

"Saya tidak lupa Pangeran." 

"Kau tahu di mana harus memusatkan pekerjaan?" 

"Pangeran sudah mengatakan sebelumnya. Di Kotaraja dan desa-desa  

kaya.....!" 

"Bagus! Sekarang mendekatlah padaku!" 

Gajah Rimbun melangkah mendekati Pangeran Marahari. Pada jarak satu  

langkah Pangeran Matahari angkat kedua tangannya dan letakkan di atas kedua bahu  

Gajah Rimbun. Pemuda ini merasakan ada hawa panas dari telapak tangan Pangeran  

Matahari, masuk ke dalam tubuhnya lewat bahu. 

"Sekarang kau boleh pergi! Ingat perintah, ingat larangan, ingat pantangan!  

Dalam tubuhmu ada satu kekuatan yang membuat kau mampu melakukan tugas dan  

mampu menghancurkan siapapun yang berani menghalangimu!" 

"Saya pergi Pangeran....." 

"Pergilah. Bawa mayat manusia tolol itu! Lemparkan ke dalam jurang!" 

"Akan saya bawa Pangeran." Lalu Gajah Rimbun memanggul mayat hangus  

yang sejak tadi tergeletak di tanah dan tinggalkan tempat itu melalui jalan tanah  

menurun.

DUA 

Diiringi alunan gamelan pengantin lelaki keluar dari dari pintu sebelah kanan  

ruangan besar, melangkah bersama para pengiring lalu duduk di atas kasur tertutup  

permadani. Di sebelah kanan penghulu berjubah dan bersorban putih siap memimpin  

jalannya upacara akad nikah. 

Dari pintu sebelah kiri, diapit oleh para pengiring, keluarlah pengantin  

perempuan yang kemudian mengambil tempat duduk berhadap-hadapan dengan  

pengantin lelaki. 

Melihat pada keadaan kedua mempelai, maka ini adalah satu perkawinan yang  

benar-benar tidak serasi. Pengantin lelaki, seorang lelaki tua yang pantas disebut  

seorang kakek. Bertubuh kurus, berwajah cekung keriput, berambut putih dan  

berkumis jarang yang juga sudah berwarna putih. Sebaliknya sang mempelai  

perempuan belum lagi berusia enam belas tahun, berparas cantik jelita tapi jelas masih  

kekanak-kanakan. Kepalanya selalu tertunduk, seolah-olah menyembunyikan  

sepasang matanya yang balut karena terlalu banyak menangis. 

Ketika penghulu mulai membuka upacara, alunan gamelan terdengar menjadi  

perlahan lalu berhenti sama sekali. 

Di antara para tamu yang hadir pada sore menjelang malam itu tampak dan  

terasa adanya sesuatu yang tidak enak. Tidak enak bukan saja karena menyaksikan  

upacara pernikahan si kakek dengan si gadis yang pantas menjadi cucunya, melainkan  

disebabkan oleh polah tingkah seorang tetamu muda bermuka hitam, berjenggot dan  

berkumis tipis. Saat itu tuan rumah masih belum mempersilahkan para tetamu untuk  

mencicipi minuman ataupun hidangan. Tapi tamu yang satu ini justru dengan  

seenaknya melahap makanan yang ada di depannya, meneguk minuman sepuasnya  

dan duduk sambil senyum-senyum cengengesan. Padahal sekian banyak wajah dan  

pandangan mata menatapnya dengan asam bahkan ada yang berang. 

Seorang lelaki mendekati pemuda itu. dia adalah salah seorang anggota  

keluarga pihak pengantin lelaki yang punya hajat. Orang ini menegur dengan berbisik.  

"Saudara, harap kau berhenti makan minum. Jika upacara pernikahan sudah selesai  

kau boleh makan sekenyangmu dan minum sampai mabuk...." 

Pemuda yang ditegur kelihatan bersikap acuh. Tenpa berpaling dia malah  

menjawab. "Perutku lapar. Makanan dan minuman dihidangkan untuk disantap  

tetamu. Dan aku adalah tetamu di tempat ini. jika kau tuan rumah, mengapa tidak  

menghormati tetamu.....?" 

Lelaki yang tadi menegur tampak tak enak mendengar kata-kata itu. maka dia  

berkata lagi, kini bukan berbisik tapi dengan suara keras hingga terdengar oleh orang- 

orang di sekitarnya. "JIka sebagai undangan di situ tidak mau menghormati upacara  

ini, saya persilahkan saudara meninggalkan tempat ini. Pesta ini diadakan bukan  

untuk orang-orang rakus dan kelaparan!" 

"Oooo begitu.....?" Si pemuda kembali menyahuti dan lagi-lagi tanpa  

berpaling pada orang yang menegurnya. "Baiklah, aku akan meninggalkan tempat ini  

sebentar. Tapi harap kau ikut bersamaku!" Lalu pemuda itu berdiri. Dia menyentuh  

bahu orang yang menegurnya. Anehnya orang ini seperti bahu seekor kerbau yang  

dicucuk hidung kemudian melangkah mengikuti si pemuda meninggalkan ruangan.  

Para tetamu yang hadir menyangka pihak tuan rumah itu sengaja mengantarkan si  

pemuda keluar ruangan. Mereka merasa lega karena kini pemuda yang menyebalkan

itu sudah keluar. Namun tak seorangpun tahu kalau sesuatu telah terjadi dengan  

anggota keluarga tuan rumah itu. 

Tak selang berapa lama, pemuda tadi nampak muncul kembali. Seorang diri.  

Dan dia kembali duduk di tempatnya semula. Seperti tadi diapun kembali pula  

melahap makanan yang ada di hadapannya. 

Sementara itu upacara pernikahan sampai pada mempersembahkan dan  

mempertunjukkan emas kawin lelaki untuk mempelai perempuan. 

Emas kawin itu terletak di atas sebuah nampan perak besar, berupa tiga buah  

kotak kayu kecil berisi emas perhiasan dan beberapa di antaranya bertahtakan batu- 

batu permata yang sangat mahal. Ketika tiga buah kotak itu dibuka, tiba-tiba pemuda  

yang asyik menggerogoti paha ayam bangkit berdiri. Dua kali membuat lompatan dia  

telah berada di hadapan penghulu. 

"Perkawinan gila ini tidak perlu diteruskan! Kalian harus membayar semua  

kegilaan ini dengan tiga kotak berisi perhiasan itu!" Pemuda itu berteriak lantang.  

Sekali dia berkelebat maka tiga kotak kayu berisi perhiasan sudah berada dalam  

kempitan tangan kirinya. 

Serta merta ru 

0ang besar itu menjadi geger. Semua orang terkejut. Penghulu terbeliak. Pengantin  

lelaki dan para pengiringnya tegak melompat. Beberapa perempuan pengiring  

pengantin perempuan terpekik sementara pengantin perempuan sendiri untuk pertama  

kali angkat wajahnya dan menyaksikan kejadian itu dengan terheran-heran. 

Penghulu berjubah putih setelah lenyap kagetnya kini berganti marah. Namun  

sebelum dia membentak, seorang lelaki bertubuh tinggi besar mengenakan jas tutup  

coklat gelap sudah lebih dulu menghardik. Dia adalah paman pengantin perempuan. 

"Orang gila kesasar! Lekas letakkan kembali tiga kotak kayu itu! Dan cepat  

minggat dari sini!" 

Si pemuda tertawa lebar. "Aku tahu sampean adalah Sentono Puro, paman  

pengantin perempuan! Aku juga tahu sampeanlah yang mengatur secara paksa  

perkawinan ini. karena sampean mengharapkan imbalan harta dan uang serta jabatan 

dari pengantin lelaki, seekor kambing tua itu!" 

Plaak! 

Tamparan keras melabrak pipi si pemuda. Yang menampar adalah Sentono  

Puro, paman pengantin perempuan. 

Yang ditampar usap pipinya yang tampak merah. Tak kelihatan bayangan rasa  

sakit pada air mukanya, malah pemuda ini menyeringai. Tiba-tiba dia gerakkan  

tangan kanannya. 

Bukk! 

Sentono Puro terpental ketika dada kirinya ditumbuk jotosan si pemuda.  

Tubuhnya terguling di atas permadani. Dia mencoba bangkit kembali. Tapi matanya  

tampak mendelik dan detik itu pula tubuhnya tersungkur kembali. Kali ini tidak  

bangkit lagi untuk selama-lamanya. Darah mengucur di sela bibirnya! 

"Kurang ajar! Kembalikan perhiasan milikku itu!" Pengantin lelaki tiba-tiba  

berteriak. Dua orang perngiringnya tempak mencabut keris. 

Si pemuda kembali tertawa lebar. "Masih untung aku hanya mengambil  

perhiasan milikmu, bandot tua. Apakah kau mau aku juga mengambil jiwamu seperti  

yang kulakukan pada Sentono Puro barusan?! Bandot tua tak bermalu! Memaksa  

kawin anak orang yang pantas jadi cucunya!" 

Dua orang pengiring pengantin yang sudah tidak sabar, langsung saja  

melompati pemuda itu sambil tusukkan keris.

"Kalian cecunguk-cecunguk pengiring kambing tua memang layak mampus  

dahulu!" Si pemuda membentak. Tangan dan kakinya bergerak. Dua penyerang  

terlempar ke belakang. Yang satu melolong setinggi langit karena hancur  

selangkangannya, satunya lagi remuk dadanya. Keduanya menyusul Sentono Puro. 

Jerit pekik terdengar di sana-sini. Pengantin perempuan dilarikan ke ruangan  

lain. Para tetamu menjauh ketakutan. Namun seseorang menyeruak ke depan seraya  

membentak "Pemuda iblis. Lehermu layak ditabas!" 

Pemuda itu berpaling. Di hadapannya tegak seorang pemuda berpakaian ungu,  

sikapnya keren dan di tangan kanannya ada sebilah golok panjang. 

"Hem..... Lagakmu boleh juga sobat. Siapa kau?" tanya pemuda yang  

merampas tiga kotak perhiasan. 

"Aku Suto Anget. Perwira Ketiga pada jajaran Pasukan Kotaraja!" Pemuda  

yang memegang golok kenalkan diri. "Kau sendiri siapa? Mengapa berani mengacau  

perjamuan orang? Malah menggarong emas kawin?!" 

"Aku bukan menggarong! Tapi menghukum bandot tua yang pergunakan  

kekayaan dan kekuasaan untuk mengawini seorang gadis cilik!" 

"Lagakmu seperti pahlawan saja!" dengus Suto Anget. "Kau belum  

menerangkan siapa dirimu!" 

"Dengan senang hati aku perkenalkan. Aku Bajingan Dari Susukan!" 

"Seorang bajingan rupanya! Memang gelar yang tepat sekali!" ujar Suto  

Anget. Goloknya diangkat setinggi bahu, siap membabat. "Jika kau tidak segera  

mengembalikan tiga kotak perhiasan itu, putus lehermu!" 

"Aku mau lihat bagaimana kau memutus leherku!" dengus Bajingan Dari  

Susukan. 

"Bagus kalau kau memang sudah siap untuk mati! Ingat, kau berhadapan  

dengan Perwira Kerajaan!" 

"Suto Anget! Jangan kau bawa-bawa nama Kerajaan! Ayo bergeraklah!" 

Golok di tangan Perwira Ketiga itu berkelebat mengeluarkan suara angin  

bersiuran, menabas ke arah batang leher pemuda bermuka hitam. Tapi serangan maut  

ini hanya setengah jalan. Dalam satu gerakan cepat jotosan tangan kanan Bajingan  

Dari Susukan menghantam dada sang Perwira lebih dulu. Tubuh Suto Anget mencelat  

mental, pedangnya terlepas, dia terjengkang di lantai semburkan darah segar lalu  

rebah tak berkutik lagi. Sebelum tubuh itu mencium lantai Bajingan Dari Susukan  

sudah menyambar kembali tiga kotak kayu yang tadi diletakkannya di atas nampan  

perak. Tepat di saat yang sama pengantin tua bangka itu hendak mengambilnya.  

Penasaran didahului orang, kakek tua itu serta merta melompati si pemuda. Satu  

tangan coba merampas kotak-kotak berisi perhiasan, satunya lagi mencakar kea ah  

wajah. 

Traak! 

Pengantin tua menjerit. Tubuhnya terhuyung-huyung sambil pegangi tangan  

kanannya yang patah akibat dipukul Bajingan Dari Susukan. Pemuda ini menyeringai. 

"Masih untung cuma lenganmu yang kupatahkan! Bukan lehermu!" 

Habis berkata begitu pemuda ini melangkah ke pintu sebelah kiri. Sesaat  

kemudian terdengar pekik jerit orang banyak. 

"Pengantin perempuan dilarikan!" 

"Pengantin perempuan diculik!" 

Kekacauan di tempat perhelatan itu tidak terkirakan lagi. Pengantin lelaki  

terduduk di pelaminan, tidak henti-hentinya berteriak seperti orang kurang waras. 

"Perhiasanku! Tolong! Emas kawin itu..... Istriku.....Istriku..... Mana  

istriku......!"

TIGA 

Di langit bulan setengah lingkaran tertutup awan. Malam yang gelap jadi tambah  

gelap. Udara tambah dingin karena menjelang dini hari. Di dalam pondok kayu di  

ujung jalan yang mendaki, Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan duduk  

menghadap Pangeran Matahari yang duduk bersila tiada hentinya tersenyum dan  

memuji. 

"Kau memang pantas menyandang julukan Bajingan Dari Susukan itu Gajah  

Rimbun. Hasilmu yang pertama sangat memuaskan. Bukan saja tiga kotak berisi  

barang-barang perhiasan ini, tapi kau malah juga membawakan seorang gadis cantik  

untukku...." 

"Itu jika Pangeran berkenan padanya. Kalau tidak, sayapun tak akan  

menampik...." Menjawab Gajah Rimbun. 

Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. 

"Ketika saya bawa lari gadis ini tidak melawan atau menejrit. Katika saya  

tanyakan, katanya dia pasrah hendak diapakan asal bebas kawin paksa dengan bandot  

tua bermuka kambing itu...." 

"Hemm.... Beegitu? Siapa namanya Gajah Rimbun?" bertanya Pangeran  

Matahari. 

"Katakan namamu pada Pangeran...." Berkata Gajah Rimbun pada gadis yang  

masih berpakaian pengantin dan duduk di sudut ruangan. Tak ada bayangan rasa takut  

padanya. Hanya dalam hati dia bertanya-tanya, mengapa pemuda yang menculiknya  

itu memanggil pemuda berpakaian hitam dengan sebutan Pangeran. Apakah dia  

benar-benar seorang Pangeran? 

"Nama saya Sri Andini...." Menerangkan si gadis enam belas tahun. 

"Namamu bagus. Apakah kau menyukai si pemuda yang menculikmu  

ini.....?" 

Ditanya begitu Sri Andini tak bisa menjawab. 

"Kau bebas memilih aku atau dia. Tak ada paksaan...." Berkata Pangeran  

Matahari, membuat si gadis tambah bingung. 

Jika dibandingkan antara dua pemuda itu, tentu saja yang dipanggil dengan  

sebutan Pangeran Matahari jauh lebih gagah dan tampan. 

"Jika saya memilih salah satu di antara kalian, lantas apakah yang hendak  

kalian lakukan....?" Sri Andini yang memang masih kekanak-kanakan itu bertanya  

polos, membuat Pangeran Matahari tertawa lebar sedang Gajah Rimbun senyum- 

senyum kecut. Dia hampir dapat memastikan kalau gadis itu akan memilih Pangeran  

Matahari. 

"Siapa saja yang kau pilih di antara kami, maka kau akan mendapatkan malam  

pengantinmu di sini...." Berkata Pangeran Matahari. 

"Pengantin....? Pengantin tanpa nikah.....?" 

Pangeran Matahari tertawa gelak-gelak. "Nikah itu hanya dilakukan oleh  

orang-orang tolol! Nah katakan pilihanmu!" 

"Saya.....saya memilih kakak ini...." kata Sri Andini sambil berpaling pada  

Gajah rimbun membuat pemuda ini terkesiap hampir tak percaya namun diam-diam  

merasa takut kalau-kalau Pangeran Matahari menjadi marah. 

"Gajah rimbun rezekimu besar!" kata sang Pangeran. Lalu berdiri dan  

melangkah ke pintu. Tiba-tiba dia membalikkan tubuh. Tangan kanannya digerakkan  

perlahan. Di seberangnya terdengar jeritan Sri Andini. Tubuhnya terpental

menghantam dinding. Wajah yang tadi putih, tubuh yang tadinya berkulit mulus kini  

tampak gosong menghitam. 

"Pangeran!" seru Gajah Rimbun tersentak kaget hingga melompat dari  

duduknya. "Mengapa kau membunuh gadis itu....?" 

"Manusia tak berbudi layak disingkirkan.....!" 

"Tak berbudi bagaimana maksudmu Pangeran?" 

"Kalau tidak aku yang memerintahkanmu mengadakan perjalanan, tidak  

nantinya dia selamat dari kawin paksa itu. Kini setelah selamat dia melupakan budi  

orang!" 

"Tapi mana dia tahu kalau saya menyelamatkannya bertalian dengan tugas  

yang Pangeran berikan....?" 

"Manusia berbudi selalu berusaha mencari tahu, Gajah Rimbun!" sahut  

Pangeran Matahari. 

"Tapi, gadis ini masih kanak-kanak....." 

Pangeran Matahari menyeringai. "Tubuhnya matang montok. Payudaranya  

besar. Kerlingan matanya menikam. Itukah yang kau sebut kanak-kanak..... Atau  

inginkan kau berdebat dengan aku, Gajah Rimbun?" 

"Tidak.... Saya tidak bermaksud begitu Pangeran. Hanya sayang....." 

"Apa yang sayang.....?' 

"Sebetulnya dia bisa kita manfaatkan...." 

"Sebaiknya kau lupakan dia Gajah Rirmbun. Kau telah menyelesaikan tugas  

dengan baik. Tapi hanya sebahagian. Berita apa yang kau dapat tentang dua manusia  

bernama dan Ni Luh Tua Klungkung....?" 

"Mohon maafmu Pangeran. Tak satupun saya menyirap kabar tentang orang-orang itu.  

tapi saya punya berita lain yang tak kalah pentingnya......" 

"Lekas katakan. Jika tidak cukup penting nyawamu imbalannya!" 

Pucatlah paras Gajah Rimbun. Tapi orang ini sangat yakin berita yang  

didapatnya sangat berguna bagi Pangeran Matahari. Maka diapun menjelaskan. 

"Kalangan istana saat ini tengah mengamati bahkan boleh dikatakan  

mencurigai istri Sri baginda yang ketiga....." 

"Hemmmm....." Pangeran Matahari keluarkan suara bergumam. Sepasang alis  

matanya yang tebal mencuat ke atas. Setengah acuh ia bertanya. "Apa yang menjadi  

dasar kecurigaan itu. Dan kecurigaan tentang apa?" 

"Kecurigaan bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil, istri Sri Baginda yang ketiga  

itu, mempunyai hubungan tertentu dengan Pangeran....." 

Diam-diam Pangeran Matahari semakin tertarik akan cerita Gajah Rimbun.  

Namun sikap dan air mukanya di luar tetap seperti tak acuh. 

"Mengapa orang-orang itu bersikap demikian? Aneh.....!" 

"Menurut penuturan, sewaktu Pangeran menyerbu Istana beberapa bulan yang  

silam, mereka mengenali cincin emas bergambar burung rajawali yang Pangeran  

pakai itu. Menurut mereka, cincin itu dikenal sebagai milik Raden Ayu Puji Lestari.  

Jika ibu dan puterinya itu tidak dapat menerangkan apa hubungan mereka dengan  

Pangeran, besar kemungkinan Sri baginda sendiri akan mengambil tindakan hukum.  

Memenjarakan istri dan puterinya itu....." 

"Raja tolol!" kertak Pangeran Matahari. "Ibu dan anak itu juga tolol! Tidak  

bisa memberikan jawaban...." 

"Mereka tidak bisa membela diri. Karena tidak bisa memperlihatkan mana  

cincin milik puteri pemberian Sri Baginda......"

10 

Pangeran Matahari terdiam. Sesaat kemudian dia berkata. "Kau berangkatlah  

ke Kotaraja. Serahkan cincin itu pada Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati. Dengan  

demikian dia dan ibunya akan dapat mementahkan kecurigaan orang-orang itu....." 

"Jadi....jadi benar cincin itu milik Raden Ayu Pauji Lestari?" bertanya Gajah  

Rimbun. 

"Aku tidak menyuruhmu banyak bertanya Gajah Rimbun. Tugasmu adalah  

menyerahkan cincin ini pada puteri itu!" sentak Pangeran Matahari dengan mata  

mendelik, membuat Gajah Rimbun ketakuran dan buru-buru meminta maaf atas  

kelancangannya, lalu cepat mengambil cincin emas yang diangsurkan Pangeran  

Matahari. "Kau tahu siapa-siapa saja yang bersikap curiga pada ibu dan puterinya  

itu?" 

"Yang pertama Patih Kerajaan. Lalu Panglima Kotaraja Raden Kertopati.  

Kalau saya tidak salah Panglima Balatentara Kerajaanpun bersikap sama. Malah dia  

yang mula-mula sekali minta Sri Baginda mangusut istri ketiga dan puterinya itu....." 

"Gajah Rimbun, kau pergilah cepat. Ingat baik-baik satu hal. Siapa saja yang  

akan mencelakai kedua perempuan itu aku perintahkan kau untuk membunuhnya!" 

Tentu saja Gajah Rimbun terkejut mendengar kata-kata itu. "Saya siap  

menjalankan perintah Pangeran. Tapi jika harus berhadapan dengan orang-orang  

seperti Raden Kertopati Panglima Kotaraja dan Raden Mas Jayengrono Panglima  

Kerajaan, mana mungkin saya punya kemampuan?" 

"Tak perlu kawatir. Kau akan punya kemampuan. Mendekatlah!" 

Gajah Rimbun naju mendekati Pangeran Matahari. Sang Pangeran angkat  

kedua tangannya. Telapak kiri kanan ditempelkannya ke dada Gajah Rimbun.  

Mulutnya tampak berkomat-kamit. "Sekarang kau sudah punya kemampuan Gajah  

Rimbun. Pergilah! Dan ingat, jangan lupa memperkenalkan siapa namamu!" 

"Saya ingat Pangeran. Nama saya adalah Bajingan Dari Susukan!" jawab  

Gajah Rimbun.

11 

EMPAT 

Ponggawa berkuda hitam itu memasuki halaman rumah besar kediaman R.A. Siti  

Hinggil. Sesaat dia bicara dengan perajurit yang tengah bertugas di pintu. Perajurit ini  

masuk ke dalam. Tak selang berapa lama dia keluar kembali dan mempersilakan  

ponggawa tadi masuk mengikutinya. Kedua orang ini duduk bersila di depan sebuah  

kasur tinggi berselimutkan permadani. Duduk menunggu tanpa ada satupun yang  

bicara. 

Tak berapa lama kemudian istri Sri Baginda yang ketiga keluar diiringi  

seorang anak lelaki berusia enam tahun, berwajah cakap dan berpakaian bagus. Inilah  

Pangeran Sabrang, putera bungsu R.A.Siti Hinggil, adik Puji Lestari Ambarwati yang  

juda merupakan adik Pangeran Anom alias Pangeran Matahari. Anak ini duduk  

seenaknya di samping ibunya yang duduk di atas kasur tinggi. 

"Kau membawa berita atau pesan dari Keraton.....?" R.A. Siti Hinggil  

bertanya. 

Ponggawa itu memberi hormat sebelum menjawab. "Betul sekali Raden  

Ajeng..... Bisakah saya sampaikan sekarang?" 

"Katakanlah....." 

"Raden Ajeng dan Raden Ayu Puji Lestari diminta Patih Haryo Unggul untuk  

menghadap siang nanti sehabis Ba'dal Asar." 

"Apakah Patih mengatakan mengapa dia memanggil kami?" 

"Tidak Raden Ajeng. Rasa rasa tentunya Raden Ajeng lebih tahu....." 

"Apakah Sri Baginda mengetahui kalau kami berdua harus menghadap?" 

"Sudah tahu Raden Ajeng. Justru dalam pertemuan nanti Sri Baginda akan  

ikut hadir," menjelaskan ponggawa itu. 

"Kalau begitu ini adalah kehendak Sri Baginda. Patih hanya dipakai sebagai  

penyambung lidah. Kau boleh pergi. Katakan kami berdua akan datang menghadap  

sehabis sembahyang Asar." 

Ponggawa itu memberi hormat lalu dengan terbungkuk-bungkuk  

meninggalkan tempat itu, diikuti perajurit yang tadi menemaninya. Ketika dia  

melangkah ke tempat kuda hitamnya ditambatkan, ponggawa itu terkejut. Di atas  

kuda itu tampak duduk seorang pemuda tak dikenal berkulit hitam bermuka bundar.  

Menyangka orang hendak mencuri kudanya, ponggawa itu segera menghunus  

pedangnya. 

"Bangsat pencuri! Besar sekali nyalimu!" Pedang di tangan ponggawa  

menderu. Namun sesaat kemudian terdengar pekiknya. Bersamaan dengan pekik dan  

terlepasnya pedang, terdengar pula suara kraak! Ternyata tulang siku tangan kanannya  

remuk dihantam tendangan pemuda di atas kuda. 

Perajurit di sebelahnya mengangkat tangan, siap untuk menusukkan  

tombaknya. Tapi diapun bernasib sama. Tombak yang hendak dihantamkannya ke  

perut orang patah dua dan mental ke udara begitu dilabrak tendangan pemuda di atas  

kuda. 

"Ponggawa! Kau kembali ke Keraton! Katakan pada orang-orang di sana  

bahwa Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya tidak akan datang menghadap ke sana!  

Juga katakan jika mereka masih berani mengganggu ketentraman ibu dan anak itu,  

jika mereka masih menaruh curiga terhadap keduanya, mereka bakal menemui  

kesulitan. Bahkan kematian!" 

"Kau.....kau siapa......?!" bertanya si ponggawa.

12 

"Namaku Bajingan Dari Susukan. Berani malawan kehendakku berarti minta  

mampus! Pergi lekas.....!" 

"Tapi..... Kudaku....." 

"Kudamu tetap di sini! Kau bisa jalan kaki....." 

"Tidak bisa. Itu kuda istana. Aku harus kembali bersamanya....." 

"Begitu? Baiklah! Kau boleh menungganginya. Berarti kedua kakimu tak ada  

gunanya!" 

Pemuda di atas kuda hitam melompat turun. Begitu menjejakkan tanah dia  

melompati si ponggawa. Kaki kanannya menabas. Terdengar dua kali suara kraak.  

Ponggawa itu tersungkur ke tanah, menjerit kesakitan. Kedua tulang kakinya kiri  

kanan patah. Dalam keadaan menjerit-jerit kesakitan, Bajingan Dari Susukan alias  

Gajah Rimbun angkat tubuhnya dan naikkan ke atas punggung kuda hitam. Kuda ini  

digebraknya, membuatnya lari kencang membawa ponggawa yang masih terus  

berteriak-teriak. 

Suara jerit ribut-ribut di halaman membuat Siti Hinggil dan Puji Lestari keluar  

dari dalam gedung diikuti Pangeran Sabrang. Mereka masih sempat melihat  

ponggawa yang tadi menghadap terbujur melintang di atas punggung kuda yang  

berlari meninggalkan halaman rumah besar. 

"Apa yang terjadi dengan ponggawa itu.....?" bertanya Siti Hinggil. Perajurit  

yang ada di tangga rumah tak berani membuka mulut. Ketika pandangan Siti Hinggil  

membentur Gajah Rimbun dia segera menegur "Kau siapa?" 

Gajah Rimbun menjura hormat tapi matanya sesaat mengerling pada Puji  

Lestari Ambarwati. Hatinya berdesir. Tak pernah dia melihat gadis secantik ini.  

Rambutnya yang hitam. Kulitnya yang kuning mulus. Sepasang mata yang berkilat- 

kilat dan tubuh yang begitu besar montok. Apakah sebenarnya hubungan Pangeran  

Matahari dengan kedua perempuan ini? Hatinya benar-benar terpikat pada Puji  

Lestari. Jika Pangeran Matahari mengizinkan, sangat beruntung kalau dia dapat  

memiliki gadis ini. Tapi memiliki puteri raja? Gajah Rimbun mentertawai dirinya  

sendiri. Heh, apa salahnya?! 

"Orang bertanya kau tak menjawab! Apakah bisu? Atau tuli?!" Yang  

membentak adalah Puji Lestari. Membuat Gajah Rimbun gugup. 

"Saya..... Ga.....eh, saya Bajingan Dari Susukan....." 

"Nama apa itu?!" ujar Puji Lestari. "Apa betul itu namamu?" 

"Betul sekali Raden Ayu. Nama saya memang jelek....." 

"Mungkin sifatmu lebih jelek!" kata Puji Lestari ketus. Sekali melihat pemuda  

bermuka hitam itu dia langsung merasa tidak senang. 

Siti Hinggil bersikap lebih wajar. "Ada apa kau di sini. Mengapa ponggawa  

itu terbujur dan menjerit-jerit di atas kudanya?" 

"Saya di sini menjalankan tugas, Raden Ajeng. Ponggawa itu mendapat celaka  

karena ulahnya sendiri!" 

"Kau bukan perajurit istana atau perajurit Kerajaan. Tugas apa yang kau  

lakukan di sini?!" 

"Menjaga keselamatan Raden Ajeng dan puteri sehubungan dengan adanya  

niat buruk orang-orang Keraton mencurigai Raden Ajeng berdua....." 

Siti Hinggil terkejut. Puji Lestari mengerenyit. 

"Maksudmu apa?" bertanya Siti Hinggil. 

"Maksud saya sehubungan dengan tuduhan bahwa Raden Ajeng dan Raden  

Ayu berdua mempunyai hubungan dengan Pangeran Matahari. Saya diperintahkan  

membunuh siapa saja yang berani menyulitkan orang-orang di rumah ini....." 

"Siapa yang memerintahkanmu?" tanya Puji Lestari.

13 

"Saya tidak berani mengatakannya, Raden Ayu," jawab Bajingan Dari  

Susukan alias Gajah Rimbun. 

"Siapapun kau adanya dan perintah apapun yang sedang kau jalankan, aku  

tidak senang melihatmu di sini. Keselamatan rumah ini adalah dalam tanggung jawab  

Raja....." 

"Namamu saja Bajingan Dari Susukan! Siapa percaya padamu!" manyambung  

Puji Lestari. "Jangan-jangan kau bangsa maling atau garong yang hendak berbuat  

jahat terhadap kami!" 

Gajah Rimbun tersenyum tawar. Dan menjawab "Jika saya ingin berbuat jahat,  

sudah dari tadi dapat saya lakukan. Semudah saya membalikkan telapak tangan!"  

berkata pemuda itu. "Lihat apa yang ada dalam tangan saya!" katanya demikian.  

Tangan kirinya yang tadi terkepal dibukanya. Siti Hinggil dan Puji Lestar sama-sama  

memandang ke arah tangan kiri itu. Dan keduanya sama-sama terkejut. Di atas  

telapak tangan si pemuda bermuka hitam mereka melihat sebuah tusuk kundai emas. 

"Astaga!" Raden Ajeng Siti Hinggil berseru seraya memegang rambutnya.  

Tusuk kundai yang ada di tangan si pemuda adalah tusuk kundai yang sebelumnya  

menancap di gelungan kondenya! Bagaimana benda itu tahu-tahu berada dalam  

tangan pemuda ini tanpa dia melihat kapan orang mengambilnya bahkan tanpa merasa  

sama sekali? 

"Kau punya ilmu hitam!" sentak Puji Lestari. 

Gajah Rimbun tersenyum. 

"Saya tidak punya ilmu apa-apa, Raden Ayu," jawab pemuda itu. Lalu  

mengembalikan tusuk kundai emas pada Siti Hinggil. 

"Lebih cepat kau pergi dari sini, lebih baik!" kata istri Sri Baginda yang ketiga  

itu. 

"Saya memang akan pergi Raden Ajeng. Tapi tidak terlalu jauh. Satu hal perlu  

diketahui. Justru Sri Baginda sendiri sangat menaruh curiga pada kalian ibu dan anak.  

Kalangan istana menduga keras kalian punya sangkut paut tertentu dengan Pangeran  

Matahari. Berniat menumbangkan tahta Raja. Ini semua gara-gara cincin milik Raden  

Ayu yang diberikan dan dipakai oleh Pangeran Matahari waktu menyerbu keraton  

tempo hari....." 

"Jadi! Kalau begitu Pangeran itulah yang memerintahkanmu!" ujar Sri Puji  

Lestari. 

"Saya tidak berani membenarkan hal itu," jawab Gajah Rimbun. 

"Katakan di mana Pangeran itu sekarang?" ujar sang dara. 

"Saya tidak tahu dia ada di mana Raden Ayu. Saya ditugaskan untuk  

menyerahkan barang ini....." Lalu Gajah Rimbun mengeluarkan cincin emas  

bergambar burung rajawali pada Puji Lestari. 

Dalam terkejut Puji Lestari mengambil cincin itu, mengamatinya sebentar lalu  

memandang pada ibunya. 

"Saya yakin, Pangeran Matahari yang menyuruhnya!" 

Siti Hinggil mengangguk dan membuka mulut hendak menanyakan sesuatu.  

Tapi Bajingan Dari Susukan sudah berkelebat pergi.

14 

LIMA 

Belum lama Gajah Rimbun berlalu, belum lama Raden Ajeng Siti Hinggil dan  

puterinya serta Pangeran Sabrang masuk ke dalam rumah besar, serombongan orang  

berkuda muncul. Mereka berjumlah lima orang. Dari pakaian dan senjata yang tersisip  

di pinggang masing-masing jelas mereka adalah abdi-abdi atau pasukan Kerajaan.  

Bertindak sebagai pemimpin seorang perwira muda bertubuh tinggi kurus yang  

memiliki sepasang mata sangat merah. Di kalangan pasukan dia dikenal dengan  

julukan Si Mata APi. Pandangannya memang angker dan ilmu silatnya cukup tinggi. 

Baru saja kelima orang itu turun dari kuda masing-masing, bahkan belum  

sempat bicara dengan perajurit pengawal yang datang menyongsong. Gajah Rimbun  

tahu-tahu sudah berdiri di tangga rumah besar. Sikapnya jelas menghalangi siapa saja  

yang hendak masuk. Sementara itu sebuah kereta kecil kelihatan memasuki pintu  

halaman. 

Perwira muda berjuluk si Mata Api memandang tak berkesip pada Gajah  

Rimbun, membuat Bajingan Dari Susukan ini tergetar juga hatinya. 

"Tampangmu baru hari ini kulihat! Aku tahu pasti kau bukan perajurit  

Kerajaan atau pengawal gedung kediaman istri Sri Baginda! Mengapa kau berani  

menjual lagak kurang ajar di hadapan kami pasukan Kerajaan?!" 

Gajah Rimbun seperti tak acuh. Sambil memandang ke kiri dia bertanya  

"Perwira, apakah kau mencari orang bernama Bajingan Dari Susukan?" 

"Bukan saja mencarinya, tapi akan mematahkan batang lehernya!" sahut Si  

Mata Api. "Dia telah menganiaya seorang anak buahku!" 

"Ah, kalau begitu kau datang tepat pada waktunya." Habis berkata begitu  

Gajah Rimbun ulurkan lehernya. "Akulah orang yang kalian cari. Silakan  

mematahkan batang leherku!" 

"Bangsat! Memang minta mampus!" teriak Si Mata Api marah. Tapi dia tak  

mau turun tangan sendiri. Seraya berpaling pada empat orang anak buahnya dia  

berikan perintah "Cincang keparat muka hitam ini!" 

Empat buah pedang berkeresekan keluar dari sarung masing-masing lalu  

serentak diayunkan ke arah Gajah Rimbun. Dua menabas pundak, satu membacok  

kepala, satunya lgai membabat leher yang masih diulurkan! 

Apa yang terjadi kemudian membuat Si Mata Api yang terkenal buas menjadi  

bergidik. Ketika empat buah pedang itu dilihatnya hanya tinggal sejengkal mencapai  

sasaran, tiba-tiba pemuda bermuka hitam gerakkan kedua tangannya. Dua buah  

pedang mencelat ke udara bersamaan dengan jeritan dua perajurit. Tangan masing- 

masing patah dan tampak berubah menjadi hitam. Dua perajurit lagi terhempas ke  

tanah dan berguling-guling sambil menggerung. Tubuh mereka tampak mengeluarkan  

asap. Sesaat kemudian keduanya melingkar tak berkutik lagi dalam keadaan tubuh  

gosong seperti dibakar! 

Ketika pemuda itu hendak bergerak ke arahnya, Si Mata Api cepat berseru  

"Tahan!" 

"Eh, kau takut mampus......?" tanya Gajah Rimbun sambil menyeringai.  

Membuat Si Mata Api merinding. 

"Jika kau menyerah hidup-hidup, hukuman atasmu akan kuperingan!" 

"Kalau kau mau pergi dari sini, nyawamu akan kuampunkan!" balas Bajingan  

Dari Susukan.

15 

"Kurang ajar! Kau kira aku takut padamu!" bentak Si Mata Api. Tinju  

kanannya menderu deras ke arah muka Gajah Rimbun. Yang diserang merunduk tapi  

buk! Tinju yang tadi mengarah muka tahu-tahu berubah cepat menghantam dada dan  

mengenai dada kiri Gajah Rimbun dengan keras hingga pemuda ini terjengkang. 

Melihat lawan dapat dipukul rubuh dalam satu jurus saja, Si Mata Api timbul  

keberanian dan rasa percaya diri. "Hanya begitu saja kehebatan keparat ini!" katanya  

dalam hati. Lalu dia melompat seraya kirimkan tendangan kaki kanan ke muka Gajah  

Rimbun. "Hancur kepalamu!" teriak Si Mata Api. 

Tapi sekali ini dia kecele. Bukan kepala lawan yang hancur tapi kaki kanannya  

yang kena ditangkap. Sebelum dia sempat menarik kaki yang tertangkap sambil  

menghujamkan tumit kirinya ke dada lawan, tahu-tahu dia merasakan sekujur  

tubuhnya panas seperti dipanggang api. Sesaat kemudian tubuhnya terlempar ke atas.  

Karena sakit, terkejut dan bingung, walaupun sudah jungkir balik agar dapat jatuh di  

atas kedua kakinya, namun tetap saja perwira muda itu jatuh bergedebuk, jatuh  

punggung di tanah. Sekujur tubuhnya tampak merah seperti terseduh. Dari mulutnya  

keluar suara mengerang menahan sakit yang luar biasa. Ketika dia mencoba bangkit,  

sebuah kaki yang kuat dan berat meninjak dadanya. Memandang ke atas ternyata  

pemuda bermuka hitam itu yang menginjaknya! 

"Nyawamu kuampunkan! Kembali ke istana dan sampaikan pesanku pada  

semua orang di sana! Jangan sekali-kali mengganggu dan membuat kesulitan atas diri  

Raden Ajeng Siti Hinggil serta puterinya. Ibu dan anak itu tidak ada hubungan apa- 

apa dengan Pangeran Matahari. Siapa berani mengabaikan pesanku ini akan  

berhadapan dengan malaikat maut! Katakan namaku adalah Bajingan Dari Susukan!" 

Gajah Rimbun angkat kakinya dari atas dada Si Mata Api. Dengan  

menanggung sakit amat sangat perwira muda ini bangkit berdiri. Dalam keadaan  

seperti itu dia melihat sebilah pedang tergeletak di tanah tiga jengkal dari tangan  

kanannya. Secepat kilat perwira ini menyambar senjata itu, lalu sambil membalikkan  

tubuh dia ayunkan pedang tepat pada batasan pinggang Bajingan Dari Susukan. 

"Diberi ampun malah minta racun!" rutuk Gajah Rimbun. Kaki kanannya  

bergerak leih cepat melabrak dada Si Mata Api. Tubuh perwira itu terpental bersama  

pedang yang terlepas dari pegangannya. Dia melingkar dekat roda kereta, mengerang  

beberapa kali, muntah darah lalu pingsan. 

Di atas kereta, kusir tua berkumis putih gemetar ketakutan setengah mati ketik  

Bajingan Dari Susukan melangkah mendatangi. 

"Angkat tubuh perwira itu. Bawa ke istana! Jika dia mampus di perjalanan  

maka kau yang harus menyampaikan apa yang kau lihat dan apa yang kau dengar di  

tempat ini! mengerti?!" 

"Sa....saya mengerti...." Kusir tua cepat turun lalu mengangkat tubuh Si Mata  

Api dengan susah payah. Tanpa menunggu lebih lama dia segera membedal kuda  

penarik kereta. 

Ketika Gajah Ribun melangkah meninggalkan tempat itu, di tangga rumah  

tampak tegak Raden Ajeng Siti Hinggil dan Puji Lestari Ambarwati. 

"Lagi-lagi kau berani membuat onar di sini!" terdengar ucapan Puji Lesatri  

disertai air muka sangat tidak senang. 

Gajah Rimbun membungkuk hormat. "Maafkan saya Raden Ayu. Bajingan  

Dari Susukan hanya menjalankan perintah...." 

"Kau tunggulah! Orang-orang dari istana pasti akan menangkapmu hidup atau  

mati!" 

Gajah Rimbun tersenyum. Dengan ilmu hebat yang diberikan Pangeran  

Matahari secara aneh, tak satu orangpun ditakutinya. Dia yakin sekali hal ini. Yang

16 

dipikirkannya justru bagaimana kalau nanti setelah Pangeran Matahari mengambil  

kembali kepandaiannya itu. sekali lagi pemuda bermuka bundar itu melayangkan  

senyumnya pada Puji Lestari, menjura dan meninggalkan tempat itu. 

Ketika kusir tua menceritakan apa yang terjadi. Ruang sidang istana menjadi  

gempar. 

"Apakah kejadian ini perlu segera diberitahu pada Sri Baginda?" tanya Raden  

Kertopati, Panglima Pasukan Kotaraja. 

"Sebaiknya kita periksa dulu keadaan perwira itu. Mungkin dia bisa memberi  

keterangan lebih banyak!" menjawab Raden Mas Jayengrono, Kepala Balatentara  

Kerajaan. Lalu bersama-sama Patih Haryo Unggul, diiringi belasan perwira tinggi dan  

perwira muda mereka meninggalkan ruangan sidang, menuju halaman istana. Ketika  

diperiksa ternyata perwira muda berjuluk Si Mata Api itu sudah tak bernyawa lagi. 

"Melihat keadaan tubuhnya yang merah seperti terpanggang, perwira ini  

menemui ajal akibat ilmu kesaktian yang bukan sembarangan....." ujar Patih Haryo  

Unggul setelah memeriksa dengan teliti. 

"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" bertanya Kertopati. 

"Siapkan selusin perwira. Bawa seratus perajurit! Kurung rumah kediaman  

Raden Ajeng Siti Hinggil dari jarak lima tombak!" Yang berkata adalah Raden Mas  

Jayengrono. 

"Ada baiknya dimas Kertopati ikut berangkat ke sana....." berkata patih  

Kerajaan. "Salah satu dari kami akan menyusul. Jangan melakukan apa-apa sebelum  

kami datang....." 

Maka Raden Kertopati segera jalankan perintah atasannya itu. Setelah  

rombongan itu pergi Patih Haryo Unggul berpaling pada Raden Mas Jayengrono dan  

bertanya "Apakah Raden Mas pernah mendengar orang berjuluk Bajingan Dari  

Susukan itu sebelumnya?" 

Yang ditanya menggeleng. 

Patih haryo Unggul usap-usap dagunya. "Aneh," desisnya. "Seorang dengan  

julukan seperti itu, tak dikenal sebelumnya, tapi memiliki ilmu luar biasa. Bertindak  

sebagai pelindung dan pembela Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya..... Sungguh  

aneh!" 

"Saya rasa ada baiknya paman patih memberi tahukan Sri Baginda. Biar saya  

menyusul Raden Kertopati untuk melihat sampai di mana kehebatan orang itu...." 

"Saya setuju hal itu," sahut Patih Haryo Unggul. "Yang penting menyelidiki.  

Kita harus tahu apa hubungan Bajingan Dari Susukan ini dengan istri Sri Baginda.  

Ingat keterangan kusir tua itu.....? Dia sempat mendengar ketika Bajingan Dari  

Susukan berkata bahwa dia hanya menjalankan tugas. Nah, kita harus tahu siapa di  

belakangnya. Siapa yang menugaskannya! Jika tidak dapat dari orangnya langsung,  

istri Sri Baginda itu pasti mengetahui....." 

"Saya berangkat sekarang Paman patih....." 

"Pergilah. Walaupun manusia itu tidak terkenal, tapi jangan Raden Mas  

menganggapnya enteng. Saya lebih suka kalau dia dapat ditangkap hidup-hidup....." 

"Itu memang keinginan saya paman patih," jawab Raden Mas Jayengrono.  

Namun dalam hatinya diapun punya keinginan untuk menyaksikan bahkan hendak  

menjajal sampai di mana kehebatan manusia yang memperkenalkan dirinya sebagai  

Bajingan Dari Susukan itu.

17 

ENAM 

Ketika Kepala Balatentara Kerajaan Raden Mas Jayengrono sampai di tempat  

kediaman istri Raja yang ketiga maka dia menyaksikan satu pemandangan luar biasa.  

Halaman rumah yang cukup luas itu dikurung rapat oleh puluhan perajurit. Sekitar  

enam perajurit, dua perwira muda dan seorang perwira tinggi tampak tergeletak di  

tanah. Kebanyakan dari mereka sudah tak berkutik lagi alias mati. Yang masih diup  

terdengar mengerang megap-megap tanda umurnyapun tak bakal lama. Rata-rata  

mereka menderita patah tulang tangan atau kaki, atau hancur tulang-tulang iganya.  

Yang menemui kematian rata-rata kelihatan kehitaman kulit tubuhnya, seperti hangus  

dipanggang api. 

Raden Ajeng Siti Hinggil, Raden Ayu Lestari dan Pangeran Sabrang tegak di  

tangga rumah, menyaksikan Raden Kertopati yang dibantu oleh seorang perwira  

tinggi dan tiga orang perwira muda mengeroyok seorang pemuda berkulit hitam,  

berwajah bundar. Melihat pada ilmu silat yang dimainkan pemuda tak dikenal ini,  

jelas dia tidak memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Bahkan boleh dikatakan  

hampir tak ada sama sekali jurus-jurus ilmu silat yang dimainkannya. Akan tetapi,  

setiap gerakan yang dibuatnya mengeluarkan deru angin tanda dia memiliki tenaga  

dalam yang kuat. Dan setiap dia menggerakkan tangan dan kakinya, para pengeroyok  

cepat bertindak mundur atau menyelamatkan diri. Yang terlambat kalau tidak  

menemui ajal pastilah cidera berat! 

Beberapa kali Jayengrono melihat para pengeroyok berhasil menyarangkan  

pukulan atau tendangan ke tubuh pemuda itu. Namun seperti kebal pukulan, si  

pemuda seolah-olah tidak merasakannya. Dia terus merangsak menyerang para  

pengeroyoknya. 

Ada satu hal yang sempat diperhatikan Kepala Balatentara Kerajaan itu.  

betapapun hebatnya tenaga dalam dan berbahayanya setiap gerakan tangan atau kaki  

si pemuda namun dia tidak memiliki nafas yang panjang. Dadanya turun naik,  

tenggorokannya bergerak-gerak dan hidungnya mengembang-kempis tanda nafasnya  

mulai memburu. 

"Hentikan pertempuran!" Tiba-tiba Raden Mas Jayengrono berteriak keras. 

Pihak Kerajaan yang mengenali suara Kepala Balatentara itu segera berhenti  

menyerang. Masing-masing melompat dua langkah ke belakang. Mereka semua  

memandang dengan heran pada Raden Mas Jayengrono. 

"Ada apakah? Mengapa kangmas menghendaki perkelahian ini  

dihentikan.....?" bertanya Kertopati. Tubuhnya tampak mandi keringat tanda  

tenaganya terkuras. 

"Biarkan aku bicara dulu dengan pemuda berkulit hitam itu," jawab  

Jayengrono. Lalu dengan suara lebih perlahan hingga hanya Kertopati yang  

mendengar, dia menegur. "Bukankah Patih sudah memberi ingat. Jangan melakukan  

apa-apa sebelum salah satu dari kami datang ke tempat ini?" 

"Saya ingat sekali pesan itu kangmas. Tapi pemuda itu tiba-tiba muncul dan  

mengusir kami dari tempat ini....." menjawab Kertopati. 

Jayengrono berdehem beberapa kali lalu palingkan kepalanya ke arah Gajah  

Rimbun. 

"Kau orangnya yang bernama Bajingan Dari Susukan?" tanya Kepala  

Balatentara Kerajaan dari atas punggung kuda.

18 

Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan mengangguk. Dia tegak di tengah  

kalangan dengan sikap pongah sambil bertolak pinggang. 

Dengan tenang meskipun hatinya mulai jengkel, Jayengrono kembali bertanya  

"Mengapa kau membuat keonaran di tempat kediaman istri Sri Baginda?" 

"Bukan aku yang membuat keonaran tapi kalian yang datang menimbulkan  

kerusuhan" sahut Bajingan Dari Susukan. 

"Namamu cocok dengan sifatmu! Kau pandai bersilat lidah! Apa hakmu  

melarang abdi Kerajaan yang diperintah Raja untuk memeriksa Raden Ajeng Siti  

Hinggil?" bertanya Jayengrono dengan mata melotot. 

"Raja menyuruh menyelidik istrinya sendiri! Ini adalah aneh!" tukas bajingan  

Dari Susukan. "Jika kalian hendak menyelidik orang lain, mengapa Raden Ajeng dan  

puterinya yang kalian curigai?!" 

"Karena cincin emas milik Raden Ayu Paji Lestari dipakai oleh seorang  

pengacau mengaku bernama Pangeran Matahari! Kalau tak ada sangkut paut dengan  

orang itu mana mungkin cincin tersebut ada padanya? Raden Ayu telah  

memberikannya karena ada hubungan tertentu! Bukan begitu.....?" Jayengrono  

berkata sambil berpaling dan memandang tajam pada Puji Lestari Ambarwati,  

membuat gadis ini sesaat gugup dan pucat wajahnya. 

Saat itu terdengar suara Bajingan Dari Susukan kembali. "Sungguh kecurigaan  

keji! Menuduh tanpa bukti! Raden Ayu perlihatkan bahwa cincin itu tak pernah kau  

berikan pada siapapun!" 

Puji Lestari ulurkan tangan kirinya. Pada jari manis tangan kiri sang puteri  

kelihatan cinicn emas bergambar burung rajawali melingkar di jari manisnya. 

Sesaat Raden Jayengrono jadi terpaku. Penuh heran tak mengerti. Bagaimana  

cincin yang beberapa waktu lalu jelas dilihatnya berada di tangan Pangeran Matahari  

kini tahu-tahu sudah ada lagi di jari Raden Ayu Puji Lestari. Padahal beberapa hari  

lalu ketika ditanya, sang puteri tidak dapat memperlihatkan benda itu. 

"Ada sesuatu yang tidak beres di sini!" ujar Jayengrono. Dia memandang  

berkeliling lalu memerintah "Tangkap pemuda ini!" 

Teriakan ini membuat beberapa orang yang ada di sekeliling Bajingan Dari  

Susukan segera melompat menyerbu. Mereka adalah Raden Kertopati Kepala  

Pasukan Kotaraja, tiga orang perwira muda dan dua orang perwira tinggi. Dalam  

waktu sekejapan saja pemuda berkulit hitam itu sudah dilanda hujan serangan. Bukan  

serangan biasa tapi serangan mengandung tenaga dalam tinggi. Jangankan manusia,  

seekor kerbau besarpun akan babak belur dihantam pukulan dan tendangan orang- 

orang itu. 

Terdengar suara gedebak-gedebuk ketika tinju dan kaki mendarat di tubuh  

Bajingan Dari Susukan. Tubuhnya terbanting kian kemari. Tapi anehnya dia seperti  

tidak merasakan apa-apa. Jangankan menjerit, meringispun tidak. Melihat kejadian ini  

dengan beringas Raden Kertopati merangsak ke depan, lancarkan serangan-serangan  

dalam jurus-jurus ganas. Raden Mas Jayengrono tampak tertegun. Hampir tak pernah  

dilihatnya bawahannya itu menggempur lawan seperti itu. Kenyataannya memang  

Bajingan Dari Susukan dibuat terpental dan bergulingan di tanah sewaktu kaki kanan  

Raden Kertopati tepat menghantam lambungnya. 

Belum sempat bangun, dua perwira muda dan dua perwira tinggi berkelebat  

berebut cepat mengirimkan serangan. Kalau tidak mati dalam keadaan mengerikan  

pastilah pemuda berkulit hitam itu akan menderita luka parah dan cacat seumur  

hidupnya. Demikian orang-orang yang ada di tempat itu memastikan. Namun apa  

yang terjadi kemudian membuat semua orang terkejut bahkan Jayengrono keluarkan  

seruan tertahan.

19 

Didahului bentakan keras tubuh Bajingan Dari Susukan melesat setinggi satu  

tombak. Tangan dan kakinya bergerak. Empat perwira Kerajaan yang tadi  

menggempurnya mental berpelantingan. Masing-masing keluarkan jeritan mengerikan.  

Tubuh keempatnya kemudian jatuh ke tanah tak berkutik kagi daalm keadaan hangus  

hitam! 

"Manusia ini bukan saja memiliki kekebalan tapi kesaktian mematikan...."  

Desis Raden Mas Jayengrono sementara Raden Kertopati tegak tak bergerak dengan  

muka pucat! 

"Pembunuh biadab! Siapa kau sebenarnya?!" membentak Jayengrono. 

"Sudah diberitahu masih saja bertanya! Bukankah lebih baik kalian pergi  

semua dari tempat ini dan jangan ganggu Raden Ajeng Stiti Hinggil serta puterinya!" 

"Kentut busuk!" maki Jayengrono. Memandang pada keadaan mayat yang  

hangus hitam itu, Kepala Balatentara Kerajaan ini tiba-tiba saja ingat sesuatu dan  

curiga besar. Ketika beberapa waktu lalu Pangeran Matahari menyerbu istana, lawan- 

lawan yang mati di tangannyapun mengalami nasib seperti keempat perwira itu. mati  

dengan tubuh hangus hitam seperti dipanggang. Ilmu pemuda mengaku Bajingan Dari  

Susukan ini serupa dengan yang dimiliki Pangeran Matahari. Maka Jayengronopun  

kembali membentak "Apa hubunganmu dengan Pangeran Matahari?!" 

"MAsih saja mengajukan pertanyaan! Jika kalian tidak cepat minggat dari sini,  

jangan menyesal kalau cuma arwah kalian yang meninggalkan tempat ini!" Berkata  

Bajingan Dari Susukan alias Gajah Rimbun sambil menyeringai dan berkacak  

pinggang. 

"Sombong dan menghina sekali!" kertak Jayengrono yang saat itu masih  

duduk di atas punggung kudanya. Dia berpaling pada Raden Kertopati dan berkata  

memberi perintah "Dimas, tangkap keparat itu hidup atau mati!" 

Menerima perintah seperti itu Kepala Pasukan Kotaraja itu menjadi agak  

terkesiap. Melihat kehebatan pemuda kulit hitam hatinya jadi meragu apakah  

kepandaian silat dan kesaktiannya akan mampu menghadapi orang itu. 

Melihat bawahannya itu tidak bergerak dari tempatnya Jayengrono cabut keris  

berhulu gading gajah di pinggangnya dan melemparkan senjata ini pada Raden  

Kertopati seraya berkata "Pergunakan Kiyai Gajah Putih ini! Masakan tubuhnya tidak  

akan tertembus sekalipun dia punya kesaktian seperti malaikat!" 

Kiyai Gajah Putih adalah sebilah keris berhulu gading berbadan putih karena  

terbuat dari perak yang diramu dengan sejenis racun jahat berwarna putih. Senjata  

sakti mandraguna ini didapat Raden Mas Jayengrono dari gurunya almarhum. Untuk  

mendapatkan keris itu Jayengrono harus menempuh ujian sangat berat. Yaitu  

berpuasa selama 100 hari dengan hanya minum air embun yang ada di dedaunan serta  

hanya sekepal nasi putih setiap malam Jum'at. Setelah itu dia harus pula bersamadi di  

tujuh tempat selama 7 hari untuk setiap tempat. Ketika sang guru menyerahkan keris  

itu kepadanya, disebutkan pula satu larangan yang tidak boleh dilanggar oleh  

Jayengrono setelah memiliki senjata itu yakni larangan menggauli perempuan yang  

bukan istrinya alias berzina. 

Raden Kertopati menyambut Kiyai Gajah Putih yang dilemparkan Jayengrono  

kepadanya. Jelas dia tak bisa berbuat lain maka Kepala Pasukan Kotaraja ini segera  

mencabut senjata itu. Begitu keris keluar dari sarungnya memancarlah cahaya putih.  

Cahaya ini menjadi lebih terang karena saat itu matahari hampir tenggelam dan udara  

mulai gelap. 

Sesaat Bajingan Dari Susukan merasa keder juga melihat cahaya angker keris  

di tangan Kertopati. Namuan dia begitu yakin akan kehebatan ilmu titipan yang

20 

diberikan Pangeran Matahari padanya. Maka dengan tetap berkacak pinggang,  

pemuda berkulit hitam ini sunggingkan seraingai mengejek. 

"Kalau kau memang hendak mencoba kehebatan keris butut itu, mengapa  

tidak lekas menyerang?!" 

Jayengrono panas sekali hatinya mendengar keris saktinya diejek dan  

dilecehkan begitu saja oleh Bajingan Dari Susukan. Dia berteriak marah "Dimas!  

Lekas bunuh bangsat itu!" 

Maka Kertopatipun melompat menyergap lawannya sambil tikamkan Kiyai  

Gajah Putih. Sinar putih berkiblat disertai desingan angin. Bajingan Dari Susukan  

berkelit sambil menuju ke depan. Gerakannya menjotos terasa seperti tertahan oleh  

angin yang datang menyambar dari badan keris. Maka dia ganti pergunakan kaki  

untuk menendang kaki musuh. Kertopati melompat sambil tikamkan keris di tangan  

kanannya sekali lagi. Kali ini ke arah tenggorokan lawan. 

Buk! 

Tendangan Bajingan Dari Susukan meskipun agak meleset masih sempat  

menghajar betis kanan Raden Kertopati hingga orang ini kehilangan keseimbangan,  

limbung dan jatuh tersungkur. Walaupun tusukan keris ke arah tenggorokan meleset  

namun dalam jatuhnya Raden Kertopati masih berkesempatan membabatkan Kiyai  

Gajah Putih ke arah kedua kaki lawan. 

Breet! 

Kaki celana kiri Bajingan Dari Susukan robek besar. Salah satu bagian  

pahanya tergurat ujung keris. Untuk pertama kalinya terdengar suara pekik kesakitan  

keluar dari mulut Bajingan Dari Susukan. Meskipun pahanya hanya tergurat sedikit  

dan sama sekali tidak mengeluarkan darah namun tubuhnya terasa menjadi sangat  

dingin hingga gigi-giginya bergemeletakan. 

"Celaka! Apakah kesaktian yang diberikan Pangeran Matahari tidak sanggup  

menghadapi keris putih itu.....?!" Bajingan Dari Susukan merasa kawatir sekali. Rasa  

kecut membayangi hatinya. Apakah dia akan terus berkelahi di situ atau sebaiknya  

pergi saja, kembali dan melapor pada Pangeran Matahari? 

Sementara itu Raden Kertopati yang tadi terjatuh berusaha bangun. Alangkah  

kagetnya Kepala Pasukan Kotaraja ini ketika mendapatkan dirinya tak sanggup lagi  

bangkit. Disingsingkannya kaki celananya. Betisnya yang tersingkap kelihatan  

menghitam. Pucatlah paras Kertopati. Dia cepat menotok pangkal paha dan bagian  

dada di dekat jantung untuk mencegat aliran rasun jahat. Lalu masih dengan  

menggenggam keris Kiyai Gajah Putih di tangan Kepala Pasukan Kotaraja ini  

gulingkan tubuh menajuhi Bajingan Dari Susukan. Beberapa orang perwira segera  

menolongnya dan menggotongnya ke dekat tangga rumah besar. 

Menyaksikan kejadian itu Raden Mas Jaengrono melompat urun dari kudanya.  

Dia akan turun tangan sendiri untuk menghajar Bajingan Dari Susukan. Namun di  

saat yang sama pula pemuda berkulit hitam itu sudah melompat dari kalangan  

pertempuran. Berkelebat ke arah pintu halaman. 

"Tangkap! Jangan biarkan dia lari!" teriak Jayengrono seraya mengangkat  

tangan kanan untuk menghantam dengan pukulan jarak jauh mengandung tenaga  

dalam tinggi. Namun serangan ini terpaska di batalkan karena belasan perajurit dan  

para perwira saat itu telah berserabutan mengejar Bajingan Dari Susukan hingga  

menutup alur pukulan. Kalau diteruskan hanya akan mencelakai orang-orang sendiri. 

Jayengrono semakin gemas dalam hati. Terlebih lagi ketika kemudian  

dilihatnya di depan sana perajurit-perajurit dan para perwira yang berusaha  

menangkap Bajingan Dari Susukan terlempar dan rubuh ke tanah. Empat di antaranya  

menemui ajal dengan tubuh menghitam hangus!

21 

"Manusia laknat!" kertak Jayengrono. Karena tak bisa berbuat lain akhirnya  

Kepala Balatentara Kerajaan ini melangkah cepat ke langkan rumah besar. Saat itu  

Raden Ajeng Siti Hinggil, Raden Ayu Puji Lestari dan Pangeran Sabrang masih  

berada di sana. 

"Raden Ajeng," tegur Jayengrono seraya membungkuk. "Izinkan saya bicara  

denganmu di dalam." Lalu tanpa menunggu jawaban orang Jayengrono mendahului  

memasuki rumah besar, langsung menuju ke sebuah ruangan berpintu kayu berukir- 

ukir di mana biasanya dipakai Sri Baginda beristirahat bilamana sedang mengunjungi  

istrinya yang ketiga ini. 

Sewaktu Bajingan Dari Susukan melarikan diri dikejar oleh para perajurit dan  

perwira Kerajaan, di pinggir jalan, di seberang rumah kediaman Raden Ajeng Siti  

Hinggil, terlindung di balik kerapatan pohon-pohon bambu tampak dua orang pemuda  

secara diam-diam menyaksikan apa yang terjadi di depan mereka. Pemuda pertama  

berpakaian serba putih, berambut gondrong. Sesekali tampak dia menggaruk-garuk  

kepala, entah gemas melihat pertempuran yang tengah berlangsung entah memang  

kepalanya gatal. Kawan di sebelahnya seorang pemuda bertampan cakap, berbadan  

langsing berambut pendek dan mengenakan pakaian warna abu-abu. 

"Bagaimana, kita tangkap pemuda bermuka bundar itu?" bertanya si abu-abu  

ketika melihat Bajingan Dari Susukan hendak melarikan diri. 

"Enggg....." si gondrong garuk-garuk kepalanya sesaat. "Aku punya rencana  

lain," katanya kemudian. "Ingat, tadi kita sudah sama menduga, pemuda itu memiliki  

ilmu aneh. Keanehan itu dapat dihubungkan dengan ilmu kesaktian Pangeran  

Matahari. Setiap lawan yang mereka bunuh, menemui kematian dengan cara sama.  

Tubuh hangus hitam. Kalau kita tangkap dia sekarang, berarti kita tidak dapat  

mengetahui sumber semua keanehan ini. Jika benar dia ada sangkut paut dengan  

Pangeran sialan itu, berarti kita tidak dapat mencari jejaknya. Justru inilah  

kesempatan paling baik untuk mencari tahu di mana biang kerok itu berada lalu  

membekuknya!" 

"Lalu, apa yang ada di benakmu?" tanya si abu-abu. 

"Aku akan menguntit si hitam muka bundar itu....." 

"Kalau cuma itu serahkan saja padaku...." 

"Tidak. Kau harus menolong Raden Ajeng Siti Hinggil dan bicara dengan  

Jayengrono...." Menyahuti pemuda gondrong. 

"Aku kawatir kalau-kalau Jayengrono dapat menerka siapa aku sebenarnya.  

Maksud menolong bisa jadi berantakan. Lagi pula sejak aku memutuskan untuk tidak  

kembali mengabdi pada Sri Baginda aku akan merasa kikuk menghadapi orang-orang  

itu. Kau saja yang bicara dengan mereka. Aku biar menguntit si hitam bernama  

Bajingan Dari Susukan itu..... Lagi pula aku masih punya hutang piutang yang harus  

aku selesaikan dengan Pangeran Matahari. Kalau saja si hitam tadi memang  

benggolan cecunguknya!" 

"Kalau itu sukamu baiklah. Tapi bagaimana aku nanti mencari dan  

menyusulmu....?" Tanya si gondrong sambil memegang bahu pemuda berpakaian  

abu-abu. 

"Nah, tanganmu lagi-lagi menggerayang seenaknya. Ingat, aku bukan leleaki  

sepertimu.....!" Pemuda berpakaian abu-abu itu mengomel cemberut sambil  

menepiskan tangan yang memegang bahunya. 

Si gondrong tertawa geli. "Aku lupa! Seharusnya kau tidak menyamar seperti  

ini sahabat! Bangsat itu sudah lari jauh, bagaimana aku menyusul dan mencarimu?" 

"Gampang saja! Aku akan mematahkan ranting-ranting pepohonan yang  

kulalui...."

22 

"Kau cerdik! Pergilah. Tapi hati-hati.....!" Dan si gondrong ini kembali lupa.  

Sambil menyuruh pergi tangannya menepuk pantat pemuda bertubuh ramping itu. 

"Brengsek!" teriak si abu-abu

23 

TUJUH 

Raden Mas Jayengrono menunggu sampai Raden Ajeng Siti Hinggil duduk di  

kursi besar lalu menutup pintu ruangan. Hanya mereka berdua saja ada di tempat itu.  

Di ruangan itu masih terdapat beberapa buah kursi namun Kepala Balatentara  

Kerajaan itu memilih berdiri. Sesaat dia tegak sambil menatap wajah Siti Hinggil  

hingga akhirnya perempuan ini menundukkan kepala dengan wajah bersemu merah. 

"Ada apakah saya dibawa ke ruangan ini?" terdengar kemudian suara Siti  

Hinggil, perlahan tapi cukup jelas. 

"Saya hanya ingin jawaban jujur," berkata Jayengrono. "Apa hubungan Raden  

Ajeng dengan orang bernama Pangeran Matahari itu? Lalu mengapa sampai ada  

seorang pemuda yang muncul serta bertindak selaku pelindung Raden Ajeng dan  

anak-anak....." 

"Sebelum saya menjawab, saya ingin mengajukan satu pertanyaan lebih  

dahulu...." Kata Siti Hinggil pula yang membuat Raden Mas Jayengrono agak  

terkejut. 

"Apa pertanyaan itu?" 

"Betul Raden Mas yang telah mengambil langkah untuk mencurigai kami  

anak beranak serta melakukan pengusutan?" 

"Saya hanya menjalankan tugas, Raden Ajeng. Demi keselamatan kita semua.  

Demi keselamatan Kerajaan....." 

Siti Hinggil tersenyum lalu menggelengkan kepala. "Saya tahu apa sebab  

sebenarnya....." 

"Hemmm...." Raden Mas Jayengrono mengusap dagunya. 

"Raden Mas mendendam kepada saya....." 

"Apa yang perlu kudendamkan Raden Ajeng?" 

"Karena sejak Pangeran Anom lahir saya tidak mau lagi mengikuti kinginan  

Raden Mas....." 

"Kau keliru Siti....." Tiba-tiba saja Jayengrono menyebut nama istri Sri  

Baginda itu secara langsung. 

Dan anehnya Siti Hinggilpun melakukan yang sama. "Tidak Jayeng. Saya  

tidak keliru. Saya tahu benar hatimu....." 

"Jika kau tahu mengapa kau bersikap lain.....?" 

Air muka Siti Hinggil nampak redup menggelap. Kedua matanya berkaca- 

kaca. "Apakah tidak cukup kita membuat kesalahan dengan melahirkan Puji Lestari  

dan Pangeran Anom.....? Apakah kita akan menambah dengan satu jiwa manusia lagi,  

lagi dan lagi....? Bukankah saya katakan saya sudah bertobat dan tak akan  

mengulanginya lagi yaitu setelah Anom lahir? Juga bukankah sebulan setelah Anom  

lahir kau mendapatkan keris sakti itu dan harus mematuhi larangan untuk tidak  

menggauli perempuan lain selain istrimu......" 

Jayengrono diam sejenak. Kemudian jawabnya "Kau tahu istri tunggalku  

selain sakit-sakitan dan aku tidak punya selir atau istri peliharaan. Semua itu karena  

aku masih mengharapkan kau dan hubungan kita kembali seperti dulu...... Delapan  

belas tahun aku menunggu Siti. Delapan belas tahun aku tak pernah merasakan  

kehangatan kasih sayang dan tubuhmu seperti dulu...." 

"Saya sudah bertobat Jayeng dan kau punya larangan. Cukup hubungan kita  

yang berlumuran dosa itu hanya menghasilkan Puji dan Anom. Jangan ditambah  

lagi....."

24 

"Persetan dengan larangan itu Siti! Apakah kau menyuruh aku harus meracun  

Sri Baginda agar dapat menikah dan memilikimu secara syah......?' 

"Kau akan terkutuk dunia akhirat jika kau melakukan itu Jayeng!" 

"Kalau begitu...... berarti apa yang kuinginkan lebih baik dari pada  

membunuh Sri Baginda dan mengambilmu jadi istri....." 

"Keduanya sama-sama besar dosanya. Sekalipun kau membunuh Sri baginda,  

tidak akan aku mau diperistrikan olehmu! Pembunuh dari suami anak-anakku.....!" 

"Puji dan Anom bukan anakmu dan anak Raja! Tapi anak kita!" ujar  

Jayengrono dengan mata membesar. 

"Saya ingin keluar dari ruangan ini Jayeng. Bukakan pintu itu....." kata Siti  

Hinggil sambil bergerak bangkit dari kursi. 

Tapi Jayengrono memberi isyarat agar dia duduk kembali. "Kau belum  

menjawab pertanyaanku tadi!" 

"Aku tidak ada hubungan apa-apa dengan Pangeran Matahari. Juga tidak tahu  

mengapa ada pemuda yang muncul mengaku hendak melindungi kami...." 

"Siti, jangan dusta! Sangat jelas ceritanya bagiku! Cincin emas bergambar  

burung rajawali milik puterimu, milik anak kita pernah terlihat dipakai Pangeran  

Matahari waktu keparat itu menyerbu Istana! Setelah sekian lama lenyap tahu-tahu  

cincin itu dikabarkan berada di tangan Puji! Kalau tidak ada apa-apa mana mungkin  

hal itu bisa terjadi!" 

Siti Hinggil duduk terpaku di kursinya. "Sebaiknya kukatakan saja bagaimana  

kejadiannya....?" Hati kecil perempuan ini bertanya-tanya. Namun sebelum dia  

sempat membuka mulut, di hadapannya Raden Mas Jayengrono melangkah  

mendekati dan berkata setengah berbisik seraya merunduk. 

"Dengar Siti. Aku sudah mengatur satu rencana hingga kita bisa berhubungan  

seperti dulu tanpa satu orangpun tahu atau curiga, termasuk Sri baginda...." 

Siti Hinggil tercengang mendengar kata-kata Jayengrono itu. 

"Apa maksudmu Jayeng?" 

"Kau akan kutangkap dan dimasukkan dalam kamar penyekapan di salah satu  

bagian istana. Di situ aku telah membuat sebuah pintu rahasia hingga bisa keluar  

masuk tanpa ada yang mengetahui. Kita bisa bertemu setiap saat. Kita bisa melakukan  

apa yang dulu pernah kita lakukan delapan bels tahun lalu. Bukankah ini yang sama- 

sama kita tunggu Siti? Delapan belas tahun! Gila! Waktu yang sangat lama!" 

"Tidak!" Siti Hinggil bangkit dari kursi besar. Wajahnya menyatakan perasaan  

hatinya yang sangat marah. "Aku sudah bertobat! Apapun yang terjadi aku tidak akan  

mengulang perbuatan terkutuk itu lagi! Yang sudah ya sudah! Cukup kita mempunyai  

dua orang anak haram. Puji dan Anom....." 

"Tapi sekali ini kita tak perlu menjalin hubungan yang menghasilkan  

keturunan!" 

"Keluarlah dari ruangan ini!" ujar Siti Hinggil dengan suara mendesis. 

"Kalau begitu aku betul-betul akan menyuruh tangkapmu! Dengan tuduhan  

mempunyai hubungan dengan perusuh dan pembunuh bernama Pangeran Matahari  

itu!" 

"Kau boleh melakukan apa saja. Aku tidak takut!..... jawab Siti Hinggil.  

Ketika dia hendak melangkah ke pintu tiba-tiba dari luar terdengar pintu diketuk. 

"Panglima Jayengrono harap segera keluar untuk memberikan pertolongan!" 

"Keparat!" maki Jayengrono dalam hati. Seperti hendak ditendangnya pintu  

itu berikut orang yang ada di luar karena geramnya. Namun mau tak mau dia terpaksa  

membuka pintu seraya membentak "Ada apa berani mengganggu kami yang sedang  

melakukan pembicaraan penting?!"

25 

Perwira muda yang tegak di depan pintu dengan muka pucat ketakutan cepat  

membungkuk. 

"Raden Kertopati gawat. Racun pukulan Bajingan Dari Susukan agaknya tak  

terbendung oleh totokan. Darah mulai keluar dari hidung, telinga dan mulutnya!" 

"Lalu kalau sudah begitu apa kau kira aku bisa menoong?! Apa kau kira aku  

dukun patah ahli pengobatan?!" sentak Jayengrono. 

Perwira muda itu semakin ketakutan. "Maafkan saya Panglima. Saya hanya  

melapor karena kawatir....." 

"Di mana dia sekarang?" 

"Masih terbaring di tangga depan...." 

"Pergilah! Aku akan menyusul ke sana!" kata Jayengrono. Setelah perwira  

muda itu berlalu Jayengrono berpaling ada Siti Hinggil. "Kau tak ingin merubah  

keputusanmu?" 

"Tidak." Jawab Siti Hinggil. "Sekalipun kepalau kau pancung!" 

"Hatimu terlalu keras. Mana cinta kasih yang dulu selalu kau berikan untuk  

kehangatan kita berdua.....?" 

"Masa lalu tak perlu diungkit dan tak akan terulang lagi. Apa masih belum  

jelas bagimu Jaeng?" 

"Kau akan menyesal Siti....." 

"Mudah-mudahan tidak!" habis berkata begitu Siti Hinggil melangkah keluar  

pintu. 

Marah dan jengkel Raden mas Jayengrono meninggalkan ruangan itu menuju  

serambi rumah. Dalam hati dia merutuk. "Mengapa si Kertopati itu tidak mampus 

saja! Kalau tidak oleh keadaannya mungkin aku masih bisa membujuk perempuan itu.  

Ah Siti..... Delapan belas tahun memang cukup lama. Tapi tidak terlalu cepat untuk  

mengikis cinta gelap kita....." 

Sewaktu Jayengrono sampai di tangga depan rumah besar itu dia terkejut  

mendapatkan seorang pemuda berpakaian putih berambut gondrong tengah duduk  

bersimpuh di samping tubuh Kertopati yang tergeletak di lantai serambi, dekat tangga.  

Di tangan pemuda itu tergenggam sebilah kapak bermata dua yang memancarkan  

sinar berkilauan tertimpa cahaya sang surya yang hendak tenggelam. Salah satu mata  

kapak ditempelkannya di betis Kertopati yang berwarna hitam seperti hangus yakni  

akibat tendangan Bajingan Dari Susukan tadi. Kertopati sendiri berada dalam keadaan  

pingsan. 

"Hai! Siapa kau! Apa yang kau lakukan?!" hardik Jayengrono. Dalam  

kemarahan dia tidak sempat mengingat atau mengenali pemuda gondrong itu. 

Yang ditanya karena sedang berusaha mengobati Kertopati dengan  

menghimpun kekuatan tenaga dalam dan mengosongkan pikiran dari segala cipta dan  

rasa tentu saja tidak menjawab. Hal ini membuat Jayengrono menjadi tambah marah.  

Sambil menggereng dia ulurkan tangan untuk menjambak rambut pemuda itu.  

Rambut itu berhasil disentuhnya. Namun jari-jari tangannya terasa panas dan dia tak  

mampu menggerakkan apalagi menyentak menjambak. Perlahan-lahan Jayengrono  

lepaskan jambakannya.

26 

DELAPAN 

Pemuda gondrong berpakaian dan berikat kepala putih yang duduk bersila dengan  

menempelkan kapak berkilat ke betis Raden Kertopati nampak menggigil sekujur  

tubuhnya ketika dia mengerahkan tenaga dalam untuk mulai menyedot racun jahat  

mematikan yang telah menjalari sebagian tubuh Kepala Pasukan Kotaraja itu. Butir- 

butir keringat memercik ke keningnya sebesar-besar jagung. 

Perlahan-lahan, mata kapak yang tadi berkilat tampak meredup oleh cairan  

darah kehitaman yang tersedot keluar dari betis Kertopati. Si gondrong terengah- 

engah napasnya namun dia terus kerahkan kekuatan tenaga dalam untuk menyedot  

hingga semakin banyak darah hitam yang keluar. Ketika darah hitam berangsur- 

angsur berubah menjadi merah, pertanda racun maut yang mendekam di tubuh  

Kertopati telah tersedot keluar semuanya maka si pemuda memperkendur sedotan  

tenaga dalamnya. 

Sepasang kaki Kertopati tampak bergerak. Sedotan yag dilakukan si pemuda  

sekaligus telah memusnahkan dua totokan yang dibuat sendiri oleh Kertopati. Kepala  

Pasukan Kerajaan ini terdengar mulai mengerang pertanda telah sadarkan diri meski  

kedua matanya masih tertutup. Ketika si gondrong mengangkat kapaknya dan  

meniupnya, secata aneh noda darah hitam pada mata kapak itu sirna sementara  

Kertopati telah pula membuka sepasang matanya. Sesaat dia menatap wajah si  

gondrong, lalu memandang berkeliling. Mula-mula dia tidak apa yang terjadi,  

mengapa dia berada dalam keadaan terbujur di serambi rumah besar itu. Setelah  

memejamkan mata beberapa ketika dan memusatkan jalan pikiran, Kertopati mulai  

dapat menduga apa yang dialaminya. 

"Kau......" desisnya ketika kembali matanya memandang wajah pemuda  

berambut gondrong. Yang ditegur menyeringai dan menyisipkan senjatanya ke  

pinggang. 

Saat itu Raden mas Jayengrono melangkah berputar hingga dia dapat melihat  

wajah si pemuda dengan jelas. 

"Bukankah kau yang beberapa hari lalu bersama kawanmu membantu kami  

orang-orang Kerajaan menghadapi Pangeran Matahari.....?" Jayengrono menegur. 

"Ah, kau masih ingat pada kami Raden Mas....." menyahuti si pemuda. 

Raden Kertopati dengan bantuan dua orang perwira bangkit dan bersila di  

lantai serambi. "Pendekar 212........ Kau muncul lagi menyelamatkan diriku.  

Bagaimana aku harus mengucapkan terima kasih....." 

Si gondrong yang memang adalah Pendekar 212 kembali  

menyeringai. "Jangan berterima kasih pada saya, semua adalah atas keredohan Yang  

Maha Kuasa...." 

Kertopati hanya bisa geleng-gelengkan kepala. 

"Kau dulu pergi secara diam-diam dalam kabut asap sewaktu istana terbakar.  

Kini kau muncul secara aneh. Jangan-jangan kaupun sebenarnya ada sangkut pautnya  

dengan Pangeran Matahari....." 

Yang bicara adalah Raden Mas Jayengrono. Entah dari mana Kepala  

Balatentara Kerajaan ini mempunyai jalan pikiran seperti itu hingga mengeluarkan  

ucapan yang mengejutkan semua orang yang ada di situ. Sebaliknya murid Eyang  

Sinto Gendeng dari Gunung Gede sendiri dicurigai seperti itu tetap duduk bersila dan  

tenang, malah masih sunggingkan senyum.

27 

"Raden Mas, orang telah menolong kita, mengapa menuduh yang tidak pada  

tempatnya?" menegur Raden Kertopati 

"Pertolongan bisa saja menyembunyikan sesuatu!" jawab Jayengrono.  

"Banyak masalah yang harus kuusut. Soal hubungan Raden Ajeng Siti Hinggil masih  

belum tuntas. Kini muncul pemuda ini dengan masalah baru. Sebaiknya kita berjaga- 

jaga dimas Kertopati!" lalu tiba-tiba sekali Kepala Balatentara Kerajaan itu  

menusukkan dua jari tangannya ke arah dada kiri Pendekar 212. 

cepat menangkis. 

Tapi totokan Jayengrono mendarat di dadanya lebih dulu hingga tak ampun  

lagi tubuhnya menjadi kaku kejang. Seharusnya jalan suaranyapun ikut tertutup.  

Namun karena gerakan menangkisnya tadi, totokan Jayengrono hanya sempat  

membuat auratnya saja yang kaku sedang jalan suara masih membuka. 

"Jadi begini balasan kalian orang-orang Kerajaan.....?!"  

keluarkan ucapan. "Sungguh kalian manusia-manusia tidak berbudi!" 

"Raden Mas, saya minta pemuda itu dibebaskan....." Yang bicara adalah  

Raden Kertopati sementara semua orang yang ada di tempat itu sama tidak mengerti  

mengapa Jayengrono menotok pemuda gondrong yang telah menyelamatkan jiwa  

Raden Kertopati. 

"Serahkan saja urusan ini padaku dimas. Kau harus istirahat agar kesehatanmu  

pulih kembali. Jika dia ternyata memang tidak menyembunyikan niat jahat terhadap  

kita, pasti akan kubebaskan. Aku ada satu pertanyaan untukmu gondrong! Dulu kau  

muncul bersama kawanmu pemuda langsing berpakaian abu-abu itu. Di mana dia  

sekarang?" 

"Dia justru menguntit pemuda kulit hitam yang kabur itu!" jawab Wiro polos. 

"Nah, apa kataku. Temanmu itu bukan menguntit mungkin sakali tengah  

menolongnya dari luka akibat goresan Kiyai Gajah Putih!" 

"Heran, bagaimana orang sepertimu punya pikiran buruk dan picik seperi itu!"  

tukas yang membuat wajah Jayengrono bersemu merah. Dia lalu cepat- 

cepat memberi perintah pada orang-orangnya untuk menaikkan pendekar itu ke atas  

punggung seekor kuda. Dia juga memerintahkan para bawahannya untuk menangkap  

Raden Ajeng Siti Hinggil dan Raden Ayu Puji Lestari Ambarwati. 

Di atas punggung kuda, dalam keadaan tertotok Pendekar 212  

terdengar keluarkan ucapan. 

"Bawa pemuda itu!" teriak Jayengrono pada bawahannya. 

Sesaat setelah kuda yang membawa Pendekar 212 berlalu, Kepala Balatentara  

Kerajaan ini masih tegak termangu. "Apa maksud keparat itu dengan tembok ruangan  

punya seribu telinga.....?" dia membatin dalam hati, namun tak bisa menjawab  

ataupun menduga. 

Di dalam ruangan batu yang terletak di bawah tanah pada ujung timur  

kawansan istana, Pendekar 212 tergeletak di atas lantai dingin berlumut.  

Dia merasa bersyukur karena Jayengrono tidak merampas Kapak Maut Naga Geni  

212 yang ada di pinggangnya. Berkali-kali dia mencoba mengerahkan tenaga dalam  

untuk memusnahkan totokan yang menguasai tubuhnya, tapi sia-sia saja. Dalam  

merutuk habis-habisan perbuatan panglima Balatentara Kerajaan itu, Wiro tenggelam  

dalam satu kekawatiran yang amat sangat. 

Seperti dituturkan di muka, antara dia dan pemuda berpakaian kelabu  

sahabatnya itu telah diatur rencana. Wiro akan menolong Raden Ajeng Siti hinggil  

dan Raden Ayu Puji Lestari dari tuduhan Jayengrono sedang si kelabu akan menguntit

28 

pemuda berkulit hitam (Bajingan Dari Susukan) untuk menyelidik siapa pemuda itu  

sebenarnya dan kemana dia melarikan diri. 

Dalam serial sebelumnya yang berjudul "Pangeran Matahari  

Dari Puncak Merapi" telah dijelaskan bahwa pemuda berbaju kelabu itu bukan lain  

adalah seorang gadis jelita berkepandaian tinggi bernama Ni Luh Tua Klungkung.  

Selama beberapa tahun dia menyamar sebagai seorang nenek yang selalu mengenakan  

pakaian biru dan mengabdi pada Kerajaan. Sampai pada suatu hari dia menjadi putus  

asa ketika dirinya dikalahkan oleh Pangeran Matahari. Tak kuat menanggung rasa  

malu dan merasa tak layak kembali mengabdikan diri pada Kerajaan maka Ni Luh  

Tua Klungkung terbujuk oleh hasutan setan, menjadi mata gelap dan hampir bunuh  

diri jika tidak tertolong oleh Pendekar 212 . Keduanya kemudian jadi  

bersahabat. 

Keadaan sahabatnya inilah yang sangat dikawatirkan Wiro. Saat itu Ni Luh  

Tua Klungkung menguntit dan mengejar Bajingan Dari Susukan. Kalau benar dugaan  

bahwa pemuda berkulit hitam itu ada sangkut pautnya dengan Pangeran Matahari dan  

kalau sampai sahabatnya itu berhadapan degan Pangeran keparat itu, berarti Ni Luh  

Tua Klungkung akan menemui bahaya besar tanpa dia sendiri dapat menolong. 

"Jayengrono keparat! Kau akan menerima pembalasanku!" begitu Wiro  

memaki tiada henti. Lalu pendekar ini menyesali diri sendiri. Mangapa dia menyetujui  

usul gadis itu untuk menguntit Bajingan Dari Susukan, bukan dia sendiri yang  

melakukannya? Wiro menarik nafas dalam. "Kalau sampai terjadi apa-apa dengan  

sahabatku itu, sampai ke nerakapun aku akan mencari Pangeran keparat itu...." Wiro  

berjanji pada diri sendiri. "Apa yang bisa kulakukan saat ini? Sialan betul! Apakah  

aku harus berteriak seperti orang gila?! Sialan! Benar-benar sialan!"

29 

SEMBILAN 

Matahari yang mulai tenggelam, malam yang mulai turun membuat udara mulai  

gelap. Meskipun pemandangan dalam jarak jauh agak tertutup kini namun  

pendengaran yang tajam membuat Ni Luh Tua Klungkung tetap dapat mengetahui ke  

mana arah lari orang yang dikuntitnya. Sambil berlari dia tidak lupa untuk  

mematahkan setiap ujung ranting dri pepohonan yang dilaluinya. Ini adalah sesuai  

janjinya pada Pendekar 212 , Sebagai petunjuk jika pendekar itu  

menyusul dan mencarinya. Dia sama sekali tidak tahu kalau kini Wiro tengah  

mendapatkan kesulitan, ditotok dan disekap di sebuah ruangan bawah tanah. 

Gajah Rimbun alias Bajingan Dari Susukan berusaha mempercepat larinya.  

Goresan luka keris sakti Kiyai Gajah Putih terasa sangat perih dan sekujur tubuhnya  

saat demi saat semakin dingin. Demikian dinginnya hingga walaupun dia berlari  

sejauh itu namun tak setetes keringatpun keluar dari pori-pori tubuhnya. Nafasnya  

mulai menyesak. Lidahnya terjulur dan kepalanya terasa pening. Namun semangatnya  

menjadi besar ketika di kajauhan dia mulai melihat jalan lurus mendaki. Di antara  

kegelapan turunnya malam, dia bahkan dapat melihat pondok kayu di ujung jalan  

yang mendaki itu. 

Begitu dia sampai di depan bangunan langsung Gajah Rimbun jatuhkan diri ke  

tanah, mengengah-engah dan keluarkan seruan tercekik "Pangeran, saya Gajah  

Rimbun telah kembali!" 

Tak ada jawaban. 

"Agaknya Pangeran tak ada di rumah...." Membatin Gajah Rimbun. 

Kreekek..... Terdengar suara berkereketan. Pintu pondok terbuka. Sesosok  

tubuh berpakaian serba hitam muncul. Ada gambar gunung dan matahari di dada  

pakaian hitam itu. 

"Pangeran!" seru Gajah Rimbun. 

"Bajingan Dari Susukan! Kau kembali lebih cepat dari perkiraan! Apakah kau  

berhasil menjalankan tugas sesuai perintah?!" 

"Saya berusaha melakukan sesuai dengan petunjuk dan perintah! Namun  

mohon maafmu Pangeran. Saya menemui kesulitan....." jawab Gajah Rimbun. Ada  

bayangan rasa takut tersembunyi di antara kata-katanya. 

Paras Pangeran Matahari tampak berubah. 

"Katakan apa yang terjadi....." katanya perlahan tapi uaranya bernada angker. 

Gajah Rimbun lalu menerangkan pengalamannya di Kotaraja. Dia juga  

memperliatkan goresan luka yang kini tampak seperti membusuk di pahanya.  

Pangeran Matahari sama sekali tidak perduli dengan luka itu. Menolehpun dia tidak.  

Sementara itu karena rasa dingin yang semakin menggila, Gajah Rimbun kini tak 

sanggup lagi berdiri. Kedua kakinya seperti beku. Tubuhnya terduduk ke tanah. 

"Sayang.....sayang sekali....." kata Pangeran Matahari sambil melangkah  

mundar-mandir di depan pondok. "Kehebatan yang telah kau perlihatkan sehari  

sebelumnya menjadi pupus dengan kegagalan hari ini.....!" 

"Saya telah melakukan apa yang saya bisa, Pangeran....." 

"Diam!" hardik Pangerarn Matahari. "Kau bukan melakukan apa yang kau  

bisa. Tapi harus melakukan apa yang ditugaskan! Kau tahu artinya kegagalan ini?!" 

Gajah Rimbun terdiam. Wajahnya yang pucat semakin pucat. 

"Saya mohon pertimbanganmu Pangeran. Beri kesempatan sekali lagi...."  

Meminta Gajah Rimbun.

30 

Pangeran Matahari mendengus lalu tertawa hambar. 

"Bagiku kesalahan dan kegagalan bukanlah satu hal yang bisa diperbaiki.  

Karena itu sudah terjadi! Penyesalanpun tiada arti! Namun aku masih bermurah hati  

memberikan satu kesempaan padamu....." 

"Terima kasih Pangeran! Terima kasih! Apa yang harus saya lakukan  

Pangeran tinggal mengatakan. Saya akan mengerjakannya!" 

"Begitu.....?" ujar Pangeran Matahari tak acuh. "Apakah kau sadar waktu kau  

melarikan diri kembali ke mari ada orang yang menguntitmu.....?!" 

Terkejutlah Gajah Rimbun mendengar pertanyaan itu. Dia memandang  

berkeliling dengan mata dibesarkan tapi tak melihat orang lain berada di tempat itu. 

"Manusia tolol! Percuma kau menyandang nama Bajingan Dari Susukan!"  

memaki Pangeran Matahari. Dia berpaling ke arah semak belukar lebat di sebelah kiri  

jalan yang menurun lalu berseru. 

"Penguntit! Keluarlah dari tempat persembunyianmu!" 

Ni Luh Tua Klungkung yang berada di balik rerumpunan semak belukar itu,  

menyadari kehadirannya di situ sudah diketahui orang tak bisa berbuat lain kecuali  

keluar perlihatkan diri. 

Ketika melihat siapa yang muncul itu, Pangeran Matahari kaget sesaat  

kemudian langsung saja dia mengumbar tawa panjang. 

"Ha....ha.....ha....! Cicak kurus berpakain kelabu ini rupanya! Mana  

kawanmu satu lagi! Pemuda gendeng itu......!" 

Ni Luh Tua Klungkung tak mau kalah. Dia ikut mengumbar tawa melengking.  

"Aku memang sudah menduga! Manusia bernama bajingan Dari Susukan itu pasti  

cecunguk kaki tanganmu! Dan terbukti memang benar! Meminjam tangan orang lain  

untuk berbuat kejahatan! Rupanya sejak kabur dari Kotaraja tempo hari kau tak punya  

nyali lagi untuk turun tangan sendiri!" 

"Keparat sombong! Mendekatlah biar aku dapat melihat tampangmu lebih  

jelas! Jangan sembunyi di balik bayangan pohon dan kegelapan!" 

"Jika kau ingin melihat lebih jelas silahkan datang mendekat ke hadapanku!"  

sahut Ni Luh Tua Klungkung. 

Rahang Pangeran Matahari yang memang berbentuk menonjol jadi tambah  

menggembung. Dia berpaling pada Gajah Rimbun. 

"Tugasmu Bajingan Dari Susukan! Bunuh pemuda itu!" 

Mendengar perintah Pangeran Matahari, meskipun berdiri saja sudah sangat  

susah bagi Gajah Rimbun, namun demi harapan pengampunan maka dia kerahkan  

seluruh sisa tenaga dan melompat ke hadapan Ni Luh Tua Klungkung,langsung  

menghantamkan jotosan ke muka pemuda berpakian kelabu itu. 

Ni Luh Tua Klungkung tak berani menangkis. Dia berkelit ke samping lalu  

angkat kaki kanannya mengirimkan tendangan ke arah tulang rusuk lawan. Gajah  

Rimbun yang saat itu memang tak berdaya lagi karena racun keris Kiyai Gajah Putih  

tak sanggup mengelak. 

"Kraak.....!" 

Tiga baris tulang-ulang iganya patah. Tubuhnya terpental menghantam  

dinding pondok. Matanya mendelik dan nafasnya minggat. Orang ini sebenarnya  

bukan mati karena tendangan Ni Luh Tua Klungkung, tapi lebih banyak diakibatkan  

oleh racun keris sakti yang telah mempengaruhi sekujur tubuhnya. Pada titik puncak  

rasa dingin yang tak tertahankan nyawanya pun lepas, berbarengan dengan datangnya  

tendangan lawan tadi! Hal inipun diketahui oleh Pangeran Matahari. 

Selain memang tak ada rasa takut terhadap pemuda berpakaian kelabu ini,  

sejak peristiwa kekalahannya dalam pertempuran di Kotaraja beberapa waktu lalu

31 

(baca serial : Pangeran Matahari Dari Puncak Merapi) maka sang  

pangeran telah menanam dendam kesumat terhadap pemuda satu ini dan juga  

terhadap . Itulah sebabnya Pangeran Matahari menyuruh Bajingan Dari  

Susukan untuk menyelidik. Meskipun Bajingan Dari Susukan gagal menyelamatkan  

Raden Ajeng Siti Hinggil dan puterinya namun sebenarnya untuk tugas menyelidik  

dua musuh besar itu sebagian sudah dijalankan oleh Bajingan Dari Susukan tanpa  

sadarnya. Yaitu membawa Ni Luh Tua Klungnkung ke tempat Pangeran Matahari. 

Sampai saat itu Ni Luh Tua Klungkung tetap tegak di bagian gelap bayangan  

pohon. Dia sengaja mendekam di situ karena kawatir di tempat terang lawan dapat  

mengetahui siapa dia adanya. 

"Hem.... Kau membunuh orangku! Berarti bertambah lagi hutangmu padaku!  

Berarti tak bakal ada pengampunan untukmu pemuda kerempeng!" 

Ni Luh Tua Klungkung mendengus. "Aku datang ke mari bukan untuk minta  

pengampunan! Justru untuk menyingkirkan kejahatan yang disebabkan oleh manusia  

sesat macammu!" 

"Bagus sekali kalau begitu! Rupanya kau masih belum tahu dalamnya lautan,  

tingginya Merapi! Umurmu hanya tinggal tujuh hitungan!" Habis berkata begitu  

Pangeran Matahari gerakkan tangan kanannya. Perlahan saja. 

Ni Luh Tua Klungkung yang sudah mengetahui benar kehebatan lawan, cepat  

berkelebat lenyap sebelum sang pangeran lepaskan pukulan tangan kosong. Lompatan  

yang dilakukan mendahului serangan lawan memang menyelamatkannya dari  

serangan. Di bawah kakinya sesiur angin panas menyambar ganas. Gadis yang  

menyamar seperti seorang pemuda itu merasakan kedua kakinya seperti disambar api.  

Secepat kilat jungkir balik di udara. Ketika tubuhnya membentuk garis sama datar  

dengan tanah maka dia segera lepaskan pukulan saktinya. Tangan kiri memegang  

perut. Tangan kanan diluruskan ke arah lawan. Mulut ditiupkan keras-keras.  

Serangkum angin berwarna kekuningan yang menebar bau harum kayu cendana  

mambuntal menerpa Pangeran Matahari! 

Sebelumnya sang pangeran telah menyaksikan kehebatan ilmu silat dan  

kesaktian pemuda berpakaian kelabu itu ketika terjadi pertempuran hebat disaat itu  

dia berdampingan dengan Pendekar 212 . Walau lawan ternyata  

memiliki kesaktian yang tidak bisa dianggap enteng, namun tentu saja Pangeran  

Matahari yang congkak itu tidak merasa kecut sama sekali. Apalagi si pemuda hanya  

sendirian. Sebelum buntalan sinar kuning menyentuh dan mencelakinya, Pangeran  

Matahari langsung menghantam dengan pukulan sakti bernama Merapi Meletus.  

Tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi ke atas. Lima jari tangan membentuk tinju.  

Tiba-tiba tangan itu disentakkan ke bawah lalu dihantamkan ke atas. Bersamaan  

dengan itu lima jari yang tadi mengepal dibuka serentak. 

Terdengar suara berdentum laksana gunung meletus. Hawa panas menyambar.  

Ranting-ranting dan daun-daun pepohonan meranggas hangus. Buntalan sinar kuning  

yang jadi andalan pemuda baju kelabu buyar sirna. 

Ni Luh Tua Klungkung merasakan tubuhnya bergoncang keras. Dia kerahkan  

tenaga dalam sambil dorongkan kedua telapak tangan ke depan, bertahan agar tidak  

jatuh. Namun sewaktu Pangeran Matahari balas mendorong, tak ampun gadis ini  

terpental jungkir balik. Kain pembungkus kepalanya tanggal. Rambut samaran pendek  

terlepas dan kini tambut aslinya yang panjang hitam tergerai sampai ke punggung. 

"Hai!" seru Pangeran Matahari kaget. "Kau ini pemuda banci atau perempuan  

sungguhan! Pasti wajah aslimu kau sembunyikan di balik sehelai topeng!  

Ha....ha....ha...! Jika wajahmu nanti kulihat cukup cantik, malam ini berarti aku akan  

mendapat kawan tidur dalam pondok!"

32 

"Manusia dajal! Maut sudah di depan mata masih saja bicara ngacok!" hardik  

Ni Luh Tua Klungkung. 

Pangeran Matahari kembali tertawa bergelak. Tubuhnya berkelebat lenyap. Di  

lain kejap si gadis sudah terkurung dalam serangan dahsyat yang membuatnya  

bertahan mati-matian. Beberapa kali dia terpental ketika berusaha menangkis  

hantaman lawan. Biasanya siapa saja yang berani bentrokan lengan dengan Pangeran  

Matahari akan menemui celaka bahkan maut. Tangan akan hitam hangus oleh racun  

jahat yang dimiliki sang pangeran. Tapi anehnya Ni Luh Tua Klungkung tidak  

mengalami cidera apa-apa kecuali sakit di bagian luar saja. Diam-diam gadis ini jadi  

merinding. Tak bisa tidak musuh memang sengaja tidak ingin mencelakainya karena  

punya maksud tertentu yaitu menangkapnya hidup-hidup agar dapat melakukan niat  

kejinya! 

Breet.....! 

Ni Luh Tua Klungkung terpekik. Topeng tipis yang menutupi wajahnya kena  

disambar hingga wajah aslinya kini tersingkap jelas! 

"Nah....nah! ternyata kau memang cantik jelita! Kau pantas jadi teman tidurku.  

Besar nian rezekiku malam ini!" 

"Keparat! Mampuslah!" teriak Ni Luh Tua Klungkung. Tiga jari tangannya  

menusuk ke tenggorokan lawan. Pangeran Matahari berkelebat lenyap. Sebelum gadis  

itu sempat mengetahui di mana lawannya berada tiba-tiba pakaiannya terasa ditarik. 

Breett.....breet.....breett...... 

Ni Luh Tua Klungkung kembali terpekik. Pakaiannya robek besar di beberapa  

bagian hingga auratnya tersingkap. Selagi dia sibuk berusaha menutupi tubuhnya  

yang hampir telanjang itu, satu remasan keras mencengkam payudaranya sebelah kiri.  

Gadis itu menjerit. Setelah itu tubuhnya kaku. Suaranya pun lenyap! Dia tak kuasa  

menyelamatkan diri. Tak dapat berteriak minta tolong. Dengan nafas menyeringai dan  

nafsu berkobar Pangeran Matahari memeluk tubuh gadis itu lalu menggendongnya ke  

arah pondok kayu.

33 

SEPULUH 

Orang itu melangkah sepanjang lorong batu yang hanya diterangi sebuah pelita  

yang hampir padam karena kehabisan minyak. Langkahnya terhuyung-huyung. Kalau  

tidak ditolong oleh sebatang tongkat yang digenggamnya di tangan kanan, mungkin  

dia tak sanggup berjalan. Sesekali dia berhenti melangkah, bersandar ke dinding batu  

sambil mengurut dada, mengaur jalan nafas, mengumpulkan tenaga, baru melangkah  

lagi. 

Di depan sana lorong yang dilaluinya membelok ke kiri. Lalu tampaklah  

sebuah pintu besar dijaga oleh dua orang perajurit bertubuh kekar bertampang galak.  

Masing-masing membekal sebilah golok dan sebatang tombak. 

"Siapa di sana!" Salah seorang pengawal pintu membentak begitu melihat ada  

orang bertongkat mendatangi. 

Yang ditegur tidak menjawab. 

"Hai! Mengapa tidak menjawab! Lekas bicara atau akan kutembus dengan  

tombak ini!" Pengawal tadi mengangkat tombak di tangan kanannya tinggi-tinggi.  

Kawan di sebelahnya melakukan hal yang sama. 

"Aku Raden Kertopati, Kepala Pasukan Kotaraja!" 

Kedua perajurit pengawal cepat turunkan tombak, membungkuk memberi  

hormat dan salah seorang dari mereka buru-buru meminta maaf. 

"Kami tidak tahu kalau Raden ang datang....." 

"Pemuda tawanan itu masih ada di dalam....?" 

"Masih ada di dalam Raden...." 

"Buka pintu! Aku ingin bicara dengannya!" memerintah Kertopati. 

"Maaf Raden! Kami menerima perintah agar tidak memperkenankan siapapun  

masuk ke dalam menemui tawanan.....!" 

"Siapa yang membei perintah?" tanya Raden Kertopati. 

"Raden Mas Jayengrono. Panglima Balatentara Kerajaan....." 

Raden Kertopati menggeram "Di Kotaraja ini aku adalah atasan kalian. Berarti  

kalian ikut perintahku! Buka pintu besi itu!" 

"Kami tak berani melakukannya Raden...." 

"Kalian tidak mentaati perintahku?!" hardik Raden Kertopati marah. 

"Kami hanya taat pada perintah Panglima Raden Mas Jayengrono!" 

Raden Kertopati diam sejenak. "Baiklah....." katanya kemudian. Dia memutar  

tubuh seperti hendak berlalu. Namun tiba-tiba tongkat kayu di tangan kanannya  

berdesing ke udara. Praak.....praaak! 

Kepala dua perajurit pengawal yang tegak di kiri kanan pintu rengkah!  

Keduanya tersungkur ke lantai batu. Raden Kertopati cepat mengambil kunci dari  

pinggang salah seorang pengawal itu lalu membuka gembok besi yang membuhul  

rantai besar pengunci pintu. Dengan cepat dia menyelinap masuk ke dalam. Di dalam  

ternyata gelap sekali. Tak ada lampu, tak ada cahaya. Kertopati terpaksa mengambil  

pelita yang ada di lorong. 

"Pendekar 212 kau berada di sebelah mana.....?" Kertopati berseru seraya  

mengangkat lampu minyak tinggi-tinggi. 

yang terbujur di salah satu sudut rruangan tak segera menjawab.  

Dia tak dapat mengenali suara itu karena gaungan yang memantul pada empat dinding  

batu. Kertopati memanggil sekali lagi. Baru kali ini Wiro mengenali suara Kepala  

Pasukan Kotaraja itu.

34 

"Raden, aku di sudut kiri di belakangmu!" 

Kertopati membalik lalu melangkah cepat ketika dilihatnya pemuda itu di  

sudut ruangan dalam keadaan tak berdaya. Lampu minyak diletakkannya di lantai.  

Dia sendiri kemudian berlutut di samping Pendekar 212. 

"Aku datang untuk menolongmu. Membayar budi dengan budi....." 

"Terima kasih Raden. Aku sebenarnya tidak mengawatirkan keselamatan  

diriku. Yang kucemaskan adalah sahabatku pemuda berbaju kelabu itu. Kalau dia  

sampai tertangkap Pangeran Matahari...... Tolong lepaskan totokan di dadaku....." 

"Jangan kawatir. Jayengrono memang ahli ilmu totokan. Sulit dilepas. Tapi  

aku tahu cara membebaskanmu!" kata Kertopati. Pakaian Wiro di bagian dada  

disingkapkannya lalu dia mendekatkan mulut dan meniup dada itu. Dengan ujung  

tongkat dia membuat tusukan cukup keras pada dada yang ditotok hingga Pendekar  

dari Gunung Gede itu merintih kesakitan. Sekali lagi Kertopati meniup dada si  

pemuda. Setelah itu dia membuat tiga kali usapan, barulah totokan di tubuh Pendekar  

212 terlepas musnah. Wiro cepat duduk bersila mengatur jalan nafas  

dan aliran darah. 

"Terima kasih Raden. Aku harus meninggalkan tempat ini sekarang juga. Tapi  

sebelum pergi ada satu permintaanku. Maukah kau menolong Raden Ajeng Siti  

Hinggil dan puterinya......?" 

"Kalau bisa mengapa tidak?" 

"Dua perempuan itu hanya korban hati busuk Jayengrono. Kebetulan saja sang  

puteri pernah memberikan cincin emas burung rajawali itu pada Pangeran  

Matahari......" Lalu Wiro menceritakan apa yang diketahuinya tentang riwayat cincin  

itu. "Nah jelas bagi Raden kalau mereka tidak ada sangkut paut apa-apa dengan  

Pangeran Matahari....." 

"Saya akan menghadap raja dan meminta agar ibu dan anak itu dibebaskan.  

Tap saya tetap merasa aneh mengapa Jayengrono bertindak terlalu jauh seperti  

itu......" 

"Karena ada satu rahasia Raden....." 

"Rahasia?? " Kertopati kerenyitkan kening. 

"Saya akan ceritakan rahasia itu padamu. Saya mendengar secara kebetulan  

ketika datang ke rumah Raden Ajeng Siti Hinggil sore tadi....." 

Lalu menuturkan percakapan antara Jayengrono dan Siti  

Hinggil yang sempat didengarnya meskipun dia berada di luar ruangan. 

Tentu saja Raden Kertopati terbelalak hampir tak percaya mendengar  

penuturan itu. 

"Nah kau sudah tahu Raden. Saya pergi sekarang. Sekali lagi terima kasih atas  

pertolonganmu....." 

Selagi Raden Kertopati masih terkesiap oleh cerita yang disampaikan Wiro,  

Pendekar 212 sudah melompat ke pintu dan mencari jalan sendiri menuju tembok  

timur istana. 

Dalam kegelapan malam ternyata tidak mudah bagi Wiro untuk mencari jejak  

sahabatnya Ni Luh Tua Klungkung. Meskipun tanda-tanda patahan ranting  

pepohonan yang dibuat gadis itu dapat ditemuinya namun gerakannya menjadi lambat  

karena terhalang oleh kepekatan malam. 

Di dalam kamar yang luas Raden Mas Jayengrono merasa sangat gelisah.  

Sebentar dia berbaring di atas tempat tidur empuk, lalu berdiri, melangkah mundar  

mandir atau duduk di kursi, melangkah lagi, mundar mandir dan sesekali memandang

35 

ke dalam taman lewat jendela kamar. Demikian terus menerus keadaannya. Hatinya  

risau karena tidak dapat menerka apa sebenarnya yang dimaksud oleh Pendekar 212  

dengan ucapannya ".......tembok ruangan punya seribu telinga......" 

"Teka-teki apa yang dilontarkan pemuda keparat itu padaku sebenarnya......"  

merutuk Kepala Balatentara Kerajaan itu. Dia kembali melangkah mudar mandie lalu  

membantingkan diri di atas tempat tidur. Memandang ke langit-langit kemar yang  

penuh ruangan. Memejamkan mata. Tiba-tiba lelaki tinggi besar ini membuka kedua  

matanya besar-besar. 

"Jangan-jangan......"desisnya. Tubuhnya melompat dari atas tempat tidur. Dia  

menyambar keris Kyai Gajah Putih dari atas meja batu mar-mar. Tanpa pengiring dia  

menuju ke istana lewat pintu sebelah timur. Setengah berlari dia memasuki lorong  

menuju pintu ruangan di mana Pendekar 212 disekap. Tidak dapat tidak,  

dengan ilmu kesaktiannya yang tinggi, pemuda itu telah sempat mencuri dengar  

pembicaraannya dengan Siti Hinggil di rumah perempuan itu. 

"Kalau tidak kubunuh, ulahnya nanti bisa berekor panjang!" kertak  

Jayengrono. 

Dia sampai di depan pintu besi itu. Dan terperangah! 

Pintu terbuka lebar. Dua orang perajurit pengawal telah jadi mayat dengan  

kepala pecah. Ketika dia memeriksa ke dalam, ruangan penyekapan itu ternyata  

kosong melompong. Pemuda yang dijebloskan di tempat itu ternyata telah lenyap! 

"Celaka aku!" keluh Jayengrono. "Siapa yang punya pekerjaan ini! Siapa yang  

menolong membebaskan pemuda keparat itu! Pasti hanya satu orang! Si keparat  

Kertopati! Ya, siapa lagi!" 

Raden Mas Jayengrono segera mendatangi rumah kediaman Raden Kertopati.  

Di sana didapatinya Kepala Pasukan Kotaraja itu tengah tidur nyenyak mendengkur.  

Dari seorang pengawal dia mendapat keterangan kalau sejak sore tadi Raden  

Kertopati tak pernah meninggalkan kamar tidurnya. 

"Aku yakin hanya manusia satu ini yang mampu dan mau menolong si  

gondrong itu! Tapi ternyata dia tidur sejak sore...... Ah, semua urusan bisa jadi gila!  

Bagaimana bisa jadi begini.....!" 

Jayengrono sama sekali tidak tahu kalau Kertopati sudah menduga kira-kira  

apa yang bakal terjadi kalau lenyapnya tawanan itu sampai diketahui. Maka Kertopati  

siang-siang sudah menyusun rencana, memberi kisikan pada seluruh anak buahnya  

dan berpura-pura tidur nyenyak di atas tempat tidur. Ketika Jayengrono meninggalkan  

halaman rumahnya, dia memperhatikan lewat jendela dengan sesungging senyum. 

"Riwayatmu akan berakhir tak lama lagi Jayeng....." katanya masih terus  

tersenyum penuh arti.

36 

SEBELAS 

Seumur hidupnya Pangeran Matahari belum pernah melihat aurat terlarang orang  

perempuan, apalagi menyentuhnya. Mendapatkan seorang gadis cantik dalam keadaan  

tak berdaya di bawah kekuasaannya sepenuhnya membuat pemuda ini serta merta  

terbakar oleh nafsu terkutuk. Setelah menotok tubuh Ni Luh Tua Klungkung secara  

aneh yakni dengan jalan meremas payudaranya, Pangeran Matahari mendukung tubuh  

gadis itu ke dalam pondok kayu. Sambil mendukung tangannya bebas tiada hentinya  

menggerayang kian kemari. 

Meski tubuhnya penuh gelegak marah namun sang gadis tidak mampu berbuat  

apa untuk membebaskan diri, apalagi menolak kehendak keji Pangeran Matahari.  

Dalam hatinya sudah tekad bulat untuk bunuh diri jika kelak dia masih dibiarkan  

hidup setelah dirusak kehormatannya. 

Sekarang mari kita ikuti kembali Wiro  

Sableng yang saling kejar dengan waktu karena sudah mendapat firasat kalau  

sahabatnya gadis yang sampai saat itu tidak diketahuinya nama aslinya tengah  

mengalami bahaya besar. Malam makin gelap dan bertampah sulit baginya untuk  

meneliti secara cepat rerantingan patah yang ditinggalkan sang dara sebagai jejak. Di  

sebuah bukit patahan ranting berakhir. Tak ada lagi ranting lain yang patah padahal  

memandang berkeliling pendekar ini sama sekali tidak melihat apa-apa. Tak ada  

tanda-tanda terjadi perkelahian di tempat itu. tak ada pula bangunan di sekitar situ. 

"Tak mungkin gadis itu lenyap menembus tanah bebukitan ini atau terbang ke  

langit....." ujar seraya menggaruk-garuk kepalanya yang berambut  

gondrong. Dia meneliti ke jurusan kiri, ke sebelah kanan, tetap saja tidak menemui  

apa-apa. Ketika dia coba bergerak lurus ke depan, sebuah jalan kecil mendaki  

terbentang di hadapannya. Setelah meneliti sesaat, Wiro ikuti jalan mendaki ini. di  

depan sana di kegelapan malam dilihatnya sebuah bangunan kayu. Sepuluh langkah  

sebelum dia sampai ke bangunan itu, sesosok tubuh ditemuinya tergelimpang di jalan  

kecil itu. ketika ditelitinya sosok tubuh itu ternyata pemuda bermuka bundar berkulit  

hitam yang dikenal sebagai Bajingan Dari Susukan. Tubuh itu hanya merupakan  

mayat dingin. 

Murid Eyang Sinto Gendeng memandang berkeliling. Sunyi yang aneh terasa  

membungkus tempat itu. pintu pondok tampak tertutup. Tak ada nyala lampu di  

sebelah dalam. Tapi bagi sang pendekar yang sudah berpengalaman tidak ada nyala  

lampu belum tentu berarti tidak ada seorangpun di dalam sana. Jika seorang lelaki  

hendak berbuat bejat terhadap seorang gadis maka tentunya dia akan mencari tempat  

yang sedap. Wiro hunus Kapak Maut Naga Geni 212, lalu tanpa suara melangkah  

mendekati pintu pondok kayu. Sepasang telinganya terpentang untuk mencari dengar  

setiap gerakan. Suara nyamuk yang terbang di kejauhanpun tak bakal lepas dari  

pendengarannya. 

Braak! 

tendang pintu pondok hingga hancur dan terpentang lebar.  

Keadaan di dalam pondok yang tak seberapa besar itu gelap pekat. Wiro memasang  

telinga. Tak ada seorangpun di dalam sana. Tapi tak mungkin pondok ini dibangun  

kalau hanya ditinggal kosong melompong. Atau pemiliknya sedang keluar? Tapi Ni  

Luh Tua Klungkung lenyap di sekitar tempat ini! Wiro menggenggam senjata  

mustikanya lebih erat. Dengan langkah tetap dia masuk melalui pintu. Baru saja

37 

kakinya menginjak lantai papan di sebelah dalam mendadak telinganya mendengar  

suara berdesir dari empat jurusan! 

"Senjata rahasia!" seru Wiro dalam hati seraya kertakkan rahang. Kapak Naga  

Geni 212 diputar membentuk lingkaran. Sinar terang berkiblat disertai gaungan  

seperti ribuan tawon mengamuk. 

Tring.....tring....tring.....tring. 

Empat buah benda yang berdesing ternyata adalah empat buah pisau terbang  

kecil, hancur mental berantakan. 

"Pembokong pengecut! Unjukkan tampangmu!" teriak Pendekar 212 marah. 

Tapi tak ada jawaban. Tak ada gerakan. Jelas senjata rahasia itu dipasang  

untuk menjebak lawan yang lengah. Bukan mustahil masih ada senjata-senjata rahasia  

lainnya tersembunyi di tempat itu. Dari pada mendapat serangan konyol begitu rupa  

Wiro memutuskan untuk menghancurkan pondok kayu itu. Maka dia hantamkan  

pukulan Benteng Topan Melanda Samudera ke arah atap. Bersamaan dengan mental  

hancurnya atap dan runtuhnya empat dinding kayu, Wiro melesat keluar bangunan.  

Dari kejauhan dia memperhatikan bangunan yang kini hanya merupakan keping- 

keping hampir sama rata dengan tanah. Lagi-lagi tak ada suara tak ada gerakan. Tapi  

ketika dia melangkah mendekati, satu letusan dahsyat menggelegar membuat  

pendekar dari Gunung Gede itu jatuh duduk ke tanah. 

Letusan yang terjadi membuat lantai bangunan terbongkar. Di situ Wiro  

melihat sebuah lobang batu berbentuk tangga menurun yang sebelumnya tersembunyi  

di bawah lantai kayu bangunan. Kuduk pendekar ini menjadi dingin. Bulu romanya  

berdiri. Kalau tadi dia sempat menginjak lantai di atas lobang itu, ledakan dahsyat tadi  

pasti akan menghancur luluhkan seluruh tubuhnya. Dengan hancurnya pondok kayu  

tersebut maka tak ada lagi senjata rahasia yang tersembunyi. Wiro memutuskan untuk  

menyelinap memasuki lobang batu itu. namun dia cepat melesat ke atas cabang  

sebuah pohon ketika lapat-lapat telinganya mendengar ada orang yang melangkah  

cepat menaiki tangga batu. 

Sesaat kemudian sebuah kepala gondrong berikat kain merah muncul dari  

dalam lobang. Kepala ini bergerak berputar seperti meneliti keadaan. Ketika merasa  

aman, kepala ini segera bergerak keluar. Kelihatanlah sebuah sosok tubuh  

mengenakan pakaian hitam bergambar matahari dan puncak gunung. 

"Pangeran Matahari......" desis Wiro tercekat. Lalu dia melihat sosok tubuh  

siapa yang dipanggul di bahu kiri sang pangeran. Sosok tubuh itu hampir tidak  

tertutup karena seluruh pakaian yan masih melekat hanya tinggal cabikan-cabikan  

belaka. 

"Keparat haram jadah! Kalau dia sampai telah memperkosa sahabatku itu akan  

kucincang tubuhnya, kuhisap darahnya!" Geraham Pendekar 212 bergemeletakan. 

"Manusia iblis! Kau hendak lari ke mana?!" teriak Pendekar 212 menggeledek.  

Ketika dilihatnya Pangeran Matahari hendak berkelebat kabur sambil mendukung  

tubuh Ni Luh Tua Klungkung. 

Kagetnya sang pangeran bukan kepalang. Sambil meneruskan larinya dia  

hantamkan tangan kiri ke atas pohon di mana Pendekar 212 berada. 

Wuss! 

Cabang, ranting dan dedaunan pohon besar iru hangus dan luruh sementara  

Wiro sudah melayang turun lebih dahulu. Kapak Naga Geni 212 menderu dalam  

kegelapan malam. Melihat sinar menyilaukan berkiblat dan mendengar suara seperti  

tawon mengamuk Pangeran Matahari maklum siapa yang menyerangnya. Satu- 

satunya senjata yang mempunyai cirri-ciri serangan seperti itu adalah Kapak Maut  

Naga Geni 212. Pemiliknya siapa lagi kalau bukan Pendekar 212 dari Gunung Gede.

38 

"Dicari-cari ternyata kau datang sendiri mengantar nyawa! Hutang lamamu  

rupanya hendak kau bayar hari ini bersama bunganya!" Pangeran Matahari menegur  

keren dengan kaki terkembang, tangan kiri di pinggang dan tubuh Ni Luh Tua  

Klungkung masih di atas bahu kanannya. 

"Manusia congkak takabur! Dosa dan kejahatanmu sudah lewat takaran! Hari  

ini kau tambah lagi dengan satu kekejian!" bentak Wiro. 

Pangeran Matahari tertawa bergelak. 

"Rupanya kaupun berhasrat mendapatkan perawan ini! Ha...ha...ha! Kau  

memang belum terlambat Pendekar 212! Tapi jangan harap kau bisa membebaskan  

gadis ini dari tanganku!" 

Gembira mendengar pengakuan Pangeran Matahari, Pendekar 212 Wiro  

Sableng hampir bertindak lengah ketika musuh di hadapanny aitu tiba-tiba menyerbu  

sambil lepaskan pukulan maha ganas yang dimilikinya yakni pukulan Gerhana  

Matahari! 

Sinar kuning, hitam dan merah mencuat panas melanda ke arah murid Sinto  

Gendeng. Wiro tak berani membalas karena kawatir akan mencelakai Ni Luh Tua  

Klungkung. Didahului bentakan nyaring pendekar ini melesat tiga tombak ke udara.  

Dari atas dia menukik sambil babatkan Kapak Naga Geni 212. Tapi Pangeran  

Matahari berlaku cerdik. Dia tidak menangkis ataupun balas menyerang melainkan  

angsurkan tubuh gadis yang ada di bahunya, memotong tabasan senjata lawan. 

Wiro berseru kaget dan buru-buru tarik pulang serangannya. Saat itulah  

kembali Pangeran Matahari menghantam dengan pukulan Gerhana Matahari. Kali ini  

lebih dahsyat lagi karena mengerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya. Wiro  

kembali melompat sambil lindungi diri dengan Kapak Naga Geni 212. Pohon besar di  

belakangnya terdengar berderak lalu roboh dalam keadaan terbakar! 

"Iblis keparat!" maki Pendekar 212. Dadanya terasa sesak. Dia melompat  

turun ke tanah langsung sisipkan Kapak Naga Geni 212 di pinggang lalu angkat kadua  

tangan dengan telapak tangan menghadap ke arah lawan. Perlahan-lahan dua telapak  

tangan itu diputar, mulut terkancing dan sepasang mata memandang tak berkesip ke  

arah Pangeran Matahari. 

Sikap tegak Wiro yang sama sekali tidak terlindung itu di mata Pangeran  

Matahari merupakan suatu sasaran empuk. Maka dia segera siapkan pukulan Gerhana  

Matahari untuk ketiga kalinya. Tapi mendadak sontak saat itu dirasakannya udara  

menjadi sangat dingin, sepuluh kali lebih dingin dari udara di puncak Merapi di mana  

dia pernah tinggal sebelumnya! Sekujur tubuh sang pangeran seperti dilapisi es.  

Rahangnya menggembung, hembusan nafasnya seperti mengeluarkan asap. Lututnya  

mulai goyah! 

"Ilmu apa yang tengah dikeluarkan setan ini untuk menyerangku!" gumam  

Pangeran Matahari dengan gigi-gigi bergemeletakkan. Dia hantamkan tangan  

kanannya. Lepaskan pukulan Gerhana Matahari. Sinar kuning, merah dan hitam  

memang berkiblat. Namun sebelum mencapai tubuh Wiro, hawanya yang panas  

membakar berubah menjadi dingin hingga ketika serangan itu melanda Pandekar 212,  

dia hanya merasakan seperti disapu angin sejuk! 

Kaget Pangeran Matahari bukan kepalang. Diam-diam nyalinya mulai menciut.  

Namun manusia congkak ini tak mau mangalah begitu saja. Sekali lagi dia hendak  

mencoba. Bahu kanannya digerakkan. Tubuh Ni Luh Tua Klungkung mencelat  

mental ke arah semak belukar dan tersangkut di sana. Sang pangeran kemudian  

membuat kedudukan yang hampir sama dengan apa yang dilakukan Wiro. Kedua  

kakinya mengangkang. Tangan diangkat ke atas. Mulut komat kamit. Telapak tangan

39 

digerakkan perlahan. Didorong ke arah Wiro. Terdengar suara berdesir. Menyusul  

deru angin panas keluar dari masing-masing telapak tangan. 

Di seberang Pangeran Matahari, Wiro tetap tegak di tempatnya dan lipat  

gandakan kekuatan tenaga dalamnya. Tubuhnya bergetar keras dan keringatnya  

bercucuran padahal udara di tempat itu dingin bukan kepalang! 

Deru angin panas yang keluar dari dua telapak tangan Pangeran Matahari,  

yang disesrtai kekuatan tenaga dalam penuh mula-mula tertahan seolah terbendung  

oleh tembok baja yang sangat atos. Begitulah kehebatan ilmu Angin Es yang jarang- 

jarang dikeluarkan oleh Pendekar 212. Namun ternyata murid Sinto Gendeng ini tak  

bisa bertahan lama. Karena begitu Pangeran Matahari mendorong sambil maju  

selangkah demi selangkah Wiro meraskan dadanya menjadi panas. Ketika dia merasa  

tak sanggup bertahan maka sambil berteriak keras Wiro menekuk lutut dan  

menghantam ke depan dengan Dewa Topan Menggusur Gunung. Ilmu pukulan sakti  

ini didapatnya dari Tua Gila di pulau Andalas. Terdengar suaa menggemuruh yang  

mengingatkan Pangeran Matahari pada meletusnya Gunung Merapi belasan tahun  

silam. Pukulan Merapi Meletus yang terus dilancarkannya dan diharapkan dapat  

merobohkan lawan ternyata kini mulai menjadi kendur. 

"Gila!" maki Pangeran Matahari. 

Sementara tangan kiri masih terus bertahan dari serangan pukulan Merapi  

Meletus, tangan kanan tiba-tiba diturunkan dan dengan tangan ini dia kembali  

lancarkan pukulan sakti dengan kempiskan perutnya. Inilah satu pertanda bahwa dia  

kini menghadapi lawan dengan seluruh tenaga dalam yang ada! 

Letusan dahsyat menggelegar di tempat itu. tanah puncak bukit longsor di  

beberapa bagian. Pohon-pohon bertumbangan. Ni Luh Tua Klungkung yang  

menyangsrang di semak belukar jatuh terguling dan secata aneh totokan yang  

menguasai tubuhnya mendadak terlepas buyar! 

Pendekar 212 terpental sampai enam langkah. Sebaliknya  

Pangeran Matahari jatuh duduk lalu terbanting ke tanah. Mulutnya terasa panas dan  

asin pertanda ada darah yang melesat lewat tenggorokannya, melesat ke mulut.  

Dadanya mendenyut sakit. Sadarlah manusia ini kalau tingkat tenaga dalamnya  

walaupun sangat tipis, tapi masih berada di bawah lawannya. 

Ketika dapatkan dirinya terbebas dari totokan, tanpa sadar akan keadaan  

dirinya, Ni Luh Tua Klungkung langsung melompat ke arah Pangeran Matahari  

sambil ayunkan kepalan menghantam batok kepala orang yang tadi hampir  

menodainya. Meskipun masih dicekam rasa kaget, sakit dan kecut namun Pangeran  

Matahari masih sempat melihat datangnya serangan itu. Kalau tadi dia tengah  

berusaha bangkit, diserang begitu rupa maka dia jatuhkan diri kembali ke tanah  

sambil hantamkan tangan kanan ke atas melepas tangkisan dan juga sekaligus totokan  

karena sang pangeran masih menginginkan gadis itu tertawan hidup-hidup. 

Namun di saat yang sama dari jurusan kiri Pendekar 212  

menyerbu melompatinya dan lepaskan pukulan tangan kosong jarak pendek. Hingga  

mau tak mau Pangeran Matahari terpaksa batalkan serangan terhadap Ni Luh Tua  

Klungkung sambil mengelak lalu pusatkan perhatian untuk menangkis serangan Wiro. 

Perkelahian jarak pendek iu tidak dapat menghindarkan terjadinya bentrokan  

lengan. Justru inilah yang diharapkan Pangeran Matahari karena dia percaya dengan  

terjadinya bentrokan dia dapat mengirimkan racun jahat hitam panas dan  

menghanguskan ke ubuh lawan. Sebaliknya murid Sinto Gendeng yang yakin akan  

keampuhan Kapak Naga Geni 212 unuk menolak segala macam racun jahat tidak  

ingin menghindari bentrokan itu. Maka ketika dua lengan saling beradu kedua  

pemuda itu sama-sama terlempar.

40 

Pangeran Matahari karena sebelumnya telah terluka di dalam berada pada  

keadaan cukup parah. Tubuhnya terguling sambil mulutnya muntahkan darah segar.  

Wiro memang terlepas dari keganasan racun manghanguskan sang pangeran tapi  

tulang lengan kanannya terasa sakit tanda ada bagian yang retak. 

"Ah, untuk kedua kalinya aku terpaksa mengalah! Keparat betul!" mengeluh  

dan memaki Pangeran Matahari dalam hati. Bertapapun hatinya ingin memboyong Ni  

Luh Tua Klungkung kembali namun keselamatan diri lebih diutamakannya. Maka  

tanpa pikir panjang dan menunggu lebih lama Pangeran Matahari segera berkelebat  

larikan diri kea ah kanan, ke bagian paling gelap di sekitar tempat itu. 

Ni Luh Tua Klungkung nekad hendak mengejar tapi Wiro cepat mencegah  

sambil berseru "Jangan kejar!" Dia kawatir gadis ini justru bakal mengalami  

malapetaka baru. 

Sang dara hentakkan kakinya ke tanah. "Kau melarangku mengejar manusia  

terkutuk yang hendak merusak kerhormatanku! Apa hakmu!" Si gadis berbalik dan  

menghardik marah. 

Wiro buka bajunya dan melemparkan pakaian ini ke arah Ni Luh Tua  

Klungkung. "Kau pakailah baju itu. Tubuhmu terbuka tak karuan!" 

Mendengar ucapan Wiro baru sadar sang dara akan keadaan dirinya. Sambil  

memungut baju yang dilemparkan itu dia berkata "Aku bersumpah untuk membunuh  

manusia satu itu!" Ni Luh mengenakan baju itu di balik pohon besar yang tumbang.  

Karena dia lebih pendek dari Wiro maka baju putih yang cukup dalam itu dapat  

menutupi tubuhnya sampai sebatas lutut. 

"Kau tak kurang suatu apa sahabat?" tanya Wiro ketika Ni Luh Tua  

Klungkung keluar dari balik pohon. 

"Untung kau cepat datang. Terlambat sedikit saja aib besar pasti sudah  

menimpa diriku! Pangeran keparat itu terhalang maksud kejinya ketika atap pondok  

bobol dan dinding-dinding runtuh. Disusul letusan peledak yang agaknya memang  

sengaja ditanamnya di lantai pondok. Dia membawaku lari keluar sekalian untuk  

menyelidiki siapa yang jadi korban bahan peledaknya. Gila! Udara di sini mengapa  

dingin sekali seperti di punca gunung!" 

"Itu karena kau memakai baju pinjaman!" sahut Wiro seraya tersenyum. "Aku  

yang bertelanjang dada tidak merasa dingin apa-apa!" 

"Uh! Kalau tidak terpaksa siapa sudi mengenakan baju busuk dan basah oleh  

keringat ini!" jawab sang dara merengut. 

Wiro kembali tertawa. "Kurasa kau lebih bagus muncul dengan wajah aslimu  

dari pada memakai segala macam topeng penyamaran!" 

Ni Luh Tua Klungkung mengusap wajahnya. "Sebaiknya kita pergi saja dari  

tempat celaka ini! Makin cepat aku mendapatkan pakaian pengganti akan lebih baik  

bagiku!" Lalu dara itu tinggalkan puncak bukit gelap tersebut. Pendekar 212 Wiro  

Sableng mengikuti dari belakang. 

TAMAT

继续阅读

You'll Also Like

32.9K 5.8K 24
cerita suka-suka yang penting cerita wkwk
6.8K 1.3K 21
Bagaimana ceritanya ketika kalian yang sedang menikmati hidup dengan senang, tenang dan tanpa gangguan. Namun tiba tiba datang entah virus darimana...
40.8K 3.4K 32
Zee seorang anak ke 4 dari 5 bersaudara, ia dibenci oleh tiga kakaknya karena kesalahan pahaman, tetapi berbeda dengan adiknya, adiknya percaya kalau...
89.6K 6.6K 53
WARNING WP INI BXB JIKA ANDA HOMOPHOBIC MENJAUH!!! JANGAN BACA SEMUANYA KARANGAN 100% GAADA YANG BERDASARKAN RL!! JANGAN MEMBAWA SEMUA CERITA YANG AD...